Share

Ketika Cinta Telah Memilih
Ketika Cinta Telah Memilih
Автор: Ardiyani

Bab 1

Nazia masih terduduk di ruang tamu rumahnya yang masih ramai oleh saudara dan tetangga. Prosesi pemakaman Danu Baskara, suaminya, telah selesai siang tadi. Wajah perempuan berusia dua puluh sembilan tahun itu terlihat menyimpan kesedihan yang begitu dalam. Bagaimana tidak, tiga hari yang lalu suaminya berpamitan untuk bekerja ke luar kota seperti biasa. Seharusnya tadi pagi lelaki itu pulang dan suaminya benar-benar pulang dengan keadaan yang berbeda. Bahkan sampai detik ini dia masih tidak percaya jika sang suami tidak akan pernah kembali lagi.

"Mba Zia, istirahat di kamar saja, yuk!" ajak Zila, adik perempuan Zia.

Wanita itu hanya mengangguk kaku, tetapi tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya.

"Mba!" kembali Fazila bersuara.

"Iya, Dik. Sebentar lagi," jawab Zia.

Zila kemudian ikut duduk di sofa yang berada di dekat Zia. Wanita itu tahu apa yang dirasakan kakak perempuan satu-satunya itu, tetapi dia juga takut jika Zia terus seperti ini akan sakit nanti. Sejak semalam dia tahu jika kakaknya belum tidur sama sekali. Tepatnya sejak mendapat kabar dari kepolisian jika suaminya mengalami kecelakaan. Apalagi kenyataan lain yang membuat perempuan itu bertambah syok.

"Mba, jangan terlalu dipikirkan, ya!" Zila kembali berkata dengan lembut.

"Iya, Dek. Mba cuma masih belum percaya aja kalau Mas Danu pergi secepat ini," lirih Zia.

Zila mengangguk, "Sama, Zila juga belum percaya, tetapi dari semalam Mba Zia belum tidur sama sekali. Nanti kalau sakit bagaimana?" bujuk si bungsu.

Zia terdiam, dia tidak tahu akan berkata apalagi. Pikirannya sekarang sedang dipenuhi tanya, siapa wanita yang ikut tewas di dalam mobil bersama suaminya? Dari namanya saja Zia merasa asing, Anggraeni Puspa Cantika. Siapa dia? Ada hubungan apa wanita itu dengan Danu Baskara, almarhum suaminya?

"Zila, ajak Mbakmu ke kamar, lalu ambilkan makanan. Ayah belum melihatnya memakan apapun!" Rahmat ayah dari Zia dan Zila sudah berdiri di samping kedua putrinya yang sedang duduk di sofa.

Sungguh hatinya pilu hanya dengan melihat wajah Zia yang terlihat pucat, mata yang memerah dan bengkak. Sebagai ayah dia bisa merasakan apa yang sekarang putrinya alami. Dulu dia juga merasakan hal yang sama saat Suryani, ibu dari kedua putrinya dipanggil menghadap sang Maha Kuasa lima tahun lalu. Dia pun merasakan kehilangan yang begitu dalam.

"Mba Zia-nya belum mau, Yah," jawab Zila.

Rahmat berjalan mendekat, tangan tuanya membelai lembut pucuk kepala Zia yang tertutup kerudung hitam, "Istirahat dulu, Nak. Masih banyak yang harus kamu urus setelah ini. Kamu harus kuat!" ucap lelaki itu.

Mendengar ucapan sany ayah, Zia tidak bisa lagi mencegah tangis yang sedari tadi sudah berusaha dia tahan. Air matanya pun tumpah tak terbendung. Namun, tadi di hadapan semua orang dia berusaha terlihat tegar, tetapi tidak kali ini saat berada di dekat ayahnya. Dia sudah tidak bisa lagi menahan semua yang sedang ia rasakan kini. Dadanya sesak, pikirannya kalut seakan semua ingin dia keluarkan, tetapi kepada siapa?

"Menangislah jika itu bisa melegakan hatimu, tetapi jangan jadikan tangis sebagai teman hidupmu berusahalah menjadi kuat, Nak." Rahmat memberi sedikit nasihat.

Zia semakin tergugu, entah bagaimana dia harus mengungkapkan semua perasaan yang ada di hatinya saat ini. Sedih sudah tentu tetapi ada juga rasa sakit dan kecewa.

Hati Rahmat dan Zila semakin teriris melihat air mata Zia. Ayah dan anak itu tidak tahu harus menghibur dengan cara bagaimana. Yang bisa mereka lakukan hanya menemani dan selalu menyediakan bahu jika wanita yang sedang menangis itu membutuhkan sandaran.

