Share

Bab 7. Kau Akan Menjadi Seorang Designer Hebat!

Langkah Belva terasa ringan setelah dia menjalani wawancara kerja di perusahaan fashion terbaik yang ada di kota Manhattan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar. Semua pertanyaan dari penguji berhasil dia jawab dengan sangat baik. Bahkan, dia yakin dari tatapan sang penguji, bahwa dia terlihat puas dengan apa yang telah dijawab oleh Belva.

Belva yakin ini akan menjadi awalan yang sangat baik bagi dirinya. Sementara untuk kehamilannya saat ini, itu pun sudah disampaikan oleh Belva, dan sepertinya tidak akan mempengaruhi hasilnya jika dia baca dari raut wajah penguji tadi.

Semoga saja, Belva benar-benar berharap dari itu.

Tak langsung pulang, Belva memilih untuk masuk ke sebuah café. Dia perlu mendinginkan kepalanya atas semua hal yang telah terjadi padanya belakangan ini. Rasanya terlalu pengap, mulai dari kehamilan yang tidak terduga, dan juga Ares yang belum ada kabarnya sampai saat ini.

Benarkah pria itu akan lari dari tanggung jawabnya? Atau memang pria itu tidak percaya dengan semua hal yang telah disampaikan oleh Belva padanya? Apakah pria itu benar-benar mengangap Belva telah tidur dengan banyak pria selain Ares?

Hal itu membuat Belva semakin merasakan denyutan kencang di kepalanya. Dia bahkan tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa lagi agar Ares percaya bahwa anak yang sedang dia kandung ini adalah benar-benar darah daging dari pria tersebut.

Haruskah dia kembali ke rumah sakit untuk menanyakan hal itu lagi? Jika pun dia benar-benar melakukannya, apakah Ares akan semakin menganggapnya sebagai perempuan murahan?

Ego dan kebutuhannya sedang berperang. Namun bagaiamana pun juga, dia harus bisa meyakinkan Ares bahwa anak ini adalah benar anaknya. Sekalipun pria itu tidak mau bertanggung jawab.

Asalkan Belva diterima bekerja di perusahaan fashion itu, sepertinya semuanya akan baik-baik saja meskipun Ares memutuskan untuk abai pada tanggung jawabnya.

Oleh karena itulah, Belva benar-benar bergantung dan mengharapkan dengan sangat pada pekerjaan ini. Untuk merawat seorang bayi, dia harus memiliki pekerjaan, bukan?

Belva baru saja membayar dessert dan minumannya di kasir. Setelahnya, dia menuju ke meja yang berada di pojok ruangan. Satu tempat yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Waktu masih di Inggris, dia sering pergi ke café untuk membuat sebuah sketsa design baju. Ide mahalnya tertuang lancar setiap dia mencium aroma kopi.

Hal yang sama pun dia lakukan setelah kembali ke Manhattan. Dia kerap berlama-lama di café untuk menyelesaikan rancangan baju di buku sketsanya. Sama seperti yang dia lakukan saat ini.

Buku sketsa tebal telah terbuka di atas meja, dan pensil yang menjadi senjatanya telah tergenggam erat. Dia mengingat jelas bagaimana awal pertamanya jatuh cinta pada dunia fashion.

Belva berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak banyak baju yang dia miliki waktu itu. Semuanya terlihat sederhana dan membosankan. Berbeda dengan milik teman-temannya yang setiap berganti musim pasti akan selalu ada baju baru yang mereka peragakan di lorong sekolah.

Hal itu membuat Belva sedikit iri. Dalam pikirannya, jika dia tidak bisa membeli baju-baju itu, bagaimana jika dirinya membuatnya sendiri? Sebuah pikiran polos yang belum mengetahui bahwa untuk membuat satu brand baju harus membutuhkan modal yang besar.

Namun setidaknya, dari situlah kecintaannya pada dunia fashion mulai tumbuh dan berkembang. Dia ingin menjadi seorang designer yang membuat baju bagus, tapi tetap bisa dijangkau oleh semua kalangan. Terlihat berkelas, walaupun harganya tidak sampai membuat manusia seperti dirinya harus bekerja keras untuk mendapatkannya.

Begitulah, pada akhirnya semua impian itu membawa Belva pada titiknya sekarang. Masih panjang perjalanannya, tapi dia yakin semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang. Dia akan membuktikan pada dunia bahwa dirinya pasti bisa mewujudkan mimpinya itu.

