"Tunggu!" teriak Dewi membuat mereka berhenti lalu menoleh menatap wanita itu.
"Uang ini pasti hasil minjem ya, atau jangan-jangan hasil nyuri dari rumah majikan kalian," cecar Dewi membuat semua orang menatap wanita itu lalu Dimas mendekati Ibunya."Memang mereka ngasih berapa, Bu?" tanya Dimas penasaran lalu mengambil amplop yang dipegang wanita itu."Uangnya lebih dari yang aku kasih ke Ibu, bener kata Ibu, pasti mereka mencuri! Haduh malu-maluin aja, masa mau kasih THR pake uang hasil curian," cemoh Dimas menatap meremehkan pada sepupunya. Panji menghela napas berusaha sabar karena kelakuan keluarga Bibinya. Hana yang sudah tak tahan, mendekati Dimas lalu mengambil amplop itu. Tatapan marah ia layangkan pada mereka."Ini bukan hasil minjem, apalagi nyuri! Ini uang hasil kami bekerja, kalau gak mau ya sudah sini mendingan saya simpen aja," seru Hana marah membuat Dewi melotot karena Hana berani mengeluarkan amarahnya, ia dengan cepat merebut amplop itu lagi dari tangan istri keponakannya."Hih! Kalian sudah kasih ke saya, ya jangan diambil lagi. Apa kalian gak ikhlas," sembur Dewi menyimpan amplop itu ke tasnya. "Huh," dengkus Hana kesal lalu menoleh kala sang anak memanggil meminta agar segera jalan-jalan."Ayo, jangan ribut. Ini masih hari raya, masa baru aja maaf-maafpan udah mau cekcok lagi," bisik Panji pada istrinya kala sudah berada disamping Hana. "Kalau gitu kami pamit dulu, assalamualaikum," ucap mereka bersama lalu keluar dari kediaman sang Bibi."Bibi kamu itu bener-bener ya, bikin emosi aja," ungkap Hana hanya disambut ringisan Panji, lelaki itu mengusap punggung sang istri agar Hana tenang. "Sudahlah, jangan buat hatimu dipenuhi kedengkian, mendingan kita berkeliling aja bareng Ibu dan Bapak," ajak Panji dibalas helaan napas Hana dan wanita itu mengangguk."Ayah ... Mawar pengen balon bentuk ikan paus," pinta Mawar menunjuk tukang balon yang berjalan sembari menjajahkan jualannya. "Boleh, ayo kita beli," sahut Panji, mereka benar-benar bersenang-senang sambil bersilaturahmi.Waktu mulai beranjak siang, semua orang berkumpul di rumah orang tua Ibunya Panji. Banyak sekali yang mengobrol bahkan suasana sangat meriah di kediaman ini. Mawar kini tengah terlelap, kepalanya di paha sang Ibu."Ampun, anak kamu ini apa tukang tidur. Perasaan saat kita bertemu dia selalu tidur," seru Dewi yang baru datang dan menatap kami dengan tatapan mencemoh."Dia capek, Bi. Kan, kami baru saja pulang berkeliling," sahut Hana seraya membelai rambut sang anak, tatapannya sangat fokus ke buah hati kesayangan dia."Kalau lagi ngomong itu tatapan lawan bicara, Hana. Kamu sangat tak sopan," sungut Dewi hanya dibalas lirikan Hana."Maaf Bi, badan kami capek. Habis keliling, pengen istirahat dulu sejenak," balas Hana memang wanita itu selonjoran di lantai."Huh, makanya kaya kami dong punya motor, jadi gak perlu jalan kaki," celetuk Dewi hanya dibalas anggukan Hana. "Huh ... pamer aja terus, padahal kami di jakarta punya mobil," cibir Hana dalam hati. "Assalamualaikum," teriak Panji mengetuk pintu lalu membukanya. "Walaikumsalam, lama banget Pan," seru Midah kala melihat anaknya masuk. "Maaf, Bu. Tadi sempet ngobrol sebentar sama temen Panji," balas Panji dibalas anggukan Midah, lelaki itu segera duduk di samping sang istri. "Besok kita jalan-jalan yuk," ajak Dimas yang sedari tadi main handphone membuat semua orang menatapnya."Boleh tuh, ayo! Kita jalan-jalan yang deket tempat yang lagi viral itu," sambung Dewi dibalas anggukan semua. "Iya, rasanya enak banget kue di sana, nanti aku pengen beli buat dibungkus bawa ke rumah," celoteh istri Dimas dibalas anggukan Dewi. "Betul menantuku, jangan lupa belikan Ibu ya," pinta