"Eka?!"Bu Rika sedikit terpekik melihat menantu keduanya itu turun dari angkot, setelah sekian minggu tidak bertemu.Eka tersenyum simpul dan menyalami kedua wanita paruh baya itu."Eka ... lama ndak jumpa ya." Bu Eni tetap selalu ramah seperti biasanya.Meski tidak suka dengan apa yang diakukan oleh Asep dan Eka, tetapi Dia selalu berusaha bersikap baik pada semua orang. Pun dia selalu berusaha untuk tak mencampuri urusan orang lain. Hanya sekedar nasehat saja yang dj diberikan. Kecuali orang orang tersebut meminta dia untuk membantu memberikan solusi untuk suatu masalah.Tetapi karena bu Rika adalah adik kandungnya sendiri, dia juga berusaha untuk memberikan nasehat, tetapi pun itu tak melewati batas wajar."Iya, Bude." Eka menganguk dan tersenyum lagi.Bu Rika nampak senang melihat Eka. "Kamu kemana aja sih, kok kayak hilang di telan bumi begitu." Sepertinya wanita paruh baya ini tak menyangka jika Eka akan datang.Bu Rika sebenarnya masih begitu mengharapkan Eka, hanya saja perem
"Benar memang begitu adanya. Saranku sih, kamu nggak usah balik lagi kesini. Karena Nisa pantas mendapatkan pria yang lebih baik, dari pada hanya seorang sampah masyarakat seperti kamu."Rasa amarah dan juga sakit hati dirasakan oleh Asep saat ini. Tetapi dia lebih memilih untuk diam, karena memang itu lah kenyataanya. "Kenapa kamu diam, Sep? Salah ya omonganku tadi?" Joko memandang sinis ke arah Asep.Bukan hanya Joko yang membenci pria itu, tetapi rasanya semua warga kampung pun merasakan hal yang sama. Mereka semua tahu seperti apa Nisa yang selama ini telah berusaha untuk membanting tulang untuk memberikan nafkah untuk keluarga. Nisa yang kalem dan dikenal baik hati dan ramah. Tapi apa yang didapatkan? Malah pengkhianatan yang begitu besar.Bukan hanya itu, para warga juga teramat geram karena perlakuan Asep dan Eka pada Ais."Saranku sih, lebih baik kamu sekarang juga pergi dari kampung ini." Intonasi bicara Joko kini semakin tak bersahabat saja. "Karena, semua warga masih in
Tiba tiba, dari arah dalam proyek ke luar semua mobil sedan mewah berwarna putih metalik. "Nah, itu si bos besar yang pasti bersama dengan Bu Nisa. Sepertinya mereka berdua akan menjemput Ais ke sekolah."Pria tua itu berucap dengan wajah yang nampak hormat. Terang saja, bos besar itu meski terlihat dingin, tetapi sebenarnya begitu baik pada semua pekerja. Pun bos Ryan juga sangat royal. Tak jarang ketika waktu gajian, maka para pekerja yang rajin akan selalu diberi bonus."Bu Nisa bersama dengan bos?" Asep seperti perlu memperjelas indra pendengarannya. Pak tua segera mengangguk. "Pokoknya Bu Nisa itu sangat beruntung, diperlakukan bos besar seperti seorang ratu. Sayangnya, beliau sepertinya belum membuka hati."Asep terasa nyeri di dalam hati. Matanya dari tadi tak luput dari mobil mewah itu, yang saat ini sedang berhenti sejenak. Karena si sopir sedang turun."Apa Bu Nisa nggak punya suami?" Asep kembali bertanya."Kata orang sini sih punya. Tapi tepatnya sebentar lagi jadi jand
"Bu. Om Ryan itu baik banget. Ais suka."Gadis kecil itu berseloroh setelah selesai belajar. Nisa menghela nafas panjang dan tersenyum. Ini bukan kali pertama sang anak mengucapkan kalimat yang sama."Iya, beliau memang baik sekali."Tak dipungkiri, Nisa atau bahkan orang lain pun bisa melihat kebaikan dari pria bule itu. Kebaikan tulus yang diberikan pada semua orang. Tetapi memang terlihat berbeda sekali dengan yang dicurahkan pada Nisa dan Ais.Ais pun dengan cepatnya kemudian membeberkan semua kebaikan dan perhatian yang diberikan oleh Ryan. Meski pun beberapa hal Nisa sudah melihat sendiri, tetapi Dia tetap mendengarkan dengan baik celoteh putrinya itu."Beda banget sama Ayah." Tiba tiba raut wajah gadis kecil itu berubah kesal. "Jahat."Nisa mendengus pelan mendengar hal itu. Jika mengatakan tentang Ryan, memang selalu pada ujung ujungnya Ais akan membandingkan dengan Asep. Tak salah sih sebenarnya, memang begitu keadaannya. "Harusnya dulu ibu menikah bukan dengan Ayah, harusn
