"Ayo Bi, pesen es kelapanya. Aku traktir," kata Panji membuat Dewi melirik remeh ke arah sang ponakan.
"Nenek juga," lanjut Panji dibalas anggukan Enas lalu wanita paruh baya itu segera memesan. "Awas lho, jangan nyesel kalau tagihannya banyak," cemoh Dewi lalu segera memesan.Mawar terus mengajak Bagas berbicara, lelaki kecil itu sangat irit bicara. Senyuman geli terukir di bibir Hana kala melihat Mawar yang gencar menggoda sang teman. Dewi yang melirik Hana yang tak mengalihkan pandangan dari sang anak ikut kepo."Jangan biarkan Mawar begitu, Han," cibir Dewi melirik sinis istri keponakannya. "Heum ... Biarin aja Bi, yang penting masih tahap wajah. Aku juga sudah memberitahu apa yang dilarang disentuh atau menyentuh milik orang lain," sahut Hana tanpa mengalihkan tatapan pada Mawar."Dikasih tau malah gitu," ucap Dewi seraya melengos ia memilih menyeruput es kelapa, lalu beberapa keluarga perlahan datang Karena Dewi telah memberitahu."Wah, enak nih minum es kelapa," ujar Gina langsung mendaratkan bokong dan langsung menyeruput minuman miliknya.Setelah semua sudah meminum es kepala itu sampai tandas. Melirik matahari yang makin terik, terlihat beberapa anak-anak tengah memainkan pasir atau mencari sesuatu di pinggiran. "Mah, Yah, Mawar mau main sama Bagas di sana," ucap Mawar memegang baju Panji dan Hana lalu menunjuk tempat yang akan ia tuju."Iya, tapi jangan nakal ya," balas Hana membuat Mawar mengangguk senang lalu segera bergelayut manja di lengan Bagas. "Ayo kita bersenang-senang," ajak Gina bangkit dari duduknya lalu merenggangkan tubuh."Ayooo ...," sahut Dewi dengan semangat membuat semua orang menoleh menatapnya."He, lalu siapa yang bayar ini kalau kamu pergi," seru salah satu dari mereka mengeryitkan alisnya. "Panji, dia ngomong mau traktir kita," balas Dewi menatap mencemoh ke arah keponakannya. "Oh ya sudah, makasih Panji," seru beberapa orang hanya dibalas anggukan Panji."Awas jangan besar kepala, cuma traktir es kelapa jangan sombong," cecar Dewi membuat Panji menghela napas tidak membalas ucapan wanita itu. "Sudahlah, Bu, ayo kita pergi. Takut dia malah minta bantuan kalau ternyata ada drama gak bawa dompet," sembur Gina disambut tawa Dewi lalu wanita itu mengangguk dan sekeluarga Dewi hendak melangkah tetapi terhenti kala mendengar ucapan Hana."Jadi berapa?" tanya Hana kala Ibunya Bagas tengah mengelap meja. "Apa kalian akan pergi lagi? Sesekali refreshing lah, jangan kerja terus," cecar Ibu Bagas hanya disambut senyuman tipis Hana. "Enggak kok, ini mau ke sana, masa hari raya jualan, nanti aja besok," sahut Hana dengan kekehan lalu Ibu Bagas segera menyebutkan total dan segera Hana bayar. Keluarga besar mereka hanya diam, apalagi Dewi membulatkan matanya. Ia langsung mempautkan bibir karna tak ada bahan cemohan untuk keluarga Mbaknya. Satu persatu pergi ke tempat yang ingin dituju."Ayo kita bersenang-senang," ajak Enas dengan gembira, wanita tua itu memang sangat suka jalan-jalan. "Iya, Nek. Sekalian kita selfi," sambut Gina membuat beberapa mengangguk. "Iya, nanti kamu cuci ya, mau Nenek simpan di rumah," pinta Enas diacungi jempol oleh Gina. Semua sangat gembira, disaat mereka sudah merasa puas. Dengan