Mencoba tegar
Satria merasa begitu lelah akan hidupnya sekarang separuh dari hatinya telah menghilang. Seminggu sudah Satria baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. membuat Satria merasa hampa. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan tiduran .
[Sat. Terima kasih buat waktunya ya?menemaiku ke resto, selamat istirahat.]
[Sama-sama]
Malas Satria membalasnya jika bukan Bosnya mungkin akan Satria abaikan.
[Nanti temani aku makan malam ya? Di acaranya Yuni ulang tahun dia?]
Satria menyusap rambutnya dengan kasar, entah apa yang ada dalam pikirannya Bosnya ini. Satria tak membalasnya dan segera ke kamar mandi. Ia nyalakan shower, tak pikir panjang ia langsung mengguyur seluruh tubuhnya yang begitu penat merasakan jika ia sangat merindukan Eliana memakai daster lusuh milik istrinya. Dan memberikan nya secangkir teh jahe hangat kesukaannya.
Dalam resah yang sepertinya menampar jiwa, tak sengaja Satria menangkap sabun wangi milik istrinya juga sabun baby milik Daffa, sepertinya harum tubuh Eliana dan Daffa masih tertinggal di rumah ini. Bayangan-bayangan itu membuat dada Satria terasa bergemuruh.
Satria terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Satria. Ia menangis, Satria mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai sosok istrinya sendiri.
Perut Satria terasa perih namun ia tak ingin makan, ia mengganti pakaian dan duduk kembali di sofa depan TV dan meraih gawainya. semenjak El pergi, entah berapa ratus kali Satria menghubungi nomor gawai perempuan itu. Jawabannya selalu sama, tidak aktip.
[Satria aku tunggu ya harus bisa?]
Satria tak mengerti dengan Bosnya, Satria merasakannya saat ini. Tatapannya kosong dalam diam. Menyadari kalau dia telah kehilangan mutiara yang paling berharga dalam hidupnya Eliana.
[Baiklah]
Toh ... di rumah hanya semakin membuat Satria menjadi gila karena mengingat Eliana. Senyum lembut dan kehangatan serta cinta perempuan yang selalu menatapnya dengan binar rindu yang sama. Satria rindu....
"Maaf ya bila selalu mengusahakan," ucap Yolanda. Ia berusaha meredam mood lelaki yang sangat ia sukai Satria.
Satria menggeleng. "Bilang pada Yuni untuk tak lama-lama acaranya," ujar Satria datar.
"Iya ... tenang saja tak akan lama, aku janji," ucap Yolanda lagi.
Satria menatap penjuru ruangan, sekilas ia melihat Eliana istrinya sedang berdansa dengan seorang lelaki dan ia langsung menghampiri dan memukul pria itu. Berkali ia mendorong tubuh lelaki itu. Lelaki itu hampir terjatuh karena Satria.
"Hey apa masalahmu?" tanya lelaki itu tak mengerti.
"Kau apakan kekasihku!" Wanita itu menjerit dan memukul-mukul tubuh Satria yang sedikit pun tak bergerak, ia tetap erat mencekik leher Lelaki itu.
"Satria sudah ... sudah ... ya Allah sudah ... apa masalahmu dengan lelaki ini." Yolanda yang panik mulai terisak.
Seketika Satria sadar ia hanya berhalusinasi saja. Ia dengan cepat menurunkan tangannya. Astaga bayangan Eliana selalu menghantuinya kemana pun Satria pergi. Dengan kasar ia meremas rambutnya.
Yolanda menggeleng cepat. "Kenapa Satria? Ada apa denganmu hah. " Yolanda mengusap lembut jemari Satria.
Satria menarik napas lega, akhirnya bukan wajah Eliana yang diajaknya berdansa.
"Astaghfirullah ada apa denganku," lirih Satria.
"Ada apa? Kau membuat kekacauan di sini Sat." ucap Yuni kasar pada Satria.
"Apa...?" bentak Satria.
"Ehhh ... itu, tidak apa-apa Satria," ucap Yuni terbata.
Satria memerah menahan amarahnya. "Aku tak mau disini, aku akan pulang," ujar Satria.
"Tunggulah sebentar Sat, acara juga belum mulai kan," rayu Yolanda pada Satria.
Satria segera turun dari resto dan berlalu pergi tanpa menghiraukan Yolanda atasannya, Satria mengutuk diri, bagaimana mungkin ia bisa membayangkan Eliana dan melukai pria itu.
Kenapa keindahan Eliana istrinya itu tergambar jelas setelah ia pergi? Mengapa kesempurnaan itu tampak nyata setelah Eliana berlalu pergi dari hidupnya?
