# Ketika_Kami_Mudik"Ini kalian mudik apa pulang kampung? Bawa barang, kok, banyak banget? Udah susah emangnya di Jakarta?"nyinyir Dewi kala mereka baru masuk ke ruangan keluarga tempat mereka berkumpul."Mudik, Bi, ini oleh-oleh buat kalian,"sahut Panji sambil menaruh oleh-oleh ke lantai."Hahaa ... pulang kampung kali, inimah bukan oleh-oleh tapi barang-barang kalian! Sana jauh-jauh jangan deket-deket saya, nanti ketularan miskin lagi," hina Dewi membuat Panji dan sang istri terdiam. "Mbak, Mas, Dewi pamit dulu. Mau shopping dulu suami ngajak jalan-jalan. Assalamualaikum," pamit Dewi lalu pergi tanpa menunggu jawaban mereka."Bibi masih tetap sama ya, suka banget hina kita," ujar Hana yang sedari tadi terdiam menatap kepergian bibinya Panji."Sudah-sudah, mendingan kalian istirahat. Pasti capek, kan, terus cucuku juga cepat tidurkan di kamar, kasian," seru Midah sang mertua Hana, wanita itu mengangguk lalu membawa sang buah hati yang berusia empat tahun menuju kamar. "Bu, tolong b
"Tunggu!" teriak Dewi membuat mereka berhenti lalu menoleh menatap wanita itu."Uang ini pasti hasil minjem ya, atau jangan-jangan hasil nyuri dari rumah majikan kalian," cecar Dewi membuat semua orang menatap wanita itu lalu Dimas mendekati Ibunya."Memang mereka ngasih berapa, Bu?" tanya Dimas penasaran lalu mengambil amplop yang dipegang wanita itu."Uangnya lebih dari yang aku kasih ke Ibu, bener kata Ibu, pasti mereka mencuri! Haduh malu-maluin aja, masa mau kasih THR pake uang hasil curian," cemoh Dimas menatap meremehkan pada sepupunya. Panji menghela napas berusaha sabar karena kelakuan keluarga Bibinya. Hana yang sudah tak tahan, mendekati Dimas lalu mengambil amplop itu. Tatapan marah ia layangkan pada mereka."Ini bukan hasil minjem, apalagi nyuri! Ini uang hasil kami bekerja, kalau gak mau ya sudah sini mendingan saya simpen aja," seru Hana marah membuat Dewi melotot karena Hana berani mengeluarkan amarahnya, ia dengan cepat merebut amplop itu lagi dari tangan istri kepon
Semua telah berkumpul di kediaman orang tua Midah. Semua sangat bersemangat dan senang, senda gurau selalu dilayangkan. Kala beberapa orang pergi, karna telah menyepakati di mana tempat bertemu. "Nak, kalian akan pergi naik apa?" tanya Ibunya Midah atau neneknya Panji, memegang bahu sang cucu."Iya, Pan. Kalian naik apa perginya, kalau kami sih ada motor, tapikan cuma satu," seru Midah menatap anak dan menantunya."Tenang saja, Bu. Nanti juga jemputan datang kok, Ibu tak perlu naik motor panas-panasan. Lagi pula takut mogok," ujar Panji membuat yang mendengar naikan alis penasaran."Huh, kalian mau pake apa. Segala biar gak kepanasan, ohh jangan-jangan becak ya," cemoh Dewi kala mendengar perkataan Panji."Gak papa kalau pake becak juga, Pan. Lumayan gak kepanasan," sahut Midah hanya dibalas anggukan anak dan menantunya. "Huh, pake becak aja belagu, paling nanti ketinggalan jauh sama kita," cibir Dewi lalu meminta agar suaminya cepat menstater motor dan berlalu pergi diikuti Dimas y
