# Ketika_Kami_Mudik
"Ini kalian mudik apa pulang kampung? Bawa barang, kok, banyak banget? Udah susah emangnya di Jakarta?"nyinyir Dewi kala mereka baru masuk ke ruangan keluarga tempat mereka berkumpul."Mudik, Bi, ini oleh-oleh buat kalian,"sahut Panji sambil menaruh oleh-oleh ke lantai."Hahaa ... pulang kampung kali, inimah bukan oleh-oleh tapi barang-barang kalian! Sana jauh-jauh jangan deket-deket saya, nanti ketularan miskin lagi," hina Dewi membuat Panji dan sang istri terdiam. "Mbak, Mas, Dewi pamit dulu. Mau shopping dulu suami ngajak jalan-jalan. Assalamualaikum," pamit Dewi lalu pergi tanpa menunggu jawaban mereka."Bibi masih tetap sama ya, suka banget hina kita," ujar Hana yang sedari tadi terdiam menatap kepergian bibinya Panji."Sudah-sudah, mendingan kalian istirahat. Pasti capek, kan, terus cucuku juga cepat tidurkan di kamar, kasian," seru Midah sang mertua Hana, wanita itu mengangguk lalu membawa sang buah hati yang berusia empat tahun menuju kamar. "Bu, tolong bantu beresin oleh-oleh ini," pinta Panji menyodorkan beberapa ke sang Ibu lalu ia pergi membawa barang-barangnya ke kamar.Midah bergegas melihat isi bawaan sang anak, matanya membulat kala melihat banyak makanan yang dibawa. Seperti beberapa kue yang sedang viral bahkan sampe minuman. Saat Panji telah balik lagi, ia langsung menyerang pria itu. "Panji, ini terlalu banyak. Pasti uang kamu keluar banyak ya. Harusnya tabungin aja buat bikin rumah," cerocos Midah hanya disambut senyuman kecil sang anak. "Sudahlah, mendingan sekarang kita beres-beres. Oh iya, Bapak di mana ya," tutur Panji membuat Midah mendengkus lalu hanya menuruti kata anaknya. "Lain kali jangan boros-boros, mendingan uangnya kamu tabung buat bikin rumah," nasehat Midah sekali lagi yang dibalas anggukan Panji karna pikir lelaki itu pasti sang Ibu akan terus menasehatinya tanpa henti. "Bapakmu di sawah, Nak.lagi nanem padi," seru Midah membuat Panji mengangguk."Habis ini Panji ke sawah, Ya. Mau bantu Bapak, udah lama enggak ke sawah," ucap Panji hanya dibalas anggukan Midah. Setelah selesai merapikan oleh-oleh, Panji langsung pergi ke sawah. Di saat keluar dia berpapasan dengan suami Bibinya, tatapan sinis dan menghina sangat dilayangkan oleh pria itu. Panji hanya menghela napas lalu mendekat, takut dianggap tak sopan jika tidak menyapa sang Mamang. "Assalamualaikum, Mang," sapa Panji dengan ramah. "Walaikumsalam, lain kali kalau nanti di jalan atau saya lagi ketemu temen kantor. Jangan sapa saya, kita pura-pura gak kenal aja. Malu saya punya keponakan miskin kaya kamu," cecar Hamdan hanya disambut ringisan Panji."Mang, saya pamit ke sawah ya, mau bantu Bapak, assalamualaikum," kata Panji hanya dibalas anggukan Hamdan lalu tangan lelaki itu bergerak mengibas-ibas seperti mengusir agar cepat pergi. "Assalamualaikum, Pak ...," pekik Panji gembira seraya melambaikan tangan ke sawah yang tengah Bapaknya mencocok tanam. "Walaikumsalam, masyaallah. Ini kamu, Nak?" tanya Hasan menyudahi pekerjaannya lalu mendekati sang anak. "Iya, Pak. Maaf, Panji baru bisa mudik," sahut Panji lalu hendak memeluk sang Bapak tadi dilarang Hasan."Jangan, Nak. Bapak badannya kotor, nanti kamu jadi ikut kotor," larang Hasan tapi tidak didengarkan Panji, lelaki itu langsung melabuhkan pelukkan."Udah biasa kotor kalau di sawah. Pak, Panji kangen kalian," ungkap Panji lelaki itu meneteskan air mata disambut tepukkan bahu oleh Hasan. "Sama Bapak juga, udah jangan nangis! Laki kok cengeng," tegur Hasan hanya disambut tawa