"Biarkan saja, Anggun. Lumayan kan kita tidak bayarin pembantu di rumah ini, sudah ada, Lintang yang membereskan semuanya," seru kakak iparku Wulan yang bicara sama kakak iparku satunya Anggun."Iya sih, Mbak. Coba antar jemput, Tiara, kalau pake jasa ojek online sudah berapa saja 'kan, " jelas mereka sambil tertawa.Mereka mempermainkanku, ya Allah andai saja Bapakku tidak berpesan padaku, untuk selalu menyayangi keluarga dari suamiku, mungkin aku tak semenderita ini. Mereka tak sadar jika aku mendengarkan ucapan mereka, di rumah ini hanya Tiara dan Ibu mertuaku yang baik padaku. Untuk apa aku bertahan di rumah mewah ini, penghuninya banyak, dan ga semua menyukaiku."Lintang, hari ini, Budhe yang dari, Jogya mau mampir kesini masak yang banyak ya?" suruh kakak iparku Mbak Wulan padaku sambil berdandan menor di depanku."Kamu itu, Wulan, bukannya bantuin adikmu Lintang, malah menyuruhnya terus, sana bantuin?" Suruh Ibu pada, Mbak Wulan, yang aku tahu pasti ibu membelaku.Kuiris kentan
Ada sisi lega di dalam hatiku, setidaknya beban di hatiku berkurang. Selamat tinggal rumah mewah namun begitu banyak luka. Ibu mertuaku tidak tahu jika aku di perbudak oleh kakak-kakak iparku.Aku merapikan bajuku di dalam travel bag dan aku berharap Bapakku mau menerima putrinya yang telah gagal mempertahankan pernikahan yang beliau inginkan. Apa Bqpak akan kecewa saat aku yang dijual dikeluarga ini telah dikucilkan. Kuturuni tangga, dan ponsel kumasukkan dalam tas. Aku menuju ruang keluarga dan berpamitan dengan Ibu, aku melangkah menghampiri mereka."Mbak Wulan, Mbak Anggun, Lintang pamit," sapaku yang tak dihiraukan oleh keduanya.Tidak ada yang menahanku, Budhe juga terlihat biasa saja. Hmm ya sudahlah."Tante ... tolong jangan tinggalin Tiara," pinta gadis kecil itu padaku."Nanti kapan-kapan kita bisa bertemu lagi sayang," jawabku pada gadis kecil yang memelukku erat, ia tahu jika hanya aku yang mengerti tentang keadaannya."Nak, tidak bisakah dirubah keputusanmu?" permintaan Ib
Aku berdiri di depan sebagai kasir, pembeli datang dan pergi, aku melihat ada tamu langganan pemilik butik ini, memesan baju untuk pernikahan. Butik ini lumayan ramai, alhamdulillah bisa membaut aku melupakan sejenak perasaan yang entah, mungkin saja aku lelah setiap hari hanya menangis. Entah siapa aku dan siapa keluargaku sebenarnya. "Lintang, karyawan baru ya? Tolong bungkuskan baju ini, di bungkus yang rapi ya." Suruh Istri dari bosku namanya, Bu Sonya. Wanita sosialita yang begitu anggun dan cantik."Iya, Bu. Saya karyawan baru di sini," jawabku pada Ibu Sonya."Terima kasih ya," serunya dan berlalu pergi keruangannya.Aku di bantu sama teman kerjaku Elsa, membungkus baju dengan rapi, selesai itu aku menuju ruangan Bu Sonya dan menyerahkan barang padanya. Waktu sudah mulai sore, aku meminta izin untuk mencari kontrakan sama Bu sonya dan Pak Jaka. Aku ingin mencari kos atau kontrakan di dekat-dekat sini. Semoga saja kali ini aku izin kan. Karena juga aku baru satu hari bekerja ka
"Mbak Lintang, kita berangkat naik angkot apa jalan kaki?" tanya Elsa sambil menguncir rambutnya yang sebahu."Deket ini, cuma 300 meter, kita jalan saja ya," aku sudah membawa tas bekal yang tadi dibeli di warung sebelah."Baiklah."Kami berjalan beriringan, udara yang masih sejuk membuat kami jalan begitu santai. Dan tak terasa kami sudah berada di depan butik tempat kerja kami. Pengunjung hari ini lumayan banyak, telah tiba saatnya istirahat, aku yang bergantian jam dengan Cici teman kerja yang lain. Aku bergegas ke musholla yang tak jauh dari butik, salat dzuhur sudah selesai, aku kembali dan badanku ketabrak oleh anak kecil yang sedang berlari-lari."Aduh ... maaf ya, Tante cantik tidak sengaja," sapanya dan menolongku berdiri."Iya tidak apa-apa lain kali hati-hati ya," jawabku pada gadis kecil yang memelas.Gadis ini kenapa lari-lari, sepertinya ia ketakutan, gadis yang sangat lucu, membuatku rindu dengan Tiara, ada apa ya coba aku tanya."Kenapa sepertinya takut?" "Jingga ta
