Dokter membolehkannku pulang dengan badan yang masih lemas aku masuk ke dalam rumah bersama Jingga dan juga Mbak Sonya. Rumah ini terlalu banyak kenagan namun sebentar lagi aku harus pergi meninggalkan rumah ini, rumah ini ternyata sudah menjadi milik Bank karena Viola mencuri sertipikatnya.Tubuhku masih berada di ranjang yang sama, masih dengan wangi parfum Mas Emiel. Ya Allah inikah takdirku telah. Engkau harus mengambil orang-orang yang aku sayangi, kemana lagi aku harus pergi, apa aku pergi ke rumahku saja ya tapi bagaimana dengan Jingga."Ma, kita akan pergi kemana?" tanya Jingga padaku, dan memberiku secangkir teh hangat."Mama belum tahu sayang, apa Jingga akan ikut sama Mama," jawabku pada Jingga yang terlihat begitu cemas."Jingga sudah janji kan sama mendiang Papa buat jagain, Mama kan."Aku langsung memeluk Jingga. Tidak pernah lagi kulihat pelangi muncul di langitku walau hujan beratus kali turun membasahi bumi, aku tak pernah lagi bisa melihat wajahmu tertimpa air hujan
Aku berharap setiap kejadian ada pelajaran untukku, setiap kesulitan akan terbit kemudahan, usai kesedihan akan hadir kebahagiaan. Selalu ada solusi dari setiap keterpurukan yang aku alami, Karena Allah sudah memberi petunjuk jalan untukku. Beginilah Allah mengajarkan cara kepada ku untuk selalu bersandar hanya pada-Nya.Aku hanya bisa menghela nafas panjangku, hati tak mudah kalutpun harapan akan terwujud. Aku memeluk Jingga dalam keheningan malam, tidak seperti anak lainnya yang memiliki keluarga utuh, tapi tidak dengan Jingga. Hingga pagi menyapaku lagi dalam goresan luka dihati.Di dalam sini ternyata lengkap dengan alamat rumahnya, pagi sekali aku dan Jingga diantar sama Mang Jaja dan Bibi pergi kealamat yang tertuju, aku memeluk Jingga di dalam mobil. sungguh ini sangat menyakitkan. Sepertinya Mas Emiel sudah menyiapkan ini semua untukku, juga Jingga.Mobil sudah terparkir di halaman rumahku ya Allah rumah sederhana yang sangat indah, terlihat desain yang begitu sempurna. Terima
Deg. "Jangan-jangan, Mama tahu sesuatu?" Bisik Bian. DiamAku terdiamBibirku seolah beku. Aku menekan dada yang terasa nyeri. Sakitnya tidak menghentak. Sebab, aku sudah mempersiapkan diri. Apapun yang akan terjadi, mudah-mudahan ini nyata. "Sayang, ada masalah?" Mas Satria menepuk pundakku. Air mata yang terlanjur mengalir membuatnya khawatir. Semua pun duduk di sampingku sambil mengelus tanganku."Dia-liontin itu, Mas." Tunjukku ke arah foto itu. "Apa...?""Liontin apa, Ma?" tanya Daffa. "Adik kamu Asmara.""Apa.... "Tentu tidak halusinasi. Bahkan apa yang aku lihat benar Liontin itu hanya aku dan Mas Satria yang punya. "Astaga ... pantesan Exel bikang aku mirip dengan wanita itu, Ma."Nyawaku terasa hidup kembali, separuh jiwaku yang telah pergi kini kembali. Dan aku merasa senang dia masih hidup hingga detik ini. "Cari tahu Daffa, siapa dia?""Namanya, Tante Lintang Oma." Exsel berkata membuatku menangis tersedu. Bian dan Cika mengelus pipiku yang masih basah."Tenang,
Tugas Jingga yang kubawa terjatuh ke lantai, badanku seketika beku, badanku tak bisa aku gerakkan. Wajah itu, orang yang selalu melindungiku saat aku dibully teman wanitaku di SMA dulu setelah sekian lama aku tak pernah berjumpa dengannya.Aku sedikit mengalihkan pandangan dari kejauhan kepada lelaki di hadapanku. Wajahnya cukup familiar, aku tahu dia dulu sahabat dekatku. Kupandangi lelaki yang tepat berdiri hadapanku, ia pun tampak terkejut menatapku yak berkedip. Jingga berlari mendekatiku dan mengambil tugas yang aku jatuhkan. Aku tak bisa bicara mulutku seperti terkunci, ya Allah ada apa denganku."Ma ... mama baik-baik saja kan? apa Mama sakit, ayo, Ma duduk dulu."Jingga menuntunku hingga aku terduduk dibangku depan kelas. Mataku masih tertuju pada lelaki itu, mulutku serasa tak bisa untuk bicara, lidahku kelu, ada apa denganku? "Jingga, apa Lintang Mama kamu?" tanyanya Mas Haris pada Jingga penasaran."Iya, Pak Haris, ini Mama Jingga," jawab Jingga membuat raut wajah Mas Hari
