Jam sudah menunjukkan pukul lima sore ketika Aruna mengganti papan open di pintu kaca butik menjadi close.
Sepeninggalan suaminya, Aruna yang tadinya ibu rumah tangga kini harus bekerja untuk menafkahi diri sendiri.
Aruna bekerja di butik Bridal yang terletak di kawasan Dago Bandung dan ia adalah Managernya.
Posisi ini ia dapatkan karena pemiliknya adalah sahabat dari mendiang sang mama.
Tapi Aruna harus melewati masa training selama enam bulan yang melelahkan.
Waktunya tersita hampir dua puluh empat jam bekerja dengan Manager sebelumnya, mengikuti ke mana beliau pergi hingga Aruna dinyatakan mampu memegang jabatan ini.
Kembali ke Aruna yang tadi membalikan signboard—sekarang ia sudah berada di pelataran parkir menghirup udara luar yang terkontaminasi asap kendaraan bermotor.
Aruna mengamati mobil dan motor berdesakan di jalan, seakan mereka sedang tergesa-gesa untuk pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga tercinta.
Bibir Aruna tersenyum kemudian menengadah agar air mata yang telah berkumpul di pelupuk mata tidak merembes membasahi wajahnya.
Ia menatap langit yang diselimuti senja.
“Ma … Pa … Apakabar? Di sini Aruna ….” Gumaman Aruna terhenti, dadanya sesak sekali.
“Aruna baik-baik aja,” sambung Aruna berdusta dengan suara serak.
Bagaimana Aruna bisa baik-baik saja sedangkan beberapa minggu lalu ia dikejutkan dengan kedatangan seorang wanita membawa anak laki-laki yang mirip dengan Bian-mendiang suaminya.
Wanita Bernama Rika itu membawa foto di mana terdapat gambar mas Bian yang duduk berdampingan dengannya, sebagian kepala mereka ditutupi selendang seperti sedang melakukan prosesi akad nikah.
Lalu ada selembar surat yang menyatakan kalau mas Bian telah menikah secara siri dengan wanita itu dua tahun lalu.
Sementara Aruna dan Bian baru menikah selama tiga tahun jadi bila wanita itu benar adalah istri dari suaminya, berarti baru satu tahun pernikahan—suaminya sudah menikah lagi.
Aruna ingin marah tapi Bian sudah terbujur kaku di bawah tanah.
Semenjak mengetahui berita itu, Aruna sudah tidak pernah lagi mendoakan suaminya.
“Mbak … kita pulang duluan ya?” Dua orang karyawan butik pamit
Aruna menoleh lalu tersenyum. “Oh iya … hati-hati ya.”
Dua gadis itu mengangguk sopan padanya.
“Bu Aruna belum mau pulang?” Sekuriti bernama Pak Yayat menyapa.
“Sebentar lagi, Pak … nunggu reda dulu macetnya.”
Pak Yayat mengangguk sambil tersenyum, pria itu kemudian masuk ke posnya.
“Mbak … kami pulang ya?”
Aruna yang kini sedang memeluk tubuhnya sendiri kembali menoleh.
Sekarang karyawan bagian desain dan produksi yang pamit kepadanya.
“Oke, sampai besok.”
Aruna melambaikan tangan mengiringi kepergian mereka yang berjalan keluar parkiran butik untuk mengambil kendaraan yang dititipkan di lahan kosong di belakang butik.
Kini langit sudah gelap, Aruna harus pulang.
Membalikan badan, ia pun kembali masuk ke dalam untuk mengambil tas.
Aruna memiliki previllage sendiri sebagai seorang Manager, setiap sore saat parkiran di depan butik sudah kosong—Pak Yayat akan membawa mobilnya dari lahan parkir di belakang lalu memarkirkan mobilnya di parkiran butik.
Sekarang ia tinggal meminta kunci mobil dari Pak Yayat.
“Pak, pulang dulu ya.”
“Oh iya, Bu … Silahkan kuncinya.”
Pak Yayat memberikan kunci mobil kepada Aruna.
“Makasih, Pak.”
Aruna masuk ke dalam mobil, mobil pemberian suaminya saat ia ulang tahun ke dua puluh tiga tahun.
Sebuah mobil sedan Honda Civic berwarna putih, mobil yang ia mimpi-mimpikan dijadikan nyata oleh suaminya.
