Memilih pergi
"Aku talak kamu ... kita berpisah El," setelah lama terdiam akhirnya, keluar juga kata itu.Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut Eliana menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak. Eliana berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya.
Eliana hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab.
"Aku telah salah menduga El, kukira dirimu tulus mencintaiku. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Buktinya kau menyerah hanya karena melihat vidio itu."
Emosi Eliana sedang naik satu tingkat. Ucapan itu lolos begitu saja. Namun, seperti biasa Eliana berusaha diam dan tegar.
"Apakah ini akhir dari pernikahan kita?"
Eliana terisak tak mengerti kenapa bisa seperti ini.
"Aku sudah malas menjelaskannya. Aku memberi pernyataan pun kau tak kan percaya," Satria meremas rambutnya yang tidak gatal.
"Aku tidak bisa lagi hidup bersamamu. Besok aku pergi, aku ada meeting lagi dengan Bosku menyelesaikan urusan bisnisnya di luar kota, aku harap jika aku kembali kau sudah pergi."
Deg seolah dunia Eliana telah runtuh.
Satria mengakhiri kalimatnya matanya memerah. Menahan amarah, Satria sudah siap jika Eliana mencaci bahkan memakinya, apapun ucapan Eliana itu Satria telah memutuskan tak kan menjawabnya lagi.
Satria sudah menjelaskan semuanya namun Eliana tidak percaya, jalan satu-satunya perpisahan ini akan tetap terjadi.Yolanda atasan Satria juga Bosnya yang selalu memintanya menceraikan istrinya
membuat hati Satria bulat dengan perkataannya.Eliana hanya bisa pasrah akan akir dari pernikahannya, bahkan kalimat itu sudah terucap dari bibir Satria. Andai Eliana
menolak dan berontakpun akan sia-sia saja, Seperti perempuan lainnya. Eliana juga ingin berteriak dan bertanya, tapi mulutnya rapat. Hanya terlihat lelehan air mata yang tidak sanggup dia tahan.Hening. Hanya terdengar nafas yang memburu dari keduanya. Tak sepatahpun kalimat keluar dari bibir Eliana.
kata talak bagi perempuan di manapun adalah seperti tamparan bagi seorang wanita dalam sebuah perkawinan. Begitu juga bagi Eliana, sedetik setelah ia mendengar kata itu, lututnya serasa goyah. Ia merasa jika separuh hatinya telah hilang. Entah bagaimana hidupnya nanti bersama Daffa pikiran Eliana buntu, ia tak bisa berpikir apapun lagi.
Eliana cukup paham, dari awal dirinya membangkang Ayah dan Ibunya hingga ia mendapatkan kata takak dari suaminya tak lepas dari berontak nya pada orang tua. tidak pernah mendapat tempat di hati orang tuanya. Mungkinkah ini karna jika membangkang perkataan orang tuanya? Air mata Eliana tak berhenti mengalir.
Satria mengusap kasar wajahnya. Cukup tahu jika Eliana menangis. Cukup lama Satria ingin mengetahui Eliana yang menutupi wajahnya dengan tangan. Entah mengapa tangannya kaku, padahal dihatinya yang terdalam dia ingin sekali meraih kepala perempuan yang telah tiga tahun menjadi istrinya dan memberinya putra yang sangat tampan.
"El, apa kau tak ingin membela dirimu? Kau menginginkan perceraian ini kan?"
Diam
Hening
Satria merasa jika ia sangat bersalah, bagaimana bisa perkataan nya lolos begitu saja pada istrinya. Entah perasaan gila apa yang dirasakan Satria yang terus menerus diracuni pikirannya oleh Yolanda Bosnya.
"El...."
Eliana yang menunduk sekarang mendongak meliahat kearah laki-laki yang baru saja menalaknya. Dan membuka tangannya yang basah dengan air mata.
Satria menelan ludah, ia harus kuat melihat ini semua, jauh dilupuk hatinya ia ingin memeluk erat wanita yang dinikahinya tiga tahun lalu. Namun egonya lebih tinggi dari pada logikanya.
