Livy menoleh. “Ya?” sahutnya pelan.“Ahm…” Kay diserang keraguan. “Ah, tidak, terima kasih,” ucapnya mengakhiri.Sesaat Livy terdiam. Dia pun melanjutkan kembali langkahnya untuk keluar kamar, tanpa ada pembahasan lebih jauh dari apa yang Richard sampaikan pada mereka.Bahkan sampai hari-hari berikutnya, apa yang Richard ucapkan sore itu masih tidak menunjukkan kemajuan. Keduanya masih sama-sama hening, seolah memang tidak ada yang harus dibicarakan. Atau mungkin memang tidak akan mungkin untuk dibahas lagi?Sampai hari berikutnya saat Kay belum pulang dari kantornya sore itu. Tirai tipis menari perlahan terkena angin dari jendela yang terbuka sebagian. Di ruang tengah, Livy duduk di sofa, membalik halaman buku yang bahkan tak betul-betul dibacanya. Matanya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Richard datang dengan dua cangkir teh hangat, aroma melatinya lembut dan menenangkan."Minum dulu Livy," ucap Richard sembari duduk di seberang Livy, meletakkan satu cangkir di meja kecil
“Me- mengantar ke kamarnya? I- itu terlalu berlebihan, Pa.” Pipi Livy merona.“Tidak Livy…” Richard mengangkat tangannya seakan ingin merangkul Livy, menyuruhnya untuk duduk.Livy kembali duduk. Dia terdiam.“Itu tidak berlebihan. Apa yang baru saja kamu tawarkan, itu benar dari hatimu. Itulah perhatian yang selama ini terkubur dalam karena luka yang luar biasa.” Richard mengingatkan.Di dalam hati, Livy membenarkan ucapan pria tua yang hebat itu. Namun, kenyataan menamparnya dan membuatnya tersadar. Tidak mungkin semua bisa kembali seperti dulu.“Sudah… jangan banyak berpikir. Cepat buatkan teh jahenya. Kay pasti merasa sedang bermimpi sekarang. Bawa teh itu jangan biarkan dia bermimpi terlalu jauh,” kekeh Richard, berpesan, tapi dengan cara yang ringan.Livy mengangguk canggung. Dia beranjak dan segera menuju dapur.Di dalam kamar, Kay membuka bajunya dengan senyum semringah. Dia sangat senang mendengar ucapan Livy yang begitu lembut dan penuh perhatian. Wanita itu menawarinya teh.
Tak berkata apa-apa lagi, setelah terkejut, Livy langsung berjalan cepat, seakan tidak tejadi apa-apa. Langkahnya cepat meninggalkan bagian depan kamar Kay, dan berlari cepat menuruni tangga. Kay masih terkekeh melihat ekspresi Livy. Ia pun tersenyum dan terdiam sambil menggelengkan kepala. Sayangnya, kebahagiaan itu masih terasa jauh. Entah bisa dicapai atau tidak. Mungkinkah ia bisa membangunnya kembali. Ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Di pinggiran tempat tidurnya, dia duduk. Tubuhnya masih hanya dibalut handuk. Ia meraih gelas yang berisi teh buatan Livy. Aromanya menyeruak menggoda penciuman Kay. Segar dan menyehatkan. Ia menghirupnya dengan senyuman. Ia memejamkan mata lalu perlahan menyesapnya. Seketika Kay merasa lebih kuat. Bukan karena minuman itu berisi ramuan ajaib seperti di cerita-cerita fiksi, melainkan karena ia teringat akan siapa yang membuatnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya. Ia merasa teh jahe itu jauh lebih hangat lagi. Livy yang sudah sampai
