Semua telah berkumpul di kediaman orang tua Midah. Semua sangat bersemangat dan senang, senda gurau selalu dilayangkan. Kala beberapa orang pergi, karna telah menyepakati di mana tempat bertemu.
"Nak, kalian akan pergi naik apa?" tanya Ibunya Midah atau neneknya Panji, memegang bahu sang cucu."Iya, Pan. Kalian naik apa perginya, kalau kami sih ada motor, tapikan cuma satu," seru Midah menatap anak dan menantunya."Tenang saja, Bu. Nanti juga jemputan datang kok, Ibu tak perlu naik motor panas-panasan. Lagi pula takut mogok," ujar Panji membuat yang mendengar naikan alis penasaran."Huh, kalian mau pake apa. Segala biar gak kepanasan, ohh jangan-jangan becak ya," cemoh Dewi kala mendengar perkataan Panji."Gak papa kalau pake becak juga, Pan. Lumayan gak kepanasan," sahut Midah hanya dibalas anggukan anak dan menantunya. "Huh, pake becak aja belagu, paling nanti ketinggalan jauh sama kita," cibir Dewi lalu meminta agar suaminya cepat menstater motor dan berlalu pergi diikuti Dimas yang membonceng sang istri."Sabar ya, Nak. Jangan dimasukan ke hati ucapanan Bibimu," kata Ibu Midah menatap cucunya yang hanya dibalas senyuman dan anggukan Panji. "Tak apa, Nek," balas Panji lalu kedua orang tua Midah pamit untuk pergi mengikuti mereka yang sudah berlalu. "Pak, Bapak masukin motornya aja dulu," usul Panji yang dibalas anggukan sang Bapak.Suara deru mobil terdengar, semua mengalihkan tatapan pada kendaraan roda empat tersebut. Di sana hanya tinggal orang tua Panji dan keluarga kecilnya. Hana yang melihat taksi sudah datang, ia izin dulu untuk menidurkan sang anak. Gadis kecil itu sangat gampang tertidur, setelah menerima anggukan Panji, dia lekas melangkah dan dibukakan pintu oleh supir."Bu, tolong paling Bapak, jemputan sudah datang," pinta Panji membuat Midah yang mematung melihat taksi langsung terkejut lalu ia mengangguk mengerti."Pak ...," panggil Midah pada suaminya yang tengah meneguk air di dapur karna haus. "Ada apa sih, Bu, teriak-teriak kaya di hutan aja," balas sang suami membuat Midah memajukan bibirnya kesal."Ayo cepat keluar, jemputan kita sudah datang," seru Midah membuat lelaki itu mengangguk mengerti lalu berjalan beriringan bersama sang istri."Pak, kalau naik taksi biayanya mahal gak?" tanya Midah membuat Hasan melirik sang istri dengan riak bingung. "Lumayan, memang ada apa, Bu? Jangan minta Bapak berhentiin taksi ya, Bapak gak sanggup," seru Hasan membuat Midah menatap kesal sang suami karna main tuduh saja."Huh, Ibu juga gak bakal minta itu. Karna kita gak mampuh, tapi anak kita Panji tadi bilang taksi yang ada di depan rumah adalah jemputan yang dipesan dia, ya ampun gak kebayang uang yang keluar dari dompet anakku," ujar Midah dramatis membuat Hasan menaikan alisnya."Ibu ini jangan bercanda deh, mana mungkin anak kita mesen taksi. Ayo cepat! Kasian mereka nungguin kita," tutur Hasan menarik lengan istri yang hanya dituruti Midah."Bapak, Ibu, akhirnya kalian keluar. Ayo masuk, jangan lupa kunci pintu," pinta Panji menatap orang tuanya yang keluar dari pintu lalu Midah segera melakukan apa yang dikatakan sang anak."Taksi, Pak. Ayo masuk, cuaca semakin terik," ajak Panji menggandeng lengan kedua orangtuanya."Kita naik apa, Nak?" tanya Hasan kala melihat sekitar tidak menemukan apapun, hanya sebuah taksi yang mustahil dipikirannya sang anak memesan itu."Bapak di depan, biar kami dibelakang," celetuk Panji lalu mempersilakan sang bapak masuk ke mobil. "Nak, apa kamu gak pegel memangku Mawar. Biar Ibu saja yang memangku dia," pinta Midah tetapi disambut gelengan Hana. "Gak perlu, Bu. Biar Mas Panji saja," seru Hana dibalas anggukan sang suami lalu lelaki itu segera membawa Mawar