Perjalanan yang kami lalui itu sama, rasa yang kami rasakan sesungguhnya sama. Ada manis, ada bahagia, ada duka lara, ada syahdu dan masih banyak lagi rasa yang hadir dalam hidup kami."Aduh, Lintang, ko kepalaku pusing ya?" tanya Mas Emiel padaku."Lo kenapa, Mas, bukannya tadi baik-baik saja! Kita periksa ke dokter saja ya?" Aku begitu khawatir."Ga usah sayang paling cuma pusing saja, kok tiba-tiba sakit ya.""Ya sudah ayo, Mas istirahat saja tidur ya?" tanyaku yang begitu khawatir padanya."Iya. Sayang."Aku membantunya berjalan menuju ranjang, tapi Mas Emiel tiba-tiba, langsung mengangkat tubuhku. Ya Allah Aku kaget sekali aku tahu jika suamiku berpura-pura sakit. Aku langsung memukul dada suamiku, namun apalah daya tubuh kekar Mas Emil membuatku tak bisa berkutik di dalam dekapannya.Fajar mulai terlihat terang dari atas hotel tempat kami menginap, kami bersiap-siap untuk pulang, oleh-oleh baju juga camilan untuk semua sudah siap didalam koper, kami menunggu mobil jemputan unt
Mas Emiel hanya diam seribu bahasa, siapa perembuan bertubuh sintal itu? Jingga pun diam aku mau masuk tanganku ditahan sama Mas Emiel, sebenarnya siapa dia?"Sayangku, Jingga, ini Mama kamu nak." Perempuan itu dan lari mau memeluk Jingga, namun Jingga mundur satu langkah."Tidak ... tidak Mama Jingga, Mama Lintang pergi," jawab Jingga menolak pelukan dari wanita itu.Apa dia adalah Mama kandung Jingga, Ya Allah tidak, kenapa ia hadir di saat rumah tanggaku baik-baik saja, bukankah ia meninggalkan Mas Emiel juga Jingga sudah beberapa tahun yang lalu."Mama mohon Jingga, peluk Mama.""Tidak, Mama Jingga, Mama Lintang." Jingga berdiri di belakang tubuhku."Jangan berani menyentuh putriku, untuk apa kau kembali hah, apa selingkuhanmu meninggalkanmu," ucap Mas Emiel keras."Maafkan aku, Mas Emil aku menyesal.""Silahkan keluar pintunya masih terbuka," pikik Mas Emiel keras. "Mas aku ini Ibunya, yang melahirkan Jingga," jawabnya sambil menangis."Ibu kamu bilang, Ibu ... hah luci sekali,
Siapa tamunya, Mas?" tanyaku pada Mas Emiel."Tidak tahu sayang," jawab suamiku padaku."Aku yang datang." Seru wanita itu lagi sambil membawa koper."Apa ... apaan ini," ucap suamiku emosi."Aku Viola akan di rumah ini, aku ingin dekat dengan anakku.""Tidak aku tidak mau," ucap Jingga mengelak."Dengar ya Jingga aku Ibu yang melahirkanmu, jadi diam, suka atau tak suka aku tetap disini," ucap wanita itu dan masuk ke dalam kamar tamu.Mas Emiel terlihat frustasi, Ia mengacak rambutnya, dan Jingga menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan melihat orang-orang yang aku sayangi terluka lagi. Aku sudah masuk dalam keluarga ini, aku harus mempertahankan rumah tanggaku, aku harus menyelamatkannya, Mas Emiel mendekatiku dan memelukku. Entah apa yang ia rasakan, saat ini mungkin memelukku akan membuat dirinya tenang."Apa yang harus, Mas lakukan, Lintang?" tanyanya padaku."Kita hadapi bersama, Mas," jawabku pada Suamiku."Kau yakin akan membantu, Mas, menyelesaikan masalah ini."Ak
"Terima kasih, Lintang sudah mau menikah denganku, dan selalu menjaga Jingga?" tanyanya padaku saat aku berada di dalam dekapannya."Sama-sama, Mas kita berjuang bersama, melawan, Mbak Viola." Aku berusaha meyakinkan suamiku yang terlihat begitu gelisah."Kau tahu sayang, wanita seperti itu tidak akan menyerah, jiwanya sudah dipenuhi dengan ambisi. Apapun akan dilakukan untuk menguasai ambisinya," ucap Suamiku sambil meluk erat tubuhku.Aku menarik nafas, dan menoleh kearah Mas Emiel."Iya, Mas. Mas Emiel benar, aku lihat juga dia tidak sungguh-sungguh ingin mencuri perhatian dari Jingga." "Iya, Mas tahu sayang, apa yang harus kita lakukan agar dia pergi dari rumah ini?" tanya suamiku lagi padaku."Lintang juga tidak tahu, Mas. Semoga semua kedepannya akan baik-baik saja.""Aamiin, iya sayang mudah-mudahan."Bagaimana kehidupanku selanjutnya, pantang bagiku menyakiti wanita. Namun bagaimana dengan nasib, Jingga. Aku mengusap wajahku dengan kasar, tak tahu harus bagaimana menjelaskan
