Eliana merasa bingung, badannya gemetar.
Ia memijit pelipis merasakan kepalanya begitu berat saat membuka mata. Mungkin, karena ia terlalu banyak menangis tak tahu apa yang harus ia lakukan.Besarnya kecewa yang kian menumpuk di hatinya, membuat Eliana tak sanggup lagi bertahan dari rasa sakit yang menderanya.Berulang kali ia menelepon suaminya, namun, tak terjawab dari seberang sana."Hallo, Mas!"Eliana mendengus kesal, kenapa panggilan dibiarkan saja tanpa menjawab telepon dari istrinya? Kenapa suaminya tak mau berbicara dengannya? Eliana panik tak tahu harus menghubungi siapa lagi.Oekkk.Ia memegang kening anak semata wayangnya, suhu badan anaknya sangatlah tinggi, ia harus segera membawa Dafa ke rumah sakit, kalau tidak ke dokter terdekat. Eliana panik karena badan anaknya demam tinggi, bagaimana ini? sedangkan Elinatak begitu hafal jalanan kota di mana suaminya bekerja.Eliana, tak tahan dengan tangisan anaknya, bergegas ia membawa baju seadanya di dalam tas dan memasukkan uang di dalam tas yang depan. Eliana segera keluar rumah dan mengunci pintu dan menaiki taksi menuju rumah sakit terdekat. Ia taksadar jika ia ke rumah sakit hanya mengenakan daster lusuh miliknya.-Taksi membawanya ke rumah sakit, Eliana langsung membawa anaknya menuju IGD. Rasa cemas dan derai air mata membasahi pipinya."Tolong, dokter anak saya," pintanya pada sang dokter."Baik, Ibu, tolong tunggu di luar ya." Jelas sang dokter.Eliana masih menangis. "Iya, dokter."Jantung Eliana berdetak lebih cepat ia begitu takut jika terjadi apa-apa dengan anaknya. Eliana ingat harus menelepon suaminya lagi, namun hasilnyanihil bahkan seratus panggilan tak juga di jawab oleh suaminya.Mendadak perasaannya tak enak. Pikiran menjadi berkecamuk begitu saja membayangkan apa yang di lakukan suaminya saat bekerja. Bahkan ini sudah sangat malam, mungkinkah suaminya sedang berduaan dengan seorang wanita? Ah mungkinhanya pikiran Eliana saja.Tak terasa air matanya mengalir deras dan jatuh membasahi pipi."Bagaimana kondisi anak saya, dokter?" tanya Eliana saat dokter keluar."Alhamdulillah, untung anda segera membawanya ke sini, jika tidak akan bahaya,Ibu. Demamnya terlalu tinggi.""Terus sekarang, dok?""Aman, Ibu.""Oh, Alhamdulillah. Terima kasih, dokter."Dokter pria itu mengangguk mengiyakan.Eliana masuk dan menatap anaknya dengan infus di tangan, pandangannya kosong.Entah kenapa akhir-akhir ini suaminya begitu sibuk sekali, bahkan saat-saat ngidam sampai melahirkan hingga memiliki anak perhatianya berkurang. Suaminya lebih sering kerja lembur dan jarang pulang ke rumah.Suara tangisan bayinya kembali terdengar, "Kamu akan sembuh, Nak. BersabarlahMama, ada disini."Sampai tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor suaminya, terbaca oleh Eliana.Satria; "Sudah tidur, Sayang? Maaf, Mas masih lembur. Uang gajiannya sudah akutransfer ya."Seketika detak jantung Eliana sesak seperti ada pisau yang menusuk tepat di dalam jantungnya. Meski ragu, namun Eliana mencoba membalasnya.Eliana; "Belum, Mas."Langsung bercentang biru, Satria di sana sedang mengetik.Satria: "Kenapa belum? Tidurlah ini sudah malam, aku harus menyelesaikan tugasku ini, dua hari lagi aku baru bisa pulang. Jaga anak kita ya?"Eliana terisak merasakan bahwa ia sendiri di kota sebesar ini tanpa sanaksaudara."Keterlaluan kamu, Mas!" Lirih Eliana