"Lintang?"Aku ragu untuk menjawabnya. "Iya, Mas Emiel.""Saya minta tolong bujuk Jingga, agar mau makan?" tanya mas Emiel padaku.Aku mengangguk pelan. "InsyaAllah, Mas akan Lintang usahakan membujuknya.""Hmm, terima kasih."Mobil terparkir di halaman rumah yang dua kali lipat besar dari rumah mertuaku dulu. Rumah yang elegan dan mewah, aku sampai takjub melihatnya, subhanallah bagus sekali rumahnya. Nuansa cat warna abu-abu dengan variasi keemasan membuat rumah terlihat elegan dan wah. Mas Emiel mengajakku masuk kedalam, dan benar saja rumahnya sangat bagus dan indah. Ya Allah baru aku lihat rumah sebagus ini, kemana kamarnya Jingga rumah yang banyak sekali kamar."Nak, bagaimana Jingga juga belum mau keluar?" tanya wanita paruh baya itu pada Anaknya."Ma, kenalin ini Lintang, Siapa tahu bisa menenagkan Jingga," jawab Emiel pada Mamanya.Aku mencium punggung tangan wanita paruh baya itu. "Nak Lintang, tolonglah, Jingga. Mama takut terjadi apa-apa sama, Jingga," ucap wanita paruh b
Lomba puisiSuara adzan menggema di sudut kamar ini. Aku segera bangun dan kepalaku terasa begitu terasa begitu berat, juga napasku terasa sesak, ternyata tangan Jingga yang melingkar di atas dadaku. Pelan-pelan aku meletakkan tangannya di atas guling dan beringsut menuju kamar mandi. Segera aku mengambil air wudhu dan langsung menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba, selesai itu aku membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk keluarga disini. Setelah beberapa menit, sarapan siap di atas meja nasi goreng telur, ayam dan sosis. Aku bergegas membantu Jingga untuk menyiapkan pakaian, serta membantu Jingga memakai baju seragam sekolah. rambut panjang Jingga yang lembut aku kepang, Jingga sangat suka dengan hasilnya, lalu ia mencium pipiku."Bagus, Tante. Aku suka.""Hu um. Ayo sarapan."Kami sarapan bersama, Jingga dan kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya Bu Anita, memuji masakannu yang kata
"Tante, terima kasih ya?" sapa Jingga sambil memeluk tubuhku aku yakin ia sedang menangis saat dibalik punggungku."Sayang, Tante akan selalu ada untukmu," jawabku sambil mengelap pipinya yang basah."Hari ini, Jingga bahagia, Tante?""Tante juga bahagia punya teman sepinter Jingga.""Kalau kalah gimana, Tante?"Aku menarik nafas panjang, beeusaha menenagkannya. "Setiap lomba pasti ada yang menang dan kalah Jingga, tapi kita kan sudah berusaha, jadi yang penting kita bahagia oke, satu lagi itu tak masalah kan karena kita mulai hati ini jadi sahabat," lirihku menyemangatinya.Susah senang pasti akan aku lalui. Setelah itu semua pasti akan baik baik saja. Begitulah cara sederhanaku mencintai kehidupan, yang sudah dihadirkan oleh Sang Pencipta.Saatnya menunggu yang paling mendebarkan, di mana pemenang lomba akan diumumkan, kulihat wajah Jingga yang tadi masih sama gelisah. Namun sekarang berubah ceria, aku memberitahunya bahwa meskipun nanti kalah namun Jingga akan tetap menjadi pemena
Pov Fajar.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kemana lagi aku harus mencari Lintang? Aku harus minta maaf padanya maafkan aku lintang, aku menyesal.Aku sudah mencarinya ke rumahnya, kata Budhe nya beliau tidak tahu, begitu banyak dosa yang aku lakukan. Lelaki macam apa aku yang menyakitinya begitu lama, ya Allah kenapa kau menyadarkanku setelah Lintang pergi dariku, bahkan sidang putusan perceraiannya pun sudah diketuk palu.Sekar benar-benar keterlaluan, ia menjebakku agar mencintainya untuk membalas dendam pada Lintang. Aghh aku benci diriku sendiri, betapa aku menyia-yiakan orang yang selama ini menyayangiku."Alhamdulillah, Mas. Lintang sudah resmi kau ceraikan, aku bahagia sekali." Sekar bicara padaku dengan nada angkuhnya."Iya sayang, kita bisa bersatu tanpa ada, Lintang yang menghalangi kita," jawabku senang pada sekar."Aku puas sekali, harusnya aku bisa melihat Lintang lebih menderita, namun sayang dia tak menghadiri sidang putusan ini." Desis Sekar sinis."Maksudmu apa,
