“Saya minta maaf untuk kerusakannya mobilnya, pak Malik sedang menjawab panggilan telepon jadi fokusnya teralihkan.”
“Oh ….” Hanya itu yang bisa Aruna ucapkan lantas menoleh pada ekor mobilnya untuk menghindari tatapan pria yang kalau tidak salah dengar bernama Adrian.
Tatapannya begitu dalam memaku Aruna membuatnya risih.
“Nanti akan saya ganti,” kata pria itu membuat Aruna mengembalikan tatap padanya.
“Beneran?” kejar Aruna, karena walau satu titik kerusakan hanya tiga ratus lima puluh ribu rupiah—karena mobilnya masih diasuransikan—tapi ‘kan lumayan buat nongkrong di cafe bersama Irma dan Icha, sahabatnya.
“Iya … saya akan ganti.” Adrian merogoh dompetnya dari saku celana lalu memberikan kartu nama kepada Aruna.
Aruna tertegun menatap kartu nama di tangannya.
Pria itu adalah salah satu pimpinan di perusahaan besar tempat di mana mas Bian bekerja.
Lebih tepatnya Adrian Pramudya adalah atasan mas Bian.
Aruna jadi ingat, ia pernah mendengar beberapa kali mas Bian mengeluh tentang atasannya yang bernama Adrian karena terlalu keras menekannya.
Ia tidak menyangka sekarang sedang berhadapan dengan pria itu.
“Hubungi saya kalau biaya perbaikannya sudah keluar.”
“Enggak usah Mas … eh, Pak … ini ambil lagi kartu namanya … enggak apa-apa enggak usah ganti biaya perbaikan, aku juga belum tentu secepatnya masukin mobil ini ke bengkel karena masih butuh kendaraan untuk kerja … selama masih bisa jalan, aku pake aja dulu.”
Aruna menyerahkan kembali kartu nama itu.
“Oh, gitu ya ….” Adrian bergumam, ia mengalihkan tatapannya dari Aruna ke bagian belakang mobil Honda Civic berwarna putih.
“Iya, enggak apa-apa.” Aruna menggerakan kartu nama itu lagi.
Ia tidak ingin berurusan dengan orang yang kata suaminya sangat menyebalkan.
Apalagi sebagai atasan, dia sama sekali tidak datang sewaktu pemakaman mas Bian.
Hanya mengutus bagian HRD dan memberikan santunan entah berapa karena sang ibu mertua yang menguasai.
“Kalau gitu, ikut saya ke rumah ... saya ada mobil yang enggak dipake … mbak ….” Adrian menjeda karena bingung harus memanggil apa, mereka belum berkenalan.
“Aruna, panggil aja Aruna.”
Aruna menurunkan tangannya yang memegang kartu nama Adrian, ia pegal.
“Mbak Aruna bisa pake mobil saya selama mobil ini diperbaiki ….”
Adrian beralih pada pak Malik.
“Pak, bawa mobilnya mbak Aruna ke rumah … besok pak Malik antarkan ke bengkel ….”
“Baik, Pak.” Pak Malik menyanggupi.
“Eh … enggak usah, maksud saya bukan itu ….”
“Mobil Mbak Aruna diasuransikan enggak? Mbak punya bengkel yang ditunjuk sama asuransi atau mau diperbaiki di bengkel langganan saya?”
“Enggak … enggak Mas … eh, Pak.”
Duh, Aruna keceplosan terus memanggil Adrian dengan sebutan Mas karena tidak tega memanggil pria itu dengan sebutan Pak.
Menurut Aruna, Adrian terlalu muda dipanggil Pak tapi dia atasan mendiang suaminya.
“Enggak apa-apa, panggil Mas aja … ayo Mbak ikut saya, saya harus segera pulang … ada yang sedang menunggu saya di rumah.”
Adrian melengos begitu saja kembali ke mobilnya, membuka pintu di bagian kemudi.
“Eh … tung—“
“Kunci mobilnya, Bu.” Pak Malik menengadahkan tangan.
Aruna melirik mobilnya sekali lagi, kerusakannya memang parah.
Bagian belakangnya penyok dengan transfer cat dari mobil Mercy Adrian.
Kalau diperbaiki pasti memakan waktu lama sedangkan rumah Aruna di Buah batu dan tempat kerjanya di Dago.
BBM naik, kalau naik ojeg online bisa tekor.
Aruna membalikan badan, memasukan setengah tubuhnya ke dalam mobil sambil membungkuk untuk mengambil tas dan kunci mobil.