Pelayan café mengantarkan pesanan. Belva mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah. Es latte dan kue cokelat, perpaduan yang sempurna untuk teman membuat rancangan.

“Gambarmu sangat bagus, kau seorang designer?” tanya sang pelayan sopan.

Belva tersenyum, bangga akan hasil kerjanya. “Kau benar, aku baru saja lulus dan mulai merintis karir untuk menjadi seorang designer. Terima kasih atas pujiannya.”

You’re welcome, Nona. Kau pasti akan menjadi designer yang sangat hebat. Enjoy your day.”

Kemudian sang pelayan berlalu, meninggalkan semangat dan harapan pada Belva. Ternyata, pujian  yang secara spontan dilontarkan oleh orang asing bisa menjadi bentuk dukungan yang sangat berarti, dan Belva sangat menghargai hal itu.

Beberapa jam telah berlalu, Belva berhasil menyelesaikan rancangannya untuk dress malam yang terlihat elegan, tidak terlalu terbuka, tapi tetap terlihat seksi ketika melekat pada tubuh. Dia mulai membayangkan, pasti sangat menggembirakan saat orang lain bisa mengenakannya.

Belva mengucapkan selamat tinggal pada pelayan yang tadi memujinya. Lantas dia melangkah keluar dengan senyuman mengembang dan batin yang telah terisi penuh. Saat dia berjalan untuk menuju halte trem, fokusnya teralih pada sosok yang tampaknya dia kenal.

“Ares?” bisik Belva pelan.

Di ujung jalan yang sama dengan tujuannya, dia melihat sosok yang sangat mirip dengan Ares. Tanpa menunggu dan berpikir lagi, Belva berlari untuk mengejar pria itu yang telah berbelok di tikungan.

Kaki Belva semakin mengayun cepat, dia tidak ingin kehilangan momen itu. Namun saat dia sampai di tikungan yang sama, dia tidak menemukan apa-apa. Jangankan Ares, orang lain pun tidak tampak di sana.

Belva menghela napasnya panjang. Mungkinkah dirinya hanya berhalusinasi karena terlalu mengharapkan kabar dari Ares? Atau, bisa jadi sosok yang dilihatnya tadi adalah benar Ares, tapi perempuan itu terlalu lambat untuk mengejarnya?

Ya, dua kemungkinan itu bisa terjadi. Apa pun itu, Belva masih tetap mengharapkan dan menunggu panggilan dari Ares. Bukan untuk masa depannya, tapi untuk masa depan anak yang saat ini sedang dia kandung. Bagaimanapun juga, bayi ini berhak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya.

Tak lama, ponselnya berdering. Mungkinkah itu Ares? Belva segera mengambil ponselnya di dalam tas, berharap bahwa itu adalah Ares. Sayangnya, harapannya hanya berakhir menjadi sebuah harapan. Alih-alih Ares yang menghubunginya, justru nama Elea yang tertera di sana.

Bukan hal yang bagus, karena setelah kejadian one night dengan Ares setelah pesta ulang tahun Elea waktu itu, Belva tidak menghubungi sahabatnya itu sama sekali. Bukan karena sengaja, tapi karena pikirannya telah penuh dengan semua hal yang membuatnya gila.

“Ya, Elea?” jawab Belva.

“Kau di mana, Tuan Putri? Masih hidup? Kenapa tidak ada kabar selama beberapa bulan ini? Pesan-pesan yang kukirim ke ponselmu tidak menghilang, kan?”

Ya, harus Belva akui, semua pesan Elea memang belum ada satu pun yang dia buka. Dia harus meminta maaf pada Elea karena itu. Kepalanya yang sangat pusing, membuatnya enggan untuk berkomunikasi. Apalagi kehamilannya ini sangat mengejutkan.

“Aku terlalu sibuk mencari pekerjaan sampai lupa membalas pesanmu. Maafkan aku, Elea.”

Terdengar helaan napas dari Elea. “Aku baru masuk ke apartemenmu, Thank God karena kau tidak mengganti password-nya. Cepatlah pulang, aku membawa banyak makanan yang harus kita habiskan.”

Belva meringis saat panggilan tertutup. Dari nada bicara Elea, dia tahu kalau sahabatnya itu benar-benar marah padanya. Baiklah, urusan Ares akan dia pikirkan besok lagi. Kali ini, dia harus meminta maaf pada Elea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status