Siapa tamunya, Mas?" tanyaku pada Mas Emiel."Tidak tahu sayang," jawab suamiku padaku."Aku yang datang." Seru wanita itu lagi sambil membawa koper."Apa ... apaan ini," ucap suamiku emosi."Aku Viola akan di rumah ini, aku ingin dekat dengan anakku.""Tidak aku tidak mau," ucap Jingga mengelak."Dengar ya Jingga aku Ibu yang melahirkanmu, jadi diam, suka atau tak suka aku tetap disini," ucap wanita itu dan masuk ke dalam kamar tamu.Mas Emiel terlihat frustasi, Ia mengacak rambutnya, dan Jingga menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan melihat orang-orang yang aku sayangi terluka lagi. Aku sudah masuk dalam keluarga ini, aku harus mempertahankan rumah tanggaku, aku harus menyelamatkannya, Mas Emiel mendekatiku dan memelukku. Entah apa yang ia rasakan, saat ini mungkin memelukku akan membuat dirinya tenang."Apa yang harus, Mas lakukan, Lintang?" tanyanya padaku."Kita hadapi bersama, Mas," jawabku pada Suamiku."Kau yakin akan membantu, Mas, menyelesaikan masalah ini."Ak
"Terima kasih, Lintang sudah mau menikah denganku, dan selalu menjaga Jingga?" tanyanya padaku saat aku berada di dalam dekapannya."Sama-sama, Mas kita berjuang bersama, melawan, Mbak Viola." Aku berusaha meyakinkan suamiku yang terlihat begitu gelisah."Kau tahu sayang, wanita seperti itu tidak akan menyerah, jiwanya sudah dipenuhi dengan ambisi. Apapun akan dilakukan untuk menguasai ambisinya," ucap Suamiku sambil meluk erat tubuhku.Aku menarik nafas, dan menoleh kearah Mas Emiel."Iya, Mas. Mas Emiel benar, aku lihat juga dia tidak sungguh-sungguh ingin mencuri perhatian dari Jingga." "Iya, Mas tahu sayang, apa yang harus kita lakukan agar dia pergi dari rumah ini?" tanya suamiku lagi padaku."Lintang juga tidak tahu, Mas. Semoga semua kedepannya akan baik-baik saja.""Aamiin, iya sayang mudah-mudahan."Bagaimana kehidupanku selanjutnya, pantang bagiku menyakiti wanita. Namun bagaimana dengan nasib, Jingga. Aku mengusap wajahku dengan kasar, tak tahu harus bagaimana menjelaskan
"Mas Emiel ... apa Mbak Viola mengancam Mas Emiel?" tanyaku ragu."Tidak ada ancama sayang, aku hanya ingin bersamamu dan akan selalu menjagamu." Ia tersenyum manis dan melajukan mobilnya kembali. "Maafkan aku, Mas, jika aku membuat, Mas Emiel menjadi cemas."Sudahlah, ayo turun sudah sampai."Mobil sudah sampai tapi ini dimana? aku tak tahu karena kecemasanku, aku sampai lupa mobil berjalan kearah mana. Dan ternyata ini disebuah hotel. Kami masuk dan dia memperlakukanku seperti wanita yang paling bahagia sedunia.Ruangan gang serba putih, bertaburkqn mawar merah, rankang king size yang begitu indah, sesaat aku terpana dan Mas Emiel menarik tanganku dan kami masuk kedalam. "Kau suka tempatnya, sayang?"Aku mengangguk pelan. "Iya sangat bagus."Aku memejam ketika napas Mas Emiel menyapu wajahku, terasa hangat. Pria itu menatap dalam wajahku, aku tidak bisa melakukan apa-apa saat ini. Alu hanya menggigit bibir bawah, hal ini membuat gairah Mas Emiel semakin bergelora.Segera Mas Emie
"Mama, Jingga takut...." Jingga seraya mendekap dalam pelukannku."Sudah tidak apa-apa, sayang, kita berdo'a semoga Papa dan kita baik-baik saja." Aku berusaha menenagkan Jingga. Jauh dilupuk hatiku aku benar-benar takut ancaman dari wanita itu, bagaimana jika terjadi apa-apa sama Mas Emiel."Ma, kenapa, Ibuku jahat sekali, buat apa ia kembali jika untuk melukai lagi.""Sabar sayang, sudah ya jangan nagis lagi ya."Senja mengajarkan kita bahwa hidup tak selamanya indah dan cemerlang, mungkin itulah ujianku saat ini. Ancaman wanita itu membuatku menjadi terpuruk, namun aku lupa jika aku masih punya Allah yang selalu ada untukku.Dimanapun aku berada akan ketemu orang yang tidak suka, ada yang benci, ada yang dengki. Betapa pun kita sudah berbaik-baik, berbuat baik yang terbaik. Mungkin menghindar tak bisa, kali ini bisa, tapi di tempat lain akan ketemu pula. Sudahlah, biasa saja ... tidak usah hiraukan. Nanti kalau capek dia akan diam sendiri atau biarlah Allah yang mendiamkannya. J
Aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku tercinta dan Jingga. Dua piring nasi goreng sosis dan telur ceplok sudah tersedia di meja makan.Mas Emil dan Jingga menyantap nasi goreng hingga habis tak tersisa, aku beranjak lalu membersihkan bekas piring lalu mencucinya. Setelah itu ponsel milik Mas Emiel berdering ada telepon dari Mamanya.[Nak jemput, Mama di Bandara ya][Sekarang, Ma? ][Nanti siang, Nak][Baik, Ma, nanti ku jemput siang][Iya, sayang]Sepertinya Mama yang menelepon, terdengar suaranya begitu keras, apa sudah selesai acara keluarganya diluar kota. "Ibu, Mas, yang telepon?" tanyaku pada mas Emil."Iya sayang, biar Mas yang jemput lagian Mang Jaja anterin Jingga kan.""Iya sudah hati-hati sayang," ucapku padanya sambil aku mencium punggung tangan suamiku."Jingga, inget pesen Papa ya, Jagain Mama Lintang."Tuh kan, aneh-aneh saja bicaranya Mas Emiel bikin orang takut saja kan."Kok pesen segala sih, Papa?" tanya Jingga yang sama sepertiku, apa
Dokter membolehkannku pulang dengan badan yang masih lemas aku masuk ke dalam rumah bersama Jingga dan juga Mbak Sonya. Rumah ini terlalu banyak kenagan namun sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini, rumah ini ternyata sudah menjadi milik Bank karena Viola mencuri sertipikatnya.Tubuhku masih berada di ranjang yang sama, masih dengan wangi parfum Mas Emiel. Ya Allah inikah takdirku telah. Engkau harus mengambil orang-orang yang aku sayangi, kemana lagi aku harus pergi, apa aku pergi ke rumahku saja ya tapi bagaimana dengan Jingga."Ma, kita akan pergi kemana?" tanya Jingga padaku, dan memberiku secangkir teh hangat."Mama belum tahu sayang, apa Jingga akan ikut sama Mama," jawabku pada Jingga yang terlihat begitu cemas."Jingga sudah janji kan sama mendiang Papa buat jagain, Mama kan."Aku langsung memeluk Jingga. Tidak pernah lagi kulihat pelangi muncul di langitku walau hujan beratus kali turun membasahi bumi, aku tak pernah lagi bisa melihat wajahmu tertimpa air hujan
Aku berharap setiap kejadian ada pelajaran untukku, setiap kesulitan akan terbit kemudahan, usai kesedihan akan hadir kebahagiaan. Selalu ada solusi dari setiap keterpurukan yang aku alami, Karena Allah sudah memberi petunjuk jalan untukku. Beginilah Allah mengajarkan cara kepada ku untuk selalu bersandar hanya pada-Nya.Aku hanya bisa menghela nafas panjangku, hati tak mudah kalutpun harapan akan terwujud. Aku memeluk Jingga dalam keheningan malam, tidak seperti anak lainnya yang memiliki keluarga utuh, tapi tidak dengan Jingga. Hingga pagi menyapaku lagi dalam goresan luka dihati.Di dalam sini ternyata lengkap dengan alamat rumahnya, pagi sekali aku dan Jingga diantar sama Mang Jaja dan Bibi pergi kealamat yang tertuju, aku memeluk Jingga di dalam mobil. sungguh ini sangat menyakitkan. Sepertinya Mas Emiel sudah menyiapkan ini semua untukku, juga Jingga.Mobil sudah terparkir di halaman rumahku ya Allah rumah sederhana yang sangat indah, terlihat desain yang begitu sempurna. Terima
Deg. "Jangan-jangan, Mama tahu sesuatu?" Bisik Bian. DiamAku terdiamBibirku seolah beku. Aku menekan dada yang terasa nyeri. Sakitnya tidak menghentak. Sebab, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang akan terjadi, mudah-mudahan ini nyata. "Sayang, ada masalah?" Mas Satria menepuk pundakku. Air mata yang terlanjur mengalir membuatnya khawatir. Semua pun duduk di sampingku sambil mengelus tanganku."Dia-liontin itu, Mas." Tunjukku ke arah foto itu. "Apa...?""Liontin apa, Ma?" tanya Daffa. "Adik kamu Asmara.""Apa.... "Tentu tidak halusinasi. Bahkan apa yang aku lihat benar Liontin itu hanya aku dan Mas Satria yang punya. "Astaga ... pantesan Exel bikang aku mirip dengan wanita itu, Ma."Nyawaku terasa hidup kembali, separuh jiwaku yang telah pergi kini kembali. Dan aku merasa senang dia masih hidup hingga detik ini. "Cari tahu Daffa, siapa dia?""Namanya, Tante Lintang Oma." Exsel berkata membuatku menangis tersedu. Bian dan Cika mengelus pipiku yang masih basah."Tenang,