sambil mengelap sudut matanya yang basah.Eliana: "Dafa, rawat inab. Di rumah sakit, Mas."Notif berubah menjadi centang satu.Dada Eliana terasa sesak menahan gejolak jiwa yang terasa hampa, entah suaminya berbohong atau tidak yang jelas pikiran buruk menghantui Eliana. Hingga pagi hari notif berubah menjadi centang biru."Kamu kenapa? Bukankah aku sibuk. Kau tahu kan kau bisa atasi semuanya, akujuga sudah kirim uangnya 'kan?"Eliana: "Iya aku baik, aku bisa atasi semuanya, Mas."Bohong Eliana, yang sejujurnya ia ingin menjerit sekencang-kencangnya saat inijuga.Satria: "Bukan seperti itu, El, sikapmu kenapa? Kenapa aneh, aku kerja disini lo, tidak main-main."Eliana: "Tidak ada yang aneh, tenanglah, aku bisa jaga, Daffa."Eliana seraya berusaha membuat anak semata wayangnya tersenyum. Elianamenghela napas panjang berusaha untuk tegar dan kuat.Satria: "Aku tidak akan pulang hari ini, tolong jaga, Daffa."Eliana merasa tak peduli, suami macam apa ini, kelakuannya benar-benar keterlaluan.Satria: "El kau dengar?"Eliana hanya diam tak peduli dan tak menjawabnya."Mas, ayolah jangan lama-lama." Suara wanita terdengar di pendengaran Elianadari sebarang sanaWajah Eliana seketika memanas, menahan gejolak dada yang kian meledak. Siapa wanita itu? Kenapa nada suaranya begitu manja dengan suaminya? Wanita itu siapa? Menemani suaminya bekerja kah?Eliana: "Mas, siapa wanita itu, kamu sedang berbicara dengan siapa?""Bosku, maaf, El. Mas harus bekerja lagi."Panggilan dari suaminya Satria tiba-tiba terputus.Jantung Eliana tak berhenti berdetak, membayangkan jika suaminya benar-benar selingkuh darinya. Kenyataan bahwa sang suami tak pernah sekalipun menyakitinya, ia pun tidak pernah berkata kasar pada dirinya, bagaimana mungkinbisa ia berselingkuh.Eliana menyimpan semua kecurigaan. Pada suaminya, namun ia harus fokus mengurusnya anaknya yang sedang sakit saat ini.-Satu hari kemudian."Bu ... anaknya, Daffa sudah boleh pulang, tolong dijaga agar tak mudah demam,Ibu." Dokter memberi saran pada Eliana."Baik, dokter, terima kasih.""Sama-sama semoga cepat sembuh."Elaina tersenyum. "Aamiin."Selesai membayar administrasi, Eliana menggendong si kecil dan melangkah pergimeninggalkan rumah sakit, menuju jalan utama. Eliana melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju depan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin siang ini, membuainya. Menebarkan damaidi penjuru hati.Eliana terus saja melangkah saat ada lalu lalang sepeda motor di sampingnya. Langkahnya semakin ia percepat agar lekas sampai jalan utama. Matanya menyapu mencari taksi, selang beberapa menit Eliana dan Dafa sudah berada di dalamtaksi. Senyum dari Dafa membuat Eliana begitu kuat menjalani semuanaya. Masih di dalam taksi ia hanya bisa memeluk tubuh mungil sang buah hati, berharap jika anaknya akan baik-baik saja kelak.Hari itu di mana suaminya juga pulang ke rumah. Satria memeluk tubuh istrinya dengan hangat, Eliana mencium tangannya dengan takzim. Setelah lama tak bertemu Satria mengendong Dafa, mungkin rasa rindu pada ayahnya membuat Dafa terdiamdalam gendongan sangat ayah."El, aku hanya sebentar saja, besok aku sudah harus ke luar kota untuk menemani Bosku menemui kliennya." Tatap Satria membuat Eliana seolah tak mengenali suaminya lagi, tatapan itu yang sulit Eliana artikan."Tidak bisakah satu hari saja