Elea berlari panik, seiring dengan brankar ambulan yang didorong cepat menuju ke Emergency Room rumah sakit Alpha Hospital. Wajahnya terlihat panik karena melihat darah yang mengalir di kaki Belva. Lebih mengejutkan lagi ketika dia menemukan obat yang terkenal digunakan untuk menggugurkan kandungan.Elea sangat tahu bagaimana beratnya masalah yang dialami oleh Belva, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa sahabatnya itu akan melakukan hal yang membahayakan seperti itu. Dia tidak tahu apa pemicu yang membuat Belva bisa melakukan hal itu, tapi dia yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Ares Ducan dan hasil dari tes wawancara yang telah Belva lakukan waktu itu.Suasana di ruangan Emergency Room terlihat sangat kacau—bersamaan dengan datangnya Belva ke sana, terjadi juga kecelakaan beruntun yang korbannya dibawa semua ke Alpha Hospital.Semua dokter siaga sibuk dengan korban yang terus berdatangan. Elea cemas kalau Belva tidak segera ditangani dengan baik jika keadaannya seperti ini. Berkal
Kesadaran Belva belum pulih sepenuhnya. Dia masih berusaha untuk membuka kedua matanya yang terasa berat sambil melihat ruangan yang saat ini ada di hadapannya dengan sedikit berkabut. Beberapa terlihat bergoyang, seiring dengan helaan napasnya yang terasa lebih ringan dari terakhir kali sebelum kesadarannya menghilang.Aroma obat yang kuat menguar pekat pada indera penciumannya. Belva mulai bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar masih hidup? Dia mencoba mengingat, sosok Elea terlihat di memorinya, terlihat panik dan terus meneriakkan namanya.Belva berpikir, Elea pasti yang telah menyelamatkannya. Kenapa harus diselamatkan? Belva merasa tidak sanggup lagi untuk menjalani hari-harinya setelah ini.“Bagaimana kabarmu?”Suara itu, Belva mengenalinya. Kedua matanya mengarah cepat pada sumber suara itu. Ares Ducan, sedang duduk di sebelah ranjang dan menatapnya cemas. Apakah ini mimpi? Atau benar pria itu sedang duduk di sebelahnya? “Katakan padaku,” ucap Belva lirih. “Kau benar-bena
Beberapa hari berlalu, Belva telah diizinkan pulang dari rumah sakit dengan syarat tetap mengonsumsi obat penguat kandungan untuk satu bulan kedepan. Sore itu, dia menunggu Ares yang berjanji untuk mengantarnya pulang. Elea sebenarnya ingin menemani Belva, tapi dia menyuruhnya untuk nanti saja bertemu di apartemennya.Mengenai kabar tentang Ares yang bersedia untuk bertanggung jawab padanya, telah disampaikan sekadarnya pada Elea. Oleh karena itulah, Belva yakin jika nanti sahabatnya itu akan mengorek banyak perihal itu.Sampai di dalam mobil milik Ares, keduanya tidak banyak bicara. Belva juga tidak ada niatan untuk membuka obrolan lebih dulu. Dia lebih sering melempar pandang pada samping jalanan yang mereka lalui.Berkali-kali Belva menghela napas pelan karena situasi canggung yang tercipta di antara dirinya dan Ares. Pria tampan itu sungguh tidak mengeluarkan sedikit pun kata untuk memulai pembicaraan. Baru setelah mereka masuk ke dalam basement apartemen, pertanyaan pertama muncu
Ares menghela napas dalam-dalam saat melihat Patricia sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar dan sorot mata penuh cinta yang selalu ditunjukkan padanya. Sungguh, Ares sangat menghargai itu. Dia juga telah berusaha untuk mencintai wanita itu, tapi entah kenapa, sampai sekarang dia tidak bisa mencintainya sedikit pun. Semua perasaan yang dia rasakan hanyalah menghormati dan berusaha memainkan peran sebagai tunangan dengan baik.Patricia adalah seorang yang sangat baik. Tidak ada rumor buruk mengenainya. Semua penghuni rumah sakit dan kolega yang mengenalnya, semua setuju jika Patricia adalah seorang wanita yang ramah dan berkelas. Pertunangan mereka bahkan menjadi simbol kesempurnaan. Namun rupanya, itu semua juga tidak cukup untuk bisa menggerakkan hati Ares. Seperti ada yang kosong, tak bisa terisi dengan kehadiran Patricia yang sempurna.“Sayang, kenapa kau beberapa ini susah sekali dihubungi? Kau masih ingat kalau memiliki tunangan, kan?” Patricia menggandeng lengan Ares m