dalam pangkuannya."Nak, apa gak berlebihan naik ini, pasti ongkosnya mahal," bisik Midah pelan, takut terdengar sang supir. "Tenang saja, Bu, Ibu tak perlu memikirkan hal itu, tinggal nikmati saja," ucap Panji seraya mengulas senyum.Disaat semuanya telah sampai dan berkumpul, orang tua Midah tengah menunggu sang anak dan keluarga kecil cucunya dengan cemas. Dewi yang melirik sang Ibu yang bolak-balik aja membuat ia mendengkus lalu mendekat mencekal tangan wanita paruh baya tersebut. "Bu ... bisa diem gak, aku pusing liatinnya," gerutu Dewi membuat orang tuanya menatap kesal. "Kalau pusing ya jangan diliatin, gitu aja repot," sembur Enas orang tua Midah termasuk Dewi. "Huh, Ibu gak usah nungguin mereka. Mereka pasti lama banget sampenya," seru Dewi membuat Enas menghela napas tapi tidak mengindahkan kata-kata sang anak. "Sudah, kalau kalian bosen menunggu mereka mendingan kalian duluan aja, biar Ibu dan Bapak saja yang menunggu mereka," tutur Enas membuat semua menatap dirinya."Tidak, Nek, kami akan ikut menunggu seperti kalian," sahut Gina membuat Dewi menoleh dan menatap tajam sang menantu."Kamu apa-apaan sih, Gin, malah mau nungguin mereka," sembur Dewi pelan seperti berbisik tapi penuh amarah kala sudah berada disamping sang menantu."Huh, Ibu ini. Kita kan mau mempermalukan mereka, itu memon yang pas, pas mereka turun dari kendaraan yang kita perkirakan becak," jelas Gina berbisik pelan membuat Dewi terdiam sebentar lalu menyeringai. "Tak salah Ibu memilih menantu, kamu sangat pintar," puji Dewi membuat Gina tak tahan mengembangkan senyumannya, Dimas yang sedari tadi menguping tersenyum bahagia."Istriku memang pintar Bu," ucap Dimas bangga membuat orang yang mendengar langsung menoleh ke arah mereka.Disaat Dimas menjadi pusat perhatian, suara deru kendaraan membuat semua menoleh. Beberapa mengeryitkan alis kala melihat mobil itu berhenti di dekat mereka. Kala pintu taksi terbuka, netra mereka membulat lalu bibir mangap karena terkejut. "Itu Panji dan keluarganya, bagaimana bisa mereka naik taksi," gumam salah satu dari mereka. Setelah kendaraan roda empat tersebut pergi, Enas langsung mendekat. Mawar sudah bangun, gadis kecil itu berdiri di samping sang Ibu, ia terus menggenggam jemari Hana karena takut di tinggal. Dewi yang jiwa julidnya merontah plus kepo dia mendekat lalu menatap menghina ke arah mereka. "Huh ... gaya-gayaan make taksi, uang ludes baru tau rasa kamu," cibir Dewi membuat Hana marah lalu menatap nyalang ke arah sang Bibi. "Apaan kamu, mau marah, lah ini fakta kok," sembur Dewi sekali lagi tetapi Gina segera menarik lengan sang mertua kala melihat tatapan murka Enas. "Jaga ucapanmu, Nak. Terserah mereka mau naik apa, kenapa kamu yang sewot." Enas berkata dengan nada kesal, Dewi yang mendengar sang Ibu selalu membela keluarga Midah membikin ia marah lalu menghentakan kakinya. "Mendingan kita langsung ke sana saja, Nek, kan mereka sudah sampai," usul Gina mengalihkan pembicaraan membuat Enas mengangguk lalu mengajak semuanya agar pergi ke tempat tujuan."Ngapain sih kamu, padahal Ibu belum puas menghina mereka," geram Dewi menatap sang menantu yang terus memegang lengannya."Wah ...." Dewi terpaku melihat pemandangan sekitar. "Bagus kan tempatnya, Bu," seru Gina kala melihat pandangan kagum dari sorot sang mertua. "Iya, Sayang. Ayo kita ke sana," ajak Dewi menarik lengan anaknya tetapi terhenti kala Enas memanggil."Dewi! Kita cari tempat bersama, jangan berpencar," sembur Enas membuat Dewi mengangguk pasrah lalu menghentakkan kaki karena kesal."Nek ... kesitu yuk, di sana seru lho." Ucapan Mawar membuat semua orang menoleh."Kecil-kecil sok tau deh," cibir Dewi pada Mawar membuat gadis kecil itu mengerucutkan bibir. "Jaga ucapanmu, Dew, kamu sudah besar harusnya kasih contoh yang baik," tegur Enas hanya disambut lengosan wanita itu. "Cepat kasih cucu buat Ibu, Gin. Biar Nenek nanti perhatian juga sama anak kamu," seru Dewi menatap menantunya yang langsung disambut tundukan kepala Gina. "Ihh ... Ibu ini gimana sih, kami juga lagi usaha," geram Dimas lalu mendekati sang istri dan menepuk-nepuk bahu Gina."Udah jangan bertengkar, kita lagi jalan-jala
