Mencoba Iklas
"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.
Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka.
"Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.
Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit.
"Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi.
"Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria."
"Bodo ah."
"Yee."
Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam.
"Aku ke toilet dulu ya."
"Ok."
Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.
Iya benar tu Eliana ... benar saja Satria mengenali suaranya. Satria mengontrol detak jantungnya yang naik turun mendapati kenyataan bahwa istrinya sangatlah cantik saat ini.
"Eliana ...," panggil seseorang yang saat itu Eliana sedang bercanda bersama Rein. membuat Eliana dan Reindra mencari arah suara panggilan itu.
Seorang cowok yang terlihat kusut dan mata panda disekitar mata, sepertinya kurang tidur datang memanggil di samping mereka.
"Iya ."
Tiba-tiba debar dada Eliana berpacu lebih cepat, ketika mantan. Suaminya itu mendekat.
"Apa kabar, Eliana?"
Sekian detik Satria begitu terpana melihat penampilan Eliana yang begitu memukau. Wanita yang dahulu terbiasa memakai pakaian daster lusuh, kini bertransformasi menjadi wanita berkelas, dengan barang mahal melekat di tubuhnya. Baju indah tas bahkan sepatunya melebihi Yolanda.
"Alhamdulillah aku baik."
Reindra tahu jika pria pecudang ini pasti mantan suaminya, yang membuat Eliana menangis. Sesaat Reindra mengepalkan tangannya.
"Saya Satria," ucap Satria saat menjabat tangan Reindra.
"Reindra," jawab Reindra singkat.
"El ... kembalilah ke rumah?"
Kedua manik mata Satria ada sesuatu yang sulit diungkapkan, karena terlalu bahagia. Bisa melihat wajah Eliana lagi, Satria sanggat rindu ... teduh mata Satria tidak bisa menyembunyikan rasa di dalam dadanya.
"El ... aku mohon."
Eliana memandang Rein yang saat itu juga sedang menatapnya. Eliana tahu ada rasa cemas di hati Reindra terlihat dari pias wajahnya.
"Eliana tidak akan kembali, dia adalah kekasihku."
Teduh mata Satria sontak berubah menjadi gurat kekecewaan yang teramat dalam. Kini istrinya berubah total saat ia bersama lelaki lain.
"Kekasih?"
Eliana mengangguk pelan.
Satria seketika beku tubuhnya terasa kaku, sulit untuknya percaya apa yang diucapkan Reindra juga Eliana.
"Iya dia kekasihku".
Diam
"Oh."
"Kami pergi dulu." Reindra menggandeng tangan Eliana, digenggamnya erat dan mengajak wanitanya melangkah pergi.
Satria menyaksikan dengan hati yang hancur ia lalu duduk. Dengan tangan yang begitu gemetar, bagaimana bisa Eliana berubah. Dalam hitungan hari ia tak lagi menganggapnya. Rongga dada Satria begitu sesak menyaksikan Eliana digandeng oleh pria lain.
"Lo kenal Sat, wanita cantik itu?" tanya Anton pelan.
Diam
Hening
Satria hanya bisa menyesali apa yang telah ia perbuat.
*
Satria terus meyakinkan diri bahwa Eliana pasti kembali, bayang-bayang senyum Eliana bersama lelaki lain selalu menghantuinya, meski di dalam dada sungguh terasa hampa dalam keheningan yang kapan saja bisa membuat Satria gila.
Sekuat apa pun Satria mengelak akan rindu yang menyiksa, pertahanan Satria akhirnya tumbang saat sebuah surat dengan logo pengadilan agama di amplop warna cokelat tiba di meja kerjanya. Mata Satria terbelalak, kepalanya mendadak pusing apa ini nyata? Siapa yang membantu Eliana? Apakah lelaki itu? Keterlaluan kamu Eliana?