“Sabar ya Sayang… Mama akan berusaha mendapatkan uang segera. Kamu bertahan ya?” Livyna mengusap jejak airmata ketika melihat kondisi anaknya kian hari kian parah. Bayi tujuh bulan itu didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus, penyempitan saluran di antara lambung dan usus dua belas jari. Hal itu membuat bayinya tidak bisa mencerna makanan dan minuman dengan baik. Dia hanya bisa meminum ASI, yang tentu saja sudah tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi hariannya. Kondisi bayinya bisa makin memburuk jika tidak segera ditangani. “Tuhan… aku harus mendapatkan uang dari mana?” batin Livy menangis. Dia tidak kuat melihat kondisi anaknya. Hidup yang dulunya kaya dan mentereng, kini miskin dan sebatang kara. Perusahaan keluarga bangkrut dan terlilit hutang. Kedua orang tuanya meninggal dalam jarak satu tahun. Setelah tiga bulan pasca melahirkan, suaminya pun pergi menghilang entah ke mana. Siang harinya, ketika Livy hendak membeli makan, tiba-tiba wanita cantik itu tidak sengaja menginjak
“Maaf Ibu Livy, kami belum bisa memberikan kontrak kerja.” Detik itu, Livy langsung bersimpuh di kaki Kay yang ingin segera berlalu. Pria yang dulu hangat itu kini terlihat begitu angkuh. Bahkan, tidak peduli pada air mata Livy yang kini tengah merengek di bawah kakinya. “Kay… aku mohon! Izinkan aku menyusui Albern. Aku butuh pekerjaan ini. Aku mohon….” Dia sudah berharap akan mendapatkan pekerjaan ini demi anaknya. Bahkan dia tidak peduli meski dia harus dihinakan oleh mantan kekasihnya itu. “Apa kau pikir aku akan percaya pada perkataan wanita sepertimu?” kata Kai sambil menggerakkan kakinya, melepas cekalan tangan Livy di sana. “Pergi dari sini, Jalang! Aku tidak sudi melihat wajahmu!” Setelah itu, Kay pergi, meninggalkan Livy yang terisak diiringi tatapan kasihan dokter dan perawat. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi. Keputusan Kay adalah mutlak. Dalam perjalanan pulangnya, Livy mengingat kembali bagaimana hubungannya dan Kay di masa lalu. Hubungan yang t
“Terima kasih! Terima kasih, Kay!” Karena terlalu senang, Livy sampai melonjak kegirangan usai seorang perawat memberikannya sebuah kontrak kerja. Kay langsung menatap Livy dengan tatapan yang tajam. “Ingat statusmu, dan panggil aku Tuan Kay!” Hal itu membuat Livy seketika terdiam. “Maaf. Ba- baik, Tuan Kay!” Livy menunduk, tanda memahami dan menghormati Kay sebagai majikannya. Pria itu berlalu, sementara Livy masih berhadapan dengan dokter dan suster anak yang menangani Albern secara khusus. Sembari mengantar Livy pulang kembali ke rumah sakit, dokter anak pribadi Albern itu menanyakan sesuatu yang membuat Livy terhenyak sesaat. “Anak Ibu sakit apa?” tanya Dokter Rico. “Anak saya…” Awalnya Livy ingin jujur. Tetapi, dia khawatir jika memberi tahu penyakit anaknya akan berakibat pemutusan kontrak, Livy pun memutuskan untuk berbohong. “Anak saya demam, Dok.” Livy berani berbohong, sebab dia tahu betul penyakit anaknya bukanlah penyakit menular. Sehingga, pun dia menyembunyikan ke
“Ibu Livy? Sebenarnya anak Ibu sakit apa?” Livy yang tengah menunggu di depan ruang tindakan mendongak saat mendengar seseorang berhenti di hadapannya. Dokter Rico, pria itu terlihat khawatir ketika menemukan Livy tengah menangis dengan kondisi yang memilukan seorang diri. “Anak saya kritis, Dok….” Livy pun akhirnya bercerita jujur pada Dokter Rico mengenai penyakit Fabian yang didiagnosa mengalami Stenosis Pilorus. Wajah Dokter Rico terlihat semakin khawatir. Untuk itu, tanpa Livy tahu, Rico mengambil jarak dan melaporkannya pada Kay. Di rumah, Kay sempat terdiam setelah mendengar penjelasan mengerikan dari Rico ‘Jadi, sebenarnya dia membutuhkan uang untuk biaya operasi anaknya?’ batinnya. Kini dia paham, untuk apa Livy mengemis bantuannya berkali-kali. “Temui dokternya dan katakan untuk segera lakukan operasi. Saya akan tanggung biayanya,” jelas Kay mengakhiri panggilan. Tak lama setelah itu, dokter yang memeriksa Fabian keluar dari ruangan. “Fabian harus segera dioperasi, j
