Rafqi dan David tiba di teras rumah Zia dan langsung menuju ke pintu rumah. Tanpa menunggu perintah dari bosnya, David segera mengetuk pintu. Beberapa kali mengetuk dan tidak ada jawaban membuat kedua lelaki itu saling pandang."Kamu udah kasih tahu dia kalau mau ke sini, 'kan, Vid?" tanya Rafqi."Sudah, kemarin 'kan aku udah ngomong langsung ke dia kalau mau ke sini sama Bos," jelas David."Kok kelihatannya rumahnya kosong?""Sepertinya begitu.""Kemarin kamu bilang nggak mau ke sini jam berapa?" tanya Rafqi lagi. David hanya menggeleng."Huh! Kamu kaya bukan profesional aja, sih, Vid! Harusnya kamu bilang ke dia, kita mau ke sini jam berapa!""Lah, bukannya Bos kemarin belum bisa mastiin mau ke sini jam berapa?""Ya maklumlah aku kan orang sibuk, Vid!" jawab Rafqi tidak mau kalah.David mendengkus pelan mendengar jawaban dari bosnya."Yaudah ngapain diem aja! Coba kamu telpon atau chat!" perintah Rafqi.David tidak menjawab, lelaki itu kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya. Men
Tergopoh, Zia segera menghampiri dua orang itu, bahkan wanita itu sampai lupa membuka dan mengembalikan helm milik ojeg yang baru saja dia tumpangi. Istri mendiang Danu itu baru saja akan menyapa Rafqi dan David, tetapi urung ketika mendengar sebuah suara."Mba! Tunggu! Ongkosnya belum, main pergi aja!" seru pengemudi ojeg online.Seketika Zia menepuk jidat yang masih tertutup helm, kemudian wanita itu membalikkan Badan, melepas helm lalu mengembalikannya kepada driver ojek online tadi."Aduh, maaf, Mas, saya buru-buru sampai lupa. Ini helm sama ongkosnya. Terima kasih," ucap Zia terburu-buru dan sedikit malu karena dari ekor matanya dia bisa melihat David dan Rafqi memperhatikannya."Iya, sama-sama, Mba." Setelah menerima helm dan uang dari Zia, pengemudi ojeg online langsung menstarter motornya dan meninggalkan halaman rumah Zia.Perlahan Zia kembali membalikkan badan dan melangkah ke arah dua lelaki yang telah menunggunya kini. Dadanya sedikit berdebar karena sekilas dia sudah mel
Suasana di ruangan itu mendadak sunyi setelah kehadiran lelaki yang tidak lain adalah ayah dari Zia."Maaf Pak Rafqi, jika jumlahnya sebanyak itu kami tidak bisa lgs mengembalikannya." Suara Rahmat tiba-tiba terdengar di tengah kesunyian.Rafqi pura-pura berpikir sebelum menjawab, hal itu tentu membuat David sedikit jengah."Ekhm," dehem David."Saya paham akan hal itu, Pak," kata Rafqi"Jadi, bagaimana kami harus membayarnya?" tanya Rahmat kemudian."Begini, saya punya penawaran untuk Bu Zia, Pak.""Penawaran?" Zia dan ayahnya bertanya bersamaan."Ekhm, jadi aya ingin menawarkan pekerjaan untuk Bu Zia.""Pekerjaan?" heran Zia dan Rahmat bersamaan."Iya, pekerjaan. Saya tahu Bu Zia membutuhkannya saat ini bukan?" tanya Rafqi penuh keyakinan.Zia mengangguk, sementara ayahnya hanya memandang Rafqi dengan penuh kecurigaan."Saat ini saya sedang membutuhkan seorang pengasuh untuk menjaga putri saya." Rafqi sengaja menjeda kalimatnya untuk melihat reaksi Zia. Wanita itu terlihat diam dan
Dalam perjalanan dari rumah Zia menuju rumah sakit, Rafqi dan David sama-sama terdiam. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing."Kamu lagi mikirin apa, Vid?" Akhirnya Rafqi tidak tahan. Tidak biasanya mereka berdua saling diam saat bersama seperti ini. Jika hanya berdua atau hanya bersama supir Rafqi tidak pernah bersikap seperti Bos karena dia menganggap David adalah sahabtanya. Hanya saat di kantor atau bertemu dengan klien meraka berdua terlihat seperti atasan dan bawahan."Nggak mikir apa-apa." jawab David."Terus kenapa kamu diam saja dari tadi? Sariawan?"Mendengar pertanyaan Rafq, David hanya menggeleng."Nggak usah bohong, Vid!"Walaupun sudah dipaksa oleh Rafqi tetapi David tetap bungkam. Lelaki itu hanya fokus pada kemudi dan jalan yang sedikit macet siang ini."Apa ada hubungannya dengan Zia?" tebak Rafqi to the point.David tetap terdiam. Entah mengapa dia tidak ingin membahas hal terrsebut saat ini."Kenapa kamu begitu mencemaskan wanita itu?" Walaupun David tidak
