Kami menaiki jeep menuju pasir berbisik udara yang sangat sejuk angin yang kencang membuatku harus memakai baju yang super tebal. Kami berhenti ditengah-tengah lautan pasir, memandang hamparan yang sangat luas hanya ada pasir dan pasir."Sayang, ayo kita abadikan moment ini." Ajaknya sambil meraih kamera dari dalam tasnya. Aku pun berjalan mendekat ke arah Mas Emiel. "Boleh, Mas, tapi siapa yang foto?" tanyaku sambil ingin berpose ditengah- tengah pasir yang disertai angin."Mas, Mas bisa minta tolong?" tanya Mas Emiel pada salah satu pengujung juga. "Saya, Mas.""Iya.""Oh, boleh."Aku agak merasa aneh, sekilas pria itu hidung dan matanya mirip denganku. Ah mungkin hanya kebetulan saja. Dan pikiranku yang lagi kacau. Aku dan Mas Emiel berpose. Selesai aku berjalan mendekati anak laki-laki kecil yang mungkin saja putranya. "Hay. Mau permen?" tanyaku padanya. Anak kecil itu mengangguk. "Mau, Tante."Aku memberikan permen padanya. "Emm namanya siapa?" tanyaku lagi. "Exsel, Tante
Perjalanan yang kami lalui itu sama, rasa yang kami rasakan sesungguhnya sama. Ada manis, ada bahagia, ada duka lara, ada syahdu dan masih banyak lagi rasa yang hadir dalam hidup kami."Aduh, Lintang, ko kepalaku pusing ya?" tanya Mas Emiel padaku."Lo kenapa, Mas, bukannya tadi baik-baik saja! Kita periksa ke dokter saja ya?" Aku begitu khawatir."Ga usah sayang paling cuma pusing saja, kok tiba-tiba sakit ya.""Ya sudah ayo, Mas istirahat saja tidur ya?" tanyaku yang begitu khawatir padanya."Iya. Sayang."Aku membantunya berjalan menuju ranjang, tapi Mas Emiel tiba-tiba, langsung mengangkat tubuhku. Ya Allah Aku kaget sekali aku tahu jika suamiku berpura-pura sakit. Aku langsung memukul dada suamiku, namun apalah daya tubuh kekar Mas Emil membuatku tak bisa berkutik di dalam dekapannya.Fajar mulai terlihat terang dari atas hotel tempat kami menginap, kami bersiap-siap untuk pulang, oleh-oleh baju juga camilan untuk semua sudah siap didalam koper, kami menunggu mobil jemputan unt
Mas Emiel hanya diam seribu bahasa, siapa perembuan bertubuh sintal itu? Jingga pun diam aku mau masuk tanganku ditahan sama Mas Emiel, sebenarnya siapa dia?"Sayangku, Jingga, ini Mama kamu nak." Perempuan itu dan lari mau memeluk Jingga, namun Jingga mundur satu langkah."Tidak ... tidak Mama Jingga, Mama Lintang pergi," jawab Jingga menolak pelukan dari wanita itu.Apa dia adalah Mama kandung Jingga, Ya Allah tidak, kenapa ia hadir di saat rumah tanggaku baik-baik saja, bukankah ia meninggalkan Mas Emiel juga Jingga sudah beberapa tahun yang lalu."Mama mohon Jingga, peluk Mama.""Tidak, Mama Jingga, Mama Lintang." Jingga berdiri di belakang tubuhku."Jangan berani menyentuh putriku, untuk apa kau kembali hah, apa selingkuhanmu meninggalkanmu," ucap Mas Emiel keras."Maafkan aku, Mas Emil aku menyesal.""Silahkan keluar pintunya masih terbuka," pikik Mas Emiel keras. "Mas aku ini Ibunya, yang melahirkan Jingga," jawabnya sambil menangis."Ibu kamu bilang, Ibu ... hah luci sekali,
Siapa tamunya, Mas?" tanyaku pada Mas Emiel."Tidak tahu sayang," jawab suamiku padaku."Aku yang datang." Seru wanita itu lagi sambil membawa koper."Apa ... apaan ini," ucap suamiku emosi."Aku Viola akan di rumah ini, aku ingin dekat dengan anakku.""Tidak aku tidak mau," ucap Jingga mengelak."Dengar ya Jingga aku Ibu yang melahirkanmu, jadi diam, suka atau tak suka aku tetap disini," ucap wanita itu dan masuk ke dalam kamar tamu.Mas Emiel terlihat frustasi, Ia mengacak rambutnya, dan Jingga menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan melihat orang-orang yang aku sayangi terluka lagi. Aku sudah masuk dalam keluarga ini, aku harus mempertahankan rumah tanggaku, aku harus menyelamatkannya, Mas Emiel mendekatiku dan memelukku. Entah apa yang ia rasakan, saat ini mungkin memelukku akan membuat dirinya tenang."Apa yang harus, Mas lakukan, Lintang?" tanyanya padaku."Kita hadapi bersama, Mas," jawabku pada Suamiku."Kau yakin akan membantu, Mas, menyelesaikan masalah ini."Ak
