Kehilangan
Selesai masak Eliana berjalan untuk sesaat terpana dengan pemandangan di sekitar. Sebuah rumah yang cukup besar, di kelilingi bermacam-macam bunga ada melati bunga lili, mawar dan bugenfil. Eliana langsung bergerak mendekat. Menelisik bagian rumah indah yang sebagian besar terbuat dari kayu.
Langkah Eliana mengarah ke bagian samping. Ada sebuah kolam renang yang tidak terlalu luas, hanya sekitar lima atau tujuh meter memanjang. Di belakang rumah terdapat gubuk kecil sebuah gazebo dengan tempat duduk lesehannya. Sekilas terlihat tampak sempurna.
Eliana mendekati gazebo bersama Dafa dengan kereta dorongnya. Eliana duduk menatap takjub rumah yang begitu indah dan mewah. Hati Eliana benar-benar sakit. Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai penggantinya di hati suaminya Satria.
Tega sekali Satria melakukan hal itu pada Eliana, Bahkan ia baru mengetahuinya beberapa hari yang yang lalu. Setelah Eliana puas menumpahkan segala kekecewaan yang menggumpal di hati melalui air mata, Eliana edarkan pandangan ke seluruh ruangan. Sesaat ia sadar jika dirinya sedang di rumah Den Reindra.
"Non, cepat mandikan Daffa? Den Rein menyuruh kita makan bersama, Mbok tunggu di meja makan ya sepuluh menit lagi."
"Oh, begitu baiklah Mbok," terlihat wajah panik dari Eliana.
"Oh ya Non, ini banyak baju baru yang dibeli oleh Den Rein untuk, Non Eliana juga Nak Daffa."
Eliana merasa jika dirinya tak perlu di perlakukan seperti ini, ini berlebihan. Eliana menelan saliva yang terasa begitu pahit. Selama menikah dengan Satria jangankan di belikan baju. Ia hanya memberikan uang tanpa pernah memberikan perhatian yang lebih seperti ini.
Eliana masuk dan menjadikan Daffa, senyum mengembangkan dari wajah mungil Daffa, selama di sini Daffa jarang rewel mungkin suasana rumahnya begitu nyaman juga tenang.
"Duh sudah ganteng aja Daffa, sini biar Mbok yang ajak. Sekarang giliran kamu mandi dan dandan ya? Ingat! Den Rein suka gadis yang wangi."
Deg
"Oh ... begitu, Mbok?"
"Sudah sana ingat pesan, Mbok."
Eliana menggangguk dan melangkah pergi ke kamar mandi, Sejenak Eliana duduk di depan cermin meja rias besar penuh dengan minyak wangi juga alat Make up. Entah kapan banyak sekali alat kecantikan di sini terlihat jelas wajah pucat Eliana di depan cermin panjang yang menempel di meja rias.
Eliana mencoba mengambil alat kecantikan di depannya, dengan tangan sedikit bergetar sudah lama sekali ia tak menggunakannya. Dengan sedikit polesan natural membuat Eliana. Sedikit berbeda diusianya yang masih 26 tahun membuatnya terlihat masih muda. Eliana tersenyum meluhat dirinya di cermin.
Bismillah ia harus berubah demi masa depannya yang masih panjang. Berharap jika semua akan baik-baik saja.
"Astaga, cantik sekali Non, ayo sudah di tunggu sama Den Rein."
"Biasa saja, Mbok Siti."
"Sampai pangkling Mbok, Kenapa murung?" tanya Simbok ketika melihat wajah pias Eliana.
"Enggak ... aku minder mbok," jawab Eliana pelan.
"Eh ... kenapa? Cantik lo Non. "
"Takut Mbok, aku deg-degan," ujar El pelan.
Mbok Siti tersenyum. "Kau tahu, jika Den Rein tak mudah membawa wanita kerumah ini?" tanyanya.
Eliana menggeleng, apa mungkin ini hanya halusinasi Eliana saja. Terlalu pede dengan Den Rein. Kepercayaan diri Eliana langsung menurun drastis.
Eliana berjalan mengekor si Mbok dari belakang dan hanya menunduk, mereka tiba di kursi meja makan namun Eliana hanya menunduk tak berani mendongakkan wajahnya.
"Eliana," panggil seseorang yang berada di depannya.
Seketika pandangan Eliana menunduk tanpa berani menatap wajah seseorang yang telah menyelamatkannya beberapa hari yang lalu.
Eliana tersenyum dan menggangguk. "Iya, Den."