Siapa yang mengira kalau mas Bian ternyata selingkuh?
Mobil Aruna melaju mulus di jalanan Dago, kemacetan mulai mereda.
Simpang Dago sudah sedikit lengang.
Beberapa meter setelah melewati traffict light, kendaraan yang dikemudikan Aruna harus melaju pelan mengikuti kendaraan di depannya.
Seharusnya tadi ia lewat jalan Dipati Ukur lalu tembus ke Gasibu untuk menghindari macet.
Ah, Aruna sepertinya melamun lagi.
Aruna memang sedang memikirkan sebuah pesan yang masuk ke ponselnya dari mantan ibu mertua yang tadi pagi ia terima.
Si wanita yang katanya istri mas Bian itu tidak memiliki rumah, jadi ibu mertua menginginkan rumah Aruna sekarang untuk anaknya Mas Bian.
Aruna memang memiliki rumah peninggalan kedua orang tua tapi ya masa ia harus merelakan rumah yang dibeli mas Bian ketika menikah dengannya?
Bukannya itu termasuk gono-gini?
Perlu diingat juga kalau Aruna sudah membagi warisan mas Bian kepada ibu dan kakak perempuan mas Bian sesuai aturan Agama yang berlaku.
Dan ditetapkan kalau rumah itu menjadi miliknya.
Brak!
Di tengah-tengah lamunannya tadi Aruna mengerem mendadak karena mobil yang di depannya tiba-tiba berhenti.
Aruna memang berhasil menghindari tabrakan depan tapi buntut mobilnya tertabrak oleh mobil di belakang sampai dada Aruna menekan stir kuat meski sakitnya tidak seberapa.
Lidahnya berdecak kesal, ia pun mengesah berharap tidak perlu ganti rugi.
Iya, Aruna merasa dirinya yang salah padahal dirinya yang ditabrak.
Aruna menginjak gas pelan untuk menepikan mobilnya agar tidak menghalangi pengendara lain.
Ia turun dari mobil, menguatkan hati untuk menghadapi si penabrak.
Dalam benaknya sedang mengingat-ngingat saldo rekening terakhir yang ia lihat.
Mudah-mudahkan cukup untuk mengganti kerugian mobil yang menabraknya.
Seorang pria paruh baya turun dari balik kemudi usai menepikan juga mobilnya di belakang mobil Aruna.
Ekspresinya datar, pria itu sempat melirik Aruna kemudian memeriksa kerusakan pada mobilnya.
“Maaf Bu, tadi saya lagi dapet telepon jadi enggak sempat ngerem.”
“Ya?” Aruna terkesiap.
“Ini … bukannya harusnya aku yang minta maaf ya?” Aruna membatin.
“Mobil ibu diasuransikan enggak? Mudah-mudahan iya ya Bu, jadi saya gantinya enggak terlalu besar karena mungkin saya juga harus memperbaiki mobil majikan saya.”
Si pengemudi itu memperlihatkan raut wajah nelangsa.
“Saya mah cuma supir, Bu …,” sambungnya lagi.
Aruna jadi iba.
“Oh ya udah, Pa—“
“Pak Malik,” panggil seseorang dari belakang punggung pria tua tadi.
“Pak Adrian … sebentar, Pak …,” sahutnya sambil sedikit membungkuk tampak ketakutan.
Aruna memperhatikan pria yang memanggil tadi, baru saja turun dari kabin belakang dan sedang berjalan mendekat sambil memegang ponsel.
Pria itu cukup tampan, tidak … maksudnya sangat tampan.
Yaaa, sembilan koma sembilan lah karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa.
Rambutnya lebat di potong undercut dengan kedua alis yang tebal membingkai wajahnya sempurna.
Pria itu juga memiliki rahang tegas dan sedikit bulu mulai tubuh di sana.
Dan sepertinya dia menghabiskan banyak waktunya di gym karena kemeja yang membalut tubuhnya saat ini mampu menyetak otot-otot indah di bagian lengan, dada dan sebagian perutnya.
Tanpa sadar, Aruna menahan napas seiring langkah pria itu yang kian mendekat.
Tapi entah kenapa Aruna masih bisa mencium parfum eksclusive pria itu ketika sudah berada di depannya.