Lintang bukanlah wanita biasa ia sangatlah istimewa, aku begitu mengaguminya. Ya Allah mungkinkah Ia bisa menjadi ibu dari anakku Jingga, menggantikan posisi Viona dalam hati Jingga. Aku melihat senyumnya, dan itu senyuman yang tulus untuk putriku, betapa aku terpesona saat melihatnya mengganti pakaian yang aku berikan. Lintang sangatlah anggun dan cantik, wanita yang sangat polos.Apakah lukanya Lintang bisa aku sembuhkan sedikit demi sedikit, Ada banyak kisah yang ingin kuceritakan kepadanya. Sayangnya, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku juga tidak tahu kapan aku punya kebetanian waktu untuk bicara. Dan aku juga tidak tahu apa Lintang mau mendengar ceritaku jika kami berjumpa. Jadi lebih baik kupendam saja sebagian cerita yang masih menyayat hatiku yaitu luka. Saat bermain melempar bola dipantai Lintang hampir saja jatuh dan aku menarik tangannya hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dadaku bergemuruh detak jantungku berdetak tidak seperti biasanya, saat melihat iris bola m
Pov Lintang.Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, bayangan lelaki itu terus menghantuiku, ada apa lagi ia kembali bukankah ia telah membuangku. Lelaki itu selalu ada akal untuk membujukku lalu meninggalkanku lagi tak ubahnya aku ini hanya seperti sampah. Malam mulai larut dalam kesunyian, aku berusaha untuk memejamkan mata namun tak juga aku tertidur. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku kembali memeluk guling sambil mengucapkan takbir, hingga aku tak tahu aku sudah berada dalam alam mimpi.Suara riuh burung bernyanyi aku terperanjat dan beringsut mengambil air wudhu, aku menjalankan kewajibanku, kupasrahkan hidupku hanya kepada Sang pemilik kehidupan. Aku bersiap untuk berangakat kebutik, aku nitip nasi sama Elsa dua porsi satu buat sarapan satunya lagi buat makan siang."Mbak, ayo sarapan, ini sudah siap." Sapanya Elsa dan aku berjalan menghampirinya."Hmm sepertinya enak, Elsa," jawabku sambil memakan sarapan pagi bersama Elsa."Enak, ko. Mbak.""Habiskan, jaga ke
Aku kembali menatap liontin pemberian Budhe, aku sedikit menunduk merasai takdir yang seolah mempermainkanku. Kisahku yang mungkin hampir sama dengan kisah di sebuah sinetron dilayar televisi. Setidaknya aku butuh referensi di kehidupanku saat ini. Meski yang paling tepat kita mencontoh kehidupan Rasulullah, tapi aku hanya manusia biasa bukan. Yang hanya bisa mengeluh dan tak terima dengan apa yang aku pikirkan. Setidaknya aku masih punya iman untuk tak meninggalkan perintah-NYA. Jam sudah bergerak menunjuk pukul delapan malam. Dan itu artinya aku sudah merenungi nasibku selama satu jam lebih. Merasa netraku mulai lelah, aku menghela nafas panjang, sambil mengambil ponsel di atas nakas di dalam kamar tempat tidurku. Aku lupa jika akan mengambilkan unag untuk Elsa. Aku keluar membawa uang lima ratus ribu, duduk mendekati Elsa. Berharap agar ia mau menerimanya, aku harap agar bisa berikan kepada Ibu dari teman dekatku."El, ini uangnya buat, Ibumu." Aku memberikan uang itu pada Elsa.