bersama kami, Mas, Dafa butuh kamu," pinta Eliana pada suaminya.Satria hanya diam, saling tatap dalam kebisuan. Entah ada apa ini?Eliana mendekati dapur dan mencuci piring di wastafel sambil menahan sesak di dadanya. Tidakkah ia lelah? Kenapa sudah mau berangkat lagi? Entah kenapaseketika bayangan Eliana merasa jika ada wanita lain dalam hati suaminya."Semua juga untukmu dan anak kita, El, tolong mengertilah," rayu Satria sambilmemeluk tubuh istrinya dari belakang."Sejak, Dafa lahir kau begitu sibuk, Mas, bahkan aku begitu asing buatmu, akumerasakan itu.""Kau yang berlebihan, El. Aku masih sama dan masih mencintaimu.""Mas, tak bisakah sedikit waktumu untuk kami."Sudah, ya, aku capek. Aku mau tidur," ucapnya dengan nada tinggi.Satria tak memperdulikan Eliana, yang masih duduk termangu di sebelahnya. Eliana masih sibuk menidurkan Dafa yang sedikit rewal. Sedangkan Satria sudah terlelap dalam tidurnya, tanpa menghiraukan istrinya yang begitu rindu akan dirinya yang satu minggu baru pulang ke rumah."Keterlaluan kamu, Mas!" Lirih Eliana kesal.Adzan menggema Eliana hanya menguncir rambutnya keatas dan membuat sarapan untuk suaminya, selesai ia memanggil suaminya yang masih sibuk dengan laptopnya."Sarapan dulu, Mas," ajak Eliana."Iya sebentar lagi."Eliana mengangkat tubuh Dafa dan memandikannya selesai ia langsung menyuapinya dengan bubur bayi. Eliana kesana kemari. Membujuk anaknya agar mau disuapi, selesai ia kembali ke rumah di dapati suaminya sudah rapi dan pergi bekerjahendak keluar kota."El, aku berangkat lagi. Jaga Dafa dengan baik jangan sampai ia masuk rumah sakit lagi," ucapnya mengingatkan Eliana istrinya."Iya, Mas."Eliana mencium takzim punggung tangan suaminya sambil menggendong anaknyadengan daster lusuhnya.Hari-hari Eliana lalui tanpa suaminya dengan lantunan doa yang tak henti. Mengharap pada yang Maha Kuasa, agar segalanya di lancarkan dan pernikahannya bisa terselamatkan. Namun pagi itu ponsel. Di atas nakasnya berdering nyaring,beberapa pesan chat dari nomor yang tak ia kenali. Saat Eliana membukanya seolah tubuhnya mau terjatuh.Tangannya gemetar melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain jugasebuah vidio seorang wanita bergelayut manja pada suaminya. Eliana menahan rasa panas, rongga dadanya sesak. Tak tahu harus berkata apa kenapa suaminya tega memperlakukannya seperti ini."Mas Satria kau keterlaluan...." lirih Eliana sambil terisak.Dunia seolah hancur[Sayang, Abang gak pulang, ya? Ada meeting aku masih di luar kota.]Eliana merasa jikalau semuanya hanya sandiwara belaka. Ia harus kuat menjalani ini semua.[Iya.]Tidak ada lagi balasan. Mungkin Satria lagi sibuk dengan kerjaannya. Eliana segera membersihkan tubuh usai melakukan aktivitas yang melelahkan, bagaimana tidak sepanjang hari ia menjalankan peran ganda. Menjadi seorang ibu juga mengurus anak begitulah kerjaannya setiap hari.Eliana duduk di tepi ranjang, melepas penat setelah seharian Daffa rewel minta gendong, ia melirik jam yang berdenting di dinding, pukul 8 malam. Bagaimana tidak Ayah dan Ibunya tak mengizinkannya menikah dengan Satria, namun Eliana berusaha meyakinkan bahwa Satria adalah laki-laki baik.Ia berjalan mendekati jendela rumah yang begitu sederhana, selama ini mereka memang tidur di ranjang mini. Mereka selalu berbagi ranjang, kadang Satria rela tidur di lantai.