Panji, lelaki itu melepaskan pelukkannya. "Ayo Panji bantu, Pak," ajak Panji menarik lengan sang Bapak lalu mereka kerja bersama sambil mengobrol. *** Waktu berputar begitu cepat, kini hari mulai beranjak sore. Hana menguap lalu melirik jam di handphone yang ternyata sudah jam tiga. Ia bergegas bangun keluar lalu melihat sang mertua tengah memasak. "Haduh, maaf Bu. Hana ketiduran," kata Hana membuat Midah menoleh lalu menyambut menantunya dengan senyuman."Gak papa, Nak. Ibu mengerti kok, pasti kamu capek," balas Midah membuat Hana merasa nyaman karna mertuanya sangat pengertian."Hana bantu ya, Bu," seru Hana lalu lekas mencuci muka lalu mulai ikut berperang dengan peralatan dapur.*** "Mama ...!" teriak balita yang berlari mencari wanita yang melahirkannya.Hana yang mendengar teriakan anaknya terkejut. Ia segera berlari menuju arah kamar dan menemukan sang buah hati tengah terduduk di lantai sambil menangis. Wanita itu bergegas membawa gadis kecil tersebut dalam dekapan dan berusaha mendiamkan tangisan Mawar. "Ada apa, Nak?" tanya Midah terkejut lalu mendekati Hana dan cucunya."Gak papa, Bu. Mungkin Mawar hanya terkejut saat bangun gak liat Hana," balas Hana hanya dibalas anggukan Midah, sang mertua mendekat dan mengelus sayang kepala cucunya. "Cup, cup, cup. Jangan nangis Sayang, sini sama Emak, gendong. Nanti kalau Ayah kamu pulang minta ngabuburit cari takjil," bujuk Midah membuat Mawar terdiam lalu menatap lamat-lamat yang menyandang sebagai emaknya."Bener, Mak. Emang bakal suruh Ayah buat jalan-jalan?" tanya Mawar menoleh menatap Midah dengan mata polosnya membuat wanita itu gemas dan akhirnya mengangguk sebagai jawaban."Ahhh ... makasih Mak, mau digendong dong," celoteh Mawar hanya disambut tawa mereka lalu Midah langsung menggendong cucunya dengan sayang. "Assalamualaikum." Suara teriakan terdengar dari depan pintu, Hana dan Midah bergegas ke sana untuk membuka pintu. "Walaikumsalam," sambut mereka lalu menyuruh Panji dan Hasan masuk agar segera membersihkan diri. "Ayah, ayo kita beli takjil, Emak yang nyuruh," pinta Mawar kala sang Ayah telah selesai membersihkan diri dan telah rapi dengan kaos dan celana joger. "Iya, Sayang. Sini Ayah gendong," kata Panji mengulurkan tangan lalu menggendong buah hatinya.Mereka pamit pada kedua orangtua Panji, lalu bergegas pergi dengan berjalan kaki. Celoteh Mawar membuat suasana gembira, teman-teman Panji yang berpapasan beberapa menyapa. Lelaki itu memang terkesan ramah, tetapi banyak juga menghina karna miskin. "Ayah, mau beli bubur sumsum," pinta Mawar menunjuk pedagang yang menjual bubur tersebut, Panji langsung mengiyakan dan segera membeli keinginan anaknya. Setelah meminta ini dan itu, merasa sudah cukup. Mereka bergegas pulang karna waktu sebentar lagi menunjuk waktu magrib. Baru saja hendak mengetuk pintu rumah, suara Dewi membuat ketiganya menoleh. "Beli apaan tuh! Oh takjil, mendingan uang itu ditabung aja, jangan boros, miskin aja belagu beli banyak menu takjil," nyinyir Dewi menatap sinis mereka. "Kami pamit masuk ke rumah dulu, Bi," seru Panji mengetuk pintu membuat Dewi mendengkus karna diabaikan."Istrimu bisu, kan, semenjak tinggal di jakarta. Kok diam kalau bertemu denganku," ejek Dewi membuat Hana yang mendengar langsung mendongak dan menatap tajam Dewi."Apa melotot-melotot! Kamu kira saya takut, cuma orang miskin aja belagu, sana cepat pergi, nanti saya ketularan miskin lagi," cecar Dewi membikin Hana emosi tetapi ditahan Panji kala wanita itu hendak mendekat ke