Share

Bab 4

"Heh, Raf! Sebenarnya mama kenapa? Kok bisa sampai begini?" Rifda, si sulung bertanya sambil berkacak pinggang di depan adik bungsunya.

"Ya mana aku tahu, Mbak." Papa dari Nasya belum berani berterus terang.

"La terus, kok bisa darah tingginya kambuh, sampai pingsan juga?" Rifda jelas tidak percaya karena sebelum mendapat kabar Mamanya masuk rumah sakit, dia baru saja melakukan video call.

"Mungkin mama kecapean terus kurang istirahat jadi darahnya naik." Bungsu dari tiga bersaudara itu beralasan.

"Aku gak yakin, pasti kamu nyembunyiin sesuat?" kata Rifda sambil memicingkan mata ke arah adiknya.

Aditya Darmawan merasa jengkel mendengar perdebatan kedua anaknya. Bukannya berdoa agar sang ibu cepat sembuh, malah bertengkar. "Rifda, Rafqi, sudah! Masalah itu bisa di bahas nanti, 'kan?" bentak ayah tiga anak it dan membuat kedua anak itu terdiam.

Tidak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruang IGD, mereka bertiga pun langsung mendekat.

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Aditya.

"Tekanan darah cukup tinggi dan ada penyumbatan pembuluh darah di kepala membuat Ibu terkena stroke ringan," jawab dokter yang memeriksa.

"Jadi apa tindakan selanjutnya, Dok? Apakah perlu operasi?" tanya Aditya lagi.

"Sepertinya tidak perlu, Ibu hanya perlu dirawat beberapa hari untuk menstabilkan tekanan darahnya." Dokter ber'nametag' Heru itu menjelaskan.

Aditya hanya mengangguk tanda mengerti, begitu juga Rafqi dan Rifda.

"Maaf, Dok, stroke ringan maksudnya gimana, ya?" Rafqi bertanya karena penasaran.

Dokter Heru tersenyum sebelum menjawab, "Ibu Halimah akan mengalami kesulitan menggerakkan tubuh di bagian kiri."

"Hah! Apa tidak bisa di obati, Dok? Berapapun akan kami bayar!" Kaget Rafqi setelah mendengar penjelasan dari dokter.

Dokter Spesialis Saraf itu kembali tersenyum, kemudian menggeleng, "Nanti setelah tekanan darahnya normal, Ibu bisa menjalani fisio terapi agar bisa kembali bergerak normal. Namun tentu saja tidak sekaligus, bertahap."

Rafqi hendak berkata lagi, tetapi dengan cepat Aditya mendahului, "Terima kasih, Dok. Kami boleh masuk ke dalam?"

"Boleh, Pak, tetapi pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat inap." Dokter Heru memberi penjelasan.

"Oh, baiklah, kami tunggu saja kalau begitu," jawab Aditya.

"Kalau begitu, saya permisi. Mari Pak, Bu," pamit Dokter Heru dan diangguki oleh ketiga oang yang ada di sana.

*****

Nazia duduk sambil membaca lagi bekas-berkas yang diberikan oleh Manajer HRD tempat almarhum suaminya berkerja. Kembali satu kenyataan pahit dia ketahui. Bolehkah kalau dia merasa menjadi istri yang paling bodoh sedunia sampai hal seperti ini saja dia tidak tahu? Wanita itu kembali memutar otaknya, mencoba mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Rasanya tidak ada yang aneh dari perilaku sang suami. Sikap Danu biasa saja, lembut, hangat dan perhatian. Tidak ada yang aneh menurutnya, atau dia yang tidak peka? Begitu pintar lelaki yang selama hampir lima tahun ini menemaninya itu menyimpan rahasia sampai dia tidak tahu bahkan curiga sedikit pun.

"Zia."

"Iya, Yah." Dengan susah payah Zia mencoba menormalkan suaranya agar ayahnya tidak tahu kalau dia sedang sedih.

"Kenapa, Nak?" tanya Rahmat sedikit curiga.

"Gak apa-apa, kok, Yah." Zia memaksakan senyum.

"Benarkah?" pancing Rahmat.

Nazia menunduk, dari dulu memang dia tidak pandai berbohong, apalagi di depan ayah dan ibunya.

"Nak?" Rahmat memastikan.

"Sebenarnya tidak ada masalah, Yah. Mas Danu termasuk karyawan teladan malah." Zia menjeda kalimatnya.

"Lalu?"