"Bu, aku nggak mau ketemu Ayah." Ais menarik tangan Nisa dengan wajah kecilnya yang penuh kegelisahan. Langkah mereka mendekati gedung pengadilan yang lusuh di ujung jalan, membuat Nisa merasa sesak di dada. Namun, dia tetap tenang, berusaha menunjukkan kekuatannya di depan Ais. "Ayah nggak bisa apa-apa, Sayang. Ibu yang akan melindungi Ais," jawab Nisa sambil tersenyum lembut, berusaha menenangkan putrinya. Mereka melangkah ke dalam gedung yang sepi, di mana suara pintu tua berderit menyambut mereka. Di dalam, sudah ada beberapa orang duduk di kursi kayu yang terlihat tua, termasuk Asep yang duduk di ujung ruangan dengan tatapan penuh dendam. Nisa menuntun Ais menuju tempat duduk yang paling jauh dari Asep, berusaha menjaga jarak. Tak ada rasa takut di hati Nisa, hanya rasa muak pada lelaki yang pernah menjadi suaminya itu. Kini, Asep hanyalah bayangan dari masa lalunya yang kelam, seorang pria yang sudah jatuh miskin dan kehilangan segalanya. "Sini, duduk dulu, Sayang," ujar Nis
Matahari baru saja terbit ketika Nisa menyiapkan sarapan di dapur. Pikirannya masih terbelah antara ketegangan yang dirasakan kemarin di pengadilan dan kecemasannya tentang mediasi yang akan mereka hadapi hari ini. Meskipun ia merasa kuat dan yakin bahwa hukum berada di pihaknya, tetap saja ada rasa gelisah yang merayap di hatinya.Ais, yang baru selesai mandi, muncul dengan rambut yang masih basah dan handuk kecil menggantung di lehernya. Gadis kecil itu terlihat lebih tenang hari ini, meski Nisa tahu bahwa dalam hatinya, Ais masih merasa takut."Bu, hari ini kita ke pengadilan lagi?" tanya Ais dengan suara lembut."Iya, Sayang. Kita harus bertemu lagi dengan Ayah untuk mediasi," jawab Nisa sambil tersenyum, mencoba memberikan ketenangan.Ais mengangguk, meski jelas bahwa dia tidak suka dengan rencana itu. "Om Ryan nggak datang hari ini?"Nisa menggeleng. "Nggak, Sayang. Om Ryan harus kerja di pabrik. Tapi beliau titip salam buat Ais, katanya Ais harus jadi anak pemberani."Mendengar
Pagi itu, Nisa bangun lebih awal dari biasanya. Setelah mempersiapkan sarapan sederhana, ia menyiapkan seragam Ais dan mengecek ulang tas sekolah putrinya. Hari ini adalah hari penting, bukan hanya karena Nisa harus bekerja, tetapi juga karena tekanan dari sidang perceraian yang semakin mendekat. Namun, ia mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu banyak, fokus pada apa yang bisa ia kendalikan.“Nak, ayo bangun, sudah hampir waktu berangkat sekolah,” ujar Nisa lembut saat membangunkan Ais.Ais menggeliat sebentar sebelum membuka matanya dan tersenyum melihat ibunya. "Pagi, Bu.""Pagi, Sayang. Ayo, Ibu sudah siapin sarapan, nanti kita bisa berangkat lebih cepat," Nisa mengusap kepala Ais dengan sayang.Tak butuh waktu lama bagi Ais untuk bersiap. Gadis kecil itu duduk di meja makan dengan wajah ceria, meski Nisa bisa merasakan ada sedikit ketegangan di balik senyum putrinya.“Bu, nanti Ais dijemput siapa sepulang sekolah?” tanya Ais sambil mengunyah roti bakarnya.“Ibu sudah minta Pak
Pagi itu, suasana desa terasa lebih riuh dari biasanya. Nisa, yang baru saja selesai mengantar Ais ke sekolah, berjalan cepat menuju pabrik. Langkahnya tergesa, bukan karena dikejar waktu, tetapi karena perasaan tak nyaman yang terus menggelayut di hatinya. Sejak meninggalkan rumah tadi, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Tatapan tetangga yang biasanya ramah kini tampak menghindar, seolah ada sesuatu yang ingin mereka katakan tapi tak berani.Setibanya di pabrik, Nisa langsung disambut oleh beberapa pekerja yang memulai aktivitas mereka. Namun, ada sesuatu yang aneh dalam cara mereka menyapa. Sapaan yang biasanya disertai senyum tulus, kini terasa dingin dan penuh keraguan. Nisa mencoba mengabaikannya, berpikir mungkin hanya perasaannya saja."Nisa, ada rapat pagi ini dengan Pak Ryan. Kita harus menyelesaikan laporan mingguan," kata Andi, yang baru saja datang dan berjalan bersamanya menuju kantor.Nisa mengangguk. "Iya, Ndi. Sudah siap kok."Saat mereka berjalan berdampingan, And