"Lintang, kalau sakit kenapa masuk, harusnya istirahat di rumah?" tanya Mbak Sonya padaku cemas."Tidak apa-apa, maaf, Mbak Sonya. Lintang ketiduran di musholla," jawabku mengalihkan pembicaraan."Sudah sana pulang istirahat.""Tapi, Mbak Sonya!""Sudah jangan ngeyel."Pas ketepatan Mas Emil datang dan Mbak Sonya memintanya untuk mengantarkanku. Badanku semakin lemas, akupun tertidur dijok mobil depan milik Mas Emiel, tak terasa aku terbangun dan aku sudah berada di poliklinik, dan Mas Emiel menungguiku sambil tertidur.Ya Allah laki-laki ini, begitu baik juga perhatian, aku ingin memegang rambutnya, namun aku tak berani menyentuhnya. Aku memperhatikan wajahnya, dewasa hidung mancung tampan sekali kenapa juga ia harus mengalami luka yang sama denganku.Sebenarnya apa yang terjadi padaku, aku sudah merasa lebih baik lagi, hatiku merasa sudah sedikit tenang. Semoga saja cuma kelelahan bukan penyakit yang serius, Mas Emil terbangun dan tersenyum padaku."Mas Emil, terima kasih sudah menj
MelamarAku terenyak. Menyakiti hati Mbak Anggun bagaimana? Mbak Anggun itu seakan tidak dulu selalu mentakitiku. Bahkan tadi saja ia menertawakanku.Aku rasa tidak ada yang salah, kalau aku berpikir seselali ia harus diberi pelajaran. Mungkin baginya hanya bercanda, tapi sama sekali tidak lucu menurutku. Selama ini ia terus menyakitiku bikankah itu meyakitkan. kejadian tadi juga membuat harga diri sebagaiku senagai adik ipar terluka. Tidak berlebihan rasanya kalau aku kecewa, bukan?'Kalau aja semua orang tahu gimana rasanya nggak dicintai suami sendiri dulu itu bagaimana rasanya,' gumamku sepelan mungkin. Aku terpejam sesaat. Patah. Berjuang sendirian itu rasa sakitnya sangat menyiksa. Melihat Mbak Anggun pergi meninggalkanku. Biarlah mbak Anggun membenciku, semoga saja ucapanku akan membuatnya sadar. Akan arti dari kata menghargai seeeorang bukan memanfaatkan keadaan, kenapa harus ada hal semacam itu bahkan Bapakku saja yang ternyata bukan Abapak kandungku tidak pernah mengajarik
"Iya aku serius, aku ingin kita hidup bersama."Gugup seketika menyerangku dan aku tidak mau melihat ke belakang. Karena perjalanan hidupku masih panjang. "Lintang bersedia, Mas Emiel," ucapku membuat wajah mas Emil tersenyum bahagia.Aku hanya bisa menggangguk yang artinnya iya, ia begitu bahagia aku lihat. Semoga saja ini untuk yang terakhir kalinya. Aku berharap Mas Emil akan memperlakukanku seperti wanita yang lainnya. Mencintai dan dicintai tanpa ada skandal dan saling menyayagi. Mas Emiel berjanji akan menjagaku. Semoga ini akan membuat kebahagiaan buat hidupku, juga hidup Jingga."Terima kasih sudah menerima lamaranku, Lintang." Mas Emil tersenyum padaku."Sama-sama, Mas, aku hanya minta satu hal Mas, tetap setia," jawabku jujur."InsyaAllah, Lintang Mas janji." ucapnya meyakinkanku.Kami berjalan keluar dan ia mengantarku sampai di depan rumah. Ia mengucapkan salam dan berlalu pergi, mobil yang ia tumpangi pergi hingga tak terlihat lagi.Aku masuk ke dalam, dan merapikan dir
Benarkah Mas Haris yang terluka saat aku tinggal menikah dengan Mas Fajar dulu, bukannya ia adalah sahabatku. Apakah dia dulu menyukaiku, aku rasa tidak itu hanya akal-akalanya Sekar saja. Ah itu semua hanya akan membuatku jadi gila saja. Kami pulang dari butik, dijemput sama Mas Emil juga Jingga, Elsa hanya jadi pendengar saat kami bicara panjang lebar di kedai bakso. Rasa nyaman sudah terlihat saat Jingga selalu menempel denganku, kami bercanda bersama melewati sore hari disambut oleh gerimis rintik-rintik.Suasana kedai yang makin rame membuat kami, meninggalkannya dan kembali masuk kedalam mobil. Mobil melaju menuju rumah tempat tinggal kami, tak terasa mobil sudah terparkir di depan rumah."Tante, Jingga pulang dulu ya." sapanya sambil mencium pipiku."Iya Jingga, hati-hati ya," jawabku sambil keluar dari mobil milik Mas Emil."Mas pulang dulu ya?" pamitnya sambil tersenyum kepadaku."Iya, Mas, langsung tidur ya sampai rumah," jawabku membuat aku jadi malu sendiri.Mas Emil ter
Selesai kami kembali ke rumah Mas Emil, para tetangga datang silih berganti, membantu proses pernikahan kami ada yang menghias dekor. Ada yang masak ada juga yang menyiapkan alat-alat untuk keperluan pernikahan. Mas Emiel mencari dimana keberadaanku, lelaki itu yang beberapa jam yang lalu menjadi suamiku, matanya menyapu kesetiap penjuru, aku dan Jingga tertawa melihat tingkah Mas Emiel."Papa, cari siapa?" tanya Jingga yang sudah tahu jika Papanya mencariku Mama Lintang."Mama Lintang mana, Nak," jawabnya pada anaknya Jingga."Papa itu Mama, ada dibalik tirai," ucap Jingga sambil tertawa."Oh ... makasih ya,Nak."Tuh kan benar, Mas Emil mencariku, ada-ada saja tingkahnya dan badan tegap itu ia berjalan mendekatiku."Lintang, Mas cariin ternyata disini?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya."Iya, Mas Lintang lagi bicara sama, Mama," jawabku pada suamiku."Oh, ayo kita temui, Mama.""Iya, Mas."Dekorasi sederhana sudah siap di depan rumah Mama, beliau sengaja menyewa dekorasi di de
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y