semangat Gina mengajak pergi ke tempat tujuan yang dibicarakan kala di kediaman Enas. Beruntung lokasi itu tidak terlalu jauh, sesampai di sana disambut oleh pelayan di depan pintu. "Selamat datang, selalu bahagia," sapa pelayan itu dengan senyuman manisnya lalu mata ia melirik sang pemilik tempat ini. "Bu Hana, anda ke sini. Kenapa tidak bilang-bilang, bukannya besok lusa ya," seru pelayan itu mendekati Hana yang disambut senyum kecil wanita tersebut, keluarga besar Panji langsung menyorot Panji dan Hana dengan heran."Ini keluarga saya," kata Panji membuat pelayan itu mengangguk paham lalu mempersilakan mereka masuk."Mau pesen apa Bu?" tanya pelayan itu, ia semakin ramah kala mengetahui jika mereka keluarga Hana.Setelah mereka menyebutkan pesanan masing-masing, ia langsung pergi menunaikan tugas. Gina yang memiliki ide kala melihat pelayan itu sangat dekat dengan Hana, mempunyai rencana. Bergegas wanita tersebut pindah dari tempat duduk ke dekat Hana saat Panji pamit ke toilet."Sepertinya kamu dan pelayan itu sangat dekat," tutur Gina membuat Hana menoleh menatap ia heran tetapi mengangguk sebagai jawaban. "Memang, aku sangat dekat dengan mereka," sahut Hana seadanya, memang benar bukan. "Kalau gitu, gak masalah dong kalau kita minta diskon," ucap Gina melancarkan rencananya membuat Hana menaikan sebelah alis."Bukannya kamu orang berada, ngapain minta diskon segala," cecar Hana membuat Gina mendengkus. "Sudahlah, Gin, dia tidak akan bisa membantu. Dia hanya akrab dengan pelayan di sini, gak
Pelayan itu mengeryitkan alisnya lalu melirik Panji mengangguk samar. Wanita tersebut mengembuskan napas lalu balik menatap Dewi. Dia masih memeluk nampan di dekapannya, ia sebenarnya sudah kesal dengan ucapan Dewi yang membuat beberapa bawahan Panji meradang karna menghina sang Bos. "Jika Ibu melaporkan jika Kelurga Pak Panji yang mengaku-ngaku. Tidak salah lagi jika ...," ucapan wanita itu terpotong karena Dewi kembali bersuara. "Tuh kan, pasti kalian sudah beberapa kali mengaku sebagai bos pada beberapa orang atau mau pamer sama temen kalian," cecar Dewi membuat wanita yang belum menyelesaikan kata-katanya membulat."Bu, tolong jangan potong ucapan saya, saya belum selesai bicara lho," kata wanita itu membuat Dewi menatap ke arahnya. "Silakan lanjutkan, sekalian gak papa kalau kamu mau maki mereka. Biar mereka sadar diri," ucap Dewi membuat ia menjadi pusat perhatian karena ucapannya terus nyaring. "Pak Panji dan Bu Hana memang pemilik tempat ini, jika anda tak percaya saya bis
Mereka langsung pulang kala makanan habis, Panji meminta karyawan mengeluarkan mobil karena memang ia menyimpan satu kendaraan roda empat itu di sana. Di saat keluarga besar tersebut sudah tak tersisa, hanya ada orang tua Panji dan keluarga kecilnya. "Ayo Bu, Pak, masuk," ajak Hana kala suaminya tengah memanaskan mesin kendaraan roda empat itu."Masyaallah, ini mobil siapa Han. Bagus bangef," puji Midah memandang kendaraan roda empat tersebut."Allhamdulillah punya kami Bu, ayo masuk kita pulang," seru Hana sekali lagi sedangkan buah hati mereka sudah duduk nyaman di mobil. Kedua orang tua Panji mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil. Lagi-lagi Midah berdecak kagum dan hanya disambut timpalan Hana dan Panji. Di perjalanan Hana meminta Panji agar suaminya menyuarakan keinginan sang istri yang dihadiahi anggukan lelaki itu."Bu, Pak," panggil Panji membuat kedua orang tuanya menatap dia."Ada apa, Pan," sahut keduanya kompak."Kami pengen renovasi rumah kalian," ucap Panji pada inti