Zia memutuskan untuk kembali ke rumah sakit, menengok Laila, ibu mertuanya. Dia takut jika tiba-tiba Rafqi menyuruhnya segera bekerja esok hari. Wanita itu melangkah pelan menuju ruang perawatan sambil berfikir bagaimana cara menjelaskan kepada Dani tentang pekerjaannya, juga tentang Rafqi."Lo, Mbak Zia balik lagi?" "Eh! Iya, kan tadi belum sempet ngobrol plus pamitan sama mama," jawab Zia sedikit terbata karena kaget."Ya ampun, kan bisa besok. Mbak 'kan jadi cape bolak-balik.""Nggak cape, lah, Dan. Emang aku jalan apa dari rumah!" Zia mencoba bercanda.Dani terkekeh mendengar jawaban Zia, "Duh, nggak kebayang kalau Mbak jalan dari rumah kesini."Zia hanya menanggapi perkataan Dani dengan senyuman sambil terus memasuki ruang rawat inap ibu dari Danu, almarhum suaminya."Kamu dari mana, Dan?" Dani memperlihatkan keresek berisi makanan dan minuman yang baru saja dia beli, "Baru beli ini di depan, Mbak.""Loh, kamu belum makan?" kaget Zia."Hehehe, belum Mbak."Sampai di ranjang tem
Suasana ruang inap Halimah mendadak menjadi tegang setelah kehadiran dua orang yang tak lain adalah Papa dan Mama almarhum Puspa. Mereka berdua berencana menjenguk Halimah setelah mendengar kabar jika perempuan itu sakit. Namun saat secara tidak sengaja mendengar pembicaraan antara Rafqi dan papanya, mereka menjadi penasaran dan curiga. Mengapa Rafqi mengenal bahkan mendatangi istri dari lelaki yang tewas bersama almarhum putri mereka yaitu Puspa? Apakah mereka memang saling kenal sebelumnya? Atau bahkan mungkin mereka mempunyai hubungan khusus?Otak tua Gunawan, papa dari almarhum Puspa mendadak dipenuhi dengan berbagai pertanyaan dan kecurigaan. Mungkinkah apa yang menimpa Puspa merupakan sebuah kesengajaan? Bagian dari rencana seseorang yang tidak suka dengan anaknya itu? Ah! Gunawan benar-benar penasaran dan tidak sabar untuk menanyakan kepada menantunya itu."Sebenarnya kamu kenal sama lelaki yang bernama Danu itu, Raf?" tanya Gunawan.Rafqi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Nazia masih terduduk di ruang tamu rumahnya yang masih ramai oleh saudara dan tetangga. Prosesi pemakaman Danu Baskara, suaminya, telah selesai siang tadi. Wajah perempuan berusia dua puluh sembilan tahun itu terlihat menyimpan kesedihan yang begitu dalam. Bagaimana tidak, tiga hari yang lalu suaminya berpamitan untuk bekerja ke luar kota seperti biasa. Seharusnya tadi pagi lelaki itu pulang dan suaminya benar-benar pulang dengan keadaan yang berbeda. Bahkan sampai detik ini dia masih tidak percaya jika sang suami tidak akan pernah kembali lagi."Mba Zia, istirahat di kamar saja, yuk!" ajak Zila, adik perempuan Zia.Wanita itu hanya mengangguk kaku, tetapi tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduknya. "Mba!" kembali Fazila bersuara."Iya, Dik. Sebentar lagi," jawab Zia.Zila kemudian ikut duduk di sofa yang berada di dekat Zia. Wanita itu tahu apa yang dirasakan kakak perempuan satu-satunya itu, tetapi dia juga takut jika Zia terus seperti ini akan sakit nanti. Sejak semalam dia ta
Seorang lelaki sedang menatap prosesi pemakaman mendiang istrinya yang sudah hampir selesai dengan wajah tanpa ekspresi, bahkan rahangnya terlihat mengeras seperti orang yang sedang menahan amarah. Dia juga terlihat sedikit melamun hingga tidak menyadari jika proses pemakaman sudah selesai, hanya tinggal pembacaan doa oleh ustaz dan menabur bunga di atas makam bagi keluarga atau teman dekat."Raf, ayo!" Halimah, ibu dari lelaki itu menepuk pelan bahu anak lelakinya.Rafqi tersadar dari lamunannya, "Iya, Ma." jawabnya singkat. Kemudian berjalan mendekat ke gundukan tanah merah yang berada tidak jauh dari tempatnya bediri tadi.Kini mereka yang hadir berdiri mengelilingi makam dan mendengarkan serta mengaminkan do'a yang dibacakan oleh seorang ustaz. Sebelumnya Rafqi juga menyampaikan permintaan maaf atas nama Puspa, almarhumah istrinya, jika semasa hidup pernah melakukan kekhilafan. Setelah itu satu per satu keluarga dan teman dekat bergantian menaburkan bunga di atas tanah pemakaman y