Pikiran Satria kacau, ia tak terima di hina oleh Eliana, surat itu meruntuhkan seluruh kepercayaan diri yang ia bangun kokoh bahwa Eliana begitu mencintainya. Namun hanya bohong belaka. Aghh ...
Satria meremas rambutnya kasar. Dan membuang barang di atas meja tertebaran ke lantai. Apa kesalahannya sefatal itu hingga Eliana istrinya benar-benar ingin berpisah?
Satria berbaring di sofa tempat ia bekerja,
runtuh sudah air mata Satria, di atas sofa kantor. Satria hanya mampu memeluk bayangan Eliana juga Daffa.
Eliana di mana kamu? Kembalilah....
Mobil membawa Eliana dan Reindra ke rumah. Eliana tersenyum ke arah Rein yang dengan gagahnya mengemudikan mobil, entah apa jadinya jika Reindra tak menolongnya.
"Terima kasih Bang Rein, karena berkat pertolonganmu Eliana jadi kuat menghadapi Bang Satria." Terlihat Eliana tersenyum senang.
Reindra tersenyum manis ke arah Eliana. "Iya sama-sama El."
Reindra tahu jika Satria suka nongkrong di kafe itu, menurut salah satu informasi pesuruhnya. Reindra segera menyusun rencana agar Eliana bisa datang bersamanya di kafe itu. Dan dugaan Reindra benar lelaki pecundang itu berhasil masuk dalam perangkapnya.
"Kenapa bisa kebetulan ya Bang Rein. Dia ada disitu?"
"Ya kebetulan El, sudah Allah atur agar ia sakit hati melihatmu secantik ini," ucap Reindra membuat Eliana bersedih.
"Oh."
"Apa kau masih mengharapkannya El?"
Eliana menarik nafas panjang.
"Entahlah Bang Rein, namun yang jelas saat ini aku begitu membencinya."
Selama beberapa saat, mereka berdiam diri, hanya terdengar seru mesin yang terdengar. Reindra masih menatap lurus ke depan, fokus akan menyetir.
"Bang Rein," panggil Eliana pelan.
"Hmm."
"Maaf jika aku salah bicara?" Eliana menatap Reindra penuh harap agar tak tersinggung oleh ucapannya.
Reindra menoleh kearah Eliana untuk beberapa saat.
"Ya," jawab Reindra
Bibir Reindra tersenyum, membuat Eliana kembali ceria.
"Dia jahat El, jangan kasihan padanya? Setidaknya ingatlah jika kau tidakku tolong saat itu, apa yang akan terjadi padamu. Bagaimana jika ada orang jahat yang menemukanmu? Bahkan Satria tahu kan kau tidak mengetahui kota besar ini?"
Eliana menggangguk.
"Jika Satria mencintaimu, dia akan terima apapun kekuranganmu El," ucap Rein membuat Eliana seprti tertampar oleh sikap Satria.
"Kau benar, Bang Rein."
Mobil melaju membelah jalan raya menuju rumah mewah Rein, mobil terparkir di sebelah kanan rumah Rein. Ia membukaka pintu untuk Eliana, Ia masuk dan menuju kamarnya.
"Assalamu'alaikum.Mbok, gimana Daffa rewel tidak?" tanya Eliana.
"W*'alaikumsalam. Non El. Alhamdulillah aman," jawab Mbok Siti sambil menidurkan Daffa.
"Mbok nih oleh-oleh di makan ya? Kata Den Rein. Makanan ini kesukaan Mbok Siti lo." Eliana memberikan bungkusan makanan untuknya.
"Aduh repot segala, terima kasih lo, Non."
"Sama-sama, Mbok."
Eliana berjalan mendekati pintu baklon, dan Saat ia membuka pintu suasana masih menguning di langit barat nampak senja mulai menguning dari balik perumahan nan jauh di sana, pertanda hari berganti petang.
