MelamarAku terenyak. Menyakiti hati Mbak Anggun bagaimana? Mbak Anggun itu seakan tidak dulu selalu mentakitiku. Bahkan tadi saja ia menertawakanku.Aku rasa tidak ada yang salah, kalau aku berpikir seselali ia harus diberi pelajaran. Mungkin baginya hanya bercanda, tapi sama sekali tidak lucu menurutku. Selama ini ia terus menyakitiku bikankah itu meyakitkan. kejadian tadi juga membuat harga diri sebagaiku senagai adik ipar terluka. Tidak berlebihan rasanya kalau aku kecewa, bukan?'Kalau aja semua orang tahu gimana rasanya nggak dicintai suami sendiri dulu itu bagaimana rasanya,' gumamku sepelan mungkin. Aku terpejam sesaat. Patah. Berjuang sendirian itu rasa sakitnya sangat menyiksa. Melihat Mbak Anggun pergi meninggalkanku. Biarlah mbak Anggun membenciku, semoga saja ucapanku akan membuatnya sadar. Akan arti dari kata menghargai seeeorang bukan memanfaatkan keadaan, kenapa harus ada hal semacam itu bahkan Bapakku saja yang ternyata bukan Abapak kandungku tidak pernah mengajarik
"Iya aku serius, aku ingin kita hidup bersama."Gugup seketika menyerangku dan aku tidak mau melihat ke belakang. Karena perjalanan hidupku masih panjang. "Lintang bersedia, Mas Emiel," ucapku membuat wajah mas Emil tersenyum bahagia.Aku hanya bisa menggangguk yang artinnya iya, ia begitu bahagia aku lihat. Semoga saja ini untuk yang terakhir kalinya. Aku berharap Mas Emil akan memperlakukanku seperti wanita yang lainnya. Mencintai dan dicintai tanpa ada skandal dan saling menyayagi. Mas Emiel berjanji akan menjagaku. Semoga ini akan membuat kebahagiaan buat hidupku, juga hidup Jingga."Terima kasih sudah menerima lamaranku, Lintang." Mas Emil tersenyum padaku."Sama-sama, Mas, aku hanya minta satu hal Mas, tetap setia," jawabku jujur."InsyaAllah, Lintang Mas janji." ucapnya meyakinkanku.Kami berjalan keluar dan ia mengantarku sampai di depan rumah. Ia mengucapkan salam dan berlalu pergi, mobil yang ia tumpangi pergi hingga tak terlihat lagi.Aku masuk ke dalam, dan merapikan dir
Benarkah Mas Haris yang terluka saat aku tinggal menikah dengan Mas Fajar dulu, bukannya ia adalah sahabatku. Apakah dia dulu menyukaiku, aku rasa tidak itu hanya akal-akalanya Sekar saja. Ah itu semua hanya akan membuatku jadi gila saja. Kami pulang dari butik, dijemput sama Mas Emil juga Jingga, Elsa hanya jadi pendengar saat kami bicara panjang lebar di kedai bakso. Rasa nyaman sudah terlihat saat Jingga selalu menempel denganku, kami bercanda bersama melewati sore hari disambut oleh gerimis rintik-rintik.Suasana kedai yang makin rame membuat kami, meninggalkannya dan kembali masuk kedalam mobil. Mobil melaju menuju rumah tempat tinggal kami, tak terasa mobil sudah terparkir di depan rumah."Tante, Jingga pulang dulu ya." sapanya sambil mencium pipiku."Iya Jingga, hati-hati ya," jawabku sambil keluar dari mobil milik Mas Emil."Mas pulang dulu ya?" pamitnya sambil tersenyum kepadaku."Iya, Mas, langsung tidur ya sampai rumah," jawabku membuat aku jadi malu sendiri.Mas Emil ter
Selesai kami kembali ke rumah Mas Emil, para tetangga datang silih berganti, membantu proses pernikahan kami ada yang menghias dekor. Ada yang masak ada juga yang menyiapkan alat-alat untuk keperluan pernikahan. Mas Emiel mencari dimana keberadaanku, lelaki itu yang beberapa jam yang lalu menjadi suamiku, matanya menyapu kesetiap penjuru, aku dan Jingga tertawa melihat tingkah Mas Emiel."Papa, cari siapa?" tanya Jingga yang sudah tahu jika Papanya mencariku Mama Lintang."Mama Lintang mana, Nak," jawabnya pada anaknya Jingga."Papa itu Mama, ada dibalik tirai," ucap Jingga sambil tertawa."Oh ... makasih ya,Nak."Tuh kan benar, Mas Emil mencariku, ada-ada saja tingkahnya dan badan tegap itu ia berjalan mendekatiku."Lintang, Mas cariin ternyata disini?" tanyanya sambil menaikkan satu alisnya."Iya, Mas Lintang lagi bicara sama, Mama," jawabku pada suamiku."Oh, ayo kita temui, Mama.""Iya, Mas."Dekorasi sederhana sudah siap di depan rumah Mama, beliau sengaja menyewa dekorasi di de