Seorang cowok terlihat dengan postur tinggi dan rambut rapi ke atas, duduk tepat di depannya. Tiba-tiba debar dada Eliana berpacu lebih cepat, ketika cowok itu menatap tajam dirinya.
"Apa kabar?"
"Baik," jawab Eliana sambil menyambut huluran tangan pria yang tersenyum ramah.
"Saya Reindra biasa dipanggil. Rain," ucapnya saat menjabat tangan Eliana.
"Rein... Reindra Fataya," jawab Eliana singkat.
"Enggak nyangka bisa bertemu kamu di sini. Beberapa tahun lalu aku mencarimu, aku ke rumah Ibumu. Kata beliau kamu sudah pergi menikah. Kemana kamu selama ini El?" Binar mata cowok itu ada sesuatu yang sulit di ungkapkan, karena terlalu bahagia. Menemukan sahabatnya dari masa lalu Eliana.
"Rein kau...!"
Eliana memandang Rein yang saat itu juga sedang menatapnya.
"Makanlah ... lihatlah badanmu terlalu kurus."
Eliana mengusap sudut matanya yang basah. Ia menarik kursi mendekati meja, ia berusaha setenang mungkin berhadapan dengan Reindra yang tak lain adalah kakak dari sahabatnya Safana. Dulu mereka suka bermain bersama saat kecil.
"Masakanmu masih sama, lezat."
"Bagaimana kabar Safana Bang, eh Den?" tanya Eliana tak berani menatap wajah Rein.
"Dia sekarang jadi dokter, Eliana dan masih tugas di Surabaya, bukankah kamu dulu juga mengambil jurusan yang sama El."
"Iya Den. Terima kasih sudah menyelamatkan aku. Entah jika tak ada Den Rein apa yang terjadi padaku."
Eliana merasakan sakit tapi tidak bisa berkata-kata? Lidahnya kelu ketika mengingat semuanya.
"Sudahlah El, aku pun sama sepertimu, Istri dan anakku meninggal di waktu yang bersamaan."
Sinar mata Reindra pun sama tidak bisa menyembunyikan rasa dalam dadanya.
"Maaf, aku tidak tahu, Den."
Eliana langsung mengalihkan wajahnya. Ia tak berani menatap Rein dengan wajah sedihnya.
"Untuk apa? Sudahlah semua sudah berlalu kan."
Deg! Apa ini, rasa yang sama Rein mengucapkan kesedihan yang begitu mendalam padanya. pasti ia pun begitu terluka.
"Kapan kita akan bahagia, Den Rein?"
Rein masih memandang. Entah pandangan mata yang bermakna apa, yang Rein ditunjukkan pada Eliana. "Badai pasti akan berlalu Eliana, tenanglah aku akan membantumu membalas sakitmu pada lelaki yang telah membuatmu menagis."
Eliana menagis dan menggangguk, "Aku butuh semangatmu Den Rein."
Rein menggangguk. "Aku Abangmu Eliana jadi panggil saja Abang! Dan aku pastikan suamimu akan menyesal telah menghianatimu"
"Baiklah."
Malam semakin larut, meski di luar hujan Eliana merasa tububnya begitu panas, ia lalu berdiri dan menuju kamar mandi. Di bawah guyuran air shower, air mata Eliana luruh. Sesak yang Eliana rasakan sejak tadi bertemu Reindra, sedikit demi sedikit terurai. Tuhan masih menyayanginya hingga masih mempertemukan dirinya dengan sahabat masa kecilnya.
*
Dengan kelelahan pikiran juga tubuh yang sangat, kemarahan Satria memuncak hingga tak sadar Satria terpancing.
Dan mengucapkan kata talak begitu saja. Satria pikir, setelah perpisahan hari itu ia akan baik-baik saja. Nyatanya, separuh jiwanya ikut mati bersama hubungan perkawinan mereka yang tak terselamatkan.
Mula-mula, Satrialah pemenangnya, menyaksikan El melangkah lebar dengan tas di tangan, tanpa berniat menahannya untuk tetap tinggal. Rasa percaya diri hinggap di dalam dada Satria, bahwa Eliana akan kembali, tidak mungkin ia bisa bertahan tanpanya.
Satria keluar kantor dan membuka pintu mobilnya, dan masuk saat mobil hendak berjalan, tampak dari spion seorang gadis berlari sambil melambaikan tangan, Satria menghentikan mobilnya.
"Yolanda ... ada apa lagi dia?"
Satria menginjak rem dan menunggunya. Segera ia turun dari mobilnya.
