Perasaan Ares campur aduk. Dia masih memandang Belva yang semakin jauh dari jarak pandangnya. Hati nuraninya mulai berpikir ulang tentang semua ucapannya yang telah dia lontarkan pada perempuan itu. Mungkinkah semua ucapannya tadi terdengar keterlaluan?
Namun, Ares tetap meyakini tentang apa yang dia ucapkan juga memiliki logika yang kuat. Meskipun ada juga kasus yang seperti itu, tapi dia yakin hal seperti itu tidak akan terjadi padanya. Lagipula, malam itu dia sedang berada dalam kondisi yang luar biasa kelelahan. Dia yakin jika kualitas spermanya sedang tidak baik, jadi sangat tidak masuk akal jika Belva langsung hamil, bukan?
Rasanya mustahil baru pertama kali berhubungan seks langsung hamil. Ares merasa bahwa semua itu tidak mungkin. Akan tetapi, tatapannya saatt ini kembali melihat pada lembar hasil USG dan nomor ponsel Belva yang masih dia pegang. Sebuah pemikiran lain tiba-tiba terlintas. Bagaimana jika memang bayi yang ada di dalam kandungan Belva adalah anaknya? Dengan sikapnya yang seperti ini, dia merasa menjadi seorang pria kejam yang akan menelantarkan darah dagingnya sendiri.
Ares juga tidak berada di dalam kondisi yang langsung bisa memutuskan untuk memberikan tanggung jawab atas kehamilan Belva begitu saja—meskipun bukti telah di tangannya. Semua yang sedang dia hadapi saat ini terlalu rumit. Ada banyak hal yang harus dipertaruhkan jika dia membuat keputusan yang gegabah.
Ponselnya berdering. Nama Patricia Brown terpampang di layar. Ares menghela napasnya dalam-dalam sebelum menjawab panggilan itu.
“Sayang, kau ada di mana?” suara Patricia terdengar lembut saat Ares menjawab panggilannya.
“Di parkiran, aku harus mengambil sesuatu di mobil. Ada apa?” tanya Ares, dengan nada datar.
“Aku ingin mengajakmu makan siang bersama. Kau tidak ada jadwal operasi untuk siang ini, kan? Aku sudah memesan tempat di restoran sebelah rumah sakit.”
“Kau sudah memesannya tanpa konfirmasi padaku lebih dulu?” Ares menaikkan sebelah alisnya?
“Oh, ayolah, Sayang. Kau jangan terlalu kaku dengan tunanganmu sendiri.”
Ares mendengkus, dengan pandangannya tetap terarah pada hasil USG milik Belva. “Jangan merajuk, Patricia. Kau tahu aku sangat membencinya.”
“Baiklah, aku tidak akan merajuk lagi. tunggu aku di sana, oke? Aku hanya ingin meluangkan sedikit waktu untuk bisa berdua denganmu. Aku merindukanmu.”
Tidak ada pilihan lain yang bisa Ares lakukan untuk menuruti semua keinginan Patricia. “Fine, cepatlah. Aku sibuk meskipun tidak ada jadwal operasi siang ini.”
“Sure! Aku sudah berjalan menuju ke parkira. See you soon, Sayang. I love you.”
Ares memutuskan sambungan telpon tanpa membalas pernyataan cinta Patricia. Sebelumnya, dia juga tidak pernah mengatakan cinta pada wanita itu. Pikirannya terasa penuh sekarang tak tahu harus bagaimana.
Satu hal yang membuatn Ares berat untuk bertanggung jawab jika memang anak yang berada di dalam kandungan Belva adalah anaknya, maka semua menjadi rumit. Statusnya yang telah bertunangan dengan Patricia Brown, salah satu dokter Dermatologi di Alpha Hospital, pasti akan memperkeruh suasana.
Walaupun sebenarnya, pertunangan itu tidak pernah Ares inginkan. Dia terpaksa harus melakukannya karena perjodohan yang dilakukan oleh ayahnya, Zeus. Beberapa kali dia sempat menolak, tapi tidak ada yang lebih keras kepala dari ayahnya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk menerima perjodohan itu karena dirinya terlalu malas untuk berdebat. Meskipun jika boleh jujur, Ares tidak pernah mencintai Patricia sedikit pun.
Dari arah pintu keluar, terlihat Patricia yang berjalan cepat menuju ke dalam mobilnya. Hasil USG dan nomor Belva yang masih di tangannya segera di jejalkan ke dalam kantong celananya, satu-satunya tempat yang terpikirkan saat itu untuk menyembunyikan bukti kejahatannya.
