"Oh iya satu lagi, ternyata---""Berhenti, Pak!" Ketika Siti belum menyelesaikan ucapannya, Reni berteriak dan langsung pak sopir berhenti. Ternyata saking serunya mereka berbincang, sampai lupa jika tujuan mereka sudah dekat.Langsung saja kedua wanita itu turun dari angkot."Sial!" Eka langsung mengumpat dengan lirih. "Kan ceritanya belum selesai, kenapa mereka malah turun sih?!" Istri kedua Asep itu malah uring uringan. Ketika dia sedang mendengarkan dengan seksama, malah si sumber berita turun. Eka sepertinya juga ingin turun menyusul kedua wanita itu. Tetapi diurungkan, sepertinya dia punya pertimbangan yang lain.Akhirnya Eka pun hanya bisa diam menyimpan rasa penasaran itu, kini hanya tinggal dia dan pak sopir saja dalam angkot itu."Pak turun di perempatan depan ya." Tak berselang lama, Eka pun memilih untuk turun. Padahal sebenarnya tujuan dia sudah lewat jauh tadi.Sopir menghentikan angkotnya dan Eka pun turun. Sesaat dia terdiam seperti tak punya tujuan. Lalu dia dud
"Kamu ... tau dari mana?"Sembari tersenyum kecut, Eka langsung menceritakan semuanya. Apa yang dia dengar dari dua wanita itu."Tidak! Aku tak akan membiarkan Nisa bahagia dengan orang lain!"*Apa yang diceritakan oleh Eka tadi, benar benar seperti sebuah pukulan telak bagi Asep."Bajingan! Kurang ajar!"Pria itu pun semakin uring uringan saja. Sudahlah selesai ditolak mentah mentah oleh Nisa, kini malah sebuah kenyataan buruk harus kembali dia terima.Pantas saja Nusa tak mau lagi menerima dia, karena ternyata memang sudah ada penggantinya. Dia juga merasa benar benar kecolongan. "Siapa sih yang nggak mau didekati orang kaya yang tampan banget?" Eka masih berada di ujung telepon. Wanita licik ini tentu tak akan pernah membiarkan Nisa hidup enak. Tidak sama sekali. Ketika dia merasa jika tak bisa melakukan sesuatu sendiri, maka dia pun akan mencari kolega. Dan, merasa jika Asep adalah pilihan yang tepat.Ketika Asep masih terdiam, Eka pun terus sja berucap hal yang dirasa bisa me
"Asep! Kamu mau kemana lagi?" Bu Rika berteriak seperti biasanya. "Dasar nggak punya akhlak, diajak ngomong orang tua malah pergi!"Teriakan ibunya yang semakin membahana, tak mempan sama sekali bagi Asep saat ini. Dia tetap saja pergi dengan dada yang penuh rasa emosi."Ini semua gara gara Nisa! Dia yang sudah bikin anakku jadi kayak gini!"Bu Rika berkacak pinggang di depan pintu rumahnya sambil mendelik. Apa pun keburukan yang terjadi dalam hidupnya dan juga Asep, tentu saja yang disalahkan tetap Nisa. "Awas saja kamu ya. Aku akan buat perhitungan!" Bu Rika masih berteriak.Wanita paruh baya itu pun keluar dan mengambil baju Asep yang diletakkan di luar secara sembarangan, setelahnya dia ingin masuk ke dalam."Rika ... kamu itu kenapa sih terus saja teriak teriak?!" Suara seorang wanita dari samping sontak membuat Bu Rika menoleh.Bu Rika tahu siapa pemilik suara itu. "Jengkel aku itu sama Asep, Mbak."Ternyata yang mengacak bicara adalah Bu Eni, kakak kandung Bu Rika, yang meman
"Eka?!"Bu Rika sedikit terpekik melihat menantu keduanya itu turun dari angkot, setelah sekian minggu tidak bertemu.Eka tersenyum simpul dan menyalami kedua wanita paruh baya itu."Eka ... lama ndak jumpa ya." Bu Eni tetap selalu ramah seperti biasanya.Meski tidak suka dengan apa yang diakukan oleh Asep dan Eka, tetapi Dia selalu berusaha bersikap baik pada semua orang. Pun dia selalu berusaha untuk tak mencampuri urusan orang lain. Hanya sekedar nasehat saja yang dj diberikan. Kecuali orang orang tersebut meminta dia untuk membantu memberikan solusi untuk suatu masalah.Tetapi karena bu Rika adalah adik kandungnya sendiri, dia juga berusaha untuk memberikan nasehat, tetapi pun itu tak melewati batas wajar."Iya, Bude." Eka menganguk dan tersenyum lagi.Bu Rika nampak senang melihat Eka. "Kamu kemana aja sih, kok kayak hilang di telan bumi begitu." Sepertinya wanita paruh baya ini tak menyangka jika Eka akan datang.Bu Rika sebenarnya masih begitu mengharapkan Eka, hanya saja perem