Malam setelah seluruh tamu pulang, aku dan Mas Emiel berada di kamar yang bertabur bunga mawar putih. Rasanya masih tak percaya lelaki baik ini adalah suamiku. Dia tersenyum melihatku gugup. Dan Jingga pun ikut tidur bersama kami. "Kita tak perlu melakukannya sekarang, Lintang. Kau tidak boleh kelelahan."Aku hanya mengangguk. "Iya."Ujarnya setelah kami menunaikan sholat isya berjamaah. Aku memang lelah sekali kendati kepalaku rasanya sedang tidak baik baik saja.Mas Emiel melipat sajadahnya, lalu naik ke tempat tidur. Aku masih berdiri dengan canggung, menyadari kini hanya berdua dengan lelaki asing.Ah, tapi dia suamiku kan?Mas Emiel menarik tanganku perlahan, menyuruhku berbaring di sisinya. Dia menyediakan lengannya sebagai bantalku. Aku tak mampu menolak, lalu masuk ke dalam pelukan suamiku yang hangat."Sekarang kau punya aku. Aku tak akan membiarkanmu menangis lagi, Lintang." Bisiknya merdu.Hingga suara azan menggema di ruangan kanar tidur Mas Emiel. Kami beringsut dan meng
"Terima kasih, Mas. Hari ini aku sangat bahagia?" Lirihku berada di dekapannya sambil menikamati suasana dingin dan melihat sunset yang begitu indah."Sama-sama sayang, terima kasih juga kaupun membuatku bahagia," jawabnya sambil mengeratkan pelukannya. "Ini indah sekali, Mas."Aku masih di posisi dalam dekapannya."Kamu suka, Lintang?" tanyanya lagi padaku."Suka sekali, Mas, indah sekali" jawabku sambil tersenyum kepadanya.Hari sudah mulai gelap, sunset juga sudah menghilang dari pandangan, kami kembali dan kehotel dekat bukit hijau. Perjalanan yang begitu melelahkan membuatku tak merasakannya, hanya rasa haru dan bahagia.Sampai di hotel aku mempersiapkan diri membuat teh hangat untuk Mas Emil, selesai aku mandi aku keluar tanpa mengenakan hijabku. Rambutku yang panjang, kuurai dan aku duduk di depan cermin rias hotel, mas Emil mendekatiku dan memelukku dari belakang."MasyaAllah cantik sekali kamu sayang?" tanyanya sambil merayuku, mungkin saja ia suka melihat rambutku yang leb
Kami menaiki jeep menuju pasir berbisik udara yang sangat sejuk angin yang kencang membuatku harus memakai baju yang super tebal. Kami berhenti ditengah-tengah lautan pasir, memandang hamparan yang sangat luas hanya ada pasir dan pasir."Sayang, ayo kita abadikan moment ini." Ajaknya sambil meraih kamera dari dalam tasnya. Aku pun berjalan mendekat ke arah Mas Emiel. "Boleh, Mas, tapi siapa yang foto?" tanyaku sambil ingin berpose ditengah- tengah pasir yang disertai angin."Mas, Mas bisa minta tolong?" tanya Mas Emiel pada salah satu pengujung juga. "Saya, Mas.""Iya.""Oh, boleh."Aku agak merasa aneh, sekilas pria itu hidung dan matanya mirip denganku. Ah mungkin hanya kebetulan saja. Dan pikiranku yang lagi kacau. Aku dan Mas Emiel berpose. Selesai aku berjalan mendekati anak laki-laki kecil yang mungkin saja putranya. "Hay. Mau permen?" tanyaku padanya. Anak kecil itu mengangguk. "Mau, Tante."Aku memberikan permen padanya. "Emm namanya siapa?" tanyaku lagi. "Exsel, Tante
Perjalanan yang kami lalui itu sama, rasa yang kami rasakan sesungguhnya sama. Ada manis, ada bahagia, ada duka lara, ada syahdu dan masih banyak lagi rasa yang hadir dalam hidup kami."Aduh, Lintang, ko kepalaku pusing ya?" tanya Mas Emiel padaku."Lo kenapa, Mas, bukannya tadi baik-baik saja! Kita periksa ke dokter saja ya?" Aku begitu khawatir."Ga usah sayang paling cuma pusing saja, kok tiba-tiba sakit ya.""Ya sudah ayo, Mas istirahat saja tidur ya?" tanyaku yang begitu khawatir padanya."Iya. Sayang."Aku membantunya berjalan menuju ranjang, tapi Mas Emiel tiba-tiba, langsung mengangkat tubuhku. Ya Allah Aku kaget sekali aku tahu jika suamiku berpura-pura sakit. Aku langsung memukul dada suamiku, namun apalah daya tubuh kekar Mas Emil membuatku tak bisa berkutik di dalam dekapannya.Fajar mulai terlihat terang dari atas hotel tempat kami menginap, kami bersiap-siap untuk pulang, oleh-oleh baju juga camilan untuk semua sudah siap didalam koper, kami menunggu mobil jemputan unt