***
Pintu apartemen terbuka, Belva masuk dengan membawa beberapa makanan untuk menu makan siangnya. Semenjak dia minum obat anti mual dari dokter kandungannya, makan menjadi bukan hal yang menakutkan baginya, meskipun masih merasakan mual setiap pagi. Namun setidaknya, semua makanan yang masuk ke dalam perutnya berhasil dicerna dengan baik.
Terhitung tiga hari setelah dia menemui Ares di tumah sakit, dan belum ada kabar darinya mengenai permintaan pertanggung jawabannya. Mungkinkah pria itu akan menjadi pria berengsek yang tidak peduli dengan darah dagingnya?
Entahlah, mungkin saja. Belva kembali mengingat ucapan kejam yang telah diucapkan pria itu padanya. Ah, sial! hal itu membuat Belva menjadi sangat marah. Setelah meletakkan makanannya di atas piring, Belva membawanya ke meja di depan tv, lalu kembali menyalakan laptopnya yang dari semalam berada di situ. Dia harus kembali memeriksa hasil dari puluhan lamaran pekerjaan yang telah dikirim dari beberapa bulan yang lalu.
Belva selalu berdebar saat akan membuka e-mail-nya. Seakan sedang mempersiapkan sebuah pertempuran untuk rasa frustrasi dan kesabarannya. Dia tidak pernah menduga bahwa mencari pekerjaan akan sesusah ini.
Deretan e-mail yang belum dibuka terpampang di depannya. Kebanyakan dari iklan yang tidak penting, dan beberapa lagi pemberitahuan tentang aktivitasnya di sosial media dan pembayaran pada e-commerce.
Belva mendesah penuh rasa frustasi. Dia kembali mempersiapkan kekecewaannya, sebelum akhirnya dia menemukan satu email yang selama beberapa bulan ini sangat dia nantikan.
Sebuah perusahaan fashion besar yang menaungi banyak brand terkenal telah membalas lamarannya. Tangan Belva gemetar saat mengarahkan cursor ada e-mail itu. Bahkan, dia sampai memejamkan mata saat telunjuknya menekan klik sekali.
Sedikit mengintip, Belva mulai membaca e-mail itu. Hening, hanya suara napas Belva yang memburu karena lonjakan adrenalin. Detik berikutnya, Belva berdiri cepat dengan kedua tangan membekap mulutnya. Wajahnya memerah, kedua matanya tampak berbinar sebelum akhirnya dia berjingkrak penuh kegembiraan.
“Aku mendapatkannya!” teriak Belva senang.
Saat menyadari bahwa seharusnya dirinya tidak boleh melompat-lompat seperti tadi, Belva kembali duduk dan kembali membaca kalimat demi kalimat penerimaan dirinya untuk bergabung dalam sesi wawancara dua hari lagi.
Belva masih tidak percaya akan semua ini. Bisa tembus ke dalam perusahaan itu sangat tidak mudah. Banyak pelamar degan kualitas terbaik yang berlomba untuk menempati posisi junior designer setiap tahunnya, dan dengan terpilihnya Belva untuk maju ke tahap selanjutnya, itu sudah bisa membuktikan kualitasnya.
Semua kekecewaan yang sempat singgah di hatinya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari semua lamaran yang dia kirim, hari ini terlah tergantikan dengan lolosnya dia untuk sesi selanjutnya pada sebuah perusahaan fashion paling bergengsi di Manhattan.
Namun, detik berikutnya dia kembali resah. Helaan napas panjang lolos dari dirinya. Sebelah tangan merabat perutnya dengan lembut, apakah tidak masalah jika dirinya sedang hamil? Apakah perusahaan itu akan menerimanya dalam kondisi seperti ini?
Ah, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini. Belva berusaha membuang pikiran negatif yang mencoba untuk merusak kegembiraannya hari ini. Hamil tidak akan membatasi seseorang untuk berkarya, bukan? Dia akan membuktikan bahwa dirinya pantas untuk mendapatkan pekerjaan itu. Ya, Belva akan terus berjuang. Demi masa depannya, juga demi bayi yang saat ini berada di dalam kandungannya.