"Benar memang begitu adanya. Saranku sih, kamu nggak usah balik lagi kesini. Karena Nisa pantas mendapatkan pria yang lebih baik, dari pada hanya seorang sampah masyarakat seperti kamu."Rasa amarah dan juga sakit hati dirasakan oleh Asep saat ini. Tetapi dia lebih memilih untuk diam, karena memang itu lah kenyataanya. "Kenapa kamu diam, Sep? Salah ya omonganku tadi?" Joko memandang sinis ke arah Asep.Bukan hanya Joko yang membenci pria itu, tetapi rasanya semua warga kampung pun merasakan hal yang sama. Mereka semua tahu seperti apa Nisa yang selama ini telah berusaha untuk membanting tulang untuk memberikan nafkah untuk keluarga. Nisa yang kalem dan dikenal baik hati dan ramah. Tapi apa yang didapatkan? Malah pengkhianatan yang begitu besar.Bukan hanya itu, para warga juga teramat geram karena perlakuan Asep dan Eka pada Ais."Saranku sih, lebih baik kamu sekarang juga pergi dari kampung ini." Intonasi bicara Joko kini semakin tak bersahabat saja. "Karena, semua warga masih in
Tiba tiba, dari arah dalam proyek ke luar semua mobil sedan mewah berwarna putih metalik. "Nah, itu si bos besar yang pasti bersama dengan Bu Nisa. Sepertinya mereka berdua akan menjemput Ais ke sekolah."Pria tua itu berucap dengan wajah yang nampak hormat. Terang saja, bos besar itu meski terlihat dingin, tetapi sebenarnya begitu baik pada semua pekerja. Pun bos Ryan juga sangat royal. Tak jarang ketika waktu gajian, maka para pekerja yang rajin akan selalu diberi bonus."Bu Nisa bersama dengan bos?" Asep seperti perlu memperjelas indra pendengarannya. Pak tua segera mengangguk. "Pokoknya Bu Nisa itu sangat beruntung, diperlakukan bos besar seperti seorang ratu. Sayangnya, beliau sepertinya belum membuka hati."Asep terasa nyeri di dalam hati. Matanya dari tadi tak luput dari mobil mewah itu, yang saat ini sedang berhenti sejenak. Karena si sopir sedang turun."Apa Bu Nisa nggak punya suami?" Asep kembali bertanya."Kata orang sini sih punya. Tapi tepatnya sebentar lagi jadi jand
"Bu. Om Ryan itu baik banget. Ais suka."Gadis kecil itu berseloroh setelah selesai belajar. Nisa menghela nafas panjang dan tersenyum. Ini bukan kali pertama sang anak mengucapkan kalimat yang sama."Iya, beliau memang baik sekali."Tak dipungkiri, Nisa atau bahkan orang lain pun bisa melihat kebaikan dari pria bule itu. Kebaikan tulus yang diberikan pada semua orang. Tetapi memang terlihat berbeda sekali dengan yang dicurahkan pada Nisa dan Ais.Ais pun dengan cepatnya kemudian membeberkan semua kebaikan dan perhatian yang diberikan oleh Ryan. Meski pun beberapa hal Nisa sudah melihat sendiri, tetapi Dia tetap mendengarkan dengan baik celoteh putrinya itu."Beda banget sama Ayah." Tiba tiba raut wajah gadis kecil itu berubah kesal. "Jahat."Nisa mendengus pelan mendengar hal itu. Jika mengatakan tentang Ryan, memang selalu pada ujung ujungnya Ais akan membandingkan dengan Asep. Tak salah sih sebenarnya, memang begitu keadaannya. "Harusnya dulu ibu menikah bukan dengan Ayah, harusn
"Bu, aku nggak mau ketemu Ayah." Ais menarik tangan Nisa dengan wajah kecilnya yang penuh kegelisahan. Langkah mereka mendekati gedung pengadilan yang lusuh di ujung jalan, membuat Nisa merasa sesak di dada. Namun, dia tetap tenang, berusaha menunjukkan kekuatannya di depan Ais. "Ayah nggak bisa apa-apa, Sayang. Ibu yang akan melindungi Ais," jawab Nisa sambil tersenyum lembut, berusaha menenangkan putrinya. Mereka melangkah ke dalam gedung yang sepi, di mana suara pintu tua berderit menyambut mereka. Di dalam, sudah ada beberapa orang duduk di kursi kayu yang terlihat tua, termasuk Asep yang duduk di ujung ruangan dengan tatapan penuh dendam. Nisa menuntun Ais menuju tempat duduk yang paling jauh dari Asep, berusaha menjaga jarak. Tak ada rasa takut di hati Nisa, hanya rasa muak pada lelaki yang pernah menjadi suaminya itu. Kini, Asep hanyalah bayangan dari masa lalunya yang kelam, seorang pria yang sudah jatuh miskin dan kehilangan segalanya. "Sini, duduk dulu, Sayang," ujar Nis