"Wah ...." Dewi terpaku melihat pemandangan sekitar. "Bagus kan tempatnya, Bu," seru Gina kala melihat pandangan kagum dari sorot sang mertua. "Iya, Sayang. Ayo kita ke sana," ajak Dewi menarik lengan anaknya tetapi terhenti kala Enas memanggil."Dewi! Kita cari tempat bersama, jangan berpencar," sembur Enas membuat Dewi mengangguk pasrah lalu menghentakkan kaki karena kesal."Nek ... kesitu yuk, di sana seru lho." Ucapan Mawar membuat semua orang menoleh."Kecil-kecil sok tau deh," cibir Dewi pada Mawar membuat gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Jaga ucapanmu, Dew, kamu sudah besar harusnya kasih contoh yang baik," tegur Enas hanya disambut lengosan wanita itu. "Cepat kasih cucu buat Ibu, Gin. Biar Nenek nanti perhatian juga sama anak kamu," seru Dewi menatap menantunya yang langsung disambut tundukan kepala Gina. "Ihh ... Ibu ini gimana sih, kami juga lagi usaha," geram Dimas lalu mendekati sang istri dan menepuk-nepuk bahu Gina."Udah jangan bertengkar, kita lagi jalan-jala
"Ayo Bi, pesen es kelapanya. Aku traktir," kata Panji membuat Dewi melirik remeh ke arah sang ponakan."Nenek juga," lanjut Panji dibalas anggukan Enas lalu wanita paruh baya itu segera memesan. "Awas lho, jangan nyesel kalau tagihannya banyak," cemoh Dewi lalu segera memesan.Mawar terus mengajak Bagas berbicara, lelaki kecil itu sangat irit bicara. Senyuman geli terukir di bibir Hana kala melihat Mawar yang gencar menggoda sang teman. Dewi yang melirik Hana yang tak mengalihkan pandangan dari sang anak ikut kepo."Jangan biarkan Mawar begitu, Han," cibir Dewi melirik sinis istri keponakannya. "Heum ... Biarin aja Bi, yang penting masih tahap wajah. Aku juga sudah memberitahu apa yang dilarang disentuh atau menyentuh milik orang lain," sahut Hana tanpa mengalihkan tatapan pada Mawar."Dikasih tau malah gitu," ucap Dewi seraya melengos ia memilih menyeruput es kelapa, lalu beberapa keluarga perlahan datang Karena Dewi telah memberitahu."Wah, enak nih minum es kelapa," ujar Gina lan
"Ini keluarga saya," kata Panji membuat pelayan itu mengangguk paham lalu mempersilakan mereka masuk."Mau pesen apa Bu?" tanya pelayan itu, ia semakin ramah kala mengetahui jika mereka keluarga Hana.Setelah mereka menyebutkan pesanan masing-masing, ia langsung pergi menunaikan tugas. Gina yang memiliki ide kala melihat pelayan itu sangat dekat dengan Hana, mempunyai rencana. Bergegas wanita tersebut pindah dari tempat duduk ke dekat Hana saat Panji pamit ke toilet."Sepertinya kamu dan pelayan itu sangat dekat," tutur Gina membuat Hana menoleh menatap ia heran tetapi mengangguk sebagai jawaban. "Memang, aku sangat dekat dengan mereka," sahut Hana seadanya, memang benar bukan. "Kalau gitu, gak masalah dong kalau kita minta diskon," ucap Gina melancarkan rencananya membuat Hana menaikan sebelah alis."Bukannya kamu orang berada, ngapain minta diskon segala," cecar Hana membuat Gina mendengkus. "Sudahlah, Gin, dia tidak akan bisa membantu. Dia hanya akrab dengan pelayan di sini, gak
Pelayan itu mengeryitkan alisnya lalu melirik Panji mengangguk samar. Wanita tersebut mengembuskan napas lalu balik menatap Dewi. Dia masih memeluk nampan di dekapannya, ia sebenarnya sudah kesal dengan ucapan Dewi yang membuat beberapa bawahan Panji meradang karna menghina sang Bos. "Jika Ibu melaporkan jika Kelurga Pak Panji yang mengaku-ngaku. Tidak salah lagi jika ...," ucapan wanita itu terpotong karena Dewi kembali bersuara. "Tuh kan, pasti kalian sudah beberapa kali mengaku sebagai bos pada beberapa orang atau mau pamer sama temen kalian," cecar Dewi membuat wanita yang belum menyelesaikan kata-katanya membulat."Bu, tolong jangan potong ucapan saya, saya belum selesai bicara lho," kata wanita itu membuat Dewi menatap ke arahnya. "Silakan lanjutkan, sekalian gak papa kalau kamu mau maki mereka. Biar mereka sadar diri," ucap Dewi membuat ia menjadi pusat perhatian karena ucapannya terus nyaring. "Pak Panji dan Bu Hana memang pemilik tempat ini, jika anda tak percaya saya bis
