“Papiiiiii ….”
Isvara menjerit seraya berlari berhamburan menghampiri papinya yang baru saja keluar dari ruang kerja di rumah mereka yang besar.
Di hari Sabtu yang cerah ini Adrian malah memulai paginya dengan bekerja.
“Kenapa sayang?” Adrian menghentikan langkah, sedikit membungkuk dengan kedua tangan terentang kemudian mengangkat Isvara begitu sang gadis kecil berada dalam jangkauan lalu menggendongnya.
“Ara kangen mami.” Isvara mengerutkan wajah, bibir mungil sang gadis kecil mengerucut begitu menggemaskan.
Setiap hari satu kalimat itu selalu diucapkan Isvara.
Adrian memberikan banyak alasan untuk membujuk Isvara agar berhenti merindukan Aruna tapi sekarang sudah hampir satu minggu dan ia kehabisan alasan.
“Papi?” panggil Isvara lagi.
Mata bulat Isvara mengerjap lucu.
“Ya sayang?” Adrian menyahut, tidak lupa mengecup pipi Isvara.
“Apa hari Sabtu juga mami masih sibuk?”
Adrian belum bisa menjawab pertanyaan Isvara, ia malah membawa sang putri ke ruang televisi kemudian mendudukkannya di sofa.
“Papiiiiii.” Isvara menjerit gemas karena sang papi diam saja.
“Ara mau ketemu mami?” Adrian menyerah.
“Iyaaaa, Ara mau ketemu mami … Ara kangen mami … kita ajak mami jalan-jalan yuk, Pi.”
Isvara meraih tangan Adrian.
“Ayoooo … ajak jalan-jalan mamiiii.” Kemudian menggerakan tangannya ke kiri dan ke kanan.
Adrian tersenyum lantas mengulurkan tangan mengusak puncak kepala Isvara.
“Bi Atun, tolong panggilkan Pak Malik …,” titah Adrian pada asisten rumah tangga yang kebetulan lewat di ruang televisi.
“Baik, Pak.” Bi Atun memutar badan, tidak jadi melewati ruang televisi dan kembali ke bagian belakang rumah untuk memanggil driver keluarga ini.
Tidak lama pak Malik datang dengan tergopoh-gopoh.
Pak Malik masih merasa bersalah karena tanpa sengaja menabrak mobil Aruna dan membuat kerusakan di mobil majikannya.
Rasa bersalah itu semakin hebat karena Adrian sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut, hanya memperingatinya agar lebih hati-hati dan tidak menjawab telepon saat mengemudi.
“Pak Adrian manggil saya?” Pak Malik bertanya saat langkahnya sudah tiba di ruang televisi.
“Iya ….” Adrian menyahut.
“Apa bu Aruna pernah kasih copy-an data dirinya untuk keperluan memasukan mobil ke bengkel?” lanjut Adrian bertanya.
“Oh iya, Pak … bu Aruna kasih saya foto copy KTP, kalau enggak salah saya simpan satu karena bu Aruna kasih dua lembar dan pihak asuransi hanya minta satu lembar.” Pak Malik mengeluarkan dompetnya dari saku celana.
“Ini Pak, foto copy KTP bu Aruna.” Pak Malik memberikannya kepada Adrian.
“Saya juga punya No. hape bu Aruna, kalau Pak Adrian perlu akan saya kirim melalui WA.”
“Boleh … kirim nomor hapenya ke saya,” kata Adrian seraya membaca kertas kecil foto copy KTP Aruna di tangannya.
“Baik, Pak.” Pak Malik segera mengeluarkan ponselnya dari saku celana depan.
Adrian tercenung saat melihat status pernikahan di KTP Aruna bertuliskan ‘cerai mati’.
Ia pikir Aruna belum pernah menikah.
Dari data diri itu juga baru Adrian ketahui kalau Aruna hanya terpaut lima tahun lebih muda darinya.
“Pak Malik?” Adrian mendongak.
“Ya, Pak?”
“Siapkan mobil, saya dan Ara mau ke rumah Bu Aruna—“
“Yeaaaaaay!” Isvara bersorak kegirangan, menyela ucapan Adrian.
“Saya yang akan mengemudikan sendiri mobilnya,” imbuh Adrian dan langsung mendapat anggukan patuh dari pak Malik.
***
Ting …
Tong …
Suara bel berbunyi, Aruna menghentikan aktivitas mencuci piring kemudian menoleh ke arah ruang tamu.
Ting …
Tong …
Ting …
Tong …
Bergegas menyelesaikan pekerjaannya kemudian mengelap tangan dengan handuk tangan yang menggantung di bawah bowl sink.
Aruna pun berlari menuju pintu utama untuk mengecek siapa orang yang menekan bel tidak sabaran di luar sana.
Aruna sempat mengintip dari jendela di samping pintu lalu memejamkan mata sebentar bersama hembusan napas panjang setelah mengetahui siapa tamunya.
Dan Aruna merasa sedang diserang.
Aruna mengulurkan tangan, memegang handle pintu tapi menahannya sebentar untuk menguatkan mental.
Menarik napas dalam bersama pejaman mata erat sebelum membuka pintu.
“Ma … Kak Rina …,” sapa Aruna kepada mantan ibu mertua dan mantan kakak iparnya.
