Share

Asmara Pedang (Cerpen Gratis)

ASMARA PEDANG

Norman Tjio

Pedang hampir menembus tenggorokannya. Feng Ling menutup mata. Sehebat apapun ilmunya, ia tidak dapat menandingi si Pedang Tanpa Batas, kekasihnya sendiri. Segala kenangan masa lalu bersamanya terbayang di depan mata.

Konon katanya, saat seseorang akan mati, maka segala kilasan perjalanan hidupnya akan muncul di depan mata. Tetapi yang lewat kini hanyalah kenangan dan perasaan cintanya kepada si Pedang Tanpa Batas.

Feng Ling telah pasrah dengan kematiannya. Tetapi ternyata kematian itu datang begitu lama. Saat Feng Ling membuka mata, dilihatnya pedang sang kekasih telah terhenti hanya seujung kuku dari tenggorokannya.

Di dunia ini, hanya sang Pedang Tanpa Batas yang mampu menghentikan serangan sendiri seperti itu. Sekejap pedang bergerak, sekejap juga pedang itu terhenti. Itulah kenapa lelaki itu dijuluki Pedang Tanpa Batas. Karena kemampuan pedangnya seolah tanpa batas.

Pedang telah kembali ke sarungnya. Lelaki itu berbalik badan, lalu pergi tanpa berkata apapun.

Rambutnya yang panjang sampai ke punggung tidak dikuncirnya. Berkibar tertiup angin yang dingin.

Salju masih turun tipis-tipis di puncak gunung Taishan.

“Bagus. Pergilah. Seperti yang selalu kau lakukan. Pergi tanpa berkata apapun!” teriak Feng Ling. Suaranya serak seperti telah habis seluruhnya.

Lelaki itu tetap berjalan. Ia tidak mau menoleh.

“Jika kau tidak mau membunuhku, maka aku akan bunuh diri,” Feng Ling mengambil pedangnya yang tadi telah terjatuh di tanah. Sekali gerak ia telah menebas lehernya sendiri.

Tetapi sekali lagi, pedang terhenti tepat seujung kuku di depan lehernya. Karena tiba-tiba sang Pedang Tanpa Batas sudah berada di depannya dan telah menghalau gerakan tangannya.

Kedua tangan saling berpegangan, bersentuhan. “Kenapa kau melakukan ini?” tanya si lelaki.

“Jika tidak hidup denganmu, untuk apa aku hidup?” jawab Feng Ling. Desah nafasnya lembut mewangi. Menerpa wajah lelaki itu dengan penuh kehangatan.

“Lalu kenapa kau mencoba membunuhku tadi?”

“Karena jika kau tidak hidup denganku, aku pun tidak ingin kau hidup.”

Apabila orang lain yang mengucapkan kalimat ini, maka tentu akan terdengar menakutkan. Tetapi saat Feng Ling yang mengucapkannya, entah kenapa kalimat ini terdengar begitu indah, begitu memilukan.

Begitu syahdu.

“Apakah kau ingin mengkhianati guru?” tanya lelaki itu singkat.

“Guru telah menjodohkanku dengan Pangeran 12. Sedangkan kau pun telah dijodohkan guru dengan nona Yang Liu. Tetapi semua perjodohan itu kan bukan keinginan kita,” bantah Feng Ling.

“Terlalu besar jasa-jasa guru kepada kita. Maka keinginan guru, menjadi keinginan kita pula,” tukas lelaki itu.

“Aku adalah wanita yang telah dewasa. Apakah aku tidak boleh memiliki keinginanku sendiri?”

“Terlambat kau berkata seperti ini.”

“Ya. Aku memang hanya bisa mengatakan hal ini di hadapan makam guru,” ada sedikit penyesalan di hatinya.

“Guru telah berjanji kepada orang lain. Maka kita harus menjaga janji itu.”

Tangan mereka berdua masih berpegangan.

Antara budi dan cinta, maka manakah yang harus dipilih?

Hidup sebagai manusia, ataukah hidup sebagai pendekar?

Feng Ling memejamkan matanya. Air mata menetes di pipinya yang putih merona merah.

Semenjak kecil ia adalah seorang yatim piatu. Gurunya mengambilnya sebagai murid dan memperlakukannya begitu baik seperti anak sendiri. Satu kali pun gurunya belum pernah meminta apa- apa dari dirinya. Hanya pesan terakhir dari sang guru untuk menikah dengan Pangeran 12.

Hanya itu saja.

Tetapi permintaan itu baginya lebih berat daripada langit dan bumi. Apabila saat itu gurunya meminta nyawanya, tentu ia akan memberikannya dengan sukarela.

Bagi seorang wanita, terkadang cinta menjadi jauh lebih berharga ketimbang kehidupan itu sendiri.

