Share

Bab 6. Tak Semua Hal Pahit  

Perasaan Ares campur aduk. Dia masih memandang Belva yang semakin jauh dari jarak pandangnya. Hati nuraninya mulai berpikir ulang tentang semua ucapannya yang telah dia lontarkan pada perempuan itu. Mungkinkah semua ucapannya tadi terdengar keterlaluan?

Namun, Ares tetap meyakini tentang apa yang dia ucapkan juga memiliki logika yang kuat. Meskipun ada juga kasus yang seperti itu, tapi dia yakin hal seperti itu tidak akan terjadi padanya. Lagipula, malam itu dia sedang berada dalam kondisi yang luar biasa kelelahan. Dia yakin jika kualitas spermanya sedang tidak baik, jadi sangat tidak masuk akal jika Belva langsung hamil, bukan?

Rasanya mustahil baru pertama kali berhubungan seks langsung hamil. Ares merasa bahwa semua itu tidak mungkin. Akan tetapi, tatapannya saatt ini kembali melihat pada lembar hasil USG dan nomor ponsel Belva yang masih dia pegang. Sebuah pemikiran lain tiba-tiba terlintas. Bagaimana jika memang bayi yang ada di dalam kandungan Belva adalah anaknya? Dengan sikapnya yang seperti ini, dia merasa menjadi seorang pria kejam yang akan menelantarkan darah dagingnya sendiri.

Ares juga tidak berada di dalam kondisi yang langsung bisa memutuskan untuk memberikan tanggung jawab atas kehamilan Belva begitu saja—meskipun bukti telah di tangannya. Semua yang sedang dia hadapi saat ini terlalu rumit. Ada banyak hal yang harus dipertaruhkan jika dia membuat keputusan yang gegabah.

Ponselnya berdering. Nama Patricia Brown terpampang di layar. Ares menghela napasnya dalam-dalam sebelum menjawab panggilan itu.

“Sayang, kau ada di mana?” suara Patricia terdengar lembut saat Ares menjawab panggilannya.

“Di parkiran, aku harus mengambil sesuatu di mobil. Ada apa?” tanya Ares, dengan nada datar.

“Aku ingin mengajakmu makan siang bersama. Kau tidak ada jadwal operasi untuk siang ini, kan? Aku sudah memesan tempat di restoran sebelah rumah sakit.”

“Kau sudah memesannya tanpa konfirmasi padaku lebih dulu?” Ares menaikkan sebelah alisnya?

“Oh, ayolah, Sayang. Kau jangan terlalu kaku dengan tunanganmu sendiri.”

Ares mendengkus, dengan pandangannya tetap terarah pada hasil USG milik Belva. “Jangan merajuk, Patricia. Kau tahu aku sangat membencinya.”

“Baiklah, aku tidak akan merajuk lagi. tunggu aku di sana, oke? Aku hanya ingin meluangkan sedikit waktu untuk bisa berdua denganmu. Aku merindukanmu.”

Tidak ada pilihan lain yang bisa Ares lakukan untuk menuruti semua keinginan Patricia. “Fine, cepatlah. Aku sibuk meskipun tidak ada jadwal operasi siang ini.”

“Sure! Aku sudah berjalan menuju ke parkira. See you soon, Sayang. I love you.”

Ares memutuskan sambungan telpon tanpa membalas pernyataan cinta Patricia. Sebelumnya, dia juga tidak pernah mengatakan cinta pada wanita itu. Pikirannya terasa penuh sekarang tak tahu harus bagaimana.

Satu hal yang membuatn Ares berat untuk bertanggung jawab jika memang anak yang berada di dalam kandungan Belva adalah anaknya, maka semua menjadi rumit. Statusnya yang telah bertunangan dengan Patricia Brown, salah satu dokter Dermatologi di Alpha Hospital, pasti akan memperkeruh suasana.

Walaupun sebenarnya, pertunangan itu tidak pernah Ares inginkan. Dia terpaksa harus melakukannya karena perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya, Zeus. Beberapa kali dia sempat menolak, tapi tidak ada yang lebih keras kepala dari ayahnya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk menerima perjodohan itu karena dirinya terlalu malas untuk berdebat. Meskipun jika boleh jujur, Ares tidak pernah mencintai Patricia sedikit pun.