“Jaga sikapmu!” Kay langsung menangkap dan mencengkeram dagu Livy. “Kau lupa, kau siapa?! Mengapa kau menyalahkanku? Dengar! Aku tidak punya kewajiban untuk anakmu!” “Aku tidak menyalahkanmu. Tapi, apa kau juga lupa kalau hanya aku yang bisa menyusui anakmu?” tanya Livy dengan beraninya. Kay tersenyum miring. Wajahnya terlihat benar-benar bengis. Ia bahkan tidak peduli dengan tatapan pedih Livy dan mata yang sembab. Ia melepas dagu Livy yang dicengkeramnya dengan kasar. “Lalu, kau mau apa?” balas Kay. Ia memperbaiki kerah dan lengan bajunya. “Aku bisa saja meninggalkan pekerjaanku sebagai Ibu Susu anakmu!” ancam Livy. “Oh ya? Sepertinya kau tidak membaca perjanjian kerja itu secara menyeluruh. Kalau bukan dokter Rico yang mengatakan kau sudah tidak bisa menyusui, atau Albern sudah tidak butuh Ibu Susu lagi, maka kau tidak bisa berhenti dari pekerjaan ini. Atau kau akan didenda. Apa kau tidak membaca itu? Dan kalau kau tidak bisa membayar dendanya, kau akan dipenjara!” Wajah
Tak berkata apa-apa lagi, setelah terkejut, Livy langsung berjalan cepat, seakan tidak tejadi apa-apa. Langkahnya cepat meninggalkan bagian depan kamar Kay, dan berlari cepat menuruni tangga. Kay masih terkekeh melihat ekspresi Livy. Ia pun tersenyum dan terdiam sambil menggelengkan kepala. Sayangnya, kebahagiaan itu masih terasa jauh. Entah bisa dicapai atau tidak. Mungkinkah ia bisa membangunnya kembali. Ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Di pinggiran tempat tidurnya, dia duduk. Tubuhnya masih hanya dibalut handuk. Ia meraih gelas yang berisi teh buatan Livy. Aromanya menyeruak menggoda penciuman Kay. Segar dan menyehatkan. Ia menghirupnya dengan senyuman. Ia memejamkan mata lalu perlahan menyesapnya. Seketika Kay merasa lebih kuat. Bukan karena minuman itu berisi ramuan ajaib seperti di cerita-cerita fiksi, melainkan karena ia teringat akan siapa yang membuatnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya. Ia merasa teh jahe itu jauh lebih hangat lagi. Livy yang sudah sampai
“Me- mengantar ke kamarnya? I- itu terlalu berlebihan, Pa.” Pipi Livy merona.“Tidak Livy…” Richard mengangkat tangannya seakan ingin merangkul Livy, menyuruhnya untuk duduk.Livy kembali duduk. Dia terdiam.“Itu tidak berlebihan. Apa yang baru saja kamu tawarkan, itu benar dari hatimu. Itulah perhatian yang selama ini terkubur dalam karena luka yang luar biasa.” Richard mengingatkan.Di dalam hati, Livy membenarkan ucapan pria tua yang hebat itu. Namun, kenyataan menamparnya dan membuatnya tersadar. Tidak mungkin semua bisa kembali seperti dulu.“Sudah… jangan banyak berpikir. Cepat buatkan teh jahenya. Kay pasti merasa sedang bermimpi sekarang. Bawa teh itu jangan biarkan dia bermimpi terlalu jauh,” kekeh Richard, berpesan, tapi dengan cara yang ringan.Livy mengangguk canggung. Dia beranjak dan segera menuju dapur.Di dalam kamar, Kay membuka bajunya dengan senyum semringah. Dia sangat senang mendengar ucapan Livy yang begitu lembut dan penuh perhatian. Wanita itu menawarinya teh.