"Palingan taksi, Bu," ucap Dewi, wanita itu menyahuti padahal Midah yang ditanya. "Ha! Masa sih, mobil sebagus ini cuma taksi," ucap wanita itu hanya dibalas anggukan cepat oleh Dewi. "Ini bukan taksi, Bu. Ini mobil saya, ini buktinya," seru Hana mendekati mereka yang tangannya sudah memegang BPKBl dan menyodorkan pada Ibu itu dan dirampas Dewi. "Huh, padahal saya mau liat lho, Bu," kata wanita itu mempautkan bibirnya kesal dengan tingkah Dewi. "Bentar, saya cek dulu. Bener atau enggak ini mobil punya mereka," ujar Dewi lalu terdiam kala melihat nama Hana tertera di sana, ia segera menyodorkan buku itu ke sang pemilik lalu menatap Midah. "Jangan lupa ke rumah aku, Mbak, jangan sampe Ibu ngoceh karena gak ngundangan kalian," tutur Dewi lalu berlalu begitu saja kala selesai berbicara."Wah keren kamu punya Mobil, Han," puji beberapa tetangga hanya dibalas senyuman Hana."Maaf ya Bu, kami pamit ke dalam rumah dulu," ucap Panji dibalas anggukan semua, lalu perlahan sekeluarga itu ma
Jam sudah menunjuk angka enam sore, keluarga Midah datang terlebih dahulu karena rumah mereka berdekatan. Dewi yang melihat mereka langsung menarik Mbak dan istri keponakannya buat membantu menyiapkan makan malam. Berlaga seperti Nyonya, Dewi memerintah ini itu. "Cepat bawakan ini, Mbak," perintah Dewi menyodorkan cobek dan Midah menerimanya. "Cepat bawa, takut mereka keburu datang," seru Dewi sekali lagi dibalas anggukan Midah, wanita itu melangkah sembari membawa cobek lalu Dewi menyeringai menatap kepergian sang kakak. "Yah, kok kotor," ujar Midah lalu meletakan cobek itu di tempatnya lalu ia memandang nanar gamis yang dibelikan sang menantu."Ada apa, Wa?" tanya Gina sambil membawa lap di tangan."Ini, baju Uwa kotor. Duh apalagi ini gamis yang dibelikan Hana lagi," ujar Midah membuat Gina menyeringai. "Duh, gimana dong. Hana pasti kecewa," tutur Gina membuat Midah mengangguk pelan."Gimana kalau aku elap aja, Wa," se
"Emang menurut Bibi, baju yang Ibu pakai itu berapa harganya?" tanya Hana menatap kesal ke arah Dewi. "Palingan sekitar lima puluh ribuan, paling mahal palingan seratus ribu," balas Dewi angkuh membuat Hana terkekeh Lalu mengeluarkan ponselnya."Duh, maaf. Buat Bibi kecewa, karna harga yang Bibi sebutkan itu salah," ucap Hana lalu memainkan ponselnya. "Huh, terus berapa! Apa jangan-jangan dibawah lima puluh ribu. Duh malu-maluin banget, punya mobil tapi cuma bisa beliin gamis ke mertua harga segitu," hina Dewi membuat Panji menggelengkan kepalanya."Harganya itu enam ratus dua puluh lima ribu, itupun belum termasuk ongkir," ujar Hana membuat Dewi Dan Gina tertawa. "Hahaha ... jangan kejauhan halunya, masa gamis gini doang harganya sampe segitu," cibir Dewi hanya disambut seringai Hana."Gak percaya? Ini buktinya," kata Hana menyodorkan handphone yang menampilkan barang telah sampai ditangannya.
