"Mama, Jingga takut...." Jingga seraya mendekap dalam pelukannku."Sudah tidak apa-apa, sayang, kita berdo'a semoga Papa dan kita baik-baik saja." Aku berusaha menenagkan Jingga. Jauh dilupuk hatiku aku benar-benar takut ancaman dari wanita itu, bagaimana jika terjadi apa-apa sama Mas Emiel."Ma, kenapa, Ibuku jahat sekali, buat apa ia kembali jika untuk melukai lagi.""Sabar sayang, sudah ya jangan nagis lagi ya."Senja mengajarkan kita bahwa hidup tak selamanya indah dan cemerlang, mungkin itulah ujianku saat ini. Ancaman wanita itu membuatku menjadi terpuruk, namun aku lupa jika aku masih punya Allah yang selalu ada untukku.Dimanapun aku berada akan ketemu orang yang tidak suka, ada yang benci, ada yang dengki. Betapa pun kita sudah berbaik-baik, berbuat baik yang terbaik. Mungkin menghindar tak bisa, kali ini bisa, tapi di tempat lain akan ketemu pula. Sudahlah, biasa saja ... tidak usah hiraukan. Nanti kalau capek dia akan diam sendiri atau biarlah Allah yang mendiamkannya. J
Aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku tercinta dan Jingga. Dua piring nasi goreng sosis dan telur ceplok sudah tersedia di meja makan.Mas Emil dan Jingga menyantap nasi goreng hingga habis tak tersisa, aku beranjak lalu membersihkan bekas piring lalu mencucinya. Setelah itu ponsel milik Mas Emiel berdering ada telepon dari Mamanya.[Nak jemput, Mama di Bandara ya][Sekarang, Ma? ][Nanti siang, Nak][Baik, Ma, nanti ku jemput siang][Iya, sayang]Sepertinya Mama yang menelepon, terdengar suaranya begitu keras, apa sudah selesai acara keluarganya diluar kota. "Ibu, Mas, yang telepon?" tanyaku pada mas Emil."Iya sayang, biar Mas yang jemput lagian Mang Jaja anterin Jingga kan.""Iya sudah hati-hati sayang," ucapku padanya sambil aku mencium punggung tangan suamiku."Jingga, inget pesen Papa ya, Jagain Mama Lintang."Tuh kan, aneh-aneh saja bicaranya Mas Emiel bikin orang takut saja kan."Kok pesen segala sih, Papa?" tanya Jingga yang sama sepertiku, apa
Dokter membolehkannku pulang dengan badan yang masih lemas aku masuk ke dalam rumah bersama Jingga dan juga Mbak Sonya. Rumah ini terlalu banyak kenagan namun sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini, rumah ini ternyata sudah menjadi milik Bank karena Viola mencuri sertipikatnya.Tubuhku masih berada di ranjang yang sama, masih dengan wangi parfum Mas Emiel. Ya Allah inikah takdirku telah. Engkau harus mengambil orang-orang yang aku sayangi, kemana lagi aku harus pergi, apa aku pergi ke rumahku saja ya tapi bagaimana dengan Jingga."Ma, kita akan pergi kemana?" tanya Jingga padaku, dan memberiku secangkir teh hangat."Mama belum tahu sayang, apa Jingga akan ikut sama Mama," jawabku pada Jingga yang terlihat begitu cemas."Jingga sudah janji kan sama mendiang Papa buat jagain, Mama kan."Aku langsung memeluk Jingga. Tidak pernah lagi kulihat pelangi muncul di langitku walau hujan beratus kali turun membasahi bumi, aku tak pernah lagi bisa melihat wajahmu tertimpa air hujan
Aku berharap setiap kejadian ada pelajaran untukku, setiap kesulitan akan terbit kemudahan, usai kesedihan akan hadir kebahagiaan. Selalu ada solusi dari setiap keterpurukan yang aku alami, Karena Allah sudah memberi petunjuk jalan untukku. Beginilah Allah mengajarkan cara kepada ku untuk selalu bersandar hanya pada-Nya.Aku hanya bisa menghela nafas panjangku, hati tak mudah kalutpun harapan akan terwujud. Aku memeluk Jingga dalam keheningan malam, tidak seperti anak lainnya yang memiliki keluarga utuh, tapi tidak dengan Jingga. Hingga pagi menyapaku lagi dalam goresan luka dihati.Di dalam sini ternyata lengkap dengan alamat rumahnya, pagi sekali aku dan Jingga diantar sama Mang Jaja dan Bibi pergi kealamat yang tertuju, aku memeluk Jingga di dalam mobil. sungguh ini sangat menyakitkan. Sepertinya Mas Emiel sudah menyiapkan ini semua untukku, juga Jingga.Mobil sudah terparkir di halaman rumahku ya Allah rumah sederhana yang sangat indah, terlihat desain yang begitu sempurna. Terima