Dewi."Tahan, Sayang," bisik Panji pelan, membuat Hana menghela napas lalu mengangguk."Saya bisu Bi," kata Hana hanya disambut tatapan sinis Dewi lalu wanita itu pergi masuk ke rumahnya."Astagfirullah, kudu banyak istigfar kalau ketemu Bibi," gumam Hana pelan lalu masuk kala pintu sudah terbuka yang ternyata tidak dikunci oleh orang tua Panji. Waktu berjalan begitu cepat, kini tinggal besok hari raya idul fitri. Begitu banyak hinaan yang diterima saat berada di sini, lebih tepatnya celaan dari sang Bibi. Jam sudah menunjuk angka sebelas siang, mereka tengah sibuk menyiapkan makanan untuk diantar ke beberapa orang. Memang disini tradisi itu masih ada, Mawar merengek ingin membeli kiner joy untuk buka puasa gadis itu. "Ya sudah, ayo kita pergi," ucap Hana menggandeng lengan anaknya lalu berpamitan pada Ibu mertua yang tengah memasak. Selepas pulang membeli kiner joy, ia juga menyempatkan membeli takjil lagi. Ia sangat suka nasi bungkus, dicampur sambelnya rasa sangat nikmat dilidah. Saat dijalan raya, mereka berpapasan dengan Dewi yang bersama teman merumpinya, tatapan sinis terpancar kala melihat Mawar memegang dua kiner joy. "Duh, gaya-gayaan beliin anak kiner joy. Uang kamu abis baru tau rasa! Bukannya ngumpulin uang buat kasih THR, jangan-jangan gak bisa ngasih THR lagi," sinis Dewi membuat Hana mematung lalu kala mendengar ucapan Dewi yang terdengar oleh telinganya."Bukannya dia istri keponakanmu, Dew, yang pergi ngerantau ke jakarta?" tanya temannya melirik Hana ke belakang lalu memilih berhenti."Iya, dia istri Panji, dia gaya-gayaan banget. Belanja banyak, palingan di jakarta jadi babu," hina Dewi membuat Hana mengepalkan tangan merasa marah."Mah, kenapa berhenti? Ayo kita pulang, sebentar lagi azan, Mah. Aku mau buka puasa," seru Mawar membuat Hana tersadar lalu mengangguk dan menggandeng tangan buah hatinya pulang. ***Semua orang baru saja menyelesaikan salat ied, mereka tengah saling maaf-maaffan. Kala netra Dewi melihat Hana, banyak yang memuji pakaiannya bagus membuat wanita itu mendekat. Hana yang melihat Bibi di dekatnya langsung bersalaman."Mohon maaf lahir batin, Bi," ucap Hana lalu pamit hendak mencari suaminya. "Baju istri ponakan kamu bagus ya, kira-kira beli dimana ya," ucap wanita di samping Dewi membuat wanita itu meliriknya. "Palingan itu baju lungsuran dari majikannya, alias barang bekas," seru Dewi masih terdengar oleh Hana, wanita itu memilih pergi karna tak ingin cekcok dengan Dewi di hari raya idul fitri ini. *** Saat Hana menemukan suaminya, ia bergegas mengajak pulang karna Mawar berada di rumah bersama mertuanya. Ia takut sang anak menangis karna ditinggal lama. Sesampai di rumah benar saja, perempuan tersebut tengah tersedu-sedu. "Katanya bentar, Mah, kok lama banget," cerocos Mawar hanya ditanggapi oleh Hana oleh dekapan. Setelah berkumpul di rumah, setengah jam kemudian Panji bangkit membuat semua orang menoleh ke arahnya. Ia mendekat ke sang istri lalu mengambil Mawar dalam dekapan Hana. Wanita itu segera merenggangkan badan karena pegal. "Kita ke Bi Dewi yuk, Mas belum silaturahmi sama mereka," ujar Panji membuat Hana terdiam sebentar lalu mengangguk.Mereka segera melangkah menuju kediaman Dewi. Lalu Panji menyuruhnya untuk mengetuk pintu, terlihat sepupu lelaki itu yang membukakan benda persegi panjang tersebut. "Eh, ada kamu, ayo masuk!" kata Dimas mempersilakan sepupunya masuk ke rumah dan terlihat banyak orang di sana. "Mohon maaf lahir batin, Bi," ucap Panji dan Hana mereka bersalaman pada Dewi