Daffa pun selesai makan lalu tertidur, Eliana segera turun ke bawah untuk mengambil air minum dari lemari es. Eliana duduk dan meneguk air mineral.
"El kenapa disitu?"
Eliana menoleh, dari mana suara itu.
"Minum Bang Rein."
Mereka berjalan mendekati gazebo dan duduk berdampingan.
"Aku cuma ingin menikmati kenangan kebersamaan kita dulu El." Senyum manis terukir di bibir Reindra.
Eliana merasa tersanjung. Melihat wajah tampan yang kini sedang bicara dengan begitu menarik hati.
"Iya, aku begitu menikmatinya saat kau memilih menggendongku dari pada adikmu Safana.
Reindra tersenyum renyah, " Kau masih ingat itu?
"Iya."
"Padahal sudah aku bilang kan, jangan bermain dengan laki-laki itu. Kau malah tak menurutinya? Aku bahagia waktu itu El..." suara itu terdengar semakin melemah.
Mereka terdiam cukup lama. Mengamati tetes demi tetes air yang mulai berjatuhan dari langit. Gemiris seolah enggan pergi membuat mereka terdiam dalam pikiran masing-masing.
"Kadang ... aku takut jika bertemu lagi denganmu. Kau tahu aku berlari mengejarmu saat itu, namun mobil membawamu juga Safana semakin menjauh. Sejak saat itu aku hidupku kehilangan arah."
"Ya aku yang salah, tak berani berpamitan sendiri denganmu. Bahkan Safana pun menangis beberapa hari karena merindukanmu kala itu."
"Ya, aku pun menderita saat itu."
"Cantik kamu malam ini El." Ucapan itu membuat Eliana terkejut dan tentu menjadikan pipi Eliana bersemu merah. Tak menyangka sahabatnya jadi suka ngegombal.
"Mungkin karena hujan jadi cantiknya nambah Bang," ucap Eliana menggoda Reindra.
"Biar nambah cantiknya, kalau kamu bikinin aku nasi goreng special." Reindra tersenyum terukir di bibirnya.
Angin malam mengiringi percakapan mereka, sambil merasakan lapar yang tak tertahan.
"Baiklah ... pedas kan kesukaanmu?"
"Yups."
Tak butuh waktu lama, di bantu Mbok Siti mengupas bawang merah juga bawang putih serta daun kol juga sawi. Eliana langsung menumisnya dan memasukkan telur juga sosis. Lalu menggorengnya hingga harum, masukkan nasi, terakhir dikasih irisan tomat juga ayam suwir.
"Sudah siap, silahkan makan."
"Lah kamu mana? Cuma satu piring saja?"
"Enggak Bang Rein, El lagi diet," ucap Eliana pada Reindra.
"Diet apaan orang kurus gitu? Makan berdua ya? Bukankah kita dulu sering makan berdua?"
"Tapi...?"
"Ga ada tapi-tapi sini."
Eliana tersenyum. "Baiklah."
Mereka menikmati satu piring berdua, sambil ditemani embusan angin di gazebo belakang rumahnya. Entah ada yang lain dari dalam hati Eliana saat bersama Reindra.
"Awal bulan depan sidang perdana perceraian kamu. Kemarin Pak pengacara menelfon, kau siap El?"
Uhuk ... uhuk.
"Santai El, minumlah." Reindra menyodorkan air putih dalam gelas.
"Iya."
"Jangan merasa sendiri Eliana. Ingatlah ada aku yang selalu melindungimu."
"Baru dapat kabarnya saja, sudah membuatku takut Bang Rein."
Sejujurnya hati Eliana terasa pegitu perih seperti tersayayat belati, mungkin inilah yang terbaik untuk dirinya juga Daffa.
"Jangan takut El, percayalah semua akan baik-baik saja."
Eliana menggangguk ke arah Reindra dan tersenyum. "Iya."