Mereka langsung pulang kala makanan habis, Panji meminta karyawan mengeluarkan mobil karena memang ia menyimpan satu kendaraan roda empat itu di sana. Di saat keluarga besar tersebut sudah tak tersisa, hanya ada orang tua Panji dan keluarga kecilnya. "Ayo Bu, Pak, masuk," ajak Hana kala suaminya tengah memanaskan mesin kendaraan roda empat itu."Masyaallah, ini mobil siapa Han. Bagus bangef," puji Midah memandang kendaraan roda empat tersebut."Allhamdulillah punya kami Bu, ayo masuk kita pulang," seru Hana sekali lagi sedangkan buah hati mereka sudah duduk nyaman di mobil. Kedua orang tua Panji mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Lagi-lagi Midah berdecak kagum dan hanya disambut timpalan Hana dan Panji. Di perjalanan Hana meminta Panji agar suaminya menyuarakan keinginan sang istri yang dihadiahi anggukan lelaki itu."Bu, Pak," panggil Panji membuat kedua orang tuanya menatap dia."Ada apa, Pan," sahut keduanya kompak."Kami pengen renovasi rumah kalian," ucap Panji pada inti
Hana memilih melakukan pekerjaan rumah tangga di kediaman mertuanya. Setelah selesai ia mulai istirahat sambil menina bobokan sang buah hati. Waktu terus berputar, kini waktu kembali siang. Hana tidak pergi ke warung membeli sayuran karna masih ada sisa bahan-bahan kemarin yang di beli. "Bu, Pak, Mas, Mawar, ayo sarapan," teriak Hana kala jam dinding baru menunjuk pukul 06:30 waktu indonesia barat. "Duh, kamu ini, bukannya nungguin Ibu. Pasti capek kerjain semua ini," gerutu Midah lalu duduk melihat hidangan di depan mata."Gak papa, Bu. Udah biasa kok, kalau gak ngerjain tuh, rasanya gimana gitu," tutur Hana seraya mengulas senyum kecil.Akhirnya mereka makan dengan lahap, kadang Mawar menceritakan kesehariannya. Gadis kecil itu sangat ceria, tingkah anak itu sangat menggemaskan. Kala semua selesai sarapan, langsung berkumpul di ruang tengah. "Siapa yang ketuk pintu sangat keras dan tidak sabaran begitu, apalagi ini masih pagi." Hana bangkit dari duduknya, wanita itu melarang sang
"Namanya juga jualan, Bi. Masa kudu digratisin terus. Nanti bangkut dong, apalagi kalau gratisnya tiap datang ke sana, yang ada untung kagak, buntung iya. Kita bagi-bagi juga kudu ada porsinya, Bi. Memang Bibi mau kalau misalnya Bibi jualan sesuatu lalu kami minta gratis terus," tutur Panji membuat Dewi bungkam sedangkan Hana tersenyum senang mendengar ucapan sang suami. "Udah-udah, ayo kita makan! Nanti keburu dingin gak enak lho," lerai suami Midah yang dibalas anggukan semua, mereka langsung bersila dan mulai melahap makanan yang ada. Mereka makan-makan seraya bercerita. Kala semua hidangan habis, keluarga Dewi pamit pulang. Siti sedikit meradang karna sudah mereka tinggal makan saja sekarang malah pergi tidak membantu apapun. "Dasar! Cuma pengen makan aja," gerutu Siti menatap kepergian keluarga Dewi. "Sudah, mendingan kita beres-beres aja. Dari pada ngeluh dari menggerutu gak bakal kelar ini kerjaan. Biarin ... mereka memang gitu, kalian juga udah tau, kan," ujar Midah membua