dulu lalu yang lain. "Kalian ke sini hanya untuk silaturahmi, gak kasih THR gitu," cecar Dimas membuat Hana menoleh menatapnya."Eh iya, ini. Sedikit buat Bibi," kata Hana menyodorkan amplop pada Bibi suaminya, lalu Dewi menerima seraya mencibir."Duh pasti isinya receh nih." Dewi langsung melihat isi amplop lalu terdiam kala melihat isinya. "Gimana Bu, isinya cuma dua puluh ribu apa?" tanya Dimas seraya menghina membuat Hana dan Panji terdiam, mereka memilih berpamitan untuk berkeliling lagi buat silaturahmi."Tunggu!" teriak Dewi membuat mereka berhenti lalu menoleh menatap wanita itu."Uang ini pasti hasil minjem ya, atau jangan-jangan hasil nyuri dari rumah majikan kalian," cecar Dewi membuat semua orang menatap wanita itu lalu Dimas mendekati Ibunya."Memang mereka ngasih berapa, Bu?" tanya Dimas penasaran lalu mengambil amplop yang dipegang wanita itu."Uangnya lebih dari yang aku kasih ke Ibu, bener kata Ibu, pasti mereka mencuri! Haduh malu-maluin aja, masa mau kasih THR pake uang hasil curian," cemoh Dimas menatap meremehkan pada sepupunya. Panji menghela napas berusaha sabar karena kelakuan keluarga Bibinya. Hana yang sudah tak tahan, mendekati Dimas lalu mengambil amplop itu. Tatapan marah ia layangkan pada mereka."Ini bukan hasil minjem, apalagi nyuri! Ini uang hasil kami bekerja, kalau gak mau ya sudah sini mendingan saya simpen aja," seru Hana marah membuat Dewi melotot karena Hana berani mengeluarkan amarahnya, ia dengan cepat merebut amplop itu lagi dari tangan istri kepon
Semua telah berkumpul di kediaman orang tua Midah. Semua sangat bersemangat dan senang, senda gurau selalu dilayangkan. Kala beberapa orang pergi, karna telah menyepakati di mana tempat bertemu. "Nak, kalian akan pergi naik apa?" tanya Ibunya Midah atau neneknya Panji, memegang bahu sang cucu."Iya, Pan. Kalian naik apa perginya, kalau kami sih ada motor, tapikan cuma satu," seru Midah menatap anak dan menantunya."Tenang saja, Bu. Nanti juga jemputan datang kok, Ibu tak perlu naik motor panas-panasan. Lagi pula takut mogok," ujar Panji membuat yang mendengar naikan alis penasaran."Huh, kalian mau pake apa. Segala biar gak kepanasan, ohh jangan-jangan becak ya," cemoh Dewi kala mendengar perkataan Panji."Gak papa kalau pake becak juga, Pan. Lumayan gak kepanasan," sahut Midah hanya dibalas anggukan anak dan menantunya. "Huh, pake becak aja belagu, paling nanti ketinggalan jauh sama kita," cibir Dewi lalu meminta agar suaminya cepat menstater motor dan berlalu pergi diikuti Dimas y
"Wah ...." Dewi terpaku melihat pemandangan sekitar. "Bagus kan tempatnya, Bu," seru Gina kala melihat pandangan kagum dari sorot sang mertua. "Iya, Sayang. Ayo kita ke sana," ajak Dewi menarik lengan anaknya tetapi terhenti kala Enas memanggil."Dewi! Kita cari tempat bersama, jangan berpencar," sembur Enas membuat Dewi mengangguk pasrah lalu menghentakkan kaki karena kesal."Nek ... kesitu yuk, di sana seru lho." Ucapan Mawar membuat semua orang menoleh."Kecil-kecil sok tau deh," cibir Dewi pada Mawar membuat gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Jaga ucapanmu, Dew, kamu sudah besar harusnya kasih contoh yang baik," tegur Enas hanya disambut lengosan wanita itu. "Cepat kasih cucu buat Ibu, Gin. Biar Nenek nanti perhatian juga sama anak kamu," seru Dewi menatap menantunya yang langsung disambut tundukan kepala Gina. "Ihh ... Ibu ini gimana sih, kami juga lagi usaha," geram Dimas lalu mendekati sang istri dan menepuk-nepuk bahu Gina."Udah jangan bertengkar, kita lagi jalan-jala