"Aku menerima perceraian ini, Bang." Eliana bicara pelan.
Satria terkejut, ia menyangka jika Eliana akan marah dan memakinya nyatanya ia hanya pasrah.
"Baiklah, kau bisa ambil apapun yang kau mau dari rumah ini. Termasuk kau bisa membawa Daffa, dia masih kecil belum bisa berpisah denganmu." Satria bergetar hebat.
Eliana mengangguk, tidak ada sepatah katapun yang meluruskan perkataan suaminya. Dada Satria begitu sesak, dia mungkin lupa begitu dalam dan besar cintanya pada perempuan di hadapannya selama ini.
Eliana mengemasi bajunya dalam tas, hanya tas kecil yang ia kemasi. Itupun hanya pakaian Daffa dan sedikit bajunya. Digendong Daffa dan ia melangkah keluar, Satria hanya duduk mendongak melihat istrinya.
Satria melihatnya mengemasi beberapa helai pakaian dalam koper. Tanpa menoleh, ia bergegas berjalan didepannya dengan hujan yang sejak tadi tak berhenti tumpah dari wajah Eliana, namun seolah Satria masih mempertahankan egonya.
Sambil berjalan di depannya, Eliana mencoba untuk mengeluarkan suara. Begitu sulit suara keluar dari mulutnya, namun Eliana tetap mencoba untuk berkata, mengeluarkan segala tanya yang tersimpan dalam dada.
"Aku pamit...."
Satria diam hanya menunduduk tak berani menatap wajah istrinya yang berlalu pergi
Eliana meneruskan langkahnya pergi meninggalkan rumah itu dengan segudang luka di hatinya. Eliana berjalan melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju pertigaan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin pagi ini, membuai Eliana seakan dunianya telah hancur.
Ia terus saja melangkah saat ada yang mengikutinya di belakang, dalam benak Eliana jika suaminya yang mengejar namun sepertinta bukan. Langkah kaki semakin Eliana percepat, agar lekas sampai di pertigaan dan saat ia menoleh ternyata Sonya yang menegurnya.
"Lo Mbak Eliana, mau kemana bawa tas segala?" tanya penasaran Sonya pada Eliana.
"Emm, Mbak mau ke rumah sakit nih, waktunya Daffa imunisasi," bohong Eliana pada Sonya.
"Baiklah Sonya antar Mbak, sekalian Sonya ke kampus."
"Ga ngrepotin nih, Sonya!"
"Ga lah, Ayo naik Mbak, sini biar rasnya Sonya taruh di depan."
"Baiklah, terima kasih ya Sonya."
"Sama-sama Mbak."
Sonya melajukan motornya menuju rumah sakit terdekat, di belakang Eliana tak bisa menyembunyikan kesedihannya air matanya jatuh membasahi pipi.
****
"Astaghfirullah... Bukankah El tidak punya saudara di kota besar ini ya Allah betapa bodohnya aku...." Lirih Satria kesal pada dirinya sendiri.
Ia berlari mencari istri ya namun tak juga ia dapati, ia berjalan ke pertigaan juga sepi. Bagaimana jika Eliana tersesat astaga bagaimana jika orang tuanya menyalahkan Satria nanti. Sudahlah bukankah dia punya banyak uang di kartu ATM nya.
Satria berjalan menuju rumahnya begitu sepi biasanya Daffa menagis keras meminta digendong oleh Ibunya. Satria berusaha menepis bayangan itu. Satria tidak ingin rindu.
Dengan langkah cepat Satria meninggalkan jalanan dan masuk ke rumahnya yang begitu sederhana. Hingga dadanya begitu sesak sapaan lembut Eliana tak lagi ia dengar. Bahkan baru lima menit ia meninggalkan rumah ini namun Satria begitu rindu.
"Bang, makan dulu."
"Ini kopinya Bang."
"Bang, tolong ajak Daffa sebentar."
Sunyi, rumah ini tidak ada penghuninya kini. Ada yang hilang dari dalam tubuhnya, separuh hati Satria m telah hilang. Bagaimana nasibnya kini, kemana ia akan pergi? Satria berjalan ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuhnya.