*
Entah sudah jam berapa matanya belum bisa bisa terpejam. Baru seminggu Satria di tinggal oleh Eliana ia merasa tersiksa sekali. Pikiran dan hatinya yang kacau membuat dia lupa makan dan minum. Padahal, di kantor juga tidak makan hanya minum kopi beberapa teguk saat istirahat meeting.
Satria menatap gawainya dan menelusuri chat terakhir Eliana yang tak ia balas.
[Daffa sudah tumbuh gigi, Bang.]
[Bang, sudah makan belum?]
[Bang, awas jangan tidur malam. Ga bagus buat kesehatan.]
[Bang, aku masak kesukaanmu. Pulang cepat ya.]
[Bang, aku dan Daffa rindu, kita jalan-jalan yuk.]
Satria hanya tersenyum getir. Chat dari El yang selama ini dianggap biasa dan kadang di anggap cuma angin lalu, terasa begitu manis.
Kata seseorang, jika wanita marah maka cukup diam dan dengarkan sampai ia lelah mengeluarkan semua umpatan dalam hatinya. Maka inilah yang salah dari Satria ia malah marah membuat El begitu takut. Bukannya reda, kemarahan El seumpama bom waktu yang akhirnya bisa meledak.
Satria masih di kantor dengan segudang pekerjaan.
"Bro, ayo … sudah ditunggu Bu Yolanda, di ajak bareng dia tuh!” ucapnya sementara matanya mengerling ke arah Bosnya Yolanda yang tampilannya begitu seksi.
"Loe duluan aja, Bro… bentar lagi gue nyusul."
"Ah pasti lu maunya berduaan doang sama Bos," godanya membuat kedua bola mata Satria melotot ke arahnya.
"Pergi duluan, sana! Bu Yolanda ajak aja sekalian!" Biar aku sendiri."
"Alasan doang loe Sat, sih," ucapnya menaikkan satu alisnya keatas sambil menutup pintu.
Satria segera menelpon Yolanda. Satria meminta agar dia berangkat duluan saja dengan yang lain. Karena masih ada file yang harus ia kerjakan. Awalnya Yolanda menolak namun akhirnya ia ikut dengan yang lain.
Setengah jam berlalu, akhirnya pekerjaanku selesai. Satria melihat gawainya tapi tidak juga ada balasan. Ia mengirim kembali pesan pada Eliana. Satria menunggu balasannya tapi tak kunjung datang.
Khawatir sebetulnya tapi mau gimana pun ini sudah menjadi kerjaannya, ia harus bangkit tanpa Elena lagi. Satria merebahkan tubuhnya di kursi, berusaha mengatur nafas agar sedikit tenang. Tangannya, menggapai sesuatu di sampingnya. Dengan tangan bergetar, dia mengetik sesuatu di layar gawainya.
[Sayang, pulanglah.]
Centang itu masih sama dari kemarin tetap centang satu, tidak ada notifikasi, pesan masuk.
Gawainya Satria sunyi. Sesunyi hatinya kini.
*
"Non, bagaimana keadaannya apa masih pusing?" tanya si Mbok yang merawat Eliana.
"Alhamdulillah baik Mbok, maaf Eliana merepotkan," ucap Eliana pada si Mbok.
Si Mbok tersenyum. "Tidak apa-apa Non jadi Simbok punya teman, di rumah sebesar ini Mbok hanya sendiri, Den Reindra sibuk."
"Mbok tahu bagaimana Den Reindra menyelamatkanku?" tanyanya penasaran.
"Kata Den Reindra, ia menemukan Non Eliana di pinggir jalan Non sedang tak sadarkan diri sedangkan anak Non menangis."
"Apa ada sesuatu yang Mbok simpan, cerita saja, Insyaalloh aku bisa menjaganya. Lagian aku belum bertemu dengan Den Reindra Mbok."
"Cerita apa Non, Mbok mana tahu."
"Den Rein memaksamu?"
"Tidak, Non."
Eliana tertawa ringan. "Seperti apa wajah Den Rein Mbok?"
Si Mbok menggeser duduknya, kemudian menepuk tangan El. "Yakin nanti kalau Non Eliana ketemu ga jatuh Cinta?"
Eliana menggeleng. "Jangan mbok? Eliana hanya seorang istri yang tak diharapkan!mana mau Den Rein sama El. "
"Siapa tahu jodoh Non," bisik Mbok Siti setengah menggodanya.
Eliana tidak menjawab, ia hanya tersenyum dan menatap malu wajah Simbok.
"Non, sepertinya Daffa nyenyak tidurnya?"