"Ayo Bi, pesen es kelapanya. Aku traktir," kata Panji membuat Dewi melirik remeh ke arah sang ponakan."Nenek juga," lanjut Panji dibalas anggukan Enas lalu wanita paruh baya itu segera memesan. "Awas lho, jangan nyesel kalau tagihannya banyak," cemoh Dewi lalu segera memesan.Mawar terus mengajak Bagas berbicara, lelaki kecil itu sangat irit bicara. Senyuman geli terukir di bibir Hana kala melihat Mawar yang gencar menggoda sang teman. Dewi yang melirik Hana yang tak mengalihkan pandangan dari sang anak ikut kepo."Jangan biarkan Mawar begitu, Han," cibir Dewi melirik sinis istri keponakannya. "Heum ... Biarin aja Bi, yang penting masih tahap wajah. Aku juga sudah memberitahu apa yang dilarang disentuh atau menyentuh milik orang lain," sahut Hana tanpa mengalihkan tatapan pada Mawar."Dikasih tau malah gitu," ucap Dewi seraya melengos ia memilih menyeruput es kelapa, lalu beberapa keluarga perlahan datang Karena Dewi telah memberitahu."Wah, enak nih minum es kelapa," ujar Gina lan
"Ini keluarga saya," kata Panji membuat pelayan itu mengangguk paham lalu mempersilakan mereka masuk."Mau pesen apa Bu?" tanya pelayan itu, ia semakin ramah kala mengetahui jika mereka keluarga Hana.Setelah mereka menyebutkan pesanan masing-masing, ia langsung pergi menunaikan tugas. Gina yang memiliki ide kala melihat pelayan itu sangat dekat dengan Hana, mempunyai rencana. Bergegas wanita tersebut pindah dari tempat duduk ke dekat Hana saat Panji pamit ke toilet."Sepertinya kamu dan pelayan itu sangat dekat," tutur Gina membuat Hana menoleh menatap ia heran tetapi mengangguk sebagai jawaban. "Memang, aku sangat dekat dengan mereka," sahut Hana seadanya, memang benar bukan. "Kalau gitu, gak masalah dong kalau kita minta diskon," ucap Gina melancarkan rencananya membuat Hana menaikan sebelah alis."Bukannya kamu orang berada, ngapain minta diskon segala," cecar Hana membuat Gina mendengkus. "Sudahlah, Gin, dia tidak akan bisa membantu. Dia hanya akrab dengan pelayan di sini, gak
Pelayan itu mengeryitkan alisnya lalu melirik Panji mengangguk samar. Wanita tersebut mengembuskan napas lalu balik menatap Dewi. Dia masih memeluk nampan di dekapannya, ia sebenarnya sudah kesal dengan ucapan Dewi yang membuat beberapa bawahan Panji meradang karna menghina sang Bos. "Jika Ibu melaporkan jika Kelurga Pak Panji yang mengaku-ngaku. Tidak salah lagi jika ...," ucapan wanita itu terpotong karena Dewi kembali bersuara. "Tuh kan, pasti kalian sudah beberapa kali mengaku sebagai bos pada beberapa orang atau mau pamer sama temen kalian," cecar Dewi membuat wanita yang belum menyelesaikan kata-katanya membulat."Bu, tolong jangan potong ucapan saya, saya belum selesai bicara lho," kata wanita itu membuat Dewi menatap ke arahnya. "Silakan lanjutkan, sekalian gak papa kalau kamu mau maki mereka. Biar mereka sadar diri," ucap Dewi membuat ia menjadi pusat perhatian karena ucapannya terus nyaring. "Pak Panji dan Bu Hana memang pemilik tempat ini, jika anda tak percaya saya bis