Aku pulang kerumah, kedua anakku sudah berada di gazebo belakang sedang bermain ditaman kecil belakang rumah. Aku beringsut kekamar, membersihkn diri dan turun menemui mereka yang lagi asyik bermain."Mama sudah pulang? Ma tadi kata Ibu guru ada tugas harus menyelesaikan beberapa halaman." Dimas terlihat mendengus kesal."Dimas kan pinter, kalau ga bisa kan bisa minta tolong diajarin sama Mbak Jingga sayang," jawabku sambil duduk disamping Dimas."Kasian, Ma, Mbak Jingga juga banyak tugasnya.""Adek ga boleh gitu kalau Mbak bisa pasti ya Mbak bantu.""Iya---iya, Mbak Jingga."Nah harus begitu, rukun harus saling menjaga satu sama lain sayang.""Iya, Ma," jawab Dimas padaku.Aku memandangi toto berukuran besar kami bertiga. Wajah cantik Jingga dan anakku Dimas yang mirip seperti Papanya Mas Emiel, dan aku. Kami tersenyum menatap kamera, inilah keluargaku, kebahagiaan yang tak bisa tergantikan dengan apapun.Aku menatap lekat foto itu andai saja, Mas Emiel ada ditengah-tengah foto itu
Aku memasuki butik ada beberapa barang yang sudah menunggu, aku yang dibantu oleh Elsa sahabatku juga ada beberapa rekan kerja. Semua bekerja dengan sangat baik. Alhamdulillah pengecekan sudah selesai tinggal merapikan itupun tugas rekan kerjaku yang lain.Tok ... tok. "Masuk.""Mbak, ada E-mail masuk menawarkan model hijab terbaru, Mbak Lintang. Gimana diambil tidak, Mbak?" tanya Elsa padaku."Kirim file nya nantin biar aku cek dulu Elsa, aku masih ada janji melihat baju bruklat tapi yang syar'i. Mungkin, Mbak akan langsung pulang. Tolong kamu urus semuanya ya," jelasku pada Elsa karena aku harus pergi dari sini."Baik, Mbak. biar aku yang urus.""Oh ya Elsa, bagaimana kondisi putramu Arya, sudah sembuh?" tanyaku"Alhamdulillah Mbak, terima kasih buat bingkisannya Arya suka mbak, dan aku juga banyak hutang budi sama Mbak Lintang yang selalu membantuku. Terima kasih banyak, Mbak Lintang," Elsa seraya meneteskan bulir bening dari sudut matanya."Iya sama-sama Elsa, sudahlah lupa sama
Kami makan bersama hingga makanan kami habis, Nisa menatapku tanpa berkedip, aku merasakan ia rindu sosok Ibunya."Tante, maaf ya. Nisa ada janji sama teman Jingga. Mau bikin tugas sekolah." Nisa pamitan denganku juga Ayahnya. "Lo, ko buru-buru. Habisin dulu makannya.""Iya, Tante."Nisa menghabiskan makanannya, selang beberapa menit ia pergi. Biarlah kasihan sekali gadis ini, ia izin pergi karena dijemput temannya, disini hanya ada aku dan Mas Haris, ia terus menatapku membuat aku jadi salah tingkah dibuatnya."Mas, seingatku dulu, Mas tidak punya saudara deh, Mas anak tunggalkan? Terus siapa Sekar yang menghancurkan pernikahanku dengan Mas Fajar dia bilang bahwa ia balas dendam karena, Mas Haris depresi dan frustasi saat aku tinggal menikah?" Terlihat Mas Haris menatik napas. "Iya Mas anak tunggal, Sekar ... mungkinkah Sekar itu Sekar Riana dewi yang sering membully mu dulu," jawabnya padaku.Astaga kenapa aku tak ingat sama sekali? "Astaqfirullah, jadi Sekar itu Riana, Ya Alla
Kami masuk ke dalam dan duduk di kursi sofa dekat televisi, wajah kedua anak-anakku tersenyum terus dari tadi ada apa sebenarnya? Pasti banyak pertanyaan yang mereka ingin tanyakan padaku aku pura-pura sibuk dengan ponselku.Aku merasakan orang yang selama ini melindungiku kembali lagi, ya aku merasakan rasa nyaman itu kembali lagi, hadirnya sahabat lamaku membuat aku tidak takut menghadapai apapun. Ya begitulah dari dulu ia selalu menjagaku, jadi Sekar itu bukanlah adiknya, wanita itu dari dulu selalu menyakitiku.Namun karena Sekar juga, hidupku bisa lepas dari Mas Fajar juga kakak iparku, aku sudah pindah keluar kota dan aku tak pernah lagi bertemu dengan mereka. Lepas dari keluarga mereka, aku sudah bahagia, setelah kepergian suamikupun aku masih sangat bahagia bersama anak-anakku."Mama, ko bisa sih kenal sama, Pak ustad?" tanya Dimas padaku penasaran.Sudah aku duga mereka pasti ingin tahu lebib jauh soal hubunganku dengan Mas Haris. "Iya, jadi dulu, Pak Ustad sahabat, Mama say