"Iya mumpung Daffa tidur aku bantu masak Mbok," ucap Eliana.
Sejenak Eliana merasa jika perasaannya sedikit membaik, semoga saja hari-hatinya akan membuat lukanya sedikit terobati.
Eliana membantu Mbok Siti memasak, karena kata beliau Reindra akan pulang hari ini, setelah lama sejak Dia menolong Eliana, kata si Mbok ia ke luar kota untuk urusannya, Mbok Siti bilang jika Reindra bekerja sebagai Dosen di sebuah kampus di kota ini.
Eliana melangkah ke arah dapur, duduk di kursi. Meneruskan memotong wortel, kentang juga kol, sosis serta baso. Untuk sayur sop yang di inginkan Den Rein kata Mbok Siti.
Sekuat hati Eliana tahan jangan sampai air matanya luruh kali ini. Sudah cukup Eliana menjadi perempuan cengeng karena meratapi nasib yang sempat ia anggap hancur beberapa waktu lalu. Nyatanya di dunia ini ia masih ada orang baik yang menolongnya.
Dengan cekatan Eliana siapkan sayur dan lauk untuk di masak. Biar Simbok ga terlalu capek. Beberapa hari ini beliau yang mengurusnya saat Eliana deman tinggi.
"El," panggil Simbok sambil meletakkan mangkok kosong untuk di isi sayur yang sudah matang.
"Iya. Biarkan di situ saja, sebentar lagi matang Mbok," jawabnya tanpa menoleh lagi. Eliana menyibukkan diri mengaduk sayur di atas kompor.
"Baiklah, karena sudah selesai Mbok yang akan menyapu ruangan ya Non El."
"Iya, Mbok."
Terdengar si Mbok bersih-bersih, melangkah penjuru ruangan dan membersihkan semuanya. Sedangkan Eliana sibuk di dapur membuat lauk ayam goreng juga tahu goreng.
"Sudah selesai, El?" tanyanya kembali ke dapur. Saat itu Eliana tinggal membereskan perabot yang ia cuci di wastafel.
"Sudah. Tinggal beres-beres, Mbok."
Terdengar suara deru mesin mobil. Di depan rumah, Mbok Siti tersenyum kearah Eliana dan berlalu pergi ke depan rumah mewah ini. Menit berikutnya si Mbok datang setengah berlari.
"Non, Den Rein sudah pulang."
Deg
Ada rasa yang entah, namun Eliana berusaha untuk menyampaikan rasa terima kasih. Ya karena Rein sudah menolongnya.
KehilanganSelesai masak Eliana berjalan untuk sesaat terpana dengan pemandangan di sekitar. Sebuah rumah yang cukup besar, di kelilingi bermacam-macam bunga ada melati bunga lili, mawar dan bugenfil. Eliana langsung bergerak mendekat. Menelisik bagian rumah indah yang sebagian besar terbuat dari kayu.Langkah Eliana mengarah ke bagian samping. Ada sebuah kolam renang yang tidak terlalu luas, hanya sekitar lima atau tujuh meter memanjang. Di belakang rumah terdapat gubuk kecil sebuah gazebo dengan tempat duduk lesehannya. Sekilas terlihat tampak sempurna.Eliana mendekati gazebo bersama Dafa dengan kereta dorongnya. Eliana duduk menatap takjub rumah yang begitu indah dan mewah. Hati Eliana benar-benar sakit. Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai penggantinya di hati suaminya Satria.Tega sekali Satria melakukan hal itu pada Eliana, Bahkan ia baru mengetahuinya beberapa hari ya
Memulai yang baru"Non ditunggu, Den Reindra di depan.""Hah serius, Mbok." Eliana tak percaya apa kata Mbok Siti."Iya, dia bilang mau ajak Non ke salon apa," ucap si Mbok membuat mata Eliana terbelalak kaget."A ... apa salon Mbok?""Iya, Non. Biar Daffa di rumah sama Mbok ya, kan semenjak ada Non Eliana pekerjaan Mbok jadi berkurang, dari pada mbok ngantuk di rumah sendirian.""Iya boleh, Mbok."Bibir itu merekah, tersenyum lega. Kemudian wanita sederhana itu mengangguk patuh oleh perintah Reindra. Dan melangkah menuju kamar mandi."Cepat sedikit, Non," suruh si Mbok sambil menggendong Daffa keluar."Iya, Mbok."Mobil meluncur keluar halaman, akhirnya Eliana duduk di samping Reindra membelah jalan raya diatas aspal yang begitu panas membara. Eliana terlihat gugup ia mengalihkan pandangan keluar kaca mobil milik Reindra.Reindra berusaha memulai pembicaraan dengan Elian
Mencoba Iklas"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka."Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit."Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi."Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria.""Bodo ah.""Yee."Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam."Aku ke toilet dulu ya.""Ok."Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.Iya benar tu