Mereka langsung pulang kala makanan habis, Panji meminta karyawan mengeluarkan mobil karena memang ia menyimpan satu kendaraan roda empat itu di sana. Di saat keluarga besar tersebut sudah tak tersisa, hanya ada orang tua Panji dan keluarga kecilnya. "Ayo Bu, Pak, masuk," ajak Hana kala suaminya tengah memanaskan mesin kendaraan roda empat itu."Masyaallah, ini mobil siapa Han. Bagus bangef," puji Midah memandang kendaraan roda empat tersebut."Allhamdulillah punya kami Bu, ayo masuk kita pulang," seru Hana sekali lagi sedangkan buah hati mereka sudah duduk nyaman di mobil. Kedua orang tua Panji mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Lagi-lagi Midah berdecak kagum dan hanya disambut timpalan Hana dan Panji. Di perjalanan Hana meminta Panji agar suaminya menyuarakan keinginan sang istri yang dihadiahi anggukan lelaki itu."Bu, Pak," panggil Panji membuat kedua orang tuanya menatap dia."Ada apa, Pan," sahut keduanya kompak."Kami pengen renovasi rumah kalian," ucap Panji pada inti
"Palingan taksi, Bu," ucap Dewi, wanita itu menyahuti padahal Midah yang ditanya. "Ha! Masa sih, mobil sebagus ini cuma taksi," ucap wanita itu hanya dibalas anggukan cepat oleh Dewi. "Ini bukan taksi, Bu. Ini mobil saya, ini buktinya," seru Hana mendekati mereka yang tangannya sudah memegang BPKBl dan menyodorkan pada Ibu itu dan dirampas Dewi. "Huh, padahal saya mau liat lho, Bu," kata wanita itu mempautkan bibirnya kesal dengan tingkah Dewi. "Bentar, saya cek dulu. Bener atau enggak ini mobil punya mereka," ujar Dewi lalu terdiam kala melihat nama Hana tertera di sana, ia segera menyodorkan buku itu ke sang pemilik lalu menatap Midah. "Jangan lupa ke rumah aku, Mbak, jangan sampe Ibu ngoceh karena gak ngundangan kalian," tutur Dewi lalu berlalu begitu saja kala selesai berbicara."Wah keren kamu punya Mobil, Han," puji beberapa tetangga hanya dibalas senyuman Hana."Maaf ya Bu, kami pamit ke dalam rumah dulu," ucap Panji dibalas anggukan semua, lalu perlahan sekeluarga itu ma
Hana memilih melakukan pekerjaan rumah tangga di kediaman mertuanya. Setelah selesai ia mulai istirahat sambil menina bobokan sang buah hati. Waktu terus berputar, kini waktu kembali siang. Hana tidak pergi ke warung membeli sayuran karna masih ada sisa bahan-bahan kemarin yang di beli. "Bu, Pak, Mas, Mawar, ayo sarapan," teriak Hana kala jam dinding baru menunjuk pukul 06:30 waktu indonesia barat. "Duh, kamu ini, bukannya nungguin Ibu. Pasti capek kerjain semua ini," gerutu Midah lalu duduk melihat hidangan di depan mata."Gak papa, Bu. Udah biasa kok, kalau gak ngerjain tuh, rasanya gimana gitu," tutur Hana seraya mengulas senyum kecil.Akhirnya mereka makan dengan lahap, kadang Mawar menceritakan kesehariannya. Gadis kecil itu sangat ceria, tingkah anak itu sangat menggemaskan. Kala semua selesai sarapan, langsung berkumpul di ruang tengah. "Siapa yang ketuk pintu sangat keras dan tidak sabaran begitu, apalagi ini masih pagi." Hana bangkit dari duduknya, wanita itu melarang sang
"Namanya juga jualan, Bi. Masa kudu digratisin terus. Nanti bangkut dong, apalagi kalau gratisnya tiap datang ke sana, yang ada untung kagak, buntung iya. Kita bagi-bagi juga kudu ada porsinya, Bi. Memang Bibi mau kalau misalnya Bibi jualan sesuatu lalu kami minta gratis terus," tutur Panji membuat Dewi bungkam sedangkan Hana tersenyum senang mendengar ucapan sang suami. "Udah-udah, ayo kita makan! Nanti keburu dingin gak enak lho," lerai suami Midah yang dibalas anggukan semua, mereka langsung bersila dan mulai melahap makanan yang ada. Mereka makan-makan seraya bercerita. Kala semua hidangan habis, keluarga Dewi pamit pulang. Siti sedikit meradang karna sudah mereka tinggal makan saja sekarang malah pergi tidak membantu apapun. "Dasar! Cuma pengen makan aja," gerutu Siti menatap kepergian keluarga Dewi. "Sudah, mendingan kita beres-beres aja. Dari pada ngeluh dari menggerutu gak bakal kelar ini kerjaan. Biarin ... mereka memang gitu, kalian juga udah tau, kan," ujar Midah membua