Livy menoleh. “Ya?” sahutnya pelan.“Ahm…” Kay diserang keraguan. “Ah, tidak, terima kasih,” ucapnya mengakhiri.Sesaat Livy terdiam. Dia pun melanjutkan kembali langkahnya untuk keluar kamar, tanpa ada pembahasan lebih jauh dari apa yang Richard sampaikan pada mereka.Bahkan sampai hari-hari berikutnya, apa yang Richard ucapkan sore itu masih tidak menunjukkan kemajuan. Keduanya masih sama-sama hening, seolah memang tidak ada yang harus dibicarakan. Atau mungkin memang tidak akan mungkin untuk dibahas lagi?Sampai hari berikutnya saat Kay belum pulang dari kantornya sore itu. Tirai tipis menari perlahan terkena angin dari jendela yang terbuka sebagian. Di ruang tengah, Livy duduk di sofa, membalik halaman buku yang bahkan tak betul-betul dibacanya. Matanya kosong, pikirannya entah melayang ke mana. Richard datang dengan dua cangkir teh hangat, aroma melatinya lembut dan menenangkan."Minum dulu Livy," ucap Richard sembari duduk di seberang Livy, meletakkan satu cangkir di meja kecil
“Jangan banyak bicara kamu!” ketus Livy. Dia langsung bergerak mendekati obat Kay yang ada di atas nakas. Dia segera memberikannya obat. Sementara itu Kay masih tersenyum. Dia seperti sedang melihat hubungan mereka di masa lalu. Bagaimana Livy memperhatikannya. Namun, kali ini, walau ketus dan canggung, perhatian itu justru terasa berkali-kali lipat. “Cepat minum obatmu!” suruh Livy, menyodorkan pil pada Kay. Kay duduk. Dia bersandar di kepala tempat tidur lalu meminum obatnya. “Terima kasih,” ucap Kay. Livy yang memegang gelas dan membantunya minum, segera ingin menjauhkan tangannya. Namun, Kay tiba-tiba menangkap tangannya yang sedang menggenggam gelas itu. Reflek Livy menatap tangan kay yang menggenggam tangannya. Lalu dia menatap Kay. “Aku masih ingin minum,” ucap Kay. Dia pun mengarahkan bibirnya ke pinggiran gelas sedangkan tangannya itu, masih memegang tangan Livy yang menggenggam gelas itu. Selesai. Livy memaku. Dia kembali segera ingin meletakkan gelas itu. Namun, sek
Beberapa hari setelah kehangatan kecil di kantor itu, rutinitas kembali berjalan biasa.Livy lebih sering menemani Albern bermain di area bermain rumah, sementara Kay belakangan malah sering pulang cukup malam.Kadang-kadang mereka bertemu sekilas di ruang makan atau lorong, tapi tetap menjaga jarak dalam canggung yang sebenarnya terasa semakin ... nyaman.Seperti saat ini.“Pulang larut lagi?” sapa Richard yang baru dari dapur.“Iya Pa.”Livy yang baru saja keluar dari kamar Albern, mendengar percakapan itu.“Belakangan kantor sangat sibuk, Pa. Sebenarnya tidak semalam ini, tapi aku memilih ke gym dulu sebelum pulang ke rumah.”Richard menepuk-nepuk bahu Kay. “Jaga kesehatan,” ucapnya.Kay berjalan. Dia ingin ke kemar Albern. Dia pun bertemu dengan Kay.“Belum tidur?” sapanya.“Ini mau tidur. Tadi Albern sempat menangis,” ucap Livy.“Ohh ya… Selamat beristirahat,” ucap Kay, halus.Livy mengangguk. “Kamu juga,” balasnya. Dia pun menghilang ke dalam kamarnya.Baru saja Richard menginga
Livy langsung melepas Kay. Dia kesal tapi dia canggung. Ia memindahkan tatapannya dari Kay ke kakinya.“Sakit ya?” tanya Kay lembut. Dia ingin menyentuh kaki Livy, namun Livy segera menjauhkannya.“Tidak. Tidak terlalu sakit. Tidak apa-apa,” ucap Livy.Suasana menjadi sangat canggung."Jangan dipaksakan. Nanti aku panggilkan dokter," kata Kay.Livy hanya mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa panas di pipinya. Ia memalingkan wajah, berusaha terlihat acuh.Saat itu, Albern yang sejak tadi berguling-guling di tempat tidur, kembali berdiri dan melompat-lompat. Dengan langkah goyah khas bayi, dia memeluk Livy.“Al… hati-hati, kaki Mama sedang sakit,” ucap Kay, memberi tahu anaknya.Tiba-tiba, Albern juga meraih wajah Kay, menariknya mendekat, lalu mengecup pipi mereka berdua bergantian. Dengan suara kecupan basah khas anak kecil.Livy membeku. Kay pun begitu.Mata mereka bertemu.Untuk sepersekian detik, semua keheningan, luka, dan kesedihan masa lalu mengabur, berganti kehangatan yang b
