Lomba puisiSuara adzan menggema di sudut kamar ini. Aku segera bangun dan kepalaku terasa begitu terasa begitu berat, juga napasku terasa sesak, ternyata tangan Jingga yang melingkar di atas dadaku. Pelan-pelan aku meletakkan tangannya di atas guling dan beringsut menuju kamar mandi. Segera aku mengambil air wudhu dan langsung menunaikan kewajibanku sebagai seorang hamba, selesai itu aku membantu asisten rumah tangga menyiapkan sarapan untuk keluarga disini. Setelah beberapa menit, sarapan siap di atas meja nasi goreng telur, ayam dan sosis. Aku bergegas membantu Jingga untuk menyiapkan pakaian, serta membantu Jingga memakai baju seragam sekolah. rambut panjang Jingga yang lembut aku kepang, Jingga sangat suka dengan hasilnya, lalu ia mencium pipiku."Bagus, Tante. Aku suka.""Hu um. Ayo sarapan."Kami sarapan bersama, Jingga dan kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya Bu Anita, memuji masakannu yang kata
"Tante, terima kasih ya?" sapa Jingga sambil memeluk tubuhku aku yakin ia sedang menangis saat dibalik punggungku."Sayang, Tante akan selalu ada untukmu," jawabku sambil mengelap pipinya yang basah."Hari ini, Jingga bahagia, Tante?""Tante juga bahagia punya teman sepinter Jingga.""Kalau kalah gimana, Tante?"Aku menarik nafas panjang, beeusaha menenagkannya. "Setiap lomba pasti ada yang menang dan kalah Jingga, tapi kita kan sudah berusaha, jadi yang penting kita bahagia oke, satu lagi itu tak masalah kan karena kita mulai hati ini jadi sahabat," lirihku menyemangatinya.Susah senang pasti akan aku lalui. Setelah itu semua pasti akan baik baik saja. Begitulah cara sederhanaku mencintai kehidupan, yang sudah dihadirkan oleh Sang Pencipta.Saatnya menunggu yang paling mendebarkan, di mana pemenang lomba akan diumumkan, kulihat wajah Jingga yang tadi masih sama gelisah. Namun sekarang berubah ceria, aku memberitahunya bahwa meskipun nanti kalah namun Jingga akan tetap menjadi pemena
Pov Fajar.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kemana lagi aku harus mencari Lintang? Aku harus minta maaf padanya maafkan aku lintang, aku menyesal.Aku sudah mencarinya ke rumahnya, kata Budhe nya beliau tidak tahu, begitu banyak dosa yang aku lakukan. Lelaki macam apa aku yang menyakitinya begitu lama, ya Allah kenapa kau menyadarkanku setelah Lintang pergi dariku, bahkan sidang putusan perceraiannya pun sudah diketuk palu.Sekar benar-benar keterlaluan, ia menjebakku agar mencintainya untuk membalas dendam pada Lintang. Aghh aku benci diriku sendiri, betapa aku menyia-yiakan orang yang selama ini menyayangiku."Alhamdulillah, Mas. Lintang sudah resmi kau ceraikan, aku bahagia sekali." Sekar bicara padaku dengan nada angkuhnya."Iya sayang, kita bisa bersatu tanpa ada, Lintang yang menghalangi kita," jawabku senang pada sekar."Aku puas sekali, harusnya aku bisa melihat Lintang lebih menderita, namun sayang dia tak menghadiri sidang putusan ini." Desis Sekar sinis."Maksudmu apa,
Pov Lintang.Angin yang bertiup saat senja seperti ini selalu membawa anganku terbang jauh tidak terkendali. Aku sudah berusaha menahannya, tetapi aku malah membayangkan sosok Ibuku berdiri di tengah pasir putih di sana. Lalu, aku tersadar dan mengurung diri di kamar. Sayangnya, kemenangan lomba puisi tadi turut menyeret jauh anganku, tentang siapa Ibuku.Terkadang aku menyesali segala pikiranku yang terlalu jauh mengembara dalam indahnya bersama keluarga ada Ayah dan Ibu adik-adik, ah itu hanya ilusiku saja. Apa ini yang namanya merindukan sosok Ibu? seperti apa wajahnya? apa ia juga merindukanku? "Tante, bagus ya pemandangannya?" tanya Jingga padaku membuatku tersadar dari lamunan tentang sosok Ibu Bahagia rasanya berada di dekat Mas Emiel juga Jingga, hatiku merasa bahagia yang tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. "Subhanallah, bagus banget Jingga, Tante suka sekali," jawabku pada Jingga yang sedang asyik melihat pemandangan dari atas."Gimana kalian suka?" Mas Emil yang sed