"Dih, marah-marah mulu, cepet tua lho. Lagian itu kesalahan menantumu, Bi," sahut Hana gemas dengan ucapan Dewi, sungguh ia malah mendatangi keluarga Dewi jika saja sang mertua tak mengajak. "Kamuu ...!" geram Dewi menunjuk wajah Hana dengan mata melotot tajam."Sssttt, jangan memicu keributan, Han, kita, kan niat mengajak," tegur Midah menyenggol lengan menantunya. "Dew, ayo ke rumahku, ajak semua anggota keluargamu. Kita makan bersama," tawar Midah dengan nada lembut membuat Dewi menatap remeh. Dewi langsung melirik ke halaman Midah dan memandang sinis sang Kakak. Wanita itu bersidekap lalu tersenyum miring. Ia berteriak memanggil suami, menantu dan anaknya."Apakah Mbak menjamin bahkan kami tidak akan pulang dengan perut kelaparan? Seperti kejadian tadi," cibir Dewi seraya menyindir membuat Hana menyipitkan matanya geram mendengar perkataan sang Bibi. "Ada apa, Bu, manggil kami. Gak tau apa, kami lagi nonton seru-serunya," protes Dimas dibalas anggukan Gina. "Iya nih, kalau ga
"Sayangnya kenapa, Bu. Please deh, jangan setengah-setengah ngomongnya," tutur salah satu membuat Dewi tersenyum kecil. "Dia bahkan sama sekali tak memikirkan keadaan rumah orang tuanya, kalian tau kan, keadaan rumah milik Mbak Midah, sangat ...," ucapan Dewi berhenti kala melihat riak semua ibu-ibu dengan wajah tak percaya. "Tega banget kalau gitu mereka," cibir salah satu Ibu Ibu dengan nada geram."Iya, tega bener. Di sana mereka hidup senang sedangkan orangtuanya, haduh ... jangan sampe deh menantu atau anakku bersikap seperti itu," katanya bergidik ngeri Dan dibalas anggukan semuanya."Bahkan saat di resto miliknya, kami kan ditraktir tapi, aku pengen ganti makanan karna ada rambutnya, eh mereka sok banget akhirnya keluarga pulang dengan perut lapar, bahkan tadi kami di rumah cuma makan dengan mie. Makanya aku cepet-cepet kesini biar keluarga gak kelapar gitu," ujar Dewi membuat semua orang di sana geleng-geleng dan menelan mentah-mentah ucapan Dewi."Keterlaluan banget sih, s
"Mohon perhatiannya semua. A--aku pengen ngomong sesuatu," ucap Gina dengan suara gemetar dan suara dia membuat semua orang menatap dirinya."Katanya mau ngomong, kok diem aja. Ayo dong cepat! Kami tak punya waktu banyak buat dengerin kamu," cecar salah satu pelanggan yang pasti tingkat ke kepoannya tinggi. "Huh, aku harus mempersiapkan diri juga kali. Jadi sabar aja! Main suruh-suruh aja, emang aku babu kamu," balas Gina sengit membuat pelanggan itu mendengkus. "Ayolah cepat! Gin. Bener kata dia, ayo cepat ngomong! Atau enggak ...," ucapan Hana terpotong karna Gina langsung berseru. "Iya-iya, ini aku bicara," sahut Gina dengan nada ketus lalu terlihat ia menarik dan mengembuskan napas dengan kasar. "Aku mau minta maaf atas keributanku tadi, itu sebenernya ...." Gina malah mengantung ucapannya membuat semua pelanggan menatap ia serius."Bi, cepat suruh menantumu bicara! Kalau enggak aku akan lapor polisi," ancam Hana kesal Gina yang menggantung ucapannya, Dewi yang mendengar lan
"Ngapain kita cek rekaman CCTV, gak guna tau gak. Inikan masalah keteledoran karyawan kamu," seru Dewi menatap tajam ke arah Panji, kala mengetahui jika Gina menegang."Iya gak nyambung banget sih," lanjut Gina dengan suara gugup membuat Panji mengeryitkan kening lalu menyeringai."Nyambung kok, Gin. Kan kita bisa tau jawaban itu dari CCTV, ayo kita liat," tutur Hana semangat kala melihat gelagat gelisah dari Gina."Ayoo ...," seru salah satu keluarga itu, lalu mereka berdiri dan mengikuti langkah Panji."Haduh ... aku gimana nih, Bu," lirih Gina pelan, ia berjalan paling belakang. "Memang kamu kenapa, Gin. Apa ini kerjaan kamu?" tanya Dimas kala mendengar ucapan Gina pada Dewi."Entahlah, Mas juga bingung. Makanya kalau buat sesuatu itu harus mikir resikonya gimana dan keadannya juga ginana, kamu emang gak mikir resto segede ini gak ada CCTV," seru Dimas pelan menceramahi sang istri membuat Gina mempautkan bibirnya."Aku harus bagaimana, Mas ...," lirih Gina pelan membuat Dimas terd