Sepertinya ada barang dibalik tubuhnya dan benar saja, keningnya berkerut.
Seluruh perhiasan utuh, buku tabungan dan ATM yang biasa dia pegang juga masih rapih tersimpan dalam tas ini, bagaimana nasib Daffa jika ATM nya saja tidak Eliana bawa.Aghhh ... ada rasa cemas, Satria membuang semua barang jatuh ke lantai. Eliana sudah gila, tak ada satupun barang yang di ambil dari rumah ini, hanya beberapa potong pakaian dia dan Daffa. Mata Satria menatap nanar ke atas langit kamarnya. Seribu tanya berkecamuk dalam dadanya. Kemana perginya?
Tut ... tut ... tut....
[Nomor yang Anda tuju sedang diluar jangkauan, silahkan tinggalkan pesan.]
Satria membanting gawainya. Tak percaya jika perbuatannya sebodoh ini. gundah yang membersit di hati Satria, mereka hidup dengan cara apa? Tanpa uang kemana mereka pergi? Eliana tidak memiliki siapapun di kota ini.
Eliana tidak pernah lagi membantah ketika Satria perintah. Tidak pernah komplen ketika ia pulang malam bahkan tidak pulang karena pekerjaannya. Tidak pernah melarang ketika Satria menghabiskan sabtu minggunya bersama teman sekerjanya.
Namun tidak pernah Satria sangka jika Eliana begitu cemburu soal kedekatannya dengan yolanda, dan pada akirnya Eliana akan menghilang seperti sekarang ini.
"Di mana kamu El....?"
Next....Mencoba tegarSatria merasa begitu lelah akan hidupnya sekarang separuh dari hatinya telah menghilang. Seminggu sudah Satria baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. membuat Satria merasa hampa. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan tiduran .[Sat. Terima kasih buat waktunya ya?menemaiku ke resto, selamat istirahat.][Sama-sama]Malas Satria membalasnya jika bukan Bosnya mungkin akan Satria abaikan.[Nanti temani aku makan malam ya? Di acaranya Yuni ulang tahun dia?]Satria menyusap rambutnya dengan kasar, entah apa yang ada dalam pikirannya Bosnya ini. Satria tak membalasnya dan segera ke kamar mandi. Ia nyalakan shower, tak pikir panjang ia langsung mengguyur seluruh tubuhnya yang begitu penat merasakan jika ia sangat merindukan Eliana memakai daster lusuh milik istrinya. Dan memberikan nya secangkir teh jahe hangat kesukaannya.Dalam resah yang sepertinya menampar jiwa, tak sengaja Sat
KehilanganSelesai masak Eliana berjalan untuk sesaat terpana dengan pemandangan di sekitar. Sebuah rumah yang cukup besar, di kelilingi bermacam-macam bunga ada melati bunga lili, mawar dan bugenfil. Eliana langsung bergerak mendekat. Menelisik bagian rumah indah yang sebagian besar terbuat dari kayu.Langkah Eliana mengarah ke bagian samping. Ada sebuah kolam renang yang tidak terlalu luas, hanya sekitar lima atau tujuh meter memanjang. Di belakang rumah terdapat gubuk kecil sebuah gazebo dengan tempat duduk lesehannya. Sekilas terlihat tampak sempurna.Eliana mendekati gazebo bersama Dafa dengan kereta dorongnya. Eliana duduk menatap takjub rumah yang begitu indah dan mewah. Hati Eliana benar-benar sakit. Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai penggantinya di hati suaminya Satria.Tega sekali Satria melakukan hal itu pada Eliana, Bahkan ia baru mengetahuinya beberapa hari ya
Memulai yang baru"Non ditunggu, Den Reindra di depan.""Hah serius, Mbok." Eliana tak percaya apa kata Mbok Siti."Iya, dia bilang mau ajak Non ke salon apa," ucap si Mbok membuat mata Eliana terbelalak kaget."A ... apa salon Mbok?""Iya, Non. Biar Daffa di rumah sama Mbok ya, kan semenjak ada Non Eliana pekerjaan Mbok jadi berkurang, dari pada mbok ngantuk di rumah sendirian.""Iya boleh, Mbok."Bibir itu merekah, tersenyum lega. Kemudian wanita sederhana itu mengangguk patuh oleh perintah Reindra. Dan melangkah menuju kamar mandi."Cepat sedikit, Non," suruh si Mbok sambil menggendong Daffa keluar."Iya, Mbok."Mobil meluncur keluar halaman, akhirnya Eliana duduk di samping Reindra membelah jalan raya diatas aspal yang begitu panas membara. Eliana terlihat gugup ia mengalihkan pandangan keluar kaca mobil milik Reindra.Reindra berusaha memulai pembicaraan dengan Elian