Matahari bersinar terang, riuh suara burung berkicau di pagi hari. Kami bersiap untuk kembali, Jingga enggan untuk bersiap, ia masih betah disini. Aku segera membujuknya agar ia mau pulang. "Ayo sayang kita pulang, Tante sudah bolos lama ga kerja sama Budhe Sonya. Tak enak, kalau harus libur lagi?" rayuku pada gadis kecil yang lagi ngambek."Jingga betah disini hanya sama, Papa juga sama, Tante. Damai rasanya hidup, Jingga," jawabnya sambil mengeluarkan air mata.Aku melengkungkan senyum ke arah gadis itu. "Tante janji akan selalu ada buat, Jingga, tapi kita pulang ya, Tante harus kerja sayang."Ia menggeleng ragu. "Hmm baiklah, Tante."Jingga ini dia sebenarnya ingin punya sahabat baru disisinya, kasian sekali anak ini, ia sebenarnya merindukan sosok Ibu nya yang telah lama meninggalkannya kembali dalam berada dalam pelukannya."Ayo sayang, biarkan, Tante Lintang bekerja, kasian kan, Tante Lintang kalau dia dipecat dari kerjanya kita ga bisa lagi ketemu sama, Tante gimana?" rayu Pap
Langit berubah warna menjadi gelap aku dan Elsa keluar dari butik dan tatapanku tertuju pada laki-laki yang telah menalakku beberapa bulan yang lalu, ia menatapku tanpa kedip sungguh aku muak melihat lelaki itu."Lintang?" Panggilnya tanpa aku menghiraukanya dan melangkah pergi."Lintang ... aku mohon Lintang please sebentar saja." Lelaki itu sambil berlari mengejarku."Lintang maafkan aku, aku yang salah tolong maafkan aku." Fajar lelaki itu seolah ingin jawaban dariku."Aku sudah memaafkanmu dan pergilah jangan ganggu hidupku lagi, " jawabku sambil melangkah pergi.Kenapa dia muncul lagi dalam hidupku, padahal dalam mimpikupun aku enggan bertemu, sepertinya ada yang mau disampaikannya namun sudahlah mungkin saja ia juga sudah menikahi perempuan bernama Sekar itu. Kulangkahkan kakiku cepat bersama Elsa, kebetulan diparkir ada Mas Emil dan kami masuk ke dalam mobilnya."Mas kami nebeng ya, kumohon?" tanyaku pada Mas Emiel."Iya baiklah ayo saya antar," jawabnya tak mengerti, mungkin
Lintang bukanlah wanita biasa ia sangatlah istimewa, aku begitu mengaguminya. Ya Allah mungkinkah Ia bisa menjadi ibu dari anakku Jingga, menggantikan posisi Viona dalam hati Jingga. Aku melihat senyumnya, dan itu senyuman yang tulus untuk putriku, betapa aku terpesona saat melihatnya mengganti pakaian yang aku berikan. Lintang sangatlah anggun dan cantik, wanita yang sangat polos.Apakah lukanya Lintang bisa aku sembuhkan sedikit demi sedikit, Ada banyak kisah yang ingin kuceritakan kepadanya. Sayangnya, aku tidak tahu harus memulai dari mana. Aku juga tidak tahu kapan aku punya kebetanian waktu untuk bicara. Dan aku juga tidak tahu apa Lintang mau mendengar ceritaku jika kami berjumpa. Jadi lebih baik kupendam saja sebagian cerita yang masih menyayat hatiku yaitu luka. Saat bermain melempar bola dipantai Lintang hampir saja jatuh dan aku menarik tangannya hingga wajah kami hampir bersentuhan. Dadaku bergemuruh detak jantungku berdetak tidak seperti biasanya, saat melihat iris bola m
Pov Lintang.Kurebahkan tubuhku di atas ranjang, bayangan lelaki itu terus menghantuiku, ada apa lagi ia kembali bukankah ia telah membuangku. Lelaki itu selalu ada akal untuk membujukku lalu meninggalkanku lagi tak ubahnya aku ini hanya seperti sampah. Malam mulai larut dalam kesunyian, aku berusaha untuk memejamkan mata namun tak juga aku tertidur. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku kembali memeluk guling sambil mengucapkan takbir, hingga aku tak tahu aku sudah berada dalam alam mimpi.Suara riuh burung bernyanyi aku terperanjat dan beringsut mengambil air wudhu, aku menjalankan kewajibanku, kupasrahkan hidupku hanya kepada Sang pemilik kehidupan. Aku bersiap untuk berangakat kebutik, aku nitip nasi sama Elsa dua porsi satu buat sarapan satunya lagi buat makan siang."Mbak, ayo sarapan, ini sudah siap." Sapanya Elsa dan aku berjalan menghampirinya."Hmm sepertinya enak, Elsa," jawabku sambil memakan sarapan pagi bersama Elsa."Enak, ko. Mbak.""Habiskan, jaga ke
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y