Dewi dibalas anggukan Gina menantunya.Waktu berlalu begitu saja, mereka telah pulang ke rumah masing-masing. Semua sedang bersiap merapikan barang yang hendak di bawa, disaat orang tua Panji telah terlelap. Hana dan lelaki itu duduk di sambil membelai rambut Mawar, ketiganya sedang menonton televisi di ruang tamu."Mas," panggil Hana membuat sang suami menoleh dan menatap istrinya seraya menaikan kedua alis. "Ada apa, Sayang," sahut Panji lembut."Mereka mau mampir ke salah satu cabang kita," seru Hana dibalas anggukan Panji. "Iya, memang. Nanti kita gratiskan aja ya," kata Panji membuat Hana membulatkan matanya. "Huh, masa gratis sih, Mas. Kalau buat Ibu dan Ayah sih boleh, tapi buat mereka yang suka julid ke kita, rasanya gak rela," keluh Hana hanya membuat Panji tersenyum kecil karena mengerti perasaan istrinya."Tak apa, Sayang. Dihari kita bahagia ini, kita harus berbagi. Apalagi kita allhamdulillah, udah mulai sukses bukan," tutur Panji membuat Hana hanya mengangguk membenarkan. "Eumm ... iya juga sih, Mas." Hana teringat akan sesuatu. "Mas, aku pengen berbagi sama anak panti, bawa beberapa kue untuk mereka. Apa boleh?" tanya Hana meminta izin membuat Panji terdiam sejenak."Boleh dong, bagus malahan. Nanti Mas bantu," imbuh Panji merasa senang karena kebaikan sang istri. "Kita tidur aja yuk, kamu tolong gendong Mawar," ajak Hana dibalas anggukan Panji, lelaki itu segera menggendong sang buah hati. *** Hana bangun pagi-pagi, wanita itu menyiapkan sarapan di dapur. Senyuman bangga terukir kala semua masakan telah selesai, ia bergegas membangunkan sang suami dan Mawar. Kedua mertuanya juga sudah keluar dari kamar dengan wajah segar."Wah, kamu yang masak, Sayang. Maaf ... Ibu kecapean jadi bangun kesiangan," beber Midah lalu Hana segera menarik lengan wanita itu agar ia duduk di kursi. "Sudah, gak papa Bu. Mendingan kita sekarang sarapan," ajak Hana sangat memperlakukan baik sang mertua. Mereka makan dengan gembira, sesekali bercanda tawa mendengar celotehan Mawar. Berbeda di kediaman keluarga Dewi, wanita itu baru saja bangun dan bergegas memasak sarapan sambil berdumel. Saat makanan telah siap, sang menantu baru keluar dari kamar dan duduk di kursi makan. "Huh, kok cuma telor ceplok sih," keluh Gina kala menatap makanan di meja dengan wajah cemberut. "Kalau gak mau makan, ya udah gak usah. Udah untung Ibu buatkan sarapan, harusnya kamu sebagai menantu membuatkan sarapan untuk kami," cecar Dewi menatap kesal ke arah menantunya, yang masih saja belum berubah. "Ihh ... Bu, kalau aku ke dapur nanti aku bau bawang kaya Ibu sekarang. Coba cium aja bau badan Ibu, ihh ... kecium banget. Mendingan Ibu mandi gih," seru Gina membuat Dewi mendengkus."Dim, makanya punya istri jangan terlalu dimanja. Lihat kelakuannya sekarang, emang Ibu suka sih dia sosialita banget, tapi ya setidaknya belajar masak dong," sembur Dewi menatap garang sang anak."Sudahlah, Bu. Di rumah kami juga udah ada pembantu, biarkan Gina happy dan membuat ia akhirnya bisa hamil, jangan buat dia stress Bu," balas Dimas hanya dibalas dengkusan sang Ibu.Semua telah berkumpul di kediaman orang tua Midah. Semua sangat bersemangat dan senang, senda gurau selalu dilayangkan. Kala beberapa orang pergi, karna telah menyepakati di mana tempat bertemu. "Nak, kalian akan pergi naik apa?" tanya Ibunya Midah atau neneknya Panji, memegang bahu sang cucu."Iya, Pan. Kalian naik apa perginya, kalau kami sih ada motor, tapikan cuma satu," seru Midah menatap anak dan menantunya."Tenang saja, Bu. Nanti juga jemputan datang kok, Ibu tak perlu naik motor panas-panasan. Lagi pula takut mogok," ujar Panji membuat yang mendengar naikan alis penasaran."Huh, kalian mau pake apa. Segala biar gak kepanasan, ohh jangan-jangan becak ya," cemoh Dewi kala mendengar perkataan Panji."Gak papa kalau pake becak juga, Pan. Lumayan gak kepanasan," sahut Midah hanya dibalas anggukan anak dan menantunya. "Huh, pake becak aja belagu, paling nanti ketinggalan jauh sama kita," cibir Dewi lalu meminta agar suaminya cepat menstater motor dan berlalu pergi diikuti Dimas y
