Aku berjalan menuju dapur dan menyiapkan sarapan pagi untuk suamiku tercinta dan Jingga. Dua piring nasi goreng sosis dan telur ceplok sudah tersedia di meja makan.Mas Emil dan Jingga menyantap nasi goreng hingga habis tak tersisa, aku beranjak lalu membersihkan bekas piring lalu mencucinya. Setelah itu ponsel milik Mas Emiel berdering ada telepon dari Mamanya.[Nak jemput, Mama di Bandara ya][Sekarang, Ma? ][Nanti siang, Nak][Baik, Ma, nanti ku jemput siang][Iya, sayang]Sepertinya Mama yang menelepon, terdengar suaranya begitu keras, apa sudah selesai acara keluarganya diluar kota. "Ibu, Mas, yang telepon?" tanyaku pada mas Emil."Iya sayang, biar Mas yang jemput lagian Mang Jaja anterin Jingga kan.""Iya sudah hati-hati sayang," ucapku padanya sambil aku mencium punggung tangan suamiku."Jingga, inget pesen Papa ya, Jagain Mama Lintang."Tuh kan, aneh-aneh saja bicaranya Mas Emiel bikin orang takut saja kan."Kok pesen segala sih, Papa?" tanya Jingga yang sama sepertiku, apa
Dokter membolehkannku pulang dengan badan yang masih lemas aku masuk ke dalam rumah bersama Jingga dan juga Mbak Sonya. Rumah ini terlalu banyak kenagan namun sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini, rumah ini ternyata sudah menjadi milik Bank karena Viola mencuri sertipikatnya.Tubuhku masih berada di ranjang yang sama, masih dengan wangi parfum Mas Emiel. Ya Allah inikah takdirku telah. Engkau harus mengambil orang-orang yang aku sayangi, kemana lagi aku harus pergi, apa aku pergi ke rumahku saja ya tapi bagaimana dengan Jingga."Ma, kita akan pergi kemana?" tanya Jingga padaku, dan memberiku secangkir teh hangat."Mama belum tahu sayang, apa Jingga akan ikut sama Mama," jawabku pada Jingga yang terlihat begitu cemas."Jingga sudah janji kan sama mendiang Papa buat jagain, Mama kan."Aku langsung memeluk Jingga. Tidak pernah lagi kulihat pelangi muncul di langitku walau hujan beratus kali turun membasahi bumi, aku tak pernah lagi bisa melihat wajahmu tertimpa air hujan
Aku berharap setiap kejadian ada pelajaran untukku, setiap kesulitan akan terbit kemudahan, usai kesedihan akan hadir kebahagiaan. Selalu ada solusi dari setiap keterpurukan yang aku alami, Karena Allah sudah memberi petunjuk jalan untukku. Beginilah Allah mengajarkan cara kepada ku untuk selalu bersandar hanya pada-Nya.Aku hanya bisa menghela nafas panjangku, hati tak mudah kalutpun harapan akan terwujud. Aku memeluk Jingga dalam keheningan malam, tidak seperti anak lainnya yang memiliki keluarga utuh, tapi tidak dengan Jingga. Hingga pagi menyapaku lagi dalam goresan luka dihati.Di dalam sini ternyata lengkap dengan alamat rumahnya, pagi sekali aku dan Jingga diantar sama Mang Jaja dan Bibi pergi kealamat yang tertuju, aku memeluk Jingga di dalam mobil. sungguh ini sangat menyakitkan. Sepertinya Mas Emiel sudah menyiapkan ini semua untukku, juga Jingga.Mobil sudah terparkir di halaman rumahku ya Allah rumah sederhana yang sangat indah, terlihat desain yang begitu sempurna. Terima
Deg. "Jangan-jangan, Mama tahu sesuatu?" Bisik Bian. DiamAku terdiamBibirku seolah beku. Aku menekan dada yang terasa nyeri. Sakitnya tidak menghentak. Sebab, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang akan terjadi, mudah-mudahan ini nyata. "Sayang, ada masalah?" Mas Satria menepuk pundakku. Air mata yang terlanjur mengalir membuatnya khawatir. Semua pun duduk di sampingku sambil mengelus tanganku."Dia-liontin itu, Mas." Tunjukku ke arah foto itu. "Apa...?""Liontin apa, Ma?" tanya Daffa. "Adik kamu Asmara.""Apa.... "Tentu tidak halusinasi. Bahkan apa yang aku lihat benar Liontin itu hanya aku dan Mas Satria yang punya. "Astaga ... pantesan Exel bikang aku mirip dengan wanita itu, Ma."Nyawaku terasa hidup kembali, separuh jiwaku yang telah pergi kini kembali. Dan aku merasa senang dia masih hidup hingga detik ini. "Cari tahu Daffa, siapa dia?""Namanya, Tante Lintang Oma." Exsel berkata membuatku menangis tersedu. Bian dan Cika mengelus pipiku yang masih basah."Tenang,