Langkah Belva terasa ringan setelah dia menjalani wawancara kerja di perusahaan fashion terbaik yang ada di kota Manhattan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar. Semua pertanyaan dari penguji berhasil dia jawab dengan sangat baik. Bahkan, dia yakin dari tatapan sang penguji, bahwa dia terlihat puas dengan apa yang telah dijawab oleh Belva.Belva yakin ini akan menjadi awalan yang sangat baik bagi dirinya. Sementara untuk kehamilannya saat ini, itu pun sudah disampaikan oleh Belva, dan sepertinya tidak akan mempengaruhi hasilnya jika dia baca dari raut wajah penguji tadi.Semoga saja, Belva benar-benar berharap dari itu.Tak langsung pulang, Belva memilih untuk masuk ke sebuah café. Dia perlu mendinginkan kepalanya atas semua hal yang telah terjadi padanya belakangan ini. Rasanya terlalu pengap, mulai dari kehamilan yang tidak terduga, dan juga Ares yang belum ada kabarnya sampai saat ini.Benarkah pria itu akan lari dari tanggung jawabnya? Atau memang pria itu tidak percaya dengan s
Belva langsung diberondong banyak pertanyaan oleh Elea saat dia masuk ke dalam apartemen. Bahkan, sahabatnya itu tidak memberi jeda sama sekali pada Belva untuk duduk sebentar. Omelan panjang karena sikap Belva terus terlontar dari mulut Elea.Belva tidak menyela sama sekali. Dia tahu dan paham benar jika dirinya memang telah melakukan kesalahan. Mengabaikan banyak pesan dari Elea adalah tindakan yang sangat salah. Setidaknya itu yang terus dikatakan oleh Elea semenjak tadi.“Kau hanya diam saja?” Elea cemberut, menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menghempaskan badannya pada sofa dengan tetap menatap kesal pada Belva.“Aku memberikan waktu untuk kau melampiaskan kemarahanmu padaku, Elea.” Belva duduk di sebelah Elea. “Ada lagi yang ingin kau katakan? Aku akan mendengarkannya tanpa menyela.”Elea menyerongkan badannya, menghadap pada Belva dengan tetap mempertahankan ekspresi merajuk. “Tidak ada. Semuanya telah kukeluarkan. Sekarang, apa penjelasanmu? Kau masih menganggapku sah
Kedua mata Belva membulat saat melihat obat dan vitaminnya berada di tangan Elea. Dengan cepat, perempuan itu berdiri dan menyambar bungkusan itu. Wajahnya langsung memucat, dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Tamatlah riwayatnya.“Belva, hal apa yang telah kau sembunyikan dariku?” tanya Elea penuh selidik, merasa ada yang Belva sembunyikan.Belva tak segera menjawab. Dia benar-benar memikirkan apakah sudah saatnya mengatakan yang sebenarnya pada Elea. Dia mulai berusaha merangkai kata untuk menyanggahnya. Namun percuma, sahabatnya itu pasti telah mengetahui fungsi dari obat dan vitamin itu dari kakak iparnya.Tidak ada jalan lain. Belva tampaknya memang harus menceritakan yang sebenarnya pada Elea. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin marah padanya karena banyak hal yang telah dia sembunyikan darinya.“Elea,” ucap Belva, dengan suara bergetar. “Ada hal besar yang tiba-tiba saja menimpaku. Sejujurnya, itu adalah alasan kenapa selama dua bulan ini aku tidak ada kabar
Menikmati waktu luang dengan menonton film adalah kegiatan yang akhir-akhir ini menjadi sering dilakukan oleh Belva. Satu-satunya jadwal rutin yang harus dia lakukan hanyalah yoga di pagi hari dan tidak lupa untuk rutin minum obat dan vitaminnya.Sudah beberapa minggu setelah dia melakukan tes wawancara kerja di sebuah perusahaan fashion impiannya. Setiap hari dia merasa gelisah untuk menunggu hasilnya. Setiap pagi begitu bangun dari tidur, Belva selalu meraih ponselnya dan memeriksa apakah ada e-mail pemberitahuan dari perusahaan.Oleh karena itu, akhirnya dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton film. Memikirkan alur cerita dari thriller movie yang dia tonton, membuat pikirannya menjadi sibuk untuk mencari si pelaku pembunuhan berantai di dalam cerita.Sama seperti saat ini. Belva mengerutkan keningnya, menahan napas karena sang pembunuh berantai hampir ditangkap oleh sekumpulan remaja sekolah yang bergabung dalam klub misteri. Berkali-kali Belva menebak siapa pembunuh i