Mencoba Iklas"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka."Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit."Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi."Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria.""Bodo ah.""Yee."Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam."Aku ke toilet dulu ya.""Ok."Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.Iya benar tu
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Sweet Momen"El besok temani aku di acara pertunangan rekan dosenku ya.""El malu, Bang.""Ada aku kan, yang menjagamu," ucap Reindra meyakinkan Eliana.Eliana menggangguk."Baiklah sekalian kita cari bajumu buat besok ya?"Eliana tersenyum. "Iya."Reindra yang memilih model gaun yang walau didesain sederhana namun sangat mewah sepadan dengan harganya. Perpaduan gaun berwarna dusty pink serta aksesoris tas dan sepatu high heel yang sama.Reindra menyuruh Eliana mencoba gaun yang telah ia pilih, dengan langkah berat Eliana masuk ke kamar ganti. Awalnya Eliana menolak karena harganya bisa buat ia makan sekitar tiga bulan, namun ia tak ingin menolak, hingga membuat Eliana malu saat acaranya besok.Sesaat Reindra cukup memukau ketika melihat penampilan Eliana. Dengan gaun yang begitu pas. Melekat di tubuh Eliana yang tampak sangat elegan di tubuhnya. Reindra mengangguk bertanda ia cocok dengan pilihan
Menghadiri pestaPesta pernikahan mulai ramai, dengan piring beradu dengan sendok dan garpu dan obrolan para undangan yang hadir di pernikahan putri Pak Setiyawan. Begitu meriah, terlihat dari kalangan menengah keatas yang datang, terdengar riuh orang bicara yang kadang diselingi gelak tawa. Meski nyanyian mencintaimu mengalun dengan diiringi musik band.Reindra melirik arloji yang melingkar di pergelangan. Pukul 19:30 WIB. Pantas saja, masih begitu ramai para tamu undangan."Selamat malam, Pak Reindra," ujar beberapa mahasiswa dan mahasiswinya, membuat Eliana tersenyum."Malam juga." Renindra sambil mengulurkan tangan dan berjabat tangan, begitupun dengan Eliana."Istrinya ya Pak, cantik sekali?"Reindra tersenyum dan menatap wajah Eliana yang semua memerah. "Kenapa... Cantik kan?""Cantik sekali Pak Reindra. Kami permisi Pak.""Ya silahkan."Reindra menyempitkan jarak, meraih kedua tangan Eliana
Sidang perdanaAir mata akan bicara saat mulut tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah anaknya. Sungguh malang nasibnya dari kecil tak pernah mendapat kasih sayang dari Sang Ayah.Rembulan mulai bersinar di waktu malam, hanya terdengar suara bising pabrik dan suara lalu lalang kendaraan. Eliana duduk di balkon atas, memandangi bintang. Eliana berharap ingin selalu menjadi sinar untuk buah hatinya. Eliana beranjak memasuki kamar dan berbaring di atas ranjang rasa ngantuk menyerang hingga ia tertidur larut dalam mimpi.Pagi tiba suara riuh kicau burung terdengar begitu merdu, pemandangan sejuk. Matahari mulai bersinar menampakkan sinarnya setelah bersembunyi di balik awan, pagi hari aktivitas di mulai. Dengan semangat pagi, senyum pagi dan jiwa yang baru."Maafin, Mama. Harusnya kamu bahagia seperti anak yang lain. Bisa berkumpul bersama Ayahmu, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-ap
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y