“Ini kunci mobilnya, Pak.”
Aruna memutuskan menerima tawaran perbaikan mobil sekaligus pinjaman mobil dari Adrian.
Pak Malik menerima kunci mobil Aruna dan mereka berjalan ke arah berlawanan.
Aruna mendekati mobil Adrian, ia membuka pintu kabin belakang lalu masuk.
Adrian melirik pada kaca spion tengah. “Dia anggap gue supir, apa ya?” Pria itu mengeluh di dalam hati.
“Sebenarnya aku enggak bermaksud buat minjem mobilnya Mas Adrian ….” Suara Aruna mengecil diakhir kalimat.
Aruna bisa mendengar Adrian terkekeh.
“Enggak apa-apa, kebetulan ada mobil mendiang istri saya yang enggak pernah digunakan … jadi Mbak Aruna bis—“
“Jangan panggil Mbak donk Mas, kesannya aku tuh Mbak jamu.”
Sekarang Adrian tertawa, padahal Aruna sedang kesal karena pria itu tidak berhenti memanggilnya Mbak.
Kalau mau dibandingkan, sepertinya umur Adrian lebih tua dari Aruna meski tidak terlalu jauh.
“Panggil Aruna aja,” pintanya memaksa.
“Oke … Aruna.”
Mendengar Adrian memanggil namanya, entah kenapa membuat Aruna merinding.
Aruna melirik ke kursi kosong di sampingnya dengan waspada.
“Jangan-jangan arwah mendiang istrinya ada di sini … eh, tapi kalau aku pakai mobil istrinya, apa enggak marah dia, terus gentayangan nakut-nakutin aku! gitu?” Aruna sibuk bicara sendiri di dalam hati.
Ia jadi ragu menerima tawaran Adrian.
“Terus gimana, donk? Masa aku turun di sini.” Aruna mengesah, tanpa sadar mengembuskan napas gusar membuat Adrian melirik kaca spion tengah.
“Tadi abis pulang kerja?” Adrian bertanya, mungkin takut penumpang di belakangnya bosan.
“Iya ….” Aruna menjawab cepat.
“Di mana?” Adrian bertanya lagi.
“Di Dago atas.” Aruna menjawab cepat.
Tapi maksud pertanyaan Adrian adalah nama perusahaannya bukan lokasi tempat Aruna bekerja.
Meski begitu, Adrian manggut-manggut saja.
“Oh ya, itu mobil mau diperbaiki di bengkel langganan saya aja apa gimana?”
“Masih ada asuransinya, jadi kayanya nanti aku masukin ke bengkel yang ditunjuk asuransinya aja.”
“Kalau Pak Malik yang antar bisa?”
Aruna kemudian berpikir, waktu itu mobil mas Bian pernah ditabrak juga tapi supirnya yang antar ke bengkel.
“Kayanya bisa, nanti aku hubungi orang bengkelnya dulu.”
“Oke ….”
Dan setelah jawaban Adrian itu, tidak ada lagi yang bersuara sampai mobil Adrian berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar dengan arsitektur minimalis di kawasan Setiabudhi.
“Ini mah kompleks orang kaya.” Aruna bicara lagi di dalam hatinya.
Pagarnya tiba-tiba terbuka sendiri padahal Aruna tidak melihat seseorang membukanya dari dalam sana.
Adrian memarkirkan asal mobilnya di depan teras rumah.
“Papiiiiiii.” Suara anak kecil menyambutnya.
Aruna sudah turun, memutari setengah bagian mobil dan berdiri di belakang Adrian yang sedikit membungkuk untuk menyambut sang putri ke dalam gendongan.
Gadis kecil yang begitu senang bertemu papinya itu mengecup pipi Adrian dengan sering.
Setelah puas, gadis itu mengalihkan pandangannya pada Aruna.
Sesaat sang gadis kecil seperti terkejut kemudian bergumam.
“Mami?”
Gadis kecil itu kemudian meronta meminta Adrian menurunkannya.
Adrian sempat menoleh ke belakang, sama terkejutnya dengan Aruna sekarang karena gadis kecil memanggil Aruna dengan sebutan mami dan berlari berhamburan memburu Aruna.
“Mamiiii, lama banget perginya … Ara kangen.”
Gadis kecil itu memeluk kaki Aruna, wajahnya mendongak memperlihatkan puppy eyes dan Aruna tidak tahan untuk tidak menggendongnya.