“Lama banget buka pintunya, kasian mama berdiri kelamaan di luar.” Adalah Rina yang selalu membenci Aruna, entah kenapa.
Apapun yang Aruna lakukan selalu salah di mata mantan kakak iparnya itu.
“Oh maaf, Kak … tadi aku lagi cuci piring.” Aruna memberi alasan meskipun tahu mereka tidak akan peduli.
Kak Rina dan mama Tina masuk melewati Aruna yang masih berdiri dekat pintu karena harus menyapa dua tamu Agung lagi.
“Aruna … ini Abrizam katanya kangen sama tante Aruna.” Itu Rika yang kemudian memberikan Abrizam-anaknya Bian kepada Aruna untuk digendong.
Aruna tersenyum kecut, sejujurnya enggan menggendong darah daging suaminya dari wanita lain tapi tidak tega melihat mata bulat Abrizam yang menatapnya dengan kedua tangan terulur minta digendong.
Dada Aruna terasa sesak, matanya memanas dan darahnya berdesir hebat tatkala Abrizam sudah berada dalam gendongannya.
“Buatin Mama minum donk Aruna, haus nih!” Mama Tina berteriak dari ruang televisi.
“Iya, Ma … sebentar.” Aruna masuk lebih jauh ke dalam rumah sambil menggendong Abrizam tanpa menutup pintu.
“Udah … aku aja yang buat minum untuk mama dan kak Rina, kamu gendong Abrizam aja,” kata Rika yang sudah berada di dapur lebih dulu.
“Oh … gitu?” Aruna jadi tidak enak hati.
Rika menganggukan kepala. “Gelasnya di mana?”
“Di atas ….” Aruna menunjuk lemari kitchen set yang berada di atas kepala Rika.
“Mama Tina pake gula diet … kalau kak Rina pakai gula biasa tapi cukup satu sendok.” Aruna memberi instruksi.
Aruna sudah paham tentang kebiasaan keluarga dari suaminya karena bila berkunjung ke rumah mama Tina—ia lah yang menggantikan tugas asisten rumah tangga di rumah itu.
Rika hanya menganggukan kepala tanpa bersuara menanggapi ucapan Aruna.
“Mami? Mam … mami?” celoteh Abrizam, tangan mungilnya diletakan di pipi Aruna.
Aruna bisa melihat Bian di mata Abrizam, mata mereka begitu mirip.
Teduh dan hangat, itulah kenapa Aruna jatuh hati pada Bian semenjak hari pertama Bian menjadi dosen tamu di kampusnya.
Empat tahun lalu, Bian adalah perwakilan dari perusahaan Swasta yang mengikuti program ‘Bakti pada masyarakat’ yang diadakan pemerintah.
Selama satu semester Bian mengajar satu mata kuliah di kampus Aruna.
Bian mengajar mata kuliah yang berhubungan dengan deskjob-nya di perusahaan tersebut.
Aruna dan Bian jatuh cinta pada pandangan pertama.
Cinta Bian bersambut dan tidak menunggu waktu lama pria itu langsung melamar Aruna.
Keadaan papanya Aruna yang saat itu sakit-sakitan menjadi alasan kuat keputusan beliau akhirnya menyerahkan sang putri kepada Bian.
Dan benar saja, satu jam setelah akad nikah berlangsung—sang papa mengembuskan napas terakhirnya.
“Mami?” Suara lucu itu mengembalikan Aruna dari lamunan.
Aruna kemudian menyadari jika tinggal dirinya dan Abrizam saja di dapur, Rika sudah membawa minuman yang ia buat untuk mama Tina dan kak Rina ke ruang televisi.
Kemudian Aruna menyusul ke sana.
“Aruna, kamu tuh gimana sih … masa Rika kamu suruh bikin minum? Mama tahu kamu suka anak kecil karena belum bisa punya anak tapi ya enggak dengan mengabaikan tamu juga,” tegur mama Tina dengan suara lembut tapi menohok.
Aruna hanya bisa melongo bingung.
Salah lagi ‘kan dia.
Sepertinya bernapas pun, Aruna akan disalahkan oleh mama Tina dan kak Rina karena mungkin menurut mereka akan menghabiskan oksigen di bumi.
“Enggak apa-apa Ma, Rika yang mau kok … lagian tadi Rika enggak tega ngeliat Aruna yang asyik banget main sama Abrizam.”
Sungguh, alasan Rika itu tidak sesuai dengan kenyataan.
Sekarang Aruna yakin kalau Rika manipulatif.
Informasi yang disampaikan Danu sedikit banyak mempengaruhi Aruna.
Aruna memberikan Abrizam kepada Rika lalu duduk di single sofa.
Ia memang menyukai anak kecil tapi ia kesal karena mamanya Abrizam playing victim.
Semakin benci saja mama Tina dan kak Rina pada Aruna gara-gara Rika.
“Diminum ya, Rika … makasih banget udah dibuatin minum.” Kak Rina berujar sembari melirik sinis pada Aruna sebelum akhirnya menyeruput teh yang dibuat Rika.
Tingkah mereka itu seperti sedang bertamu ke rumah Rika, bukan ke rumah Aruna karena Aruna merasa diabaikan.