Dari arah pintu keluar, terlihat Patricia yang berjalan cepat menuju ke dalam mobilnya. Hasil USG dan nomor Belva yang masih di tangannya segera di jejalkan ke dalam kantong celananya, satu-satunya tempat yang terpikirkan saat itu untuk menyembunyikan bukti kejahatannya.

***

Pintu apartemen terbuka, Belva masuk dengan membawa beberapa makanan untuk menu makan siangnya. Semenjak dia minum obat anti mual dari dokter kandungannya, makan menjadi bukan hal yang menakutkan baginya, meskipun masih merasakan mual setiap pagi. Namun setidaknya, semua makanan  yang masuk ke dalam perutnya berhasil dicerna dengan baik.

Terhitung tiga hari setelah dia menemui Ares di tumah sakit, dan belum ada kabar darinya mengenai permintaan pertanggung jawabannya. Mungkinkah pria itu akan menjadi pria berengsek yang tidak peduli dengan darah dagingnya?

Entahlah, mungkin saja. Belva kembali mengingat ucapan kejam yang telah diucapkan pria itu padanya. Ah, sial! hal itu membuat Belva menjadi sangat marah. Setelah meletakkan makanannya di atas piring, Belva membawanya ke meja di depan tv, lalu kembali menyalakan laptopnya yang dari semalam berada di situ. Dia harus kembali memeriksa hasil dari puluhan lamaran pekerjaan yang telah dikirim dari beberapa bulan yang lalu.

Belva selalu berdebar saat akan membuka e-mail-nya. Seakan sedang mempersiapkan sebuah pertempuran untuk rasa frustrasi dan kesabarannya. Dia tidak pernah menduga bahwa mencari pekerjaan akan sesusah ini.

Deretan e-mail yang belum dibuka terpampang di depannya. Kebanyakan dari iklan yang tidak penting, dan beberapa lagi pemberitahuan tentang aktivitasnya di sosial media dan pembayaran pada e-commerce.

Belva mendesah penuh rasa frustasi. Dia kembali mempersiapkan kekecewaannya, sebelum akhirnya dia menemukan satu email yang selama beberapa bulan ini sangat dia nantikan.

Sebuah perusahaan fashion besar yang menaungi banyak brand terkenal telah membalas lamarannya. Tangan Belva gemetar saat mengarahkan cursor ada e-mail itu. Bahkan, dia sampai memejamkan mata saat telunjuknya menekan klik sekali.

Sedikit mengintip, Belva mulai membaca e-mail itu. Hening, hanya suara napas Belva yang memburu karena lonjakan adrenalin. Detik berikutnya, Belva berdiri cepat dengan kedua tangan membekap mulutnya. Wajahnya memerah, kedua matanya tampak berbinar sebelum akhirnya dia berjingkrak penuh kegembiraan.

“Aku mendapatkannya!” teriak Belva senang.

Saat menyadari bahwa seharusnya dirinya tidak boleh melompat-lompat seperti tadi, Belva kembali duduk dan kembali membaca kalimat demi kalimat penerimaan dirinya untuk bergabung dalam sesi wawancara dua hari lagi.

Belva masih tidak percaya akan semua ini. Bisa tembus ke dalam perusahaan itu sangat tidak mudah. Banyak pelamar degan kualitas terbaik yang berlomba untuk menempati posisi junior designer setiap tahunnya, dan dengan terpilihnya Belva untuk maju ke tahap selanjutnya, itu sudah bisa membuktikan kualitasnya.

Semua kekecewaan yang sempat singgah di hatinya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari semua lamaran yang dia kirim, hari ini terlah tergantikan dengan lolosnya dia untuk sesi selanjutnya pada sebuah perusahaan fashion paling bergengsi di Manhattan.

Namun, detik berikutnya dia kembali resah. Helaan napas panjang lolos dari dirinya. Sebelah tangan merabat perutnya dengan lembut, apakah tidak masalah jika dirinya sedang hamil? Apakah perusahaan itu akan menerimanya dalam kondisi seperti ini?

Ah, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini. Belva berusaha membuang pikiran negatif yang mencoba untuk merusak kegembiraannya hari ini. Hamil tidak akan membatasi seseorang untuk berkarya, bukan? Dia akan membuktikan bahwa dirinya pantas untuk mendapatkan pekerjaan itu. Ya, Belva akan terus berjuang. Demi masa depannya, juga demi bayi yang saat ini berada di dalam kandungannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status