Livy membalik badan. Ia merasa apa yang ingin dia sampaikan sudah dia sampaikan. Selebihnya, ia menyerahkan pada Kay untuk berfikir. Dia hanya tidak mau hadirnya menjadi masalah yang semakin menyebar di lingkungan kerja Kay.Ia melangkah dan masuk kembali ke dalam lift. Tepat sebelum ia menekan tombol ke lantai tempat ruangan Kay berada, Kay pun langsung masuk menyusulnya. Mata mereka bertemu.Livy reflek melangkah mundur dan membiarkan Kay untuk memencet tombol lift itu. Pria itu menarik napas panjang, berusaha mengusir segala rasa emosi yang sempat menyerangnya. Mereka berdiri berdampingan, dalam diam. Hanya suara pelan mesin lift yang terdengar.Kay melirik sekilas ke arah Livy. Tatapannya tak seperti biasanya—bukan sinis, bukan keras. Lagi pula tak akan ada alasannya lagi untuk menatap tajam pada wanita yang luar biasa itu. Ada sesuatu yang melunak dalam sorot matanya, seperti kekaguman yang tak bisa disembunyikan.“Kamu terlalu sabar Livy,” ucap Kay tiba-tiba, suaranya serak namu
“Siapa yang berbicara barusan?” tanya Kay. Suaranya pelan dan datar namun berhasil membuat pegawainya yang berbisik-bisik terdiam, kaku, menunduk tak berkutik.Kay memberikan Albern pada Livy.Livy menggendong Albern. Ia sama sekali tidak tersinggung dengan bisikan itu. Apa yang salah? Semua oran tahu bahwa dia memanglah babu, sebatas ibu susu.“Siapa yang baru saja bicara seperti itu?!” bentak Kay.Semua mereka bergidik takut.“Papa…” Albern memanggilnya lembut. Anak itu tidak pernah melihat ayahnya marah dan membentak tegas seperti itu.Emosi Kay teralihkan. Dia menatap anaknya.“Livy, kamu bisa ke ruanganku. Bawa Albern,” jelas Kay lembut.“Tidak perlu menegur mereka,” ucap Livy dengan tenangnya. Namun, justru ucapannya itu membuat Kay semakin kesal dan emosi pada pegawainya.Kay merangkul Livy. Melanjutkan langkah mereka bersama untuk masuk ke dalam lift.Pegawai biasanya itu langsung menghela napas lega. Mereka saling menyalahkan satu sama lain. Lalu mendesis merasa beruntung kar
Livy menjauhkan tatapannya. “Ya,” jawabnya, menyibukkan diri dengan merapikan body and hair care milik Albern.“Ya sudah, Papa makan dulu ya? Al dan Mama siap-siap,” ucapnya. Kay masih menatap Livy, yang sibuk, atau berpura-pura sibuk agar tidak menatapnya. “Hm, kamu sudah makan?” tanyanya.Livy menatapnya lagi. “Belum,” jawabnya.“Oh. Ka- kalau begitu ayo makan bersama,” ucap Kay.“Ya, duluan saja,” jawab Livy.Kay mengangguk. Ia menggendong Albern dan membawanya keluar kamar. “Ayo temani Papa makan,” ucapnya.Setelah Livy membereskan kamar Albern, dia pun keluar kamar. Baru saja dia menutup pintu, Albern sudah berlari menangkapnya.“Eh Al?” sapa Livy, gemas. Dia langsung menggendong anak itu.“Papa…” ucap Al, menunjuk ke arah dapur.“Mau sama Papa?” tanya Livy.Al mengangguk.Kening Livy mengernyit. Padahal tadi Kay sudah membawanya, dia yang kembali, lalu kenapa meminta untuk kembali pada ayahnya di meja makan? Namun, dia tidak mungkin mendebat anak kecil yang belum mengerti apa-ap