Pov Lintang.Angin yang bertiup saat senja seperti ini selalu membawa anganku terbang jauh tidak terkendali. Aku sudah berusaha menahannya, tetapi aku malah membayangkan sosok Ibuku berdiri di tengah pasir putih di sana. Lalu, aku tersadar dan mengurung diri di kamar. Sayangnya, kemenangan lomba puisi tadi turut menyeret jauh anganku, tentang siapa Ibuku.Terkadang aku menyesali segala pikiranku yang terlalu jauh mengembara dalam indahnya bersama keluarga ada Ayah dan Ibu adik-adik, ah itu hanya ilusiku saja. Apa ini yang namanya merindukan sosok Ibu? seperti apa wajahnya? apa ia juga merindukanku? "Tante, bagus ya pemandangannya?" tanya Jingga padaku membuatku tersadar dari lamunan tentang sosok Ibu Bahagia rasanya berada di dekat Mas Emiel juga Jingga, hatiku merasa bahagia yang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. "Subhanallah, bagus banget Jingga, Tante suka sekali," jawabku pada Jingga yang sedang asyik melihat pemandangan dari atas."Gimana kalian suka?" Mas Emil yang sed
Matahari bersinar terang, riuh suara burung berkicau di pagi hari. Kami bersiap untuk kembali, Jingga enggan untuk bersiap, ia masih betah disini. Aku segera membujuknya agar ia mau pulang. "Ayo sayang kita pulang, Tante sudah bolos lama ga kerja sama Budhe Sonya. Tak enak, kalau harus libur lagi?" rayuku pada gadis kecil yang lagi ngambek."Jingga betah disini hanya sama, Papa juga sama, Tante. Damai rasanya hidup, Jingga," jawabnya sambil mengeluarkan air mata.Aku melengkungkan senyum ke arah gadis itu. "Tante janji akan selalu ada buat, Jingga, tapi kita pulang ya, Tante harus kerja sayang."Ia menggeleng ragu. "Hmm baiklah, Tante."Jingga ini dia sebenarnya ingin punya sahabat baru disisinya, kasian sekali anak ini, ia sebenarnya merindukan sosok Ibu nya yang telah lama meninggalkannya kembali dalam berada dalam pelukannya."Ayo sayang, biarkan, Tante Lintang bekerja, kasian kan, Tante Lintang kalau dia dipecat dari kerjanya kita ga bisa lagi ketemu sama, Tante gimana?" rayu Pap
Langit berubah warna menjadi gelap aku dan Elsa keluar dari butik dan tatapanku tertuju pada laki-laki yang telah menalakku beberapa bulan yang lalu, ia menatapku tanpa kedip sungguh aku muak melihat lelaki itu."Lintang?" Panggilnya tanpa aku menghiraukanya dan melangkah pergi."Lintang ... aku mohon Lintang please sebentar saja." Lelaki itu sambil berlari mengejarku."Lintang maafkan aku, aku yang salah tolong maafkan aku." Fajar lelaki itu seolah ingin jawaban dariku."Aku sudah memaafkanmu dan pergilah jangan ganggu hidupku lagi, " jawabku sambil melangkah pergi.Kenapa dia muncul lagi dalam hidupku, padahal dalam mimpikupun aku enggan bertemu, sepertinya ada yang mau disampaikannya namun sudahlah mungkin saja ia juga sudah menikahi perempuan bernama Sekar itu. Kulangkahkan kakiku cepat bersama Elsa, kebetulan diparkir ada Mas Emil dan kami masuk ke dalam mobilnya."Mas kami nebeng ya, kumohon?" tanyaku pada Mas Emiel."Iya baiklah ayo saya antar," jawabnya tak mengerti, mungkin
Lintang bukanlah wanita biasa ia sangatlah istimewa, aku begitu mengaguminya. Ya Allah mungkinkah Ia bisa menjadi ibu dari anakku Jingga, menggantikan posisi Viona dalam hati Jingga. Aku melihat senyumnya, dan itu senyuman yang tulus untuk putriku, betapa aku terpesona saat melihatnya mengganti pakaian yang aku berikan. Lintang sangatlah anggun dan cantik, wanita yang sangat polos.Apakah lukanya Lintang bisa aku sembuhkan sedikit demi sedikit, Ada banyak kisah yang ingin kuceritakan kepadanya. Sayangnya, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku juga tidak tahu kapan aku punya kebetanian waktu untuk bicara. Dan aku juga tidak tahu apa Lintang mau mendengar ceritaku jika kami berjumpa. Jadi lebih baik kupendam saja sebagian cerita yang masih menyayat hatiku yaitu luka. Saat bermain melempar bola dipantai Lintang hampir saja jatuh dan aku menarik tangannya hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dadaku bergemuruh detak jantungku berdetak tidak seperti biasanya, saat melihat iris bola m