Makasih yang udah unlock, semoga rezeki kalian terus dilancarkan agar terus mengikuti karyaku. Suara deru mobil terdengar di kediaman Panji, membuat beberapa orang melihat karena kepo. Dewi yang ikut memandang juga mengeryit heran, karena ada beberapa kendaraan roda empat yang bagus parkir di depan rumah sang kakak. "Mereka siapa ya? Mobilnya bagus-bagus banget. Apa orang nyasar ya, tapi gak papa deh, moga sampe pagi diem disitu. Biar bisa selfi sama mobil-mobil keren itu," gumam Dewi lalu mengulas senyum senang, ia memilih pergi ke kamar untuk tidur lagi.Waktu akhirnya masuk ke pukul 05:30 WIB, Dewi telah rapi. Ia bergegas mengajak sang menantu untuk keluar, membuat wanita itu bingung. Saat sampai di luar, Dewi langsung menunjukan ke arah kendaraan roda empat yang sangat bagus. "Lihat, beruntung mobil-mobil itu masih ada disini," ucap Dewi menunjuk beberapa kendaraan roda empat tersebut, membuat Gina mengikuti arah tujuan itu. "Wah
"Wow, besar banget rumah ini," ungkap Gina kagum dengan netra berbinar."Jangan norak, kamu!" geram Dimas dengan nada pelan hanya terdengar oleh keluarganya saja."Apaan sih, Mas! Akukan cuma mengungkapkan rasa kagum aja, kali aja Mas mau bikinin aku rumah kaya gini," celetuk Gina membuat Dimas mendengkus. "Huh, uang Mas tidak sebanyak itu, apalagi, kan, kita punya pembantu buat dibayar. Mana bisa kekumpul buat bikin rumah sebesar ini, udah bersyukur aja, Mas bisa buat rumah juga," ujar Dimas membuat Gina mempautkan bibirnya beberapa centi. "Kenapa kalian jadi ribut sih, udah deh," seru suami Dewi membuat anak dan menantunya terdiam."Iya, dan kenapa kita berhenti disini. Bukannya kita mau ke rumah Panji," ujar Dewi dibalas anggukan semua, mereka menoleh saat Midah memanggil. "Kalian ... kenapa diam saja disitu, ayo kesini!" teriak Midah membuat mereka saling pandang lalu melangkah mendekat. "Ada apa? Kenapa teriak-teriak, apa mobil yang kalian kendarain mogok," ujar Dewi seraya m
Hana memilih melakukan pekerjaan rumah tangga di kediaman mertuanya. Setelah selesai ia mulai istirahat sambil menina bobokan sang buah hati. Waktu terus berputar, kini waktu kembali siang. Hana tidak pergi ke warung membeli sayuran karna masih ada sisa bahan-bahan kemarin yang di beli. "Bu, Pak, Mas, Mawar, ayo sarapan," teriak Hana kala jam dinding baru menunjuk pukul 06:30 waktu indonesia barat. "Duh, kamu ini, bukannya nungguin Ibu. Pasti capek kerjain semua ini," gerutu Midah lalu duduk melihat hidangan di depan mata."Gak papa, Bu. Udah biasa kok, kalau gak ngerjain tuh, rasanya gimana gitu," tutur Hana seraya mengulas senyum kecil.Akhirnya mereka makan dengan lahap, kadang Mawar menceritakan kesehariannya. Gadis kecil itu sangat ceria, tingkah anak itu sangat menggemaskan. Kala semua selesai sarapan, langsung berkumpul di ruang tengah. "Siapa yang ketuk pintu sangat keras dan tidak sabaran begitu, apalagi ini masih pagi." Hana bangkit dari duduknya, wanita itu melarang sang
"Namanya juga jualan, Bi. Masa kudu digratisin terus. Nanti bangkut dong, apalagi kalau gratisnya tiap datang ke sana, yang ada untung kagak, buntung iya. Kita bagi-bagi juga kudu ada porsinya, Bi. Memang Bibi mau kalau misalnya Bibi jualan sesuatu lalu kami minta gratis terus," tutur Panji membuat Dewi bungkam sedangkan Hana tersenyum senang mendengar ucapan sang suami. "Udah-udah, ayo kita makan! Nanti keburu dingin gak enak lho," lerai suami Midah yang dibalas anggukan semua, mereka langsung bersila dan mulai melahap makanan yang ada. Mereka makan-makan seraya bercerita. Kala semua hidangan habis, keluarga Dewi pamit pulang. Siti sedikit meradang karna sudah mereka tinggal makan saja sekarang malah pergi tidak membantu apapun. "Dasar! Cuma pengen makan aja," gerutu Siti menatap kepergian keluarga Dewi. "Sudah, mendingan kita beres-beres aja. Dari pada ngeluh dari menggerutu gak bakal kelar ini kerjaan. Biarin ... mereka memang gitu, kalian juga udah tau, kan," ujar Midah membua