"Mba, ayo ke kamar!" Sekali lagi Zila mengajak sang kakak.

Akhirnya Zia mau berdiri dan berjalan tertatih. Langkahnya terasa berat, kepalanya pun tidak kalah berat. Baru beberapa langkah, tubuh mungil itu limbung, untung saja dengan sigap Rahmat dan Zila menangkap sebelum tubuh itu jatuh ke lantai.

"Zia!"

"Mba Zia!"

Teriak Rahmat dan Fazila bersamaan juga beberapa tetangga serta saudara yang sedang membantu membereskan rumah. Mereka ikut berteriak saat melihat Zia pingsan dan hampir terjatuh barusan.

Dengan cepat Rahmat mengangkat tubuh lemah Zia menuju kamar diikuti Zila dan beberapa saudara perempuan lain.

Kini Zia sudah terbaring di ranjang kamar pribadinya, wajahnya terlihat sangat pucat membuat Rahmat bertambah khawatir lelaki itu memikih keluar kamar karena tidak tega melihat keadaan buah hatinya.

Mata Zia sudah mulai mengerjap perlahan setelah beberapa saat tadi terpejam karena pingsan.

"Mba," panggil Zila sambil mendekatkan botol minyak kayu putih ke hidung Zia sebagai usaha agar kakaknya itu sadar.

Zia mengerjapkan matanya, kali ini lebih jelas, lalu wanita memandang ke arah Zila dengan tatapan kosong. Siapa pun yang melihat keadaan Zia saat ini pasti akan iba.

"Makan dulu, ya. Sedikit aja biar nggak sakit." Zila yang sedari tadi sudah duduk di tepi ranjang kembali membujuk. Bahkan wanita itu sudah memgang piring lengkap dengan nasi dan lauk yang di siapkan oleh saudaranya tadi.

Zia menggeleng. "Mba nggak laper," jawab wanita itu singkat.

"Mba belum makan dari semalam, nanti sakit, lho. Nggak kasihan sama ayah?" rayu sang adik.

Setitik bening kembali membasahi kedua tebing pipinya. Perlahan walau dengan sangat terpaksa wanita itu membuka mulutnya dan menerima suapan dari Zila. Dia tidak ingin sakit dan membuat ayahnya khawatir. Hanya lima suapan yang mampu Zia telan, itupun dengan susah payah, tetapi setidaknya sudah ada yang masuk ke perutnya saat ini.

"Udah, Dek!" tolak Zia saat Zila kembali akan menyuapkan makanan. Zila pun mengerti dan tidak memaksa kakanya untuk makan lagi.

Setelah itu, dia hendak pamit keluar kamar sebentar untuk meihat keadaan buah hatinya yang masih balita yang kini sedang ada dalam buaian sang papa. Untunglah balita itu tidak rewel sama sekali saat di tinggal oleh mamanya

"Mba, Zila keluar sebentar, ya. Mau lihat keadaan Yara dulu," pamitnya.

Zia mengangguk, "Iya, udah sana kasihan Yara, aku nggak apa-apa kok, Zil."

"Kalau ada apa-apa, panggil aja, ya," kata Zila sambil berdiri dan bersiap keluar dari kamar.

Sebenarnya dia tidak tega meninggalkan kakaknya seorang diri, tetapi dia juga kasihan pada Yara, putrinya yang masih balita.

Kembali Zia mengangguk. Dia menatap punggung adiknya yang menjauh. Ada rasa bersalah karena telah membuat Zila mengabaikan anaknya yang masih balita demi menemaninya.

Kamar menjadi sunyi kembali karena Zia hanya sendiri di sini. Dia memandang sekeliling kamar. Ingatan tentang Danu Baskara, almarhum suaminya, kembali melintas dalam benaknya. Air mata kembali keluar dari telaga beningnya. Mengapa kenyataan ini terjadi padanya. Bagaimana dia sanggup menjalani hari-hari ke depan tanpa belahan jiwanya itu. Di tambah rasa penasaran tentang wanita yang bersama suaminya yang ikut tewas di dalam mobil. Siapa wanita itu? Mengapa kecelakaan itu terjadi di puncak Bogor, sedangkan suaminya pamit untuk pergi ke Jakarta? Semua tanya kembali berputar di kepala Zia dan membuat wanita itu semakin bertambah pusing.

Mungkin karena terlalu lelah, perlahan mata indah Zia mulai terpejam, juga karena belum terpejam sejak semalam. Mungkin dia memang butuh istirahat dan tidur barang sejenak.

Siapa tahu saat bangun nanti, Danu, sang suami akan pulang dan semua yang terjadi ini hanyalah sebuah mimpi, batin Zia.

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status