Ares menghela napas dalam-dalam saat melihat Patricia sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar dan sorot mata penuh cinta yang selalu ditunjukkan padanya. Sungguh, Ares sangat menghargai itu. Dia juga telah berusaha untuk mencintai wanita itu, tapi entah kenapa, sampai sekarang dia tidak bisa mencintainya sedikit pun. Semua perasaan yang dia rasakan hanyalah menghormati dan berusaha memainkan peran sebagai tunangan dengan baik.Patricia adalah seorang yang sangat baik. Tidak ada rumor buruk mengenainya. Semua penghuni rumah sakit dan kolega yang mengenalnya, semua setuju jika Patricia adalah seorang wanita yang ramah dan berkelas. Pertunangan mereka bahkan menjadi simbol kesempurnaan. Namun rupanya, itu semua juga tidak cukup untuk bisa menggerakkan hati Ares. Seperti ada yang kosong, tak bisa terisi dengan kehadiran Patricia yang sempurna.“Sayang, kenapa kau beberapa ini susah sekali dihubungi? Kau masih ingat kalau memiliki tunangan, kan?” Patricia menggandeng lengan Ares m
Semalaman Belva terus memikirkan tentang kehamilan dan ibunya. Ada rasa mengganjal yang dirasakan oleh perempuan itu jika tidak mengatakannya. Mungkin saja, ibunya justru akan marah besar jika dia tidak memberi tahu tentang kehamilannya.Atau juga, memberi tahu ibunya justru akan menjadi malapetaka besar yang akan membuatnya kembali terjatuh. Belva takut mengecewakan ibunya karena perbuatannya itu. Terlebih lagi, saat dirinya memutuskan untuk menggugurkan kandungannya waktu itu dan sampai membuat nyawanya sendiri terancam.Oleh karena itu, hari ini Belva membuat janji dengan Elea untuk bertemu di sebuah café. Dia tidak bisa memikirkan ini sendirian. Setidaknya, dia membutuhkan sudut pandang lain sebelum dia mengambil keputusan besar.Satu nampan berisi dua piring dessert diletakkan Elea di atas meja. Rencana dietnya gagal karena godaan dari showcase dessert yang menggoda.“Jadi, kau sudah memutuskannya?” tanya Elea setelah dia kembali duduk pada tempatnya. “Mengenai apa pun yang akan
Kakinya meliuk di antara langkah yang gontai di tengah lorong sebuah hotel bintang lima. Perutnya sedikit mual, tapi tidak membuatnya ingin memuntahkan alkohol yang telah dia sesap hanya beberapa sloki.Belva Halburt, gadis mudah berusia 21 tahun yang baru saja lulus dari jurusan Design di salah satu Universitas ternama di Inggris itu sedang berjuang untuk menemukan kamar yang telah disewa oleh Elea—sahabatnya, sang pemilik pesta ulang tahun yang diadakan di kelab lantai paling atas hotel itu.Belva memang bukan peminum yang handal. Jika saja bukan karena Elea, dia tidak akan mau untuk menginjakkan kaki di sebuah klub. Selama ini, kedatangannya di kelab bisa dihitung tidak lebih dari sepuluh jari. Baginya, hal yang terpenting adalah belajar. Dia tidak mau menyia-nyiakan beasiswa yang telah dia terima untuk menempuh pendidikan yang dia impikan.Kedua mata Belva menyipit. Dia menatap satu pintu kamar cukup lama, memastikan apakah nomor yang sedang dia lihat benar dengan ingatannya. Deti
Dua bulan berlalu setelah kejadian memalukan yang telah Belva lakukan bersama dengan pria asing di hotel waktu itu. Beberapa kali juga dia masih sering membodohkan dirinya, karena apa yang telah dilakukannya memang bukan hal yang biasa baginya. Impian untuk mempersembahkan keperawanan bagi suaminya kelak telah hancur.Pagi ini, sejak Belva bangun, dia merasa tidak enak badan. Beberapa badannya terasa nyeri, mirip saat dia akan mengalami menstruasi, tapi kali ini dia merasa lebih lemas dari biasanya.Sepertinya itu adalah efek dari pikirannya yang terkuras karena selama dua bulan ini sering begadang untuk mencari lowongan pekerjaan. Nyatanya, lulus dari universitas bergengsi tidak langsung membuatnya mulus mendapatkan pekerjaan.Belva mengerang di tempat tidurnya. Perutnya makin mual, dan dia tidak bisa menahannya lagi. Detik berikutnya, Belva telah berlari ke kamar mandi, dan menunduk di atas wastafel untuk muntah.Tidak ada apa pun yang dimuntahkan kecuali cairan asam lambung kuning