"Akutuh bukan gak mau ngurusin, Ibu kan masih punya suami, biar bapak yang ngurus Ibu. Biar romantis kaya di film atau novel gitu," jelas Gina tak mau disalahkan, padahal memang dia malas merawat sang mertua. "Sudah-sudah, mendingan kita abisin aja sarapan, terus berangkat ke resto Panji," lerai Enas dibalas anggukan semua lalu hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring. Selesai sarapan, mereka memilih duduk-duduk sebentar di ruang tamu. Anak-anak memilih ke tempat main milik Mawar, gadis kecil itu memilih terlelap dulu paha sang Mama. Setengah jam kemudian, mulai mendekati acara peresmian, semua mulai memasuki mobil dan kendaraan roda empat tersebut melaju. "Kok lama bener sih sampenya, emang di mana lokasi restonya," keluh Dewi karena mereka duduk berdempetan. "Sabar Bu, ini macet banget. Sebentar lagi juga sampe," balas yang menyupiri keluarga Dewi membuat wanita itu mendengkus. "Ibu, Ibu. Emang aku Ibumu," seru Dewi membuat karyawan yang mendadak jadi supir itu menole
"Bibi jangan asal nuduh, istriku gak mungkin begitu," ucap Panji dengan nada ketus ia sedikit terpancing oleh perkataan Dewi."Nyatanya istrimu begitu, Pan," seru Dewi membuat Panji mendengkus."Buktinya apa, Bi!" kata Panji membuat Dewi menyeringai lalu menyodorkan handphonenya."Dengarkan percakapan ini, mereka sangat mesra bersenda gurau," ujar Dewi membuat Panji mengernyitkan kening lalu mulai mendengar rekaman suara tersebut."Ini Hana lagi ngobrol sama Ajis, Bi." Panji menyodorkan handphone milik sang Bibi dengan tenang, tak ada riak kesal lagi di wajahnya. "Iya, Pan. Benerkan kata, Bibi, mereka itu pasti main serong, kamu harus marahin dia, atau talak sekalian," ujar Dewi dengan nada menggebu."Ihh ... Bibi ngomong apa sih, gak boleh menjerumuskan gitu Bi. Mereka itu udah kaya kakak, adik, jadi Bibi gak perlu khawatir. Udah ya, Panji mau pergi dulu," ujar Panji lalu melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Dewi."Siapa yang mau ngejerumusin, main fitnah aja. Orang Bibi baik, ma
Jangan lupa tap love dan coment biar smngt. Allhamdulillah hari ini double update"Kamu jahat, masa punya rumah bagus, enak-enak sendiri. Mertuamu malah rumahnya jelek banget bahkan sampe banyak yang bocor," cecar Gina membuat Hana menatapnya. "Kamu gak perlu ikut campur, Gin. Terserah aku dong mau gimana," balas Hana kesal dengan ucapan Gina yang terlalu ikut campur dan terus menghina. "Duh dasar orang kaya baru, sombong bener," cibir Dewi membuat Hana mendengkus."Kalian ngapa sih," tegur Midah yang mendekat dan berdiri di sisi menantunya. "Itu, menantumu biadap banget. Masa di sini enak-enak sedangkan gak mikirin kamu sebagai mertuanya yang hidup serba kekurangan," ujar Dewi menatap kakaknya. "Sudah-sudah, tenang aja. Menantu dan anakku bakal renovasi rumah kami kok, nanti kalau toko bangunan udah buka, bahkan menantuku yang meminta," jelas Midah membuat keduanya terdiam."Huh, kamu ini selalu membela menantumu," geram Dewi lalu melangkah pergi meninggalkan mereka. "Kamu sabar