"Ayo Bi, pesen es kelapanya. Aku traktir," kata Panji membuat Dewi melirik remeh ke arah sang ponakan."Nenek juga," lanjut Panji dibalas anggukan Enas lalu wanita paruh baya itu segera memesan. "Awas lho, jangan nyesel kalau tagihannya banyak," cemoh Dewi lalu segera memesan.Mawar terus mengajak Bagas berbicara, lelaki kecil itu sangat irit bicara. Senyuman geli terukir di bibir Hana kala melihat Mawar yang gencar menggoda sang teman. Dewi yang melirik Hana yang tak mengalihkan pandangan dari sang anak ikut kepo."Jangan biarkan Mawar begitu, Han," cibir Dewi melirik sinis istri keponakannya. "Heum ... Biarin aja Bi, yang penting masih tahap wajah. Aku juga sudah memberitahu apa yang dilarang disentuh atau menyentuh milik orang lain," sahut Hana tanpa mengalihkan tatapan pada Mawar."Dikasih tau malah gitu," ucap Dewi seraya melengos ia memilih menyeruput es kelapa, lalu beberapa keluarga perlahan datang Karena Dewi telah memberitahu."Wah, enak nih minum es kelapa," ujar Gina lan
"Ini keluarga saya," kata Panji membuat pelayan itu mengangguk paham lalu mempersilakan mereka masuk."Mau pesen apa Bu?" tanya pelayan itu, ia semakin ramah kala mengetahui jika mereka keluarga Hana.Setelah mereka menyebutkan pesanan masing-masing, ia langsung pergi menunaikan tugas. Gina yang memiliki ide kala melihat pelayan itu sangat dekat dengan Hana, mempunyai rencana. Bergegas wanita tersebut pindah dari tempat duduk ke dekat Hana saat Panji pamit ke toilet."Sepertinya kamu dan pelayan itu sangat dekat," tutur Gina membuat Hana menoleh menatap ia heran tetapi mengangguk sebagai jawaban. "Memang, aku sangat dekat dengan mereka," sahut Hana seadanya, memang benar bukan. "Kalau gitu, gak masalah dong kalau kita minta diskon," ucap Gina melancarkan rencananya membuat Hana menaikan sebelah alis."Bukannya kamu orang berada, ngapain minta diskon segala," cecar Hana membuat Gina mendengkus. "Sudahlah, Gin, dia tidak akan bisa membantu. Dia hanya akrab dengan pelayan di sini, gak
Pelayan itu mengeryitkan alisnya lalu melirik Panji mengangguk samar. Wanita tersebut mengembuskan napas lalu balik menatap Dewi. Dia masih memeluk nampan di dekapannya, ia sebenarnya sudah kesal dengan ucapan Dewi yang membuat beberapa bawahan Panji meradang karna menghina sang Bos. "Jika Ibu melaporkan jika Kelurga Pak Panji yang mengaku-ngaku. Tidak salah lagi jika ...," ucapan wanita itu terpotong karena Dewi kembali bersuara. "Tuh kan, pasti kalian sudah beberapa kali mengaku sebagai bos pada beberapa orang atau mau pamer sama temen kalian," cecar Dewi membuat wanita yang belum menyelesaikan kata-katanya membulat."Bu, tolong jangan potong ucapan saya, saya belum selesai bicara lho," kata wanita itu membuat Dewi menatap ke arahnya. "Silakan lanjutkan, sekalian gak papa kalau kamu mau maki mereka. Biar mereka sadar diri," ucap Dewi membuat ia menjadi pusat perhatian karena ucapannya terus nyaring. "Pak Panji dan Bu Hana memang pemilik tempat ini, jika anda tak percaya saya bis
