"Terima kasih banyak, Pak." Dengan wajah yang terlihat puas dan dengan senyuman yang berkembang, Nisa akan segera mengakhiri obrolan melalui sambungan telepon itu."Tentu, saya akan lakukan sebaik mungkin." "Pokoknya saya juga masih terus butuh bantuan dari Pak Hendra. Semoga segera menghasilkan keputusan yang baik.Telepon akhirnya diakhiri.Nisa memejamkan matanya untuk beberapa saat."Akhirnya ... mudahkanlah segalanya ya Allah."Ternyata yang menelepon tadi adalah Pak Hendra, pengacara yang disewa oleh Nisa untuk mengurus perceraiannya. Hendra adalah pengacara yang sudah punya nama di kota ini. Saat pulang kampung dan mendengar cerita dari Bu Endang, dulu, Nisa pun langsung saat itu juga menelpon si pengacara. Banyak bukti yang dikumpulkan, tentu akan sangat memudahkan jalannya untuk berpisah dengan Asep. Kabar jika sidang pertama untuk kasus perceraian itu, sudah membuat Nisa amat senang."Mudahkanlah ya Allah. Tolong undangan." Masih sambil memejamkan mata sesaat, Nisa berdo
"Ehemm."Si sopir sekaligus assisten pribadi Ryan, Dio, berdehem ketika sejak beberapa saat yang lalu, menengok dari kaca spion bagian dalam, si bos nampak menghadap ke luar jendela sambil tersenyum.Tetapi nyatanya hal itu sama sekali tak menganggu Ryan."Apa pemandangan di luar sana begitu indah? Sehingga Tuan dari tadi terus tersenyum?" Dio kembali bertanya dengan senyum dikulum.Bukan berlaku kurang ajar, tetapi memang keduanya sekarang lebih dekat dari seorang majikan dan pekerja. Karena itu memang yang diinginkan Ryan, menganggap Dio sebagai teman Kali ini, ternyata kalimat itu mengusik Ryan. Pria berwajah tegas itu nampak sedikit terkejut, lalu tersenyum."Ya ... Begitu indah." Ryan sesaat menoleh pada Dio, tapi kembali menatap ke arah luar.Dio semakin melebarkan senyumannya. Meski dia tak puas dengan jawaban yang diberikan Ryan, tentu saja tak sopan rasanya jika harus bertanya lagi. Karena dia sudah tahu sebenarnya jawaban yang pasti.Setiap hari bersama, membuat dia tahu pe
"Maafkan aku, Ryan. Aku tadi hanya ---"Ryan yang masih menatap Nisa, langsung memotong kalimat permintaan maaf Nisa."Apa kamu menyukai Andi?"Nisa yang dari tadi masih sedikit menunduk, pun akhirnya langsung menengadah ke atas mendengar perkataan dari Si bos besar itu."S-suka?" Nisa hampir tak percaya Ryan menanyakan hal itu, karena itu ada dalam ranah pribadinya. Ryan tak menjawab. Tetapi pria itu malah terus menatap Nisa dengan wajah yang begitu dingin."Oh .. emmm ... dia itu teman lama saya."Meski tanpa ditanya lagi, Nisa terus terang saja. Karena memang merasa bersalah. "Kami berbincang belum ada satu menit."Sementara di tempat yang sedikit jauh, Andi seperti berbincang dengan seorang pekerja, namun fokusnya pecah. Dia bahkan beberapa kali mencuri pandang pada Nisa lewat sudut matanya. Pria itu nampak khawatir. "Kembali bekerja dengan baik." Beberapa saat terdiam sambil masih menatap Nisa, akhirnya Ryan pun berucap. Setelahnya, langsung meninggalkan Nisa yang masih ber
"Kamu dari mana Sep? Nyari kerja?"Bu Rika bertanya pada sang anak yang baru pulang setelah semalam tak terlihat batang hidungnya.Asep mendengus kasar. "Jalan jalan, Bu." Pria yang semakin hari nampak semakin kusut itu, seperti malas sekali memberikan jawaban.Bu Rika pun tak mau ketinggalan, dia pun ikut mendengus dengan kasar. "Jalan jalan terus saja yang ada di dalam pikiran kamu ini, Sep! Capek ibu dengarnya!"Setiap hari, memang hal seperti itu menjadi pemandangan sehari hari di rumah mungil, yang terlihat seperti tak berpenghuni itu. Ibu dan anak itu nampak tak pernah akur. Berbeda sekali saat Nisa masih bekerja di luar negeri dahulu, Asep dan Bu Rika nampak begitu bahagia dan tak pernah bertengkar. Tentu karena uang lah penyebab segalanya."Hufft!"Tak mendengarkan ibunya yang terus memgomel sejak tadi, Asep pun menyenderkan kepala pada sofa sembari memejamkan mata.Plakk Bu Rika semakin geram saja melihat kelakuan putranya itu. Dia langsung memukul paha sang anak dengan kera
