"Mbak Lintang, kita berangkat naik angkot apa jalan kaki?" tanya Elsa sambil menguncir rambutnya yang sebahu."Deket ini, cuma 300 meter, kita jalan saja ya," aku sudah membawa tas bekal yang tadi dibeli di warung sebelah."Baiklah."Kami berjalan beriringan, udara yang masih sejuk membuat kami jalan begitu santai. Dan tak terasa kami sudah berada di depan butik tempat kerja kami. Pengunjung hari ini lumayan banyak, telah tiba saatnya istirahat, aku yang bergantian jam dengan Cici teman kerja yang lain. Aku bergegas ke musholla yang tak jauh dari butik, salat dzuhur sudah selesai, aku kembali dan badanku ketabrak oleh anak kecil yang sedang berlari-lari."Aduh ... maaf ya, Tante cantik tidak sengaja," sapanya dan menolongku berdiri."Iya tidak apa-apa lain kali hati-hati ya," jawabku pada gadis kecil yang memelas.Gadis ini kenapa lari-lari, sepertinya ia ketakutan, gadis yang sangat lucu, membuatku rindu dengan Tiara, ada apa ya coba aku tanya."Kenapa sepertinya takut?" "Jingga ta
"Lintang, panggilnya jangan, Bu. ga enak, Mbak saja ya? Toh semua karyawan juga memanggil saya, Mbak." Aku mengangguk pelan. "Baiklah, Mbak Sonya.""Aku, lihat di kartu identitas kamu, status kamu sudah menikah ya, Lintang? Maaf ya kalau, Mbak banyak nanya," ucapnya penasaran.Aduh, harus jawab apa aku, haruskah aku bicara yang sesungguhnya, namun ga ada juga manfaatnya berbohong. Pada akhirnya mereka juga akan tahu tentang kisah hidupku."Lintang?""Eh iya, Mbak!""Ga di jawab?" tanyanya lagi penasaran."Iya, Mbak. Sebenarnya lintang di talak sih sama suami Lintang beberapa bulan yang lalu.""Oh maaf ya, Lintang, gara-gara, Mbak kamu jadi sedih kan." Mbak Sonya merasa serba salah."Tidak apa-apa, Mbak. Kan semuanya memang kenyataan.""Sabar ya, Lintang, kamu pasti bisa melewatinya."Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Santai saja." Aku kembali bekerja dan mengecek baju yang datang.Kenyataan bahwa hidupku telah hancur, nyatanya sampai sekarang aku baik-baik saja, dan aku senang bisa memil
"Lintang?"Aku ragu untuk menjawabnya. "Iya, Mas Emiel.""Saya minta tolong bujuk Jingga, agar mau makan?" tanya mas Emiel padaku.Aku mengangguk pelan. "InsyaAllah, Mas akan Lintang usahakan membujuknya.""Hmm, terima kasih."Mobil terparkir di halaman rumah yang dua kali lipat besar dari rumah mertuaku dulu. Rumah yang elegan dan mewah, aku sampai takjub melihatnya, subhanallah bagus sekali rumahnya. Nuansa cat warna abu-abu dengan variasi keemasan membuat rumah terlihat elegan dan wah. Mas Emiel mengajakku masuk kedalam, dan benar saja rumahnya sangat bagus dan indah. Ya Allah baru aku lihat rumah sebagus ini, kemana kamarnya Jingga rumah yang banyak sekali kamar."Nak, bagaimana Jingga juga belum mau keluar?" tanya wanita paruh baya itu pada Anaknya."Ma, kenalin ini Lintang, Siapa tahu bisa menenagkan Jingga," jawab Emiel pada Mamanya.Aku mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. "Nak Lintang, tolonglah, Jingga. Mama takut terjadi apa-apa sama, Jingga," ucap wanita paruh b
Lomba puisiSuara adzan menggema di sudut kamar ini. Aku segera bangun dan kepalaku terasa begitu terasa begitu berat, juga napasku terasa sesak, ternyata tangan Jingga yang melingkar di atas dadaku. Pelan-pelan aku meletakkan tangannya di atas guling dan beringsut menuju kamar mandi. Segera aku mengambil air wudhu dan langsung menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba, selesai itu aku membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk keluarga disini. Setelah beberapa menit, sarapan siap di atas meja nasi goreng telur, ayam dan sosis. Aku bergegas membantu Jingga untuk menyiapkan pakaian, serta membantu Jingga memakai baju seragam sekolah. rambut panjang Jingga yang lembut aku kepang, Jingga sangat suka dengan hasilnya, lalu ia mencium pipiku."Bagus, Tante. Aku suka.""Hu um. Ayo sarapan."Kami sarapan bersama, Jingga dan kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya Bu Anita, memuji masakannu yang kata