Memilih pergi"Aku talak kamu ... kita berpisah El," setelah lama terdiam akhirnya, keluar juga kata itu.Mendengar kalimat singkat dari suaminya, lutut Eliana menjadi lemas. Gelas yang dari tadi ia pegang merosot jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatinya kini, hancur berkeping-keping, berserak. Eliana berusaha untuk duduk dan menenangkan getaran dalam tubuhnya.Eliana hanya terdiam seribu bahasa. tanpa menjawab."Aku telah salah menduga El, kukira dirimu tulus mencintaiku. Ternyata, kau tidak mencintaiku. Buktinya kau menyerah hanya karena melihat vidio itu."Emosi Eliana sedang naik satu tingkat. Ucapan itu lolos begitu saja. Namun, seperti biasa Eliana berusaha diam dan tegar."Apakah ini akhir dari pernikahan kita?"Eliana terisak tak mengerti kenapa bisa seperti ini."Aku sudah malas menjelaskannya. Aku memberi pernyataan pun kau tak kan per
Mencoba tegarSatria merasa begitu lelah akan hidupnya sekarang separuh dari hatinya telah menghilang. Seminggu sudah Satria baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. membuat Satria merasa hampa. Ia ingin segera merebahkan tubuhnya ke ranjang dan tiduran .[Sat. Terima kasih buat waktunya ya?menemaiku ke resto, selamat istirahat.][Sama-sama]Malas Satria membalasnya jika bukan Bosnya mungkin akan Satria abaikan.[Nanti temani aku makan malam ya? Di acaranya Yuni ulang tahun dia?]Satria menyusap rambutnya dengan kasar, entah apa yang ada dalam pikirannya Bosnya ini. Satria tak membalasnya dan segera ke kamar mandi. Ia nyalakan shower, tak pikir panjang ia langsung mengguyur seluruh tubuhnya yang begitu penat merasakan jika ia sangat merindukan Eliana memakai daster lusuh milik istrinya. Dan memberikan nya secangkir teh jahe hangat kesukaannya.Dalam resah yang sepertinya menampar jiwa, tak sengaja Sat
KehilanganSelesai masak Eliana berjalan untuk sesaat terpana dengan pemandangan di sekitar. Sebuah rumah yang cukup besar, di kelilingi bermacam-macam bunga ada melati bunga lili, mawar dan bugenfil. Eliana langsung bergerak mendekat. Menelisik bagian rumah indah yang sebagian besar terbuat dari kayu.Langkah Eliana mengarah ke bagian samping. Ada sebuah kolam renang yang tidak terlalu luas, hanya sekitar lima atau tujuh meter memanjang. Di belakang rumah terdapat gubuk kecil sebuah gazebo dengan tempat duduk lesehannya. Sekilas terlihat tampak sempurna.Eliana mendekati gazebo bersama Dafa dengan kereta dorongnya. Eliana duduk menatap takjub rumah yang begitu indah dan mewah. Hati Eliana benar-benar sakit. Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai penggantinya di hati suaminya Satria.Tega sekali Satria melakukan hal itu pada Eliana, Bahkan ia baru mengetahuinya beberapa hari ya
Memulai yang baru"Non ditunggu, Den Reindra di depan.""Hah serius, Mbok." Eliana tak percaya apa kata Mbok Siti."Iya, dia bilang mau ajak Non ke salon apa," ucap si Mbok membuat mata Eliana terbelalak kaget."A ... apa salon Mbok?""Iya, Non. Biar Daffa di rumah sama Mbok ya, kan semenjak ada Non Eliana pekerjaan Mbok jadi berkurang, dari pada mbok ngantuk di rumah sendirian.""Iya boleh, Mbok."Bibir itu merekah, tersenyum lega. Kemudian wanita sederhana itu mengangguk patuh oleh perintah Reindra. Dan melangkah menuju kamar mandi."Cepat sedikit, Non," suruh si Mbok sambil menggendong Daffa keluar."Iya, Mbok."Mobil meluncur keluar halaman, akhirnya Eliana duduk di samping Reindra membelah jalan raya diatas aspal yang begitu panas membara. Eliana terlihat gugup ia mengalihkan pandangan keluar kaca mobil milik Reindra.Reindra berusaha memulai pembicaraan dengan Elian