"Dih, marah-marah mulu, cepet tua lho. Lagian itu kesalahan menantumu, Bi," sahut Hana gemas dengan ucapan Dewi, sungguh ia malah mendatangi keluarga Dewi jika saja sang mertua tak mengajak. "Kamuu ...!" geram Dewi menunjuk wajah Hana dengan mata melotot tajam."Sssttt, jangan memicu keributan, Han, kita, kan niat mengajak," tegur Midah menyenggol lengan menantunya. "Dew, ayo ke rumahku, ajak semua anggota keluargamu. Kita makan bersama," tawar Midah dengan nada lembut membuat Dewi menatap remeh. Dewi langsung melirik ke halaman Midah dan memandang sinis sang Kakak. Wanita itu bersidekap lalu tersenyum miring. Ia berteriak memanggil suami, menantu dan anaknya."Apakah Mbak menjamin bahkan kami tidak akan pulang dengan perut kelaparan? Seperti kejadian tadi," cibir Dewi seraya menyindir membuat Hana menyipitkan matanya geram mendengar perkataan sang Bibi. "Ada apa, Bu, manggil kami. Gak tau apa, kami lagi nonton seru-serunya," protes Dimas dibalas anggukan Gina. "Iya nih, kalau ga
"Sayangnya kenapa, Bu. Please deh, jangan setengah-setengah ngomongnya," tutur salah satu membuat Dewi tersenyum kecil. "Dia bahkan sama sekali tak memikirkan keadaan rumah orang tuanya, kalian tau kan, keadaan rumah milik Mbak Midah, sangat ...," ucapan Dewi berhenti kala melihat riak semua ibu-ibu dengan wajah tak percaya. "Tega banget kalau gitu mereka," cibir salah satu Ibu Ibu dengan nada geram."Iya, tega bener. Di sana mereka hidup senang sedangkan orangtuanya, haduh ... jangan sampe deh menantu atau anakku bersikap seperti itu," katanya bergidik ngeri Dan dibalas anggukan semuanya."Bahkan saat di resto miliknya, kami kan ditraktir tapi, aku pengen ganti makanan karna ada rambutnya, eh mereka sok banget akhirnya keluarga pulang dengan perut lapar, bahkan tadi kami di rumah cuma makan dengan mie. Makanya aku cepet-cepet kesini biar keluarga gak kelapar gitu," ujar Dewi membuat semua orang di sana geleng-geleng dan menelan mentah-mentah ucapan Dewi."Keterlaluan banget sih, s
"Mohon perhatiannya semua. A--aku pengen ngomong sesuatu," ucap Gina dengan suara gemetar dan suara dia membuat semua orang menatap dirinya."Katanya mau ngomong, kok diem aja. Ayo dong cepat! Kami tak punya waktu banyak buat dengerin kamu," cecar salah satu pelanggan yang pasti tingkat ke kepoannya tinggi. "Huh, aku harus mempersiapkan diri juga kali. Jadi sabar aja! Main suruh-suruh aja, emang aku babu kamu," balas Gina sengit membuat pelanggan itu mendengkus. "Ayolah cepat! Gin. Bener kata dia, ayo cepat ngomong! Atau enggak ...," ucapan Hana terpotong karna Gina langsung berseru. "Iya-iya, ini aku bicara," sahut Gina dengan nada ketus lalu terlihat ia menarik dan mengembuskan napas dengan kasar. "Aku mau minta maaf atas keributanku tadi, itu sebenernya ...." Gina malah mengantung ucapannya membuat semua pelanggan menatap ia serius."Bi, cepat suruh menantumu bicara! Kalau enggak aku akan lapor polisi," ancam Hana kesal Gina yang menggantung ucapannya, Dewi yang mendengar lan