"Tante, terima kasih ya?" sapa Jingga sambil memeluk tubuhku aku yakin ia sedang menangis saat dibalik punggungku."Sayang, Tante akan selalu ada untukmu," jawabku sambil mengelap pipinya yang basah."Hari ini, Jingga bahagia, Tante?""Tante juga bahagia punya teman sepinter Jingga.""Kalau kalah gimana, Tante?"Aku menarik nafas panjang, beeusaha menenagkannya. "Setiap lomba pasti ada yang menang dan kalah Jingga, tapi kita kan sudah berusaha, jadi yang penting kita bahagia oke, satu lagi itu tak masalah kan karena kita mulai hati ini jadi sahabat," lirihku menyemangatinya.Susah senang pasti akan aku lalui. Setelah itu semua pasti akan baik baik saja. Begitulah cara sederhanaku mencintai kehidupan, yang sudah dihadirkan oleh Sang Pencipta.Saatnya menunggu yang paling mendebarkan, di mana pemenang lomba akan diumumkan, kulihat wajah Jingga yang tadi masih sama gelisah. Namun sekarang berubah ceria, aku memberitahunya bahwa meskipun nanti kalah namun Jingga akan tetap menjadi pemena
Pov Fajar.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kemana lagi aku harus mencari Lintang? Aku harus minta maaf padanya maafkan aku lintang, aku menyesal.Aku sudah mencarinya ke rumahnya, kata Budhe nya beliau tidak tahu, begitu banyak dosa yang aku lakukan. Lelaki macam apa aku yang menyakitinya begitu lama, ya Allah kenapa kau menyadarkanku setelah Lintang pergi dariku, bahkan sidang putusan perceraiannya pun sudah diketuk palu.Sekar benar-benar keterlaluan, ia menjebakku agar mencintainya untuk membalas dendam pada Lintang. Aghh aku benci diriku sendiri, betapa aku menyia-yiakan orang yang selama ini menyayangiku."Alhamdulillah, Mas. Lintang sudah resmi kau ceraikan, aku bahagia sekali." Sekar bicara padaku dengan nada angkuhnya."Iya sayang, kita bisa bersatu tanpa ada, Lintang yang menghalangi kita," jawabku senang pada sekar."Aku puas sekali, harusnya aku bisa melihat Lintang lebih menderita, namun sayang dia tak menghadiri sidang putusan ini." Desis Sekar sinis."Maksudmu apa,
Pov Lintang.Angin yang bertiup saat senja seperti ini selalu membawa anganku terbang jauh tidak terkendali. Aku sudah berusaha menahannya, tetapi aku malah membayangkan sosok Ibuku berdiri di tengah pasir putih di sana. Lalu, aku tersadar dan mengurung diri di kamar. Sayangnya, kemenangan lomba puisi tadi turut menyeret jauh anganku, tentang siapa Ibuku.Terkadang aku menyesali segala pikiranku yang terlalu jauh mengembara dalam indahnya bersama keluarga ada Ayah dan Ibu adik-adik, ah itu hanya ilusiku saja. Apa ini yang namanya merindukan sosok Ibu? seperti apa wajahnya? apa ia juga merindukanku? "Tante, bagus ya pemandangannya?" tanya Jingga padaku membuatku tersadar dari lamunan tentang sosok Ibu Bahagia rasanya berada di dekat Mas Emiel juga Jingga, hatiku merasa bahagia yang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. "Subhanallah, bagus banget Jingga, Tante suka sekali," jawabku pada Jingga yang sedang asyik melihat pemandangan dari atas."Gimana kalian suka?" Mas Emil yang sed
Matahari bersinar terang, riuh suara burung berkicau di pagi hari. Kami bersiap untuk kembali, Jingga enggan untuk bersiap, ia masih betah disini. Aku segera membujuknya agar ia mau pulang. "Ayo sayang kita pulang, Tante sudah bolos lama ga kerja sama Budhe Sonya. Tak enak, kalau harus libur lagi?" rayuku pada gadis kecil yang lagi ngambek."Jingga betah disini hanya sama, Papa juga sama, Tante. Damai rasanya hidup, Jingga," jawabnya sambil mengeluarkan air mata.Aku melengkungkan senyum ke arah gadis itu. "Tante janji akan selalu ada buat, Jingga, tapi kita pulang ya, Tante harus kerja sayang."Ia menggeleng ragu. "Hmm baiklah, Tante."Jingga ini dia sebenarnya ingin punya sahabat baru disisinya, kasian sekali anak ini, ia sebenarnya merindukan sosok Ibu nya yang telah lama meninggalkannya kembali dalam berada dalam pelukannya."Ayo sayang, biarkan, Tante Lintang bekerja, kasian kan, Tante Lintang kalau dia dipecat dari kerjanya kita ga bisa lagi ketemu sama, Tante gimana?" rayu Pap