"Wah ...." Dewi terpaku melihat pemandangan sekitar. "Bagus kan tempatnya, Bu," seru Gina kala melihat pandangan kagum dari sorot sang mertua. "Iya, Sayang. Ayo kita ke sana," ajak Dewi menarik lengan anaknya tetapi terhenti kala Enas memanggil."Dewi! Kita cari tempat bersama, jangan berpencar," sembur Enas membuat Dewi mengangguk pasrah lalu menghentakkan kaki karena kesal."Nek ... kesitu yuk, di sana seru lho." Ucapan Mawar membuat semua orang menoleh."Kecil-kecil sok tau deh," cibir Dewi pada Mawar membuat gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Jaga ucapanmu, Dew, kamu sudah besar harusnya kasih contoh yang baik," tegur Enas hanya disambut lengosan wanita itu. "Cepat kasih cucu buat Ibu, Gin. Biar Nenek nanti perhatian juga sama anak kamu," seru Dewi menatap menantunya yang langsung disambut tundukan kepala Gina. "Ihh ... Ibu ini gimana sih, kami juga lagi usaha," geram Dimas lalu mendekati sang istri dan menepuk-nepuk bahu Gina."Udah jangan bertengkar, kita lagi jalan-jala
"Ayo Bi, pesen es kelapanya. Aku traktir," kata Panji membuat Dewi melirik remeh ke arah sang ponakan."Nenek juga," lanjut Panji dibalas anggukan Enas lalu wanita paruh baya itu segera memesan. "Awas lho, jangan nyesel kalau tagihannya banyak," cemoh Dewi lalu segera memesan.Mawar terus mengajak Bagas berbicara, lelaki kecil itu sangat irit bicara. Senyuman geli terukir di bibir Hana kala melihat Mawar yang gencar menggoda sang teman. Dewi yang melirik Hana yang tak mengalihkan pandangan dari sang anak ikut kepo."Jangan biarkan Mawar begitu, Han," cibir Dewi melirik sinis istri keponakannya. "Heum ... Biarin aja Bi, yang penting masih tahap wajah. Aku juga sudah memberitahu apa yang dilarang disentuh atau menyentuh milik orang lain," sahut Hana tanpa mengalihkan tatapan pada Mawar."Dikasih tau malah gitu," ucap Dewi seraya melengos ia memilih menyeruput es kelapa, lalu beberapa keluarga perlahan datang Karena Dewi telah memberitahu."Wah, enak nih minum es kelapa," ujar Gina lan
"Ini keluarga saya," kata Panji membuat pelayan itu mengangguk paham lalu mempersilakan mereka masuk."Mau pesen apa Bu?" tanya pelayan itu, ia semakin ramah kala mengetahui jika mereka keluarga Hana.Setelah mereka menyebutkan pesanan masing-masing, ia langsung pergi menunaikan tugas. Gina yang memiliki ide kala melihat pelayan itu sangat dekat dengan Hana, mempunyai rencana. Bergegas wanita tersebut pindah dari tempat duduk ke dekat Hana saat Panji pamit ke toilet."Sepertinya kamu dan pelayan itu sangat dekat," tutur Gina membuat Hana menoleh menatap ia heran tetapi mengangguk sebagai jawaban. "Memang, aku sangat dekat dengan mereka," sahut Hana seadanya, memang benar bukan. "Kalau gitu, gak masalah dong kalau kita minta diskon," ucap Gina melancarkan rencananya membuat Hana menaikan sebelah alis."Bukannya kamu orang berada, ngapain minta diskon segala," cecar Hana membuat Gina mendengkus. "Sudahlah, Gin, dia tidak akan bisa membantu. Dia hanya akrab dengan pelayan di sini, gak
