Eliana merasa bingung, badannya gemetar. Ia memijit pelipis merasakan kepalanya begitu berat saat membuka mata. Mungkin, karena ia terlalu banyak menangis tak tahu apa yang harus ia lakukan. Besarnya kecewa yang kian menumpuk di hatinya, membuat Eliana tak sanggup lagi bertahan dari rasa sakit yang menderanya.Berulang kali ia menelepon suaminya, namun, tak terjawab dari seberang sana. "Hallo, Mas!"Eliana mendengus kesal, kenapa panggilan dibiarkan saja tanpa menjawab telepon dari istrinya? Kenapa suaminya tak mau berbicara dengannya? Eliana panik tak tahu harus menghubungi siapa lagi.Oekkk. Ia memegang kening anak semata wayangnya, suhu badan anaknya sangatlah tinggi, ia harus segera membawa Dafa ke rumah sakit, kalau tidak ke dokter terdekat. Eliana panik karena badan anaknya demam tinggi, bagaimana ini? sedangkan Elina tak begitu hafal jalanan kota di mana suaminya bekerja.Eliana, tak tahan dengan tangisan anaknya, bergegas ia membawa baju seadanya di dalam tas dan memasukka
Dunia seolah hancur[Sayang, Abang gak pulang, ya? Ada meeting aku masih di luar kota.]Eliana merasa jikalau semuanya hanya sandiwara belaka. Ia harus kuat menjalani ini semua.[Iya.]Tidak ada lagi balasan. Mungkin Satria lagi sibuk dengan kerjaannya. Eliana segera membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari ia menjalankan peran ganda. Menjadi seorang ibu juga mengurus anak begitulah kerjaannya setiap hari.Eliana duduk di tepi ranjang, melepas penat setelah seharian Daffa rewel minta gendong, ia melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 8 malam. Bagaimana tidak Ayah dan Ibunya tak mengizinkannya menikah dengan Satria, namun Eliana berusaha meyakinkan bahwa Satria adalah laki-laki baik.Ia berjalan mendekati jendela rumah yang begitu sederhana, selama ini mereka memang tidur di ranjang mini. Mereka selalu berbagi ranjang, kadang Satria rela tidur di lantai.
Memilih pergi"Aku talak kamu ... kita berpisah El," setelah lama terdiam akhirnya, keluar juga kata itu.Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut Eliana menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak. Eliana berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya.Eliana hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab."Aku telah salah menduga El, kukira dirimu tulus mencintaiku. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Buktinya kau menyerah hanya karena melihat vidio itu."Emosi Eliana sedang naik satu tingkat. Ucapan itu lolos begitu saja. Namun, seperti biasa Eliana berusaha diam dan tegar."Apakah ini akhir dari pernikahan kita?"Eliana terisak tak mengerti kenapa bisa seperti ini."Aku sudah malas menjelaskannya. Aku memberi pernyataan pun kau tak kan per
Mencoba tegarSatria merasa begitu lelah akan hidupnya sekarang separuh dari hatinya telah menghilang. Seminggu sudah Satria baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. membuat Satria merasa hampa. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan tiduran .[Sat. Terima kasih buat waktunya ya?menemaiku ke resto, selamat istirahat.][Sama-sama]Malas Satria membalasnya jika bukan Bosnya mungkin akan Satria abaikan.[Nanti temani aku makan malam ya? Di acaranya Yuni ulang tahun dia?]Satria menyusap rambutnya dengan kasar, entah apa yang ada dalam pikirannya Bosnya ini. Satria tak membalasnya dan segera ke kamar mandi. Ia nyalakan shower, tak pikir panjang ia langsung mengguyur seluruh tubuhnya yang begitu penat merasakan jika ia sangat merindukan Eliana memakai daster lusuh milik istrinya. Dan memberikan nya secangkir teh jahe hangat kesukaannya.Dalam resah yang sepertinya menampar jiwa, tak sengaja Sat
KehilanganSelesai masak Eliana berjalan untuk sesaat terpana dengan pemandangan di sekitar. Sebuah rumah yang cukup besar, di kelilingi bermacam-macam bunga ada melati bunga lili, mawar dan bugenfil. Eliana langsung bergerak mendekat. Menelisik bagian rumah indah yang sebagian besar terbuat dari kayu.Langkah Eliana mengarah ke bagian samping. Ada sebuah kolam renang yang tidak terlalu luas, hanya sekitar lima atau tujuh meter memanjang. Di belakang rumah terdapat gubuk kecil sebuah gazebo dengan tempat duduk lesehannya. Sekilas terlihat tampak sempurna.Eliana mendekati gazebo bersama Dafa dengan kereta dorongnya. Eliana duduk menatap takjub rumah yang begitu indah dan mewah. Hati Eliana benar-benar sakit. Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai penggantinya di hati suaminya Satria.Tega sekali Satria melakukan hal itu pada Eliana, Bahkan ia baru mengetahuinya beberapa hari ya
Memulai yang baru"Non ditunggu, Den Reindra di depan.""Hah serius, Mbok." Eliana tak percaya apa kata Mbok Siti."Iya, dia bilang mau ajak Non ke salon apa," ucap si Mbok membuat mata Eliana terbelalak kaget."A ... apa salon Mbok?""Iya, Non. Biar Daffa di rumah sama Mbok ya, kan semenjak ada Non Eliana pekerjaan Mbok jadi berkurang, dari pada mbok ngantuk di rumah sendirian.""Iya boleh, Mbok."Bibir itu merekah, tersenyum lega. Kemudian wanita sederhana itu mengangguk patuh oleh perintah Reindra. Dan melangkah menuju kamar mandi."Cepat sedikit, Non," suruh si Mbok sambil menggendong Daffa keluar."Iya, Mbok."Mobil meluncur keluar halaman, akhirnya Eliana duduk di samping Reindra membelah jalan raya diatas aspal yang begitu panas membara. Eliana terlihat gugup ia mengalihkan pandangan keluar kaca mobil milik Reindra.Reindra berusaha memulai pembicaraan dengan Elian
Mencoba Iklas"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka."Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit."Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi."Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria.""Bodo ah.""Yee."Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam."Aku ke toilet dulu ya.""Ok."Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.Iya benar tu
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y