Mencoba Iklas"Tidak itu bukan Eliana ...." lirih Satria dalam hatinya.Satria terlihat gundah gulana, bagaimana bisa jika itu istrinya secepat itu ia berubah. Lalu di mana Daffa anak mereka."Tapi sayang ya, dia sudah punya gandengan," gerutu Anton membuat Satria geram.Satria menelan ludah yang terasa begitu pahit."Ya, mungkin saja itu bukan suaminya," ucap Satria emosi."Mesra begitu, paling tidak itu pasti kekasihnya, Satria.""Bodo ah.""Yee."Sekilas Satria menatap wajah wanita itu yang tak jauh darinya, memang begitu mirip. Satria berusaha untuk membuktikannya apakah itu Eliana atau bukan. Namun bukan dengan cara kasar seperti kemarin, bisa-bisa ia diseret keluar dari sini oleh satpam."Aku ke toilet dulu ya.""Ok."Selesai ke toilet Satria mengatur nafasnya dan berjalan mendekati meja paling ujung kebetulan dilewati oleh Satria saat mau ke toilet.Iya benar tu
Sesal Tak berujungMungkin inilah cobaan Eliana, Allah mungkin sedang rindu akan air matanya. Air mata yang entah kapan terakir kali menetes, ia selalu bahagia, hari ini di mana rumah tangganya sedang diuji haruskah ia bertahan apakah harus melepaskannya?"Non El, pangkling aku kirain siapa tambah cantik saja," ucap si Mbok."Iya, Mbok. Do'ain ya. Biar El kuat jalaninnya.""Iya, Non tenang saja, pasti Mbok dukung terus kok!""Makasih, Mbok."Sejenak Eliana menghilangkan penat di dalam dadanya, ia begitu grogi jika harus menghadapi sidang perceraiannya. Apa pernikahannya benar-benar akan hancur. Eliana menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang hingga ruhnya berjalan ke alam mimpi.Udara malam masih begitu dingin, Eliana menarik selimut hingga menutupi tubuhnya hingga azan menggema dari sudut ruangannya. Eliana turun ke bawah membantu si Mbok untuk menyiapkan sarapan pagi juga bersih-bersih rumah.Terdengar lan
Sweet Momen"El besok temani aku di acara pertunangan rekan dosenku ya.""El malu, Bang.""Ada aku kan, yang menjagamu," ucap Reindra meyakinkan Eliana.Eliana menggangguk."Baiklah sekalian kita cari bajumu buat besok ya?"Eliana tersenyum. "Iya."Reindra yang memilih model gaun yang walau didesain sederhana namun sangat mewah sepadan dengan harganya. Perpaduan gaun berwarna dusty pink serta aksesoris tas dan sepatu high heel yang sama.Reindra menyuruh Eliana mencoba gaun yang telah ia pilih, dengan langkah berat Eliana masuk ke kamar ganti. Awalnya Eliana menolak karena harganya bisa buat ia makan sekitar tiga bulan, namun ia tak ingin menolak, hingga membuat Eliana malu saat acaranya besok.Sesaat Reindra cukup memukau ketika melihat penampilan Eliana. Dengan gaun yang begitu pas. Melekat di tubuh Eliana yang tampak sangat elegan di tubuhnya. Reindra mengangguk bertanda ia cocok dengan pilihan
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y