Pelayan itu mengeryitkan alisnya lalu melirik Panji mengangguk samar. Wanita tersebut mengembuskan napas lalu balik menatap Dewi. Dia masih memeluk nampan di dekapannya, ia sebenarnya sudah kesal dengan ucapan Dewi yang membuat beberapa bawahan Panji meradang karna menghina sang Bos. "Jika Ibu melaporkan jika Kelurga Pak Panji yang mengaku-ngaku. Tidak salah lagi jika ...," ucapan wanita itu terpotong karena Dewi kembali bersuara. "Tuh kan, pasti kalian sudah beberapa kali mengaku sebagai bos pada beberapa orang atau mau pamer sama temen kalian," cecar Dewi membuat wanita yang belum menyelesaikan kata-katanya membulat."Bu, tolong jangan potong ucapan saya, saya belum selesai bicara lho," kata wanita itu membuat Dewi menatap ke arahnya. "Silakan lanjutkan, sekalian gak papa kalau kamu mau maki mereka. Biar mereka sadar diri," ucap Dewi membuat ia menjadi pusat perhatian karena ucapannya terus nyaring. "Pak Panji dan Bu Hana memang pemilik tempat ini, jika anda tak percaya saya bis
Mereka langsung pulang kala makanan habis, Panji meminta karyawan mengeluarkan mobil karena memang ia menyimpan satu kendaraan roda empat itu di sana. Di saat keluarga besar tersebut sudah tak tersisa, hanya ada orang tua Panji dan keluarga kecilnya. "Ayo Bu, Pak, masuk," ajak Hana kala suaminya tengah memanaskan mesin kendaraan roda empat itu."Masyaallah, ini mobil siapa Han. Bagus bangef," puji Midah memandang kendaraan roda empat tersebut."Allhamdulillah punya kami Bu, ayo masuk kita pulang," seru Hana sekali lagi sedangkan buah hati mereka sudah duduk nyaman di mobil. Kedua orang tua Panji mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Lagi-lagi Midah berdecak kagum dan hanya disambut timpalan Hana dan Panji. Di perjalanan Hana meminta Panji agar suaminya menyuarakan keinginan sang istri yang dihadiahi anggukan lelaki itu."Bu, Pak," panggil Panji membuat kedua orang tuanya menatap dia."Ada apa, Pan," sahut keduanya kompak."Kami pengen renovasi rumah kalian," ucap Panji pada inti
"Palingan taksi, Bu," ucap Dewi, wanita itu menyahuti padahal Midah yang ditanya. "Ha! Masa sih, mobil sebagus ini cuma taksi," ucap wanita itu hanya dibalas anggukan cepat oleh Dewi. "Ini bukan taksi, Bu. Ini mobil saya, ini buktinya," seru Hana mendekati mereka yang tangannya sudah memegang BPKBl dan menyodorkan pada Ibu itu dan dirampas Dewi. "Huh, padahal saya mau liat lho, Bu," kata wanita itu mempautkan bibirnya kesal dengan tingkah Dewi. "Bentar, saya cek dulu. Bener atau enggak ini mobil punya mereka," ujar Dewi lalu terdiam kala melihat nama Hana tertera di sana, ia segera menyodorkan buku itu ke sang pemilik lalu menatap Midah. "Jangan lupa ke rumah aku, Mbak, jangan sampe Ibu ngoceh karena gak ngundangan kalian," tutur Dewi lalu berlalu begitu saja kala selesai berbicara."Wah keren kamu punya Mobil, Han," puji beberapa tetangga hanya dibalas senyuman Hana."Maaf ya Bu, kami pamit ke dalam rumah dulu," ucap Panji dibalas anggukan semua, lalu perlahan sekeluarga itu ma
Jam sudah menunjuk angka enam sore, keluarga Midah datang terlebih dahulu karena rumah mereka berdekatan. Dewi yang melihat mereka langsung menarik Mbak dan istri keponakannya buat membantu menyiapkan makan malam. Berlaga seperti Nyonya, Dewi memerintah ini itu. "Cepat bawakan ini, Mbak," perintah Dewi menyodorkan cobek dan Midah menerimanya. "Cepat bawa, takut mereka keburu datang," seru Dewi sekali lagi dibalas anggukan Midah, wanita itu melangkah sembari membawa cobek lalu Dewi menyeringai menatap kepergian sang kakak. "Yah, kok kotor," ujar Midah lalu meletakan cobek itu di tempatnya lalu ia memandang nanar gamis yang dibelikan sang menantu."Ada apa, Wa?" tanya Gina sambil membawa lap di tangan."Ini, baju Uwa kotor. Duh apalagi ini gamis yang dibelikan Hana lagi," ujar Midah membuat Gina menyeringai. "Duh, gimana dong. Hana pasti kecewa," tutur Gina membuat Midah mengangguk pelan."Gimana kalau aku elap aja, Wa," se