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Sweet Momen"El besok temani aku di acara pertunangan rekan dosenku ya.""El malu, Bang.""Ada aku kan, yang menjagamu," ucap Reindra meyakinkan Eliana.Eliana menggangguk."Baiklah sekalian kita cari bajumu buat besok ya?"Eliana tersenyum. "Iya."Reindra yang memilih model gaun yang walau didesain sederhana namun sangat mewah sepadan dengan harganya. Perpaduan gaun berwarna dusty pink serta aksesoris tas dan sepatu high heel yang sama.Reindra menyuruh Eliana mencoba gaun yang telah ia pilih, dengan langkah berat Eliana masuk ke kamar ganti. Awalnya Eliana menolak karena harganya bisa buat ia makan sekitar tiga bulan, namun ia tak ingin menolak, hingga membuat Eliana malu saat acaranya besok.Sesaat Reindra cukup memukau ketika melihat penampilan Eliana. Dengan gaun yang begitu pas. Melekat di tubuh Eliana yang tampak sangat elegan di tubuhnya. Reindra mengangguk bertanda ia cocok dengan pilihan
Menghadiri pestaPesta pernikahan mulai ramai, dengan piring beradu dengan sendok dan garpu dan obrolan para undangan yang hadir di pernikahan putri Pak Setiyawan. Begitu meriah, terlihat dari kalangan menengah keatas yang datang, terdengar riuh orang bicara yang kadang diselingi gelak tawa. Meski nyanyian mencintaimu mengalun dengan diiringi musik band.Reindra melirik arloji yang melingkar di pergelangan. Pukul 19:30 WIB. Pantas saja, masih begitu ramai para tamu undangan."Selamat malam, Pak Reindra," ujar beberapa mahasiswa dan mahasiswinya, membuat Eliana tersenyum."Malam juga." Renindra sambil mengulurkan tangan dan berjabat tangan, begitupun dengan Eliana."Istrinya ya Pak, cantik sekali?"Reindra tersenyum dan menatap wajah Eliana yang semua memerah. "Kenapa... Cantik kan?""Cantik sekali Pak Reindra. Kami permisi Pak.""Ya silahkan."Reindra menyempitkan jarak, meraih kedua tangan Eliana
Sidang perdanaAir mata akan bicara saat mulut tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah anaknya. Sungguh malang nasibnya dari kecil tak pernah mendapat kasih sayang dari Sang Ayah.Rembulan mulai bersinar di waktu malam, hanya terdengar suara bising pabrik dan suara lalu lalang kendaraan. Eliana duduk di balkon atas, memandangi bintang. Eliana berharap ingin selalu menjadi sinar untuk buah hatinya. Eliana beranjak memasuki kamar dan berbaring di atas ranjang rasa ngantuk menyerang hingga ia tertidur larut dalam mimpi.Pagi tiba suara riuh kicau burung terdengar begitu merdu, pemandangan sejuk. Matahari mulai bersinar menampakkan sinarnya setelah bersembunyi di balik awan, pagi hari aktivitas di mulai. Dengan semangat pagi, senyum pagi dan jiwa yang baru."Maafin, Mama. Harusnya kamu bahagia seperti anak yang lain. Bisa berkumpul bersama Ayahmu, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-ap
Eliana melangkah masuk bersama seorang pengacaranya, rasa was-was menghantuinya. Degup jantungnya berpacu lebih cepat, dia duduk di bangku bersebelahan dengan Satria di depan Hakim. Entah perasaannya saat ini begitu terpukul akhirnya kisahnya akan segera berakhir.Hakim menanyakan tentang identitas juga pekerjaan masing-masing, semua pertanyaan Hakim dijawab oleh Eliana juga Satria. satu persatu pertanyaan selesai hingga Hakim merasa sangat disayangkan pasangan muda harus berpisah apalagi sudah memiliki seorang anak. Dan Hakim memutuskan untuk jalanni agenda mediasi.Eliana dan pengacaranya Pak Surya berjalan menuju ruang kecil, juga Satria mengikuti berjalan dengan pengacaranya Ibu Wati. Mereka bersama berjalan keruangan yang sudah disediakan. Eliana merasa begitu takut bagaiman jika Satria menghambat sidangnya."Pak, bagaimana jika Satria menolak ingin bercerai?" tanya Eliana dengan nada gugup."Tenang
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y