Semalaman Belva terus memikirkan tentang kehamilan dan ibunya. Ada rasa mengganjal yang dirasakan oleh perempuan itu jika tidak mengatakannya. Mungkin saja, ibunya justru akan marah besar jika dia tidak memberi tahu tentang kehamilannya.Atau juga, memberi tahu ibunya justru akan menjadi malapetaka besar yang akan membuatnya kembali terjatuh. Belva takut mengecewakan ibunya karena perbuatannya itu. Terlebih lagi, saat dirinya memutuskan untuk menggugurkan kandungannya waktu itu dan sampai membuat nyawanya sendiri terancam.Oleh karena itu, hari ini Belva membuat janji dengan Elea untuk bertemu di sebuah café. Dia tidak bisa memikirkan ini sendirian. Setidaknya, dia membutuhkan sudut pandang lain sebelum dia mengambil keputusan besar.Satu nampan berisi dua piring dessert diletakkan Elea di atas meja. Rencana dietnya gagal karena godaan dari showcase dessert yang menggoda.“Jadi, kau sudah memutuskannya?” tanya Elea setelah dia kembali duduk pada tempatnya. “Mengenai apa pun yang akan
Kakinya meliuk di antara langkah yang gontai di tengah lorong sebuah hotel bintang lima. Perutnya sedikit mual, tapi tidak membuatnya ingin memuntahkan alkohol yang telah dia sesap hanya beberapa sloki.Belva Halburt, gadis mudah berusia 21 tahun yang baru saja lulus dari jurusan Design di salah satu Universitas ternama di Inggris itu sedang berjuang untuk menemukan kamar yang telah disewa oleh Elea—sahabatnya, sang pemilik pesta ulang tahun yang diadakan di kelab lantai paling atas hotel itu.Belva memang bukan peminum yang handal. Jika saja bukan karena Elea, dia tidak akan mau untuk menginjakkan kaki di sebuah klub. Selama ini, kedatangannya di kelab bisa dihitung tidak lebih dari sepuluh jari. Baginya, hal yang terpenting adalah belajar. Dia tidak mau menyia-nyiakan beasiswa yang telah dia terima untuk menempuh pendidikan yang dia impikan.Kedua mata Belva menyipit. Dia menatap satu pintu kamar cukup lama, memastikan apakah nomor yang sedang dia lihat benar dengan ingatannya. Deti
Dua bulan berlalu setelah kejadian memalukan yang telah Belva lakukan bersama dengan pria asing di hotel waktu itu. Beberapa kali juga dia masih sering membodohkan dirinya, karena apa yang telah dilakukannya memang bukan hal yang biasa baginya. Impian untuk mempersembahkan keperawanan bagi suaminya kelak telah hancur.Pagi ini, sejak Belva bangun, dia merasa tidak enak badan. Beberapa badannya terasa nyeri, mirip saat dia akan mengalami menstruasi, tapi kali ini dia merasa lebih lemas dari biasanya.Sepertinya itu adalah efek dari pikirannya yang terkuras karena selama dua bulan ini sering begadang untuk mencari lowongan pekerjaan. Nyatanya, lulus dari universitas bergengsi tidak langsung membuatnya mulus mendapatkan pekerjaan.Belva mengerang di tempat tidurnya. Perutnya makin mual, dan dia tidak bisa menahannya lagi. Detik berikutnya, Belva telah berlari ke kamar mandi, dan menunduk di atas wastafel untuk muntah.Tidak ada apa pun yang dimuntahkan kecuali cairan asam lambung kuning
Sampai di apartemen, Belva hanya bisa diam dengan semua pemikiran tentang kehamilannya yang tiba-tiba. Tidak pernah ada di dalam tabel rencana hidupnya untuk hamil di usia semuda ini.Setelah lulus kuliah, dia telah berencana untuk segera meraih impiannya sebagai Fashion Designer. Melamar di berbagai perusahaan fashion untuk mencari pengalaman kerja, mengumpulkan banyak uang dan berusaha untuk mendirikan perusahaanya sendiri.Sebuah cita-cita dan ambisi besarnya yang selalu dia banggakan dan usahakan untuk bisa terwujud. Banyak hal yang telah dia korbankan untuk itu semua. Waktu, masa muda, dan banyak kesenangannya yang sengaja dia tunda untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh dan lulus cepat dengan nilai sempurna.Dia bahkan telah merencanakan nama perusahaannya sendiri dan membuat konsep yang akan dia usung nantinya. Rencana hidupnya benar-benar telah tertata rapi dan sangat sempurna.Namun lihatlah sekarang, bukannya sibuk dengan usaha mewujudkan itu semua, saat ini dirinya justru ha