"Dih, marah-marah mulu, cepet tua lho. Lagian itu kesalahan menantumu, Bi," sahut Hana gemas dengan ucapan Dewi, sungguh ia malah mendatangi keluarga Dewi jika saja sang mertua tak mengajak. "Kamuu ...!" geram Dewi menunjuk wajah Hana dengan mata melotot tajam."Sssttt, jangan memicu keributan, Han, kita, kan niat mengajak," tegur Midah menyenggol lengan menantunya. "Dew, ayo ke rumahku, ajak semua anggota keluargamu. Kita makan bersama," tawar Midah dengan nada lembut membuat Dewi menatap remeh. Dewi langsung melirik ke halaman Midah dan memandang sinis sang Kakak. Wanita itu bersidekap lalu tersenyum miring. Ia berteriak memanggil suami, menantu dan anaknya."Apakah Mbak menjamin bahkan kami tidak akan pulang dengan perut kelaparan? Seperti kejadian tadi," cibir Dewi seraya menyindir membuat Hana menyipitkan matanya geram mendengar perkataan sang Bibi. "Ada apa, Bu, manggil kami. Gak tau apa, kami lagi nonton seru-serunya," protes Dimas dibalas anggukan Gina. "Iya nih, kalau ga
"Sayangnya kenapa, Bu. Please deh, jangan setengah-setengah ngomongnya," tutur salah satu membuat Dewi tersenyum kecil. "Dia bahkan sama sekali tak memikirkan keadaan rumah orang tuanya, kalian tau kan, keadaan rumah milik Mbak Midah, sangat ...," ucapan Dewi berhenti kala melihat riak semua ibu-ibu dengan wajah tak percaya. "Tega banget kalau gitu mereka," cibir salah satu Ibu Ibu dengan nada geram."Iya, tega bener. Di sana mereka hidup senang sedangkan orangtuanya, haduh ... jangan sampe deh menantu atau anakku bersikap seperti itu," katanya bergidik ngeri Dan dibalas anggukan semuanya."Bahkan saat di resto miliknya, kami kan ditraktir tapi, aku pengen ganti makanan karna ada rambutnya, eh mereka sok banget akhirnya keluarga pulang dengan perut lapar, bahkan tadi kami di rumah cuma makan dengan mie. Makanya aku cepet-cepet kesini biar keluarga gak kelapar gitu," ujar Dewi membuat semua orang di sana geleng-geleng dan menelan mentah-mentah ucapan Dewi."Keterlaluan banget sih, s
"Mohon perhatiannya semua. A--aku pengen ngomong sesuatu," ucap Gina dengan suara gemetar dan suara dia membuat semua orang menatap dirinya."Katanya mau ngomong, kok diem aja. Ayo dong cepat! Kami tak punya waktu banyak buat dengerin kamu," cecar salah satu pelanggan yang pasti tingkat ke kepoannya tinggi. "Huh, aku harus mempersiapkan diri juga kali. Jadi sabar aja! Main suruh-suruh aja, emang aku babu kamu," balas Gina sengit membuat pelanggan itu mendengkus. "Ayolah cepat! Gin. Bener kata dia, ayo cepat ngomong! Atau enggak ...," ucapan Hana terpotong karna Gina langsung berseru. "Iya-iya, ini aku bicara," sahut Gina dengan nada ketus lalu terlihat ia menarik dan mengembuskan napas dengan kasar. "Aku mau minta maaf atas keributanku tadi, itu sebenernya ...." Gina malah mengantung ucapannya membuat semua pelanggan menatap ia serius."Bi, cepat suruh menantumu bicara! Kalau enggak aku akan lapor polisi," ancam Hana kesal Gina yang menggantung ucapannya, Dewi yang mendengar lan
"Ngapain kita cek rekaman CCTV, gak guna tau gak. Inikan masalah keteledoran karyawan kamu," seru Dewi menatap tajam ke arah Panji, kala mengetahui jika Gina menegang."Iya gak nyambung banget sih," lanjut Gina dengan suara gugup membuat Panji mengeryitkan kening lalu menyeringai."Nyambung kok, Gin. Kan kita bisa tau jawaban itu dari CCTV, ayo kita liat," tutur Hana semangat kala melihat gelagat gelisah dari Gina."Ayoo ...," seru salah satu keluarga itu, lalu mereka berdiri dan mengikuti langkah Panji."Haduh ... aku gimana nih, Bu," lirih Gina pelan, ia berjalan paling belakang. "Memang kamu kenapa, Gin. Apa ini kerjaan kamu?" tanya Dimas kala mendengar ucapan Gina pada Dewi."Entahlah, Mas juga bingung. Makanya kalau buat sesuatu itu harus mikir resikonya gimana dan keadannya juga ginana, kamu emang gak mikir resto segede ini gak ada CCTV," seru Dimas pelan menceramahi sang istri membuat Gina mempautkan bibirnya."Aku harus bagaimana, Mas ...," lirih Gina pelan membuat Dimas terd