"Lintang, panggilnya jangan, Bu. ga enak, Mbak saja ya? Toh semua karyawan juga memanggil saya, Mbak." Aku mengangguk pelan. "Baiklah, Mbak Sonya.""Aku, lihat di kartu identitas kamu, status kamu sudah menikah ya, Lintang? Maaf ya kalau, Mbak banyak nanya," ucapnya penasaran.Aduh, harus jawab apa aku, haruskah aku bicara yang sesungguhnya, namun ga ada juga manfaatnya berbohong. Pada akhirnya mereka juga akan tahu tentang kisah hidupku."Lintang?""Eh iya, Mbak!""Ga di jawab?" tanyanya lagi penasaran."Iya, Mbak. Sebenarnya lintang di talak sih sama suami Lintang beberapa bulan yang lalu.""Oh maaf ya, Lintang, gara-gara, Mbak kamu jadi sedih kan." Mbak Sonya merasa serba salah."Tidak apa-apa, Mbak. Kan semuanya memang kenyataan.""Sabar ya, Lintang, kamu pasti bisa melewatinya."Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Santai saja." Aku kembali bekerja dan mengecek baju yang datang.Kenyataan bahwa hidupku telah hancur, nyatanya sampai sekarang aku baik-baik saja, dan aku senang bisa memil
"Lintang?"Aku ragu untuk menjawabnya. "Iya, Mas Emiel.""Saya minta tolong bujuk Jingga, agar mau makan?" tanya mas Emiel padaku.Aku mengangguk pelan. "InsyaAllah, Mas akan Lintang usahakan membujuknya.""Hmm, terima kasih."Mobil terparkir di halaman rumah yang dua kali lipat besar dari rumah mertuaku dulu. Rumah yang elegan dan mewah, aku sampai takjub melihatnya, subhanallah bagus sekali rumahnya. Nuansa cat warna abu-abu dengan variasi keemasan membuat rumah terlihat elegan dan wah. Mas Emiel mengajakku masuk kedalam, dan benar saja rumahnya sangat bagus dan indah. Ya Allah baru aku lihat rumah sebagus ini, kemana kamarnya Jingga rumah yang banyak sekali kamar."Nak, bagaimana Jingga juga belum mau keluar?" tanya wanita paruh baya itu pada Anaknya."Ma, kenalin ini Lintang, Siapa tahu bisa menenagkan Jingga," jawab Emiel pada Mamanya.Aku mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. "Nak Lintang, tolonglah, Jingga. Mama takut terjadi apa-apa sama, Jingga," ucap wanita paruh b
Lomba puisiSuara adzan menggema di sudut kamar ini. Aku segera bangun dan kepalaku terasa begitu terasa begitu berat, juga napasku terasa sesak, ternyata tangan Jingga yang melingkar di atas dadaku. Pelan-pelan aku meletakkan tangannya di atas guling dan beringsut menuju kamar mandi. Segera aku mengambil air wudhu dan langsung menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba, selesai itu aku membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk keluarga disini. Setelah beberapa menit, sarapan siap di atas meja nasi goreng telur, ayam dan sosis. Aku bergegas membantu Jingga untuk menyiapkan pakaian, serta membantu Jingga memakai baju seragam sekolah. rambut panjang Jingga yang lembut aku kepang, Jingga sangat suka dengan hasilnya, lalu ia mencium pipiku."Bagus, Tante. Aku suka.""Hu um. Ayo sarapan."Kami sarapan bersama, Jingga dan kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya Bu Anita, memuji masakannu yang kata
"Tante, terima kasih ya?" sapa Jingga sambil memeluk tubuhku aku yakin ia sedang menangis saat dibalik punggungku."Sayang, Tante akan selalu ada untukmu," jawabku sambil mengelap pipinya yang basah."Hari ini, Jingga bahagia, Tante?""Tante juga bahagia punya teman sepinter Jingga.""Kalau kalah gimana, Tante?"Aku menarik nafas panjang, beeusaha menenagkannya. "Setiap lomba pasti ada yang menang dan kalah Jingga, tapi kita kan sudah berusaha, jadi yang penting kita bahagia oke, satu lagi itu tak masalah kan karena kita mulai hati ini jadi sahabat," lirihku menyemangatinya.Susah senang pasti akan aku lalui. Setelah itu semua pasti akan baik baik saja. Begitulah cara sederhanaku mencintai kehidupan, yang sudah dihadirkan oleh Sang Pencipta.Saatnya menunggu yang paling mendebarkan, di mana pemenang lomba akan diumumkan, kulihat wajah Jingga yang tadi masih sama gelisah. Namun sekarang berubah ceria, aku memberitahunya bahwa meskipun nanti kalah namun Jingga akan tetap menjadi pemena