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Sweet Momen"El besok temani aku di acara pertunangan rekan dosenku ya.""El malu, Bang.""Ada aku kan, yang menjagamu," ucap Reindra meyakinkan Eliana.Eliana menggangguk."Baiklah sekalian kita cari bajumu buat besok ya?"Eliana tersenyum. "Iya."Reindra yang memilih model gaun yang walau didesain sederhana namun sangat mewah sepadan dengan harganya. Perpaduan gaun berwarna dusty pink serta aksesoris tas dan sepatu high heel yang sama.Reindra menyuruh Eliana mencoba gaun yang telah ia pilih, dengan langkah berat Eliana masuk ke kamar ganti. Awalnya Eliana menolak karena harganya bisa buat ia makan sekitar tiga bulan, namun ia tak ingin menolak, hingga membuat Eliana malu saat acaranya besok.Sesaat Reindra cukup memukau ketika melihat penampilan Eliana. Dengan gaun yang begitu pas. Melekat di tubuh Eliana yang tampak sangat elegan di tubuhnya. Reindra mengangguk bertanda ia cocok dengan pilihan
Menghadiri pestaPesta pernikahan mulai ramai, dengan piring beradu dengan sendok dan garpu dan obrolan para undangan yang hadir di pernikahan putri Pak Setiyawan. Begitu meriah, terlihat dari kalangan menengah keatas yang datang, terdengar riuh orang bicara yang kadang diselingi gelak tawa. Meski nyanyian mencintaimu mengalun dengan diiringi musik band.Reindra melirik arloji yang melingkar di pergelangan. Pukul 19:30 WIB. Pantas saja, masih begitu ramai para tamu undangan."Selamat malam, Pak Reindra," ujar beberapa mahasiswa dan mahasiswinya, membuat Eliana tersenyum."Malam juga." Renindra sambil mengulurkan tangan dan berjabat tangan, begitupun dengan Eliana."Istrinya ya Pak, cantik sekali?"Reindra tersenyum dan menatap wajah Eliana yang semua memerah. "Kenapa... Cantik kan?""Cantik sekali Pak Reindra. Kami permisi Pak.""Ya silahkan."Reindra menyempitkan jarak, meraih kedua tangan Eliana
Sidang perdanaAir mata akan bicara saat mulut tak mampu lagi menjelaskan rasa sakit, sangat menyakitkan dari apapun, Eliana menatap lekat wajah anaknya. Sungguh malang nasibnya dari kecil tak pernah mendapat kasih sayang dari Sang Ayah.Rembulan mulai bersinar di waktu malam, hanya terdengar suara bising pabrik dan suara lalu lalang kendaraan. Eliana duduk di balkon atas, memandangi bintang. Eliana berharap ingin selalu menjadi sinar untuk buah hatinya. Eliana beranjak memasuki kamar dan berbaring di atas ranjang rasa ngantuk menyerang hingga ia tertidur larut dalam mimpi.Pagi tiba suara riuh kicau burung terdengar begitu merdu, pemandangan sejuk. Matahari mulai bersinar menampakkan sinarnya setelah bersembunyi di balik awan, pagi hari aktivitas di mulai. Dengan semangat pagi, senyum pagi dan jiwa yang baru."Maafin, Mama. Harusnya kamu bahagia seperti anak yang lain. Bisa berkumpul bersama Ayahmu, tapi Mama tidak bisa berbuat apa-ap