"Mas Emiel ... apa Mbak Viola mengancam Mas Emiel?" tanyaku ragu."Tidak ada ancama sayang, aku hanya ingin bersamamu dan akan selalu menjagamu." Ia tersenyum manis dan melajukan mobilnya kembali. "Maafkan aku, Mas, jika aku membuat, Mas Emiel menjadi cemas."Sudahlah, ayo turun sudah sampai."Mobil sudah sampai tapi ini dimana? aku tak tahu karena kecemasanku, aku sampai lupa mobil berjalan kearah mana. Dan ternyata ini disebuah hotel. Kami masuk dan dia memperlakukanku seperti wanita yang paling bahagia sedunia.Ruangan gang serba putih, bertaburkqn mawar merah, rankang king size yang begitu indah, sesaat aku terpana dan Mas Emiel menarik tanganku dan kami masuk kedalam. "Kau suka tempatnya, sayang?"Aku mengangguk pelan. "Iya sangat bagus."Aku memejam ketika napas Mas Emiel menyapu wajahku, terasa hangat. Pria itu menatap dalam wajahku, aku tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Alu hanya menggigit bibir bawah, hal ini membuat gairah Mas Emiel semakin bergelora.Segera Mas Emie
"Mama, Jingga takut...." Jingga seraya mendekap dalam pelukannku."Sudah tidak apa-apa, sayang, kita berdo'a semoga Papa dan kita baik-baik saja." Aku berusaha menenagkan Jingga. Jauh dilupuk hatiku aku benar-benar takut ancaman dari wanita itu, bagaimana jika terjadi apa-apa sama Mas Emiel."Ma, kenapa, Ibuku jahat sekali, buat apa ia kembali jika untuk melukai lagi.""Sabar sayang, sudah ya jangan nagis lagi ya."Senja mengajarkan kita bahwa hidup tak selamanya indah dan cemerlang, mungkin itulah ujianku saat ini. Ancaman wanita itu membuatku menjadi terpuruk, namun aku lupa jika aku masih punya Allah yang selalu ada untukku.Dimanapun aku berada akan ketemu orang yang tidak suka, ada yang benci, ada yang dengki. Betapa pun kita sudah berbaik-baik, berbuat baik yang terbaik. Mungkin menghindar tak bisa, kali ini bisa, tapi di tempat lain akan ketemu pula. Sudahlah, biasa saja ... tidak usah hiraukan. Nanti kalau capek dia akan diam sendiri atau biarlah Allah yang mendiamkannya. J
Aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku tercinta dan Jingga. Dua piring nasi goreng sosis dan telur ceplok sudah tersedia di meja makan.Mas Emil dan Jingga menyantap nasi goreng hingga habis tak tersisa, aku beranjak lalu membersihkan bekas piring lalu mencucinya. Setelah itu ponsel milik Mas Emiel berdering ada telepon dari Mamanya.[Nak jemput, Mama di Bandara ya][Sekarang, Ma? ][Nanti siang, Nak][Baik, Ma, nanti ku jemput siang][Iya, sayang]Sepertinya Mama yang menelepon, terdengar suaranya begitu keras, apa sudah selesai acara keluarganya diluar kota. "Ibu, Mas, yang telepon?" tanyaku pada mas Emil."Iya sayang, biar Mas yang jemput lagian Mang Jaja anterin Jingga kan.""Iya sudah hati-hati sayang," ucapku padanya sambil aku mencium punggung tangan suamiku."Jingga, inget pesen Papa ya, Jagain Mama Lintang."Tuh kan, aneh-aneh saja bicaranya Mas Emiel bikin orang takut saja kan."Kok pesen segala sih, Papa?" tanya Jingga yang sama sepertiku, apa
Dokter membolehkannku pulang dengan badan yang masih lemas aku masuk ke dalam rumah bersama Jingga dan juga Mbak Sonya. Rumah ini terlalu banyak kenagan namun sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini, rumah ini ternyata sudah menjadi milik Bank karena Viola mencuri sertipikatnya.Tubuhku masih berada di ranjang yang sama, masih dengan wangi parfum Mas Emiel. Ya Allah inikah takdirku telah. Engkau harus mengambil orang-orang yang aku sayangi, kemana lagi aku harus pergi, apa aku pergi ke rumahku saja ya tapi bagaimana dengan Jingga."Ma, kita akan pergi kemana?" tanya Jingga padaku, dan memberiku secangkir teh hangat."Mama belum tahu sayang, apa Jingga akan ikut sama Mama," jawabku pada Jingga yang terlihat begitu cemas."Jingga sudah janji kan sama mendiang Papa buat jagain, Mama kan."Aku langsung memeluk Jingga. Tidak pernah lagi kulihat pelangi muncul di langitku walau hujan beratus kali turun membasahi bumi, aku tak pernah lagi bisa melihat wajahmu tertimpa air hujan
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y