Elea berlari panik, seiring dengan brankar ambulan yang didorong cepat menuju ke Emergency Room rumah sakit Alpha Hospital. Wajahnya terlihat panik karena melihat darah yang mengalir di kaki Belva. Lebih mengejutkan lagi ketika dia menemukan obat yang terkenal digunakan untuk menggugurkan kandungan.Elea sangat tahu bagaimana beratnya masalah yang dialami oleh Belva, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa sahabatnya itu akan melakukan hal yang membahayakan seperti itu. Dia tidak tahu apa pemicu yang membuat Belva bisa melakukan hal itu, tapi dia yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Ares Ducan dan hasil dari tes wawancara yang telah Belva lakukan waktu itu.Suasana di ruangan Emergency Room terlihat sangat kacau—bersamaan dengan datangnya Belva ke sana, terjadi juga kecelakaan beruntun yang korbannya dibawa semua ke Alpha Hospital.Semua dokter siaga sibuk dengan korban yang terus berdatangan. Elea cemas kalau Belva tidak segera ditangani dengan baik jika keadaannya seperti ini. Berkal
Kesadaran Belva belum pulih sepenuhnya. Dia masih berusaha untuk membuka kedua matanya yang terasa berat sambil melihat ruangan yang saat ini ada di hadapannya dengan sedikit berkabut. Beberapa terlihat bergoyang, seiring dengan helaan napasnya yang terasa lebih ringan dari terakhir kali sebelum kesadarannya menghilang.Aroma obat yang kuat menguar pekat pada indera penciumannya. Belva mulai bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar masih hidup? Dia mencoba mengingat, sosok Elea terlihat di memorinya, terlihat panik dan terus meneriakkan namanya.Belva berpikir, Elea pasti yang telah menyelamatkannya. Kenapa harus diselamatkan? Belva merasa tidak sanggup lagi untuk menjalani hari-harinya setelah ini.“Bagaimana kabarmu?”Suara itu, Belva mengenalinya. Kedua matanya mengarah cepat pada sumber suara itu. Ares Ducan, sedang duduk di sebelah ranjang dan menatapnya cemas. Apakah ini mimpi? Atau benar pria itu sedang duduk di sebelahnya? “Katakan padaku,” ucap Belva lirih. “Kau benar-bena
Beberapa hari berlalu, Belva telah diizinkan pulang dari rumah sakit dengan syarat tetap mengonsumsi obat penguat kandungan untuk satu bulan kedepan. Sore itu, dia menunggu Ares yang berjanji untuk mengantarnya pulang. Elea sebenarnya ingin menemani Belva, tapi dia menyuruhnya untuk nanti saja bertemu di apartemennya.Mengenai kabar tentang Ares yang bersedia untuk bertanggung jawab padanya, telah disampaikan sekadarnya pada Elea. Oleh karena itulah, Belva yakin jika nanti sahabatnya itu akan mengorek banyak perihal itu.Sampai di dalam mobil milik Ares, keduanya tidak banyak bicara. Belva juga tidak ada niatan untuk membuka obrolan lebih dulu. Dia lebih sering melempar pandang pada samping jalanan yang mereka lalui.Berkali-kali Belva menghela napas pelan karena situasi canggung yang tercipta di antara dirinya dan Ares. Pria tampan itu sungguh tidak mengeluarkan sedikit pun kata untuk memulai pembicaraan. Baru setelah mereka masuk ke dalam basement apartemen, pertanyaan pertama muncu
Ares menghela napas dalam-dalam saat melihat Patricia sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar dan sorot mata penuh cinta yang selalu ditunjukkan padanya. Sungguh, Ares sangat menghargai itu. Dia juga telah berusaha untuk mencintai wanita itu, tapi entah kenapa, sampai sekarang dia tidak bisa mencintainya sedikit pun. Semua perasaan yang dia rasakan hanyalah menghormati dan berusaha memainkan peran sebagai tunangan dengan baik.Patricia adalah seorang yang sangat baik. Tidak ada rumor buruk mengenainya. Semua penghuni rumah sakit dan kolega yang mengenalnya, semua setuju jika Patricia adalah seorang wanita yang ramah dan berkelas. Pertunangan mereka bahkan menjadi simbol kesempurnaan. Namun rupanya, itu semua juga tidak cukup untuk bisa menggerakkan hati Ares. Seperti ada yang kosong, tak bisa terisi dengan kehadiran Patricia yang sempurna.“Sayang, kenapa kau beberapa ini susah sekali dihubungi? Kau masih ingat kalau memiliki tunangan, kan?” Patricia menggandeng lengan Ares m