Mereka langsung pulang kala makanan habis, Panji meminta karyawan mengeluarkan mobil karena memang ia menyimpan satu kendaraan roda empat itu di sana. Di saat keluarga besar tersebut sudah tak tersisa, hanya ada orang tua Panji dan keluarga kecilnya. "Ayo Bu, Pak, masuk," ajak Hana kala suaminya tengah memanaskan mesin kendaraan roda empat itu."Masyaallah, ini mobil siapa Han. Bagus bangef," puji Midah memandang kendaraan roda empat tersebut."Allhamdulillah punya kami Bu, ayo masuk kita pulang," seru Hana sekali lagi sedangkan buah hati mereka sudah duduk nyaman di mobil. Kedua orang tua Panji mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Lagi-lagi Midah berdecak kagum dan hanya disambut timpalan Hana dan Panji. Di perjalanan Hana meminta Panji agar suaminya menyuarakan keinginan sang istri yang dihadiahi anggukan lelaki itu."Bu, Pak," panggil Panji membuat kedua orang tuanya menatap dia."Ada apa, Pan," sahut keduanya kompak."Kami pengen renovasi rumah kalian," ucap Panji pada inti
"Palingan taksi, Bu," ucap Dewi, wanita itu menyahuti padahal Midah yang ditanya. "Ha! Masa sih, mobil sebagus ini cuma taksi," ucap wanita itu hanya dibalas anggukan cepat oleh Dewi. "Ini bukan taksi, Bu. Ini mobil saya, ini buktinya," seru Hana mendekati mereka yang tangannya sudah memegang BPKBl dan menyodorkan pada Ibu itu dan dirampas Dewi. "Huh, padahal saya mau liat lho, Bu," kata wanita itu mempautkan bibirnya kesal dengan tingkah Dewi. "Bentar, saya cek dulu. Bener atau enggak ini mobil punya mereka," ujar Dewi lalu terdiam kala melihat nama Hana tertera di sana, ia segera menyodorkan buku itu ke sang pemilik lalu menatap Midah. "Jangan lupa ke rumah aku, Mbak, jangan sampe Ibu ngoceh karena gak ngundangan kalian," tutur Dewi lalu berlalu begitu saja kala selesai berbicara."Wah keren kamu punya Mobil, Han," puji beberapa tetangga hanya dibalas senyuman Hana."Maaf ya Bu, kami pamit ke dalam rumah dulu," ucap Panji dibalas anggukan semua, lalu perlahan sekeluarga itu ma
Jam sudah menunjuk angka enam sore, keluarga Midah datang terlebih dahulu karena rumah mereka berdekatan. Dewi yang melihat mereka langsung menarik Mbak dan istri keponakannya buat membantu menyiapkan makan malam. Berlaga seperti Nyonya, Dewi memerintah ini itu. "Cepat bawakan ini, Mbak," perintah Dewi menyodorkan cobek dan Midah menerimanya. "Cepat bawa, takut mereka keburu datang," seru Dewi sekali lagi dibalas anggukan Midah, wanita itu melangkah sembari membawa cobek lalu Dewi menyeringai menatap kepergian sang kakak. "Yah, kok kotor," ujar Midah lalu meletakan cobek itu di tempatnya lalu ia memandang nanar gamis yang dibelikan sang menantu."Ada apa, Wa?" tanya Gina sambil membawa lap di tangan."Ini, baju Uwa kotor. Duh apalagi ini gamis yang dibelikan Hana lagi," ujar Midah membuat Gina menyeringai. "Duh, gimana dong. Hana pasti kecewa," tutur Gina membuat Midah mengangguk pelan."Gimana kalau aku elap aja, Wa," se
"Emang menurut Bibi, baju yang Ibu pakai itu berapa harganya?" tanya Hana menatap kesal ke arah Dewi. "Palingan sekitar lima puluh ribuan, paling mahal palingan seratus ribu," balas Dewi angkuh membuat Hana terkekeh Lalu mengeluarkan ponselnya."Duh, maaf. Buat Bibi kecewa, karna harga yang Bibi sebutkan itu salah," ucap Hana lalu memainkan ponselnya. "Huh, terus berapa! Apa jangan-jangan dibawah lima puluh ribu. Duh malu-maluin banget, punya mobil tapi cuma bisa beliin gamis ke mertua harga segitu," hina Dewi membuat Panji menggelengkan kepalanya."Harganya itu enam ratus dua puluh lima ribu, itupun belum termasuk ongkir," ujar Hana membuat Dewi Dan Gina tertawa. "Hahaha ... jangan kejauhan halunya, masa gamis gini doang harganya sampe segitu," cibir Dewi hanya disambut seringai Hana."Gak percaya? Ini buktinya," kata Hana menyodorkan handphone yang menampilkan barang telah sampai ditangannya.