"Sudahlah Mas, cukup ya. Mau sampai kamu nangis darah atau kamu mau bunuh diri, nggak bakal mengubah keputusanku."Asep menggigit bibir bawahnya, dia tak menyangka Nisa setega itu."Nis, setega itu kah kamu sama aku?" Nyatanya, Asep masih mencoba meminta belas kasih. "Bertahun kita hidup berdua, kita bahagia. Apa pernah aku berkhianat? Aku selalu berusaha untuk membahagiakan kamu bukan?"Nisa spontan mendengus dan menarik sudut bibirnya. "Apa kamu pernah bertanya? Bahagia kah aku dulu hidup dengan kamu?" Nisa mendecih. "Makanya, jangan terus menutup mata, Mas."Emosi mulai menyelimuti hati Nisa yang tadi sempat mereda. Tanpa menunggu tanggapan dari Asep, dia dengan vokal langsung mengutarakan isi hati yang selama ini telah terpendam. Tentang seperti apa perlakuan Asep saat mereka masih menjadi suami istri dan juga perlakuan Bu Rika yang memang tak suka pada menantunya itu."Ah sudahlah, Mas. Rasanya tak ada yang perlu untuk dibahas lagi. Semua sudah basi." Nisa kembali mencoba untuk
Sebuah angkot membawa wanita itu pergi, entah kemana tujuannya, yang pasti sepertinya dia begitu bersemangat."Nisa?"Matanya terbelalak saat melihat Nisa berada di depan sekolah Ais. Kebetulan saat itu Nisa sedang bertelepon dengan Asep.Tanpa berkedip, dia terus melihat pada wanita yang telah dikhianati itu."Stop, Pak!"Sebuah teriakan dari salah satu penumpang, sempat membuyarkan lamunan Eka. Spontan supir langsung mengerem. Seperti sebuah keberuntungan, angkot itu berhenti di sisi jalan tempat Nisa.Eka tak membuang kesempatan untuk meneliti wanita itu. "Kenapa dia rapi sekali?" ucap Eka sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan, tak ingin jika sampai terlihat oleh Nisa.Untung saja saat ini ibunda Ais itu sedang asyik bertelepon. Wajahnya juga nampak serius.Eka mengigit bibir bawahnya. Di pikirannya, seperti sebuah kaset yang terulang. Memori yang sekitar satu bulan ini telah coba dia hilangkan, seperti bangkit kembali. Banyak perasaan bercampur aduk disana."Sepertinya,
"Tapi nggak apa apa sih, sepertinya itu adalah jalan dari Tuhan. Mbak Nisa pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia akan bersinar tanpa para pengkhianat itu. Buktinya, sekarang dia malah jadi mandor kan di proyek besar itu. Yang bosnya bule ganteng itu."Kening Eka langsung naik mendengar hal itu. 'Nisa jadi mandor? Bos bule?'Tanpa sadar, Eka langsung menoleh pada Siti. Saat itu juga pandangan keduanya sempat beradu. Tetapi Eka langsung mengalihkan pandangan lagi. Tentu dia tak ingin jika ada yang curiga padanya.Sementara Siti, mulai memperhatikan Eka. Mungkin dia merasa pernah melihat wanita itu. "Bos bule? Wah aku mau dong ketemu." Suara Reni mengalihkan pandangan Siti. "Aku kan janda, siapa tahu bisa berjodoh dengan dia." Wajah Reni berbinar dan penuh harap saat mengatakan hal itu.Siti yang tadi terlihat tegang, spontan tertawa. "Nggak mungkin tuh si bos bule ganteng kepincut sama kamu. Ngaca!" Gelak tawanya membahana memenuhi angkot yang hanya berisi empat orang tersebut.Re
"Oh iya satu lagi, ternyata---""Berhenti, Pak!" Ketika Siti belum menyelesaikan ucapannya, Reni berteriak dan langsung pak sopir berhenti. Ternyata saking serunya mereka berbincang, sampai lupa jika tujuan mereka sudah dekat.Langsung saja kedua wanita itu turun dari angkot."Sial!" Eka langsung mengumpat dengan lirih. "Kan ceritanya belum selesai, kenapa mereka malah turun sih?!" Istri kedua Asep itu malah uring uringan. Ketika dia sedang mendengarkan dengan seksama, malah si sumber berita turun. Eka sepertinya juga ingin turun menyusul kedua wanita itu. Tetapi diurungkan, sepertinya dia punya pertimbangan yang lain.Akhirnya Eka pun hanya bisa diam menyimpan rasa penasaran itu, kini hanya tinggal dia dan pak sopir saja dalam angkot itu."Pak turun di perempatan depan ya." Tak berselang lama, Eka pun memilih untuk turun. Padahal sebenarnya tujuan dia sudah lewat jauh tadi.Sopir menghentikan angkotnya dan Eka pun turun. Sesaat dia terdiam seperti tak punya tujuan. Lalu dia dud