"Kamu kenapa Yolanda lari-lari ga jelas?" tanya Satria.
"Mobilku mogok, Sat,” ucapnya dengan napas terengah-engah.
Satria menghela napas, dan menyuruh Yolanda masuk. Mobil melaju membelah jalan raya menuju ke perusahaan untuk mengadakan presentasi. Mereka tiba di perusahaan. Mereka langsung mengarahkan ruangan yang sudah siapkan.
Meeting selesai Satria dan tim memenagkan tander yang besar, Yolanda tersenyum bahagia, ia tak salah pilih jika cowok incarannya begitu cerdas dan pintar. Tak sia-sia ia membuat vidio dan foto mesra mereka ke nomor gawai milik istrinya Eliana yang culun itu.
"Kamu memang hebat Sat, aku bangga padamu."
"Biasa saja Yolanda," ucap Satria pelan.
"Kita rayakan ini, aku yang traktir?"
"Ok."
Mereka menasuki area kafe, dan lima orang satu tim masuk bersamaan memesan nasi juga lauk ikan bakar gurami. Namun saat mamasuk sudut mata Satria menangkap bayangan seseorang wanita.
"Eliana...?" Satria menggosok matanya dan kembali melihat ke arah tadi, namun sosok itu sudah hilang.
Satria tak mau ambil pusing, nanti salah lagi, mungkin karena rindunya ia dengan istrinya.
Acara selesai hingga malam, mereka kembali pulang dan namanya Satria harus mengantarkan Yolanda pulang. Akhirnya Satria tiba di rumah. Sudah sepi, pastilah soalnya sudah tengah malam. Satria membuka kuncinya dan masuk. Ia mencari Eliana juga Daffa
"Eliana di mana kamu?" Satria mengacak rambutku kesal.
"Aku membutuhkanmu."
Satria sadar ia lalu duduk. Di pojok kamarnya, rasa bersalah hinggap lagi dalam pikirannya. Terus saja ia meyakinkan diri bahwa Eliana pasti kembali, meski di dalam dada sungguh terasa hampa dengan keheningan yang kapan saja bisa membunuh Satria secara perlahan-lahan. Pandangan Satria kini berhenti pada foto pernikahan mereka yang dicetak dengan ukuran jumbo. Foto yang sudah terpasang hampir tiga tahun disana. Hanya itu satu-satunya kenangan dari Eliana.
Satria terbangun dengan kepala pusing dan badan yang terasa sakit. Satria mendapati dirinya tertidur di atas sofa, menyadari tertidur sambil memeluk foto Elena dan Daffa yang baru ia ambil dalam galeri gawainya dan Satria cetak kemarin. Tidur tanpa bisa memeluk dan merasakan kehangatan tubuh Eliana membuat Satria tersiksa sekali.
Apakah masih ada sedikit harapan untuk Satria ... membuat Eliana kembali padanya?
Memulai yang baru"Non ditunggu, Den Reindra di depan.""Hah serius, Mbok." Eliana tak percaya apa kata Mbok Siti."Iya, dia bilang mau ajak Non ke salon apa," ucap si Mbok membuat mata Eliana terbelalak kaget."A ... apa salon Mbok?""Iya, Non. Biar Daffa di rumah sama Mbok ya, kan semenjak ada Non Eliana pekerjaan Mbok jadi berkurang, dari pada mbok ngantuk di rumah sendirian.""Iya boleh, Mbok."Bibir itu merekah, tersenyum lega. Kemudian wanita sederhana itu mengangguk patuh oleh perintah Reindra. Dan melangkah menuju kamar mandi."Cepat sedikit, Non," suruh si Mbok sambil menggendong Daffa keluar."Iya, Mbok."Mobil meluncur keluar halaman, akhirnya Eliana duduk di samping Reindra membelah jalan raya diatas aspal yang begitu panas membara. Eliana terlihat gugup ia mengalihkan pandangan keluar kaca mobil milik Reindra.Reindra berusaha memulai pembicaraan dengan Elian
Mencoba Iklas"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka."Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit."Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi."Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria.""Bodo ah.""Yee."Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam."Aku ke toilet dulu ya.""Ok."Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.Iya benar tu