Eliana melangkah masuk bersama seorang pengacaranya, rasa was-was menghantuinya. Degup jantungnya berpacu lebih cepat, dia duduk di bangku bersebelahan dengan Satria di depan Hakim. Entah perasaannya saat ini begitu terpukul akhirnya kisahnya akan segera berakhir.Hakim menanyakan tentang identitas juga pekerjaan masing-masing, semua pertanyaan Hakim dijawab oleh Eliana juga Satria. satu persatu pertanyaan selesai hingga Hakim merasa sangat disayangkan pasangan muda harus berpisah apalagi sudah memiliki seorang anak. Dan Hakim memutuskan untuk jalanni agenda mediasi.Eliana dan pengacaranya Pak Surya berjalan menuju ruang kecil, juga Satria mengikuti berjalan dengan pengacaranya Ibu Wati. Mereka bersama berjalan keruangan yang sudah disediakan. Eliana merasa begitu takut bagaiman jika Satria menghambat sidangnya."Pak, bagaimana jika Satria menolak ingin bercerai?" tanya Eliana dengan nada gugup."Tenang
Eliana membiarkan semikir angin membelai lembut wajahnya. Desirannya sungguh merdu terdengar, ditambah deburan ombak yang memecah pantai. Perpaduan keduanya bak alulan musik yang menentramkan jiwa. Menghadirkan simpang yang begitu syahdu.Senja mulai menguning suasana pantai terlihat begitu indah ketika sunset terlihat dari tepian pantai. melihat laut terbentang luas juga udara yang begitu menyejukkan hati, kebersamaan Eliana juga Reindra adalah momen yang sangat indah, Rein mengabadikan kebersamaan dengan foto berdua."Seru Mas, ini indah sekali, lama aku tak seprti ini. Terima kasih buat semuanya.""Sama-sama, kau harus berjuang El?"Eliana terdiam. "Aamiin, semoga ya, aku bisa melawannya."Eliana menggangguk. "Iya."Mereka masih duduk memandang sunset, rasa nyaman dan hangat kembali hadir. Eliana merasakan kenyamanan yang luar biasa."Bagaimana, kita pulang kasian Sonya seharian jagain Daffa."
Putusan pengadilanLangit cerah, tetapi tidak terik. Awan putih terlihat tertengger jauh di atas sana. Dedaunan nyiur melambai-lambai tertiup angin. Semua menjadi satu padu menciptakan kedamaian untuk Rendra. Sejenak, suasana tentram ini membuat Reindra melupakan kesedihan yang mendera jiwanya.Reindra kembali berjalan mendekati ruang kerjanya. Ia menarik kursi mendekati meja, menatap layar laptopnya jari jemarinya bermain cantik di atas keyboard laptopnya. Sesaat mengalihkan pandangan dari layar di depannya, kemudian sedikit mendorong kursi menjauh dari meja saat salah satu mahasiswanya masuk berada tepat di depannya.Sonya, salah satu mahasiswi tempat Reindra mengajar berdiri di depan mejanya dan menatap Reindra dosennya."Iya, Sonya ada apa?""Pak Reindra di panggil ke ruangan, Pak Setiyawan," ucap Sonya"Baiklah, Sonya.""Oh ya, Pak ... terima kasih oleh-olehnya banyak sekali semalam."Reindra
Maaf persidangan atas nama Eliana dan Satria jam berapa Pak?" tanya Satria cemas."Maaf, Pak. sudah satu jam yang lalu.""Apa ... ?""Astaga ... apa ini. Ini terjadi padaku." Lirih Satria kesal.Satria berjalan tanpa tenaga tubunya lunglai ke lantai. Geram, rasanya ingin sekali menumpahkan rasa panas yang menggelegak di dalam hati. Akan tetapi Satria bisa apa? Semuanya sudah terlambat.Jantung Satria berdegub lebih kencang dari sebelumnya. Satria tahu jika ia salah ini salah. Namun, ia terlanjur terjebak semakin dalam. Dalam rasa yang tak ia mengerti apa namanya.Entah kini cintanya telah menghilang, hal sepele yang dia lakukan Satria kadang membuat pipinya memanas. Rasanya mengenaskan sekali nasib Satria ini. Ia tertawa dalam hati. Permainan hidupnya ini sungguh membuatnya entah. Ingin menangis, ingin melampiaskan semua amarah yang ada."Pak, Kenapa baru ke sini?Satria dengan cepat berdir
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y