Deg. "Jangan-jangan, Mama tahu sesuatu?" Bisik Bian. DiamAku terdiamBibirku seolah beku. Aku menekan dada yang terasa nyeri. Sakitnya tidak menghentak. Sebab, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang akan terjadi, mudah-mudahan ini nyata. "Sayang, ada masalah?" Mas Satria menepuk pundakku. Air mata yang terlanjur mengalir membuatnya khawatir. Semua pun duduk di sampingku sambil mengelus tanganku."Dia-liontin itu, Mas." Tunjukku ke arah foto itu. "Apa...?""Liontin apa, Ma?" tanya Daffa. "Adik kamu Asmara.""Apa.... "Tentu tidak halusinasi. Bahkan apa yang aku lihat benar Liontin itu hanya aku dan Mas Satria yang punya. "Astaga ... pantesan Exel bikang aku mirip dengan wanita itu, Ma."Nyawaku terasa hidup kembali, separuh jiwaku yang telah pergi kini kembali. Dan aku merasa senang dia masih hidup hingga detik ini. "Cari tahu Daffa, siapa dia?""Namanya, Tante Lintang Oma." Exsel berkata membuatku menangis tersedu. Bian dan Cika mengelus pipiku yang masih basah."Tenang,
Tugas Jingga yang kubawa terjatuh ke lantai, badanku seketika beku, badanku tak bisa aku gerakkan. Wajah itu, orang yang selalu melindungiku saat aku dibully teman wanitaku di SMA dulu setelah sekian lama aku tak pernah berjumpa dengannya.Aku sedikit mengalihkan pandangan dari kejauhan kepada lelaki di hadapanku. Wajahnya cukup familiar, aku tahu dia dulu sahabat dekatku. Kupandangi lelaki yang tepat berdiri hadapanku, ia pun tampak terkejut menatapku yak berkedip. Jingga berlari mendekatiku dan mengambil tugas yang aku jatuhkan. Aku tak bisa bicara mulutku seperti terkunci, ya Allah ada apa denganku."Ma ... mama baik-baik saja kan? apa Mama sakit, ayo, Ma duduk dulu."Jingga menuntunku hingga aku terduduk dibangku depan kelas. Mataku masih tertuju pada lelaki itu, mulutku serasa tak bisa untuk bicara, lidahku kelu, ada apa denganku? "Jingga, apa Lintang Mama kamu?" tanyanya Mas Haris pada Jingga penasaran."Iya, Pak Haris, ini Mama Jingga," jawab Jingga membuat raut wajah Mas Hari
Aku pulang kerumah, kedua anakku sudah berada di gazebo belakang sedang bermain ditaman kecil belakang rumah. Aku beringsut kekamar, membersihkn diri dan turun menemui mereka yang lagi asyik bermain."Mama sudah pulang? Ma tadi kata Ibu guru ada tugas harus menyelesaikan beberapa halaman." Dimas terlihat mendengus kesal."Dimas kan pinter, kalau ga bisa kan bisa minta tolong diajarin sama Mbak Jingga sayang," jawabku sambil duduk disamping Dimas."Kasian, Ma, Mbak Jingga juga banyak tugasnya.""Adek ga boleh gitu kalau Mbak bisa pasti ya Mbak bantu.""Iya---iya, Mbak Jingga."Nah harus begitu, rukun harus saling menjaga satu sama lain sayang.""Iya, Ma," jawab Dimas padaku.Aku memandangi toto berukuran besar kami bertiga. Wajah cantik Jingga dan anakku Dimas yang mirip seperti Papanya Mas Emiel, dan aku. Kami tersenyum menatap kamera, inilah keluargaku, kebahagiaan yang tak bisa tergantikan dengan apapun.Aku menatap lekat foto itu andai saja, Mas Emiel ada ditengah-tengah foto itu
Aku memasuki butik ada beberapa barang yang sudah menunggu, aku yang dibantu oleh Elsa sahabatku juga ada beberapa rekan kerja. Semua bekerja dengan sangat baik. Alhamdulillah pengecekan sudah selesai tinggal merapikan itupun tugas rekan kerjaku yang lain.Tok ... tok. "Masuk.""Mbak, ada E-mail masuk menawarkan model hijab terbaru, Mbak Lintang. Gimana diambil tidak, Mbak?" tanya Elsa padaku."Kirim file nya nantin biar aku cek dulu Elsa, aku masih ada janji melihat baju bruklat tapi yang syar'i. Mungkin, Mbak akan langsung pulang. Tolong kamu urus semuanya ya," jelasku pada Elsa karena aku harus pergi dari sini."Baik, Mbak. biar aku yang urus.""Oh ya Elsa, bagaimana kondisi putramu Arya, sudah sembuh?" tanyaku"Alhamdulillah Mbak, terima kasih buat bingkisannya Arya suka mbak, dan aku juga banyak hutang budi sama Mbak Lintang yang selalu membantuku. Terima kasih banyak, Mbak Lintang," Elsa seraya meneteskan bulir bening dari sudut matanya."Iya sama-sama Elsa, sudahlah lupa sama