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Sweet Momen"El besok temani aku di acara pertunangan rekan dosenku ya.""El malu, Bang.""Ada aku kan, yang menjagamu," ucap Reindra meyakinkan Eliana.Eliana menggangguk."Baiklah sekalian kita cari bajumu buat besok ya?"Eliana tersenyum. "Iya."Reindra yang memilih model gaun yang walau didesain sederhana namun sangat mewah sepadan dengan harganya. Perpaduan gaun berwarna dusty pink serta aksesoris tas dan sepatu high heel yang sama.Reindra menyuruh Eliana mencoba gaun yang telah ia pilih, dengan langkah berat Eliana masuk ke kamar ganti. Awalnya Eliana menolak karena harganya bisa buat ia makan sekitar tiga bulan, namun ia tak ingin menolak, hingga membuat Eliana malu saat acaranya besok.Sesaat Reindra cukup memukau ketika melihat penampilan Eliana. Dengan gaun yang begitu pas. Melekat di tubuh Eliana yang tampak sangat elegan di tubuhnya. Reindra mengangguk bertanda ia cocok dengan pilihan
Menghadiri pestaPesta pernikahan mulai ramai, dengan piring beradu dengan sendok dan garpu dan obrolan para undangan yang hadir di pernikahan putri Pak Setiyawan. Begitu meriah, terlihat dari kalangan menengah keatas yang datang, terdengar riuh orang bicara yang kadang diselingi gelak tawa. Meski nyanyian mencintaimu mengalun dengan diiringi musik band.Reindra melirik arloji yang melingkar di pergelangan. Pukul 19:30 WIB. Pantas saja, masih begitu ramai para tamu undangan."Selamat malam, Pak Reindra," ujar beberapa mahasiswa dan mahasiswinya, membuat Eliana tersenyum."Malam juga." Renindra sambil mengulurkan tangan dan berjabat tangan, begitupun dengan Eliana."Istrinya ya Pak, cantik sekali?"Reindra tersenyum dan menatap wajah Eliana yang semua memerah. "Kenapa... Cantik kan?""Cantik sekali Pak Reindra. Kami permisi Pak.""Ya silahkan."Reindra menyempitkan jarak, meraih kedua tangan Eliana
Sidang perdanaAir mata akan bicara saat mulut tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah anaknya. Sungguh malang nasibnya dari kecil tak pernah mendapat kasih sayang dari Sang Ayah.Rembulan mulai bersinar di waktu malam, hanya terdengar suara bising pabrik dan suara lalu lalang kendaraan. Eliana duduk di balkon atas, memandangi bintang. Eliana berharap ingin selalu menjadi sinar untuk buah hatinya. Eliana beranjak memasuki kamar dan berbaring di atas ranjang rasa ngantuk menyerang hingga ia tertidur larut dalam mimpi.Pagi tiba suara riuh kicau burung terdengar begitu merdu, pemandangan sejuk. Matahari mulai bersinar menampakkan sinarnya setelah bersembunyi di balik awan, pagi hari aktivitas di mulai. Dengan semangat pagi, senyum pagi dan jiwa yang baru."Maafin, Mama. Harusnya kamu bahagia seperti anak yang lain. Bisa berkumpul bersama Ayahmu, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-ap
Eliana melangkah masuk bersama seorang pengacaranya, rasa was-was menghantuinya. Degup jantungnya berpacu lebih cepat, dia duduk di bangku bersebelahan dengan Satria di depan Hakim. Entah perasaannya saat ini begitu terpukul akhirnya kisahnya akan segera berakhir.Hakim menanyakan tentang identitas juga pekerjaan masing-masing, semua pertanyaan Hakim dijawab oleh Eliana juga Satria. satu persatu pertanyaan selesai hingga Hakim merasa sangat disayangkan pasangan muda harus berpisah apalagi sudah memiliki seorang anak. Dan Hakim memutuskan untuk jalanni agenda mediasi.Eliana dan pengacaranya Pak Surya berjalan menuju ruang kecil, juga Satria mengikuti berjalan dengan pengacaranya Ibu Wati. Mereka bersama berjalan keruangan yang sudah disediakan. Eliana merasa begitu takut bagaiman jika Satria menghambat sidangnya."Pak, bagaimana jika Satria menolak ingin bercerai?" tanya Eliana dengan nada gugup."Tenang
Eliana membiarkan semikir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu.Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Eliana juga Reindra adalah momen yang sangat indah, Rein mengabadikan kebersamaan dengan foto berdua."Seru Mas, ini indah sekali, lama aku tak seprti ini. Terima kasih buat semuanya.""Sama-sama, kau harus berjuang El?"Eliana terdiam. "Aamiin, semoga ya, aku bisa melawannya."Eliana menggangguk. "Iya."Mereka masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Eliana merasakan kenyamanan yang luar biasa."Bagaimana, kita pulang kasian Sonya seharian jagain Daffa."
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y