Zia menunduk, wanita itu bimbang, haruskah dia mnceritakan semuanya? Dia takut jika bercerita hanya akan menambah beban pikiran ayahnya. Namun jika tidak dia takut sang ayah akan tahu dari orang lain.

"Tadi Zia bertemu dengan atasan juga kepala HRD tempat Mas Danu bekerja, dari semua cerita mereka tidak ada hal buruk yang Zia dengar, hanya ...."

"Hanya apa, Zia?" desak Rahmat.

Zia menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Ternyata beberapa waktu yang lalu Mas Danu tertipu hingga ratusan juta rupiah, Yah."

"Maksudnya?" penasara Rahmat.

"Jadi Mas Danu tergiur bisnis pengadaan obat-obatan untuk tekstil, tetapi ternyata dia ditipu temannya," jawab Zia dengan kepala semakin menunduk.

"Tertipu? Berapa banyak?" kaget ayh dua anak itu.

"Hampir lima ratus juta,"

"Hah? Lima ratus juta?" Mata Rahmat terbelalak lebar, dia sangat terkejut dan Zia hanya mengangguk lemah.

"Lalu bagaimana?"

"Jadi awalnya Mas Danu meminjam uang dari perusahaan untuk modal, sekitar tiga ratus lima puluh juta karena obat-obatan itu juga akan dipakai oleh perusahaan itu. Namun setelah tahu tertipu, Mas Danu harus mengembalikan uang itu dan semuanya sudah beres."

"Kamu sama sekali tidak tahu?" heran Rahmat.

Zia menggeleng, "Tidak."

"Lalu dari mana Danu mendapatkan uang untuk menggantinya?" selidik Rahmat.

"Zia juga belum tahu, Yah."

"Berarti kita harus bersiap-siap jika ada yang tiba-tiba datang untuk menagih hutang," gumam Rahmat.

Zia mengangguk lemah, "Iya, Yah."

Rahmat mendesah, tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing mendengar hal ini. Bagaimana jika benar ada yang tiba-tiba datang dan menagih hutang dalam jumlah besar itu. Dari mana mereka akan membayarnya?

"Sertifikat rumah ini bagaimana?" Rahmat takut jika menantunya menggadaikan rumah ini.

"Maksudnya?" bingung Zia.

"Apa mungkin Danu menjadikan sertifikat rumah ini sebagai jaminan? Ya, walaupun mungkin harga rumah ini tidak sampai segitu." Rahmat menjelaskan.

"Ah, Zia tidak tahu, Yah. Nanti coba dilihat dulu." Zia menjawab dengan sedikit ragu, perasaannya menjadi tidak enak. Bagaimana jika pendapat ayahnya benar?

"Lalu tentang wanita yang bersama Danu, apa teman kerjanya tidak ada yang kenal? Bukankan jika keluar kota biasanya dia tidak sendiri?"

"Ah, itu ...." Zia menjeda kalimatnya.

Rahmat menatap putrinya tajam, dia ingin melihat ekspresi Zia, takut jika anak sulungnya menyembunyikan sesuatu.

"Kata Mas Reno, wanita itu adalah teman Mas Danu dan salah satu buyer dari perusahaan," terang Zia padahal dia sendiri merasa sedikit janggal.

"Hanya teman?" tanya Rahmat seolah tidak percaya.

"I-iya, Yah," jawab Zia sedikit terbata.

Rahmat hanya menganggukan kepala walau sejujurnya dia tidak begitu percaya. "Ya sudah, kamu istirahat dulu sana. Nggak usah terlalu dipikirkan. kalau pun ada apa-apa nanti Bapak sama Zila pasti membantu, ya?" sebagai ayah, Rahmat tentu merasakan kegundahan hati sang putri.

"Iya, Yah. Kalau begitu Zia masuk kamar dulu, ya," pamit istri almarhum Danu itu.

Rahmat tersenyum sambil mengangguk, "Ya, jangan lupa makan," pesan ayah dua orang putri itu.

Zia mengangguk dan melangkah menuju ke kamarnya untuk membersikan diri dan beristirahat. Dia pun perlu menenangkan diri agar bisa berpikir jernih. Dalam hatinya wanita itu berharap jika tidak ada hubungan antara uang yang dipakai almarhum suaminya untuk membayar hutang ke perusahaan dengan wanita yang ikut tewas dalam kecelakaan tempo hari. Ah, semoga kecurigaannya tidak benar, batin Zia.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status