Tugas Jingga yang kubawa terjatuh ke lantai, badanku seketika beku, badanku tak bisa aku gerakkan. Wajah itu, orang yang selalu melindungiku saat aku dibully teman wanitaku di SMA dulu setelah sekian lama aku tak pernah berjumpa dengannya.Aku sedikit mengalihkan pandangan dari kejauhan kepada lelaki di hadapanku. Wajahnya cukup familiar, aku tahu dia dulu sahabat dekatku. Kupandangi lelaki yang tepat berdiri hadapanku, ia pun tampak terkejut menatapku yak berkedip. Jingga berlari mendekatiku dan mengambil tugas yang aku jatuhkan. Aku tak bisa bicara mulutku seperti terkunci, ya Allah ada apa denganku."Ma ... mama baik-baik saja kan? apa Mama sakit, ayo, Ma duduk dulu."Jingga menuntunku hingga aku terduduk dibangku depan kelas. Mataku masih tertuju pada lelaki itu, mulutku serasa tak bisa untuk bicara, lidahku kelu, ada apa denganku? "Jingga, apa Lintang Mama kamu?" tanyanya Mas Haris pada Jingga penasaran."Iya, Pak Haris, ini Mama Jingga," jawab Jingga membuat raut wajah Mas Hari
Aku pulang kerumah, kedua anakku sudah berada di gazebo belakang sedang bermain ditaman kecil belakang rumah. Aku beringsut kekamar, membersihkn diri dan turun menemui mereka yang lagi asyik bermain."Mama sudah pulang? Ma tadi kata Ibu guru ada tugas harus menyelesaikan beberapa halaman." Dimas terlihat mendengus kesal."Dimas kan pinter, kalau ga bisa kan bisa minta tolong diajarin sama Mbak Jingga sayang," jawabku sambil duduk disamping Dimas."Kasian, Ma, Mbak Jingga juga banyak tugasnya.""Adek ga boleh gitu kalau Mbak bisa pasti ya Mbak bantu.""Iya---iya, Mbak Jingga."Nah harus begitu, rukun harus saling menjaga satu sama lain sayang.""Iya, Ma," jawab Dimas padaku.Aku memandangi toto berukuran besar kami bertiga. Wajah cantik Jingga dan anakku Dimas yang mirip seperti Papanya Mas Emiel, dan aku. Kami tersenyum menatap kamera, inilah keluargaku, kebahagiaan yang tak bisa tergantikan dengan apapun.Aku menatap lekat foto itu andai saja, Mas Emiel ada ditengah-tengah foto itu
Aku memasuki butik ada beberapa barang yang sudah menunggu, aku yang dibantu oleh Elsa sahabatku juga ada beberapa rekan kerja. Semua bekerja dengan sangat baik. Alhamdulillah pengecekan sudah selesai tinggal merapikan itupun tugas rekan kerjaku yang lain.Tok ... tok. "Masuk.""Mbak, ada E-mail masuk menawarkan model hijab terbaru, Mbak Lintang. Gimana diambil tidak, Mbak?" tanya Elsa padaku."Kirim file nya nantin biar aku cek dulu Elsa, aku masih ada janji melihat baju bruklat tapi yang syar'i. Mungkin, Mbak akan langsung pulang. Tolong kamu urus semuanya ya," jelasku pada Elsa karena aku harus pergi dari sini."Baik, Mbak. biar aku yang urus.""Oh ya Elsa, bagaimana kondisi putramu Arya, sudah sembuh?" tanyaku"Alhamdulillah Mbak, terima kasih buat bingkisannya Arya suka mbak, dan aku juga banyak hutang budi sama Mbak Lintang yang selalu membantuku. Terima kasih banyak, Mbak Lintang," Elsa seraya meneteskan bulir bening dari sudut matanya."Iya sama-sama Elsa, sudahlah lupa sama
Kami makan bersama hingga makanan kami habis, Nisa menatapku tanpa berkedip, aku merasakan ia rindu sosok Ibunya."Tante, maaf ya. Nisa ada janji sama teman Jingga. Mau bikin tugas sekolah." Nisa pamitan denganku juga Ayahnya. "Lo, ko buru-buru. Habisin dulu makannya.""Iya, Tante."Nisa menghabiskan makanannya, selang beberapa menit ia pergi. Biarlah kasihan sekali gadis ini, ia izin pergi karena dijemput temannya, disini hanya ada aku dan Mas Haris, ia terus menatapku membuat aku jadi salah tingkah dibuatnya."Mas, seingatku dulu, Mas tidak punya saudara deh, Mas anak tunggalkan? Terus siapa Sekar yang menghancurkan pernikahanku dengan Mas Fajar dia bilang bahwa ia balas dendam karena, Mas Haris depresi dan frustasi saat aku tinggal menikah?" Terlihat Mas Haris menatik napas. "Iya Mas anak tunggal, Sekar ... mungkinkah Sekar itu Sekar Riana dewi yang sering membully mu dulu," jawabnya padaku.Astaga kenapa aku tak ingat sama sekali? "Astaqfirullah, jadi Sekar itu Riana, Ya Alla
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y