"Ngapain kita cek rekaman CCTV, gak guna tau gak. Inikan masalah keteledoran karyawan kamu," seru Dewi menatap tajam ke arah Panji, kala mengetahui jika Gina menegang."Iya gak nyambung banget sih," lanjut Gina dengan suara gugup membuat Panji mengeryitkan kening lalu menyeringai."Nyambung kok, Gin. Kan kita bisa tau jawaban itu dari CCTV, ayo kita liat," tutur Hana semangat kala melihat gelagat gelisah dari Gina."Ayoo ...," seru salah satu keluarga itu, lalu mereka berdiri dan mengikuti langkah Panji."Haduh ... aku gimana nih, Bu," lirih Gina pelan, ia berjalan paling belakang. "Memang kamu kenapa, Gin. Apa ini kerjaan kamu?" tanya Dimas kala mendengar ucapan Gina pada Dewi."Entahlah, Mas juga bingung. Makanya kalau buat sesuatu itu harus mikir resikonya gimana dan keadannya juga ginana, kamu emang gak mikir resto segede ini gak ada CCTV," seru Dimas pelan menceramahi sang istri membuat Gina mempautkan bibirnya."Aku harus bagaimana, Mas ...," lirih Gina pelan membuat Dimas terd
"Akutuh bukan gak mau ngurusin, Ibu kan masih punya suami, biar bapak yang ngurus Ibu. Biar romantis kaya di film atau novel gitu," jelas Gina tak mau disalahkan, padahal memang dia malas merawat sang mertua. "Sudah-sudah, mendingan kita abisin aja sarapan, terus berangkat ke resto Panji," lerai Enas dibalas anggukan semua lalu hanya ada denting sendok yang beradu dengan piring. Selesai sarapan, mereka memilih duduk-duduk sebentar di ruang tamu. Anak-anak memilih ke tempat main milik Mawar, gadis kecil itu memilih terlelap dulu paha sang Mama. Setengah jam kemudian, mulai mendekati acara peresmian, semua mulai memasuki mobil dan kendaraan roda empat tersebut melaju. "Kok lama bener sih sampenya, emang di mana lokasi restonya," keluh Dewi karena mereka duduk berdempetan. "Sabar Bu, ini macet banget. Sebentar lagi juga sampe," balas yang menyupiri keluarga Dewi membuat wanita itu mendengkus. "Ibu, Ibu. Emang aku Ibumu," seru Dewi membuat karyawan yang mendadak jadi supir itu menole
"Bibi jangan asal nuduh, istriku gak mungkin begitu," ucap Panji dengan nada ketus ia sedikit terpancing oleh perkataan Dewi."Nyatanya istrimu begitu, Pan," seru Dewi membuat Panji mendengkus."Buktinya apa, Bi!" kata Panji membuat Dewi menyeringai lalu menyodorkan handphonenya."Dengarkan percakapan ini, mereka sangat mesra bersenda gurau," ujar Dewi membuat Panji mengernyitkan kening lalu mulai mendengar rekaman suara tersebut."Ini Hana lagi ngobrol sama Ajis, Bi." Panji menyodorkan handphone milik sang Bibi dengan tenang, tak ada riak kesal lagi di wajahnya. "Iya, Pan. Benerkan kata, Bibi, mereka itu pasti main serong, kamu harus marahin dia, atau talak sekalian," ujar Dewi dengan nada menggebu."Ihh ... Bibi ngomong apa sih, gak boleh menjerumuskan gitu Bi. Mereka itu udah kaya kakak, adik, jadi Bibi gak perlu khawatir. Udah ya, Panji mau pergi dulu," ujar Panji lalu melangkah pergi tanpa menunggu jawaban Dewi."Siapa yang mau ngejerumusin, main fitnah aja. Orang Bibi baik, ma
Jangan lupa tap love dan coment biar smngt. Allhamdulillah hari ini double update"Kamu jahat, masa punya rumah bagus, enak-enak sendiri. Mertuamu malah rumahnya jelek banget bahkan sampe banyak yang bocor," cecar Gina membuat Hana menatapnya. "Kamu gak perlu ikut campur, Gin. Terserah aku dong mau gimana," balas Hana kesal dengan ucapan Gina yang terlalu ikut campur dan terus menghina. "Duh dasar orang kaya baru, sombong bener," cibir Dewi membuat Hana mendengkus."Kalian ngapa sih," tegur Midah yang mendekat dan berdiri di sisi menantunya. "Itu, menantumu biadap banget. Masa di sini enak-enak sedangkan gak mikirin kamu sebagai mertuanya yang hidup serba kekurangan," ujar Dewi menatap kakaknya. "Sudah-sudah, tenang aja. Menantu dan anakku bakal renovasi rumah kami kok, nanti kalau toko bangunan udah buka, bahkan menantuku yang meminta," jelas Midah membuat keduanya terdiam."Huh, kamu ini selalu membela menantumu," geram Dewi lalu melangkah pergi meninggalkan mereka. "Kamu sabar