"Akutuh bukan gak mau ngurusin, Ibu kan masih punya suami, biar bapak yang ngurus Ibu. Biar romantis kaya di film atau novel gitu," jelas Gina tak mau disalahkan, padahal memang dia malas merawat sang mertua. "Sudah-sudah, mendingan kita abisin aja sarapan, terus berangkat ke resto Panji," lerai Enas dibalas anggukan semua lalu hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring. Selesai sarapan, mereka memilih duduk-duduk sebentar di ruang tamu. Anak-anak memilih ke tempat main milik Mawar, gadis kecil itu memilih terlelap dulu paha sang Mama. Setengah jam kemudian, mulai mendekati acara peresmian, semua mulai memasuki mobil dan kendaraan roda empat tersebut melaju. "Kok lama bener sih sampenya, emang di mana lokasi restonya," keluh Dewi karena mereka duduk berdempetan. "Sabar Bu, ini macet banget. Sebentar lagi juga sampe," balas yang menyupiri keluarga Dewi membuat wanita itu mendengkus. "Ibu, Ibu. Emang aku Ibumu," seru Dewi membuat karyawan yang mendadak jadi supir itu menole
"Bibi jangan asal nuduh, istriku gak mungkin begitu," ucap Panji dengan nada ketus ia sedikit terpancing oleh perkataan Dewi."Nyatanya istrimu begitu, Pan," seru Dewi membuat Panji mendengkus."Buktinya apa, Bi!" kata Panji membuat Dewi menyeringai lalu menyodorkan handphonenya."Dengarkan percakapan ini, mereka sangat mesra bersenda gurau," ujar Dewi membuat Panji mengernyitkan kening lalu mulai mendengar rekaman suara tersebut."Ini Hana lagi ngobrol sama Ajis, Bi." Panji menyodorkan handphone milik sang Bibi dengan tenang, tak ada riak kesal lagi di wajahnya. "Iya, Pan. Benerkan kata, Bibi, mereka itu pasti main serong, kamu harus marahin dia, atau talak sekalian," ujar Dewi dengan nada menggebu."Ihh ... Bibi ngomong apa sih, gak boleh menjerumuskan gitu Bi. Mereka itu udah kaya kakak, adik, jadi Bibi gak perlu khawatir. Udah ya, Panji mau pergi dulu," ujar Panji lalu melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Dewi."Siapa yang mau ngejerumusin, main fitnah aja. Orang Bibi baik, ma
Jangan lupa tap love dan coment biar smngt. Allhamdulillah hari ini double update"Kamu jahat, masa punya rumah bagus, enak-enak sendiri. Mertuamu malah rumahnya jelek banget bahkan sampe banyak yang bocor," cecar Gina membuat Hana menatapnya. "Kamu gak perlu ikut campur, Gin. Terserah aku dong mau gimana," balas Hana kesal dengan ucapan Gina yang terlalu ikut campur dan terus menghina. "Duh dasar orang kaya baru, sombong bener," cibir Dewi membuat Hana mendengkus."Kalian ngapa sih," tegur Midah yang mendekat dan berdiri di sisi menantunya. "Itu, menantumu biadap banget. Masa di sini enak-enak sedangkan gak mikirin kamu sebagai mertuanya yang hidup serba kekurangan," ujar Dewi menatap kakaknya. "Sudah-sudah, tenang aja. Menantu dan anakku bakal renovasi rumah kami kok, nanti kalau toko bangunan udah buka, bahkan menantuku yang meminta," jelas Midah membuat keduanya terdiam."Huh, kamu ini selalu membela menantumu," geram Dewi lalu melangkah pergi meninggalkan mereka. "Kamu sabar