Pangeran 12 adalah seorang lelaki yang tampan rupawan, baik hatinya. Lembut perilakunya. Tetapi cinta Feng Ling hanyalah kepada kakak seperguruannya yang gagah, dingin, angkuh, namun penuh dengan daya tarik yang aneh.

Feng Ling sendiri tidak dapat mengerti perasaannya.

Ia tidak tahu bahwa hampir seluruh perempuan memang lebih tertarik kepada jenis lelaki seperti Pedang Tanpa Batas. Penuh rahasia, penuh tantangan.

Feng Ling kini tidak tahu harus berbuat apa, bersikap bagaimana. Setinggi apapun ilmu silat seorang pendekar, ia adalah manusia yang memiliki perasaan. Perasaan seorang wanita.

Dari kejauhan terlihat sebuah kereta mendekat. Kereta kecil yang sederhana.

Siapa pula orang yang berkereta di tengah salju seperti ini? Di tempat seperti ini pula?

Kereta telah tiba dan kini berhenti. Sang kusir terlihat begitu letih. Tetapi wajahnya menampakkan senyuman lega. Sepertinya ia telah sampai pada tujuan yang dicarinya.

Pintu kereta terbuka.

Pangeran 12 keluar dan turun dari kereta yang sederhana itu.

“Ling Er (panggilan untuk orang kesayangan) mari kita pulang. Besok adalah hari pernikahan kita. Apakah kau lupa?” suara pangeran itu dalam namun lembut. Senyumnya pun ramah.

Seumpama di dunia ini ada orang yang begitu tenang, begitu rela calon istrinya berduaan dan berpelukan

dengan lelaki yang merupakan mantan kekasihnya, di hari sebelum mereka menikah, tentulah hanya pangeran ini seorang.

Tangannya mengambang ke depan, seolah ingin menyambut gadis itu kembali pulang.

Jika kau menjadi Feng Ling, apa yang kau lakukan?

Gadis itu hanya bisa memejamkan matanya. Ia harus mengambil keputusan.

Salju semakin deras. Dingin semakin menderai.

Akhirnya ia menarik tangannya. Melepaskan pelukannya.

Ia memang perempuan.

Tetapi ia adalah seorang pendekar perempuan. Seorang pendekar hidup mengutamakan budi. Bukan perasaan.

Ia akhirnya mengerti.

Pangeran 12 menyambut tangannya. Dengan senyum yang penuh pengertian, ia tidak berkata apa-apa. Dibantunya calon istrinya itu masuk ke dalam kereta.

Ia sendiri pun masuk ke dalam kereta. Tetapi sebelum masuk, ia menoleh kepada Pedang Tanpa Batas.

Mereka saling menatap dan saling tersenyum.

Dua orang laki-laki yang saling bisa mengerti keadaan masing-masing.

Kereta pun pergi menjauh. Jauh sekali.

Menyisakan    seorang    laki-laki     yang    termenung sendirian di tengah salju yang mulai membadai.

Di kejauhan dari arah yang berbeda, terlihat sebuah sosok datang mendekat.

Seorang wanita. Nona Yang Liu.

Yang Liu berarti pohon willow.

Ia memang terlihat seperti pohon willow yang penuh keanggunan.

“Kau sudah berhasil ya?” senyum nona itu.

Pedang Tanpa Batas hanya mengangguk kepada calon istrinya.

“Bagaimanapun, kau toh harus melepasnya pergi dengan pangeran itu. Hal itu merupakan yang terbaik baginya.”

“Ya. Daripada ia menikah denganku. Hidupnya tidak akan bahagia. Karena hidupku hanya kupersembahkan untuk pembalasan dendam. Setiap perjalanan hidupku nanti akan berlumuran darah. Ia lebih pantas hidup bahagia di dalam istana,” kata sang lelaki.

Yang Liu tersenyum penuh pengertian.

Lelaki itu menyambung lagi, “Dan aku hanya bisa berterima kasih kepadamu telah bisa mengerti keadaanku.”

Nona Yang Liu yang cantik menukas, “Aku harus bisa mengerti. Karena hanya kaulah yang mampu membunuh orang yang paling kubenci. Orang yang membunuh kekasihku. Asalkan kau bersedia membunuhnya, aku bersedia menikah denganmu walaupun kau tidak cinta kepadaku.”

Pedang Tanpa Batas tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandang ke depan.

Kini kekasih yang dicintainya telah mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang tenang dan membahagiakan.

Perjalanannya untuk membunuh begitu banyak orang akan segera dimulai.

***

Arjosari, 15 April 2021, jam 12 siang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sijini Go
Lanjutin, Bang Norman.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status