"Akutuh bukan gak mau ngurusin, Ibu kan masih punya suami, biar bapak yang ngurus Ibu. Biar romantis kaya di film atau novel gitu," jelas Gina tak mau disalahkan, padahal memang dia malas merawat sang mertua. "Sudah-sudah, mendingan kita abisin aja sarapan, terus berangkat ke resto Panji," lerai Enas dibalas anggukan semua lalu hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring. Selesai sarapan, mereka memilih duduk-duduk sebentar di ruang tamu. Anak-anak memilih ke tempat main milik Mawar, gadis kecil itu memilih terlelap dulu paha sang Mama. Setengah jam kemudian, mulai mendekati acara peresmian, semua mulai memasuki mobil dan kendaraan roda empat tersebut melaju. "Kok lama bener sih sampenya, emang di mana lokasi restonya," keluh Dewi karena mereka duduk berdempetan. "Sabar Bu, ini macet banget. Sebentar lagi juga sampe," balas yang menyupiri keluarga Dewi membuat wanita itu mendengkus. "Ibu, Ibu. Emang aku Ibumu," seru Dewi membuat karyawan yang mendadak jadi supir itu menole
"Ngapain kita cek rekaman CCTV, gak guna tau gak. Inikan masalah keteledoran karyawan kamu," seru Dewi menatap tajam ke arah Panji, kala mengetahui jika Gina menegang."Iya gak nyambung banget sih," lanjut Gina dengan suara gugup membuat Panji mengeryitkan kening lalu menyeringai."Nyambung kok, Gin. Kan kita bisa tau jawaban itu dari CCTV, ayo kita liat," tutur Hana semangat kala melihat gelagat gelisah dari Gina."Ayoo ...," seru salah satu keluarga itu, lalu mereka berdiri dan mengikuti langkah Panji."Haduh ... aku gimana nih, Bu," lirih Gina pelan, ia berjalan paling belakang. "Memang kamu kenapa, Gin. Apa ini kerjaan kamu?" tanya Dimas kala mendengar ucapan Gina pada Dewi."Entahlah, Mas juga bingung. Makanya kalau buat sesuatu itu harus mikir resikonya gimana dan keadannya juga ginana, kamu emang gak mikir resto segede ini gak ada CCTV," seru Dimas pelan menceramahi sang istri membuat Gina mempautkan bibirnya."Aku harus bagaimana, Mas ...," lirih Gina pelan membuat Dimas terd
"Mohon perhatiannya semua. A--aku pengen ngomong sesuatu," ucap Gina dengan suara gemetar dan suara dia membuat semua orang menatap dirinya."Katanya mau ngomong, kok diem aja. Ayo dong cepat! Kami tak punya waktu banyak buat dengerin kamu," cecar salah satu pelanggan yang pasti tingkat ke kepoannya tinggi. "Huh, aku harus mempersiapkan diri juga kali. Jadi sabar aja! Main suruh-suruh aja, emang aku babu kamu," balas Gina sengit membuat pelanggan itu mendengkus. "Ayolah cepat! Gin. Bener kata dia, ayo cepat ngomong! Atau enggak ...," ucapan Hana terpotong karna Gina langsung berseru. "Iya-iya, ini aku bicara," sahut Gina dengan nada ketus lalu terlihat ia menarik dan mengembuskan napas dengan kasar. "Aku mau minta maaf atas keributanku tadi, itu sebenernya ...." Gina malah mengantung ucapannya membuat semua pelanggan menatap ia serius."Bi, cepat suruh menantumu bicara! Kalau enggak aku akan lapor polisi," ancam Hana kesal Gina yang menggantung ucapannya, Dewi yang mendengar lan
"Sayangnya kenapa, Bu. Please deh, jangan setengah-setengah ngomongnya," tutur salah satu membuat Dewi tersenyum kecil. "Dia bahkan sama sekali tak memikirkan keadaan rumah orang tuanya, kalian tau kan, keadaan rumah milik Mbak Midah, sangat ...," ucapan Dewi berhenti kala melihat riak semua ibu-ibu dengan wajah tak percaya. "Tega banget kalau gitu mereka," cibir salah satu Ibu Ibu dengan nada geram."Iya, tega bener. Di sana mereka hidup senang sedangkan orangtuanya, haduh ... jangan sampe deh menantu atau anakku bersikap seperti itu," katanya bergidik ngeri Dan dibalas anggukan semuanya."Bahkan saat di resto miliknya, kami kan ditraktir tapi, aku pengen ganti makanan karna ada rambutnya, eh mereka sok banget akhirnya keluarga pulang dengan perut lapar, bahkan tadi kami di rumah cuma makan dengan mie. Makanya aku cepet-cepet kesini biar keluarga gak kelapar gitu," ujar Dewi membuat semua orang di sana geleng-geleng dan menelan mentah-mentah ucapan Dewi."Keterlaluan banget sih, s