"Terima kasih, Lintang sudah mau menikah denganku, dan selalu menjaga Jingga?" tanyanya padaku saat aku berada di dalam dekapannya."Sama-sama, Mas kita berjuang bersama, melawan, Mbak Viola." Aku berusaha meyakinkan suamiku yang terlihat begitu gelisah."Kau tahu sayang, wanita seperti itu tidak akan menyerah, jiwanya sudah dipenuhi dengan ambisi. Apapun akan dilakukan untuk menguasai ambisinya," ucap Suamiku sambil meluk erat tubuhku.Aku menarik nafas, dan menoleh kearah Mas Emiel."Iya, Mas. Mas Emiel benar, aku lihat juga dia tidak sungguh-sungguh ingin mencuri perhatian dari Jingga." "Iya, Mas tahu sayang, apa yang harus kita lakukan agar dia pergi dari rumah ini?" tanya suamiku lagi padaku."Lintang juga tidak tahu, Mas. Semoga semua kedepannya akan baik-baik saja.""Aamiin, iya sayang mudah-mudahan."Bagaimana kehidupanku selanjutnya, pantang bagiku menyakiti wanita. Namun bagaimana dengan nasib, Jingga. Aku mengusap wajahku dengan kasar, tak tahu harus bagaimana menjelaskan
"Mas Emiel ... apa Mbak Viola mengancam Mas Emiel?" tanyaku ragu."Tidak ada ancama sayang, aku hanya ingin bersamamu dan akan selalu menjagamu." Ia tersenyum manis dan melajukan mobilnya kembali. "Maafkan aku, Mas, jika aku membuat, Mas Emiel menjadi cemas."Sudahlah, ayo turun sudah sampai."Mobil sudah sampai tapi ini dimana? aku tak tahu karena kecemasanku, aku sampai lupa mobil berjalan kearah mana. Dan ternyata ini disebuah hotel. Kami masuk dan dia memperlakukanku seperti wanita yang paling bahagia sedunia.Ruangan gang serba putih, bertaburkqn mawar merah, rankang king size yang begitu indah, sesaat aku terpana dan Mas Emiel menarik tanganku dan kami masuk kedalam. "Kau suka tempatnya, sayang?"Aku mengangguk pelan. "Iya sangat bagus."Aku memejam ketika napas Mas Emiel menyapu wajahku, terasa hangat. Pria itu menatap dalam wajahku, aku tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Alu hanya menggigit bibir bawah, hal ini membuat gairah Mas Emiel semakin bergelora.Segera Mas Emie
"Mama, Jingga takut...." Jingga seraya mendekap dalam pelukannku."Sudah tidak apa-apa, sayang, kita berdo'a semoga Papa dan kita baik-baik saja." Aku berusaha menenagkan Jingga. Jauh dilupuk hatiku aku benar-benar takut ancaman dari wanita itu, bagaimana jika terjadi apa-apa sama Mas Emiel."Ma, kenapa, Ibuku jahat sekali, buat apa ia kembali jika untuk melukai lagi.""Sabar sayang, sudah ya jangan nagis lagi ya."Senja mengajarkan kita bahwa hidup tak selamanya indah dan cemerlang, mungkin itulah ujianku saat ini. Ancaman wanita itu membuatku menjadi terpuruk, namun aku lupa jika aku masih punya Allah yang selalu ada untukku.Dimanapun aku berada akan ketemu orang yang tidak suka, ada yang benci, ada yang dengki. Betapa pun kita sudah berbaik-baik, berbuat baik yang terbaik. Mungkin menghindar tak bisa, kali ini bisa, tapi di tempat lain akan ketemu pula. Sudahlah, biasa saja ... tidak usah hiraukan. Nanti kalau capek dia akan diam sendiri atau biarlah Allah yang mendiamkannya. J
Aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku tercinta dan Jingga. Dua piring nasi goreng sosis dan telur ceplok sudah tersedia di meja makan.Mas Emil dan Jingga menyantap nasi goreng hingga habis tak tersisa, aku beranjak lalu membersihkan bekas piring lalu mencucinya. Setelah itu ponsel milik Mas Emiel berdering ada telepon dari Mamanya.[Nak jemput, Mama di Bandara ya][Sekarang, Ma? ][Nanti siang, Nak][Baik, Ma, nanti ku jemput siang][Iya, sayang]Sepertinya Mama yang menelepon, terdengar suaranya begitu keras, apa sudah selesai acara keluarganya diluar kota. "Ibu, Mas, yang telepon?" tanyaku pada mas Emil."Iya sayang, biar Mas yang jemput lagian Mang Jaja anterin Jingga kan.""Iya sudah hati-hati sayang," ucapku padanya sambil aku mencium punggung tangan suamiku."Jingga, inget pesen Papa ya, Jagain Mama Lintang."Tuh kan, aneh-aneh saja bicaranya Mas Emiel bikin orang takut saja kan."Kok pesen segala sih, Papa?" tanya Jingga yang sama sepertiku, apa