Sampai di apartemen, Belva hanya bisa diam dengan semua pemikiran tentang kehamilannya yang tiba-tiba. Tidak pernah ada di dalam tabel rencana hidupnya untuk hamil di usia semuda ini.Setelah lulus kuliah, dia telah berencana untuk segera meraih impiannya sebagai Fashion Designer. Melamar di berbagai perusahaan fashion untuk mencari pengalaman kerja, mengumpulkan banyak uang dan berusaha untuk mendirikan perusahaanya sendiri.Sebuah cita-cita dan ambisi besarnya yang selalu dia banggakan dan usahakan untuk bisa terwujud. Banyak hal yang telah dia korbankan untuk itu semua. Waktu, masa muda, dan banyak kesenangannya yang sengaja dia tunda untuk bisa mendapatkan beasiswa penuh dan lulus cepat dengan nilai sempurna.Dia bahkan telah merencanakan nama perusahaannya sendiri dan membuat konsep yang akan dia usung nantinya. Rencana hidupnya benar-benar telah tertata rapi dan sangat sempurna.Namun lihatlah sekarang, bukannya sibuk dengan usaha mewujudkan itu semua, saat ini dirinya justru ha
“Kau harus bertanggung jawab padaku untuk kejadian malam itu di hotel,” ucap Belva lagi, dengan nada tegas dan sedikit penuh tuntutan pada sang dokter tampan yang ada di hadapannya.Ya, Belva mengakui dirinya memang sudah kehilangan akal sehatnya. Namun, dalam kondisi hamil seperti ini dia bingung harus bagaimana. Seakan takdir menuntunnya, dia kembali bertemu dengan pria yang menjadi cinta satu malamnya.Hening sejenak, beberapa orang terlihat sedang menengok pada mereka, sementara sebagian lagi tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Belva. Tampak kening dokter tampan mengerut dalam. Dalam ketenangannya, dokter tampan itu terkejut.“Kau tidak mungkin lupa denganku, kan?” Nada bicara Belva sedikit menurun, agar aman tak didengar oleh orang lain. Sebab, dia tak ingin menjadi pusat perhatian.Dokter tampan itu masih tetap tenang meski terkejut akan ucapan Belva yang meminta pertanggung jawabannya. Dalam keheningan yang membentang, Belva tak sengaja melihat name tag di sne
Aroma rumah sakit yang khas kembali menyapa Belva. Sekitar setengah jam yang lalu dia duduk di ruang tunggu pasien sambil menyalakan radar waspadanya untuk mencari sosok Ares di antara orang-orang yang berlalu-lalang.Beberapa detik yang lalu dia mulai memikirkan kemungkinan buruk tentang satu hal, bisa saja hari ini adalah jadwal pria itu libur. Satu hal yang tidak pernah dia perkirakan sebelumnya. Namun meskipun begitu, dia tetap duduk di sana, dengan terus memperhatikan sekitar.Sampai akhirnya, dia menangkap sosok yang dia kenal. Ares Ducan, sedang berjalan di lorong yang berada di sisi kirinya, terlihat sendirian dan tidak terlihat tergesa-gesa. Belva menghela napas lega, kekhawatirannya telah terbantahkan. Saat itu juga, dia langsung berdiri dan setengah berlari untuk kembali menemui Ares.Raut wajah Ares terlihat tidak senang ketika menyadari siapa yang saat ini sedang mengarah padanya. Pria tampan itu menghela napas saat Belva telah berdiri di depannya. Tampak jelas Ares tak m
Perasaan Ares campur aduk. Dia masih memandang Belva yang semakin jauh dari jarak pandangnya. Hati nuraninya mulai berpikir ulang tentang semua ucapannya yang telah dia lontarkan pada perempuan itu. Mungkinkah semua ucapannya tadi terdengar keterlaluan?Namun, Ares tetap meyakini tentang apa yang dia ucapkan juga memiliki logika yang kuat. Meskipun ada juga kasus yang seperti itu, tapi dia yakin hal seperti itu tidak akan terjadi padanya. Lagipula, malam itu dia sedang berada dalam kondisi yang luar biasa kelelahan. Dia yakin jika kualitas spermanya sedang tidak baik, jadi sangat tidak masuk akal jika Belva langsung hamil, bukan?Rasanya mustahil baru pertama kali berhubungan seks langsung hamil. Ares merasa bahwa semua itu tidak mungkin. Akan tetapi, tatapannya saatt ini kembali melihat pada lembar hasil USG dan nomor ponsel Belva yang masih dia pegang. Sebuah pemikiran lain tiba-tiba terlintas. Bagaimana jika memang bayi yang ada di dalam kandungan Belva adalah anaknya? Dengan sikap