"Dih, marah-marah mulu, cepet tua lho. Lagian itu kesalahan menantumu, Bi," sahut Hana gemas dengan ucapan Dewi, sungguh ia malah mendatangi keluarga Dewi jika saja sang mertua tak mengajak. "Kamuu ...!" geram Dewi menunjuk wajah Hana dengan mata melotot tajam."Sssttt, jangan memicu keributan, Han, kita, kan niat mengajak," tegur Midah menyenggol lengan menantunya. "Dew, ayo ke rumahku, ajak semua anggota keluargamu. Kita makan bersama," tawar Midah dengan nada lembut membuat Dewi menatap remeh. Dewi langsung melirik ke halaman Midah dan memandang sinis sang Kakak. Wanita itu bersidekap lalu tersenyum miring. Ia berteriak memanggil suami, menantu dan anaknya."Apakah Mbak menjamin bahkan kami tidak akan pulang dengan perut kelaparan? Seperti kejadian tadi," cibir Dewi seraya menyindir membuat Hana menyipitkan matanya geram mendengar perkataan sang Bibi. "Ada apa, Bu, manggil kami. Gak tau apa, kami lagi nonton seru-serunya," protes Dimas dibalas anggukan Gina. "Iya nih, kalau ga
"Namanya juga jualan, Bi. Masa kudu digratisin terus. Nanti bangkut dong, apalagi kalau gratisnya tiap datang ke sana, yang ada untung kagak, buntung iya. Kita bagi-bagi juga kudu ada porsinya, Bi. Memang Bibi mau kalau misalnya Bibi jualan sesuatu lalu kami minta gratis terus," tutur Panji membuat Dewi bungkam sedangkan Hana tersenyum senang mendengar ucapan sang suami. "Udah-udah, ayo kita makan! Nanti keburu dingin gak enak lho," lerai suami Midah yang dibalas anggukan semua, mereka langsung bersila dan mulai melahap makanan yang ada. Mereka makan-makan seraya bercerita. Kala semua hidangan habis, keluarga Dewi pamit pulang. Siti sedikit meradang karna sudah mereka tinggal makan saja sekarang malah pergi tidak membantu apapun. "Dasar! Cuma pengen makan aja," gerutu Siti menatap kepergian keluarga Dewi. "Sudah, mendingan kita beres-beres aja. Dari pada ngeluh dari menggerutu gak bakal kelar ini kerjaan. Biarin ... mereka memang gitu, kalian juga udah tau, kan," ujar Midah membua
Hana memilih melakukan pekerjaan rumah tangga di kediaman mertuanya. Setelah selesai ia mulai istirahat sambil menina bobokan sang buah hati. Waktu terus berputar, kini waktu kembali siang. Hana tidak pergi ke warung membeli sayuran karna masih ada sisa bahan-bahan kemarin yang di beli. "Bu, Pak, Mas, Mawar, ayo sarapan," teriak Hana kala jam dinding baru menunjuk pukul 06:30 waktu indonesia barat. "Duh, kamu ini, bukannya nungguin Ibu. Pasti capek kerjain semua ini," gerutu Midah lalu duduk melihat hidangan di depan mata."Gak papa, Bu. Udah biasa kok, kalau gak ngerjain tuh, rasanya gimana gitu," tutur Hana seraya mengulas senyum kecil.Akhirnya mereka makan dengan lahap, kadang Mawar menceritakan kesehariannya. Gadis kecil itu sangat ceria, tingkah anak itu sangat menggemaskan. Kala semua selesai sarapan, langsung berkumpul di ruang tengah. "Siapa yang ketuk pintu sangat keras dan tidak sabaran begitu, apalagi ini masih pagi." Hana bangkit dari duduknya, wanita itu melarang sang
# Ketika_Kami_Mudik"Ini kalian mudik apa pulang kampung? Bawa barang, kok, banyak banget? Udah susah emangnya di Jakarta?"nyinyir Dewi kala mereka baru masuk ke ruangan keluarga tempat mereka berkumpul."Mudik, Bi, ini oleh-oleh buat kalian,"sahut Panji sambil menaruh oleh-oleh ke lantai."Hahaa ... pulang kampung kali, inimah bukan oleh-oleh tapi barang-barang kalian! Sana jauh-jauh jangan deket-deket saya, nanti ketularan miskin lagi," hina Dewi membuat Panji dan sang istri terdiam. "Mbak, Mas, Dewi pamit dulu. Mau shopping dulu suami ngajak jalan-jalan. Assalamualaikum," pamit Dewi lalu pergi tanpa menunggu jawaban mereka."Bibi masih tetap sama ya, suka banget hina kita," ujar Hana yang sedari tadi terdiam menatap kepergian bibinya Panji."Sudah-sudah, mendingan kalian istirahat. Pasti capek, kan, terus cucuku juga cepat tidurkan di kamar, kasian," seru Midah sang mertua Hana, wanita itu mengangguk lalu membawa sang buah hati yang berusia empat tahun menuju kamar. "Bu, tolong b