Langkah Belva terasa ringan setelah dia menjalani wawancara kerja di perusahaan fashion terbaik yang ada di kota Manhattan. Semuanya berjalan dengan sangat lancar. Semua pertanyaan dari penguji berhasil dia jawab dengan sangat baik. Bahkan, dia yakin dari tatapan sang penguji, bahwa dia terlihat puas dengan apa yang telah dijawab oleh Belva.
Belva yakin ini akan menjadi awalan yang sangat baik bagi dirinya. Sementara untuk kehamilannya saat ini, itu pun sudah disampaikan oleh Belva, dan sepertinya tidak akan mempengaruhi hasilnya jika dia baca dari raut wajah penguji tadi.
Semoga saja, Belva benar-benar berharap dari itu.
Tak langsung pulang, Belva memilih untuk masuk ke sebuah café. Dia perlu mendinginkan kepalanya atas semua hal yang telah terjadi padanya belakangan ini. Rasanya terlalu pengap, mulai dari kehamilan yang tidak terduga, dan juga Ares yang belum ada kabarnya sampai saat ini.
Benarkah pria itu akan lari dari tanggung jawabnya? Atau memang pria itu tidak percaya dengan semua hal yang telah disampaikan oleh Belva padanya? Apakah pria itu benar-benar mengangap Belva telah tidur dengan banyak pria selain Ares?
Hal itu membuat Belva semakin merasakan denyutan kencang di kepalanya. Dia bahkan tidak tahu harus menjelaskan dengan cara apa lagi agar Ares percaya bahwa anak yang sedang dia kandung ini adalah benar-benar darah daging dari pria tersebut.
Haruskah dia kembali ke rumah sakit untuk menanyakan hal itu lagi? Jika pun dia benar-benar melakukannya, apakah Ares akan semakin menganggapnya sebagai perempuan murahan?
Ego dan kebutuhannya sedang berperang. Namun bagaiamana pun juga, dia harus bisa meyakinkan Ares bahwa anak ini adalah benar anaknya. Sekalipun pria itu tidak mau bertanggung jawab.
Asalkan Belva diterima bekerja di perusahaan fashion itu, sepertinya semuanya akan baik-baik saja meskipun Ares memutuskan untuk abai pada tanggung jawabnya.
Oleh karena itulah, Belva benar-benar bergantung dan mengharapkan dengan sangat pada pekerjaan ini. Untuk merawat seorang bayi, dia harus memiliki pekerjaan, bukan?
Belva baru saja membayar dessert dan minumannya di kasir. Setelahnya, dia menuju ke meja yang berada di pojok ruangan. Satu tempat yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Waktu masih di Inggris, dia sering pergi ke café untuk membuat sebuah sketsa design baju. Ide mahalnya tertuang lancar setiap dia mencium aroma kopi.
Hal yang sama pun dia lakukan setelah kembali ke Manhattan. Dia kerap berlama-lama di café untuk menyelesaikan rancangan baju di buku sketsanya. Sama seperti yang dia lakukan saat ini.
Buku sketsa tebal telah terbuka di atas meja, dan pensil yang menjadi senjatanya telah tergenggam erat. Dia mengingat jelas bagaimana awal pertamanya jatuh cinta pada dunia fashion.
Belva berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak banyak baju yang dia miliki waktu itu. Semuanya terlihat sederhana dan membosankan. Berbeda dengan milik teman-temannya yang setiap berganti musim pasti akan selalu ada baju baru yang mereka peragakan di lorong sekolah.
Hal itu membuat Belva sedikit iri. Dalam pikirannya, jika dia tidak bisa membeli baju-baju itu, bagaimana jika dirinya membuatnya sendiri? Sebuah pikiran polos yang belum mengetahui bahwa untuk membuat satu brand baju harus membutuhkan modal yang besar.
Namun setidaknya, dari situlah kecintaannya pada dunia fashion mulai tumbuh dan berkembang. Dia ingin menjadi seorang designer yang membuat baju bagus, tapi tetap bisa dijangkau oleh semua kalangan. Terlihat berkelas, walaupun harganya tidak sampai membuat manusia seperti dirinya harus bekerja keras untuk mendapatkannya.
Begitulah, pada akhirnya semua impian itu membawa Belva pada titiknya sekarang. Masih panjang perjalanannya, tapi dia yakin semuanya akan baik-baik saja mulai sekarang. Dia akan membuktikan pada dunia bahwa dirinya pasti bisa mewujudkan mimpinya itu.
Pelayan café mengantarkan pesanan. Belva mengucapkan terima kasih sambil tersenyum ramah. Es latte dan kue cokelat, perpaduan yang sempurna untuk teman membuat rancangan.
“Gambarmu sangat bagus, kau seorang designer?” tanya sang pelayan sopan.
Belva tersenyum, bangga akan hasil kerjanya. “Kau benar, aku baru saja lulus dan mulai merintis karir untuk menjadi seorang designer. Terima kasih atas pujiannya.”
“You’re welcome, Nona. Kau pasti akan menjadi designer yang sangat hebat. Enjoy your day.”
Kemudian sang pelayan berlalu, meninggalkan semangat dan harapan pada Belva. Ternyata, pujian yang secara spontan dilontarkan oleh orang asing bisa menjadi bentuk dukungan yang sangat berarti, dan Belva sangat menghargai hal itu.
Beberapa jam telah berlalu, Belva berhasil menyelesaikan rancangannya untuk dress malam yang terlihat elegan, tidak terlalu terbuka, tapi tetap terlihat seksi ketika melekat pada tubuh. Dia mulai membayangkan, pasti sangat menggembirakan saat orang lain bisa mengenakannya.
Belva mengucapkan selamat tinggal pada pelayan yang tadi memujinya. Lantas dia melangkah keluar dengan senyuman mengembang dan batin yang telah terisi penuh. Saat dia berjalan untuk menuju halte trem, fokusnya teralih pada sosok yang tampaknya dia kenal.
“Ares?” bisik Belva pelan.
Di ujung jalan yang sama dengan tujuannya, dia melihat sosok yang sangat mirip dengan Ares. Tanpa menunggu dan berpikir lagi, Belva berlari untuk mengejar pria itu yang telah berbelok di tikungan.
Kaki Belva semakin mengayun cepat, dia tidak ingin kehilangan momen itu. Namun saat dia sampai di tikungan yang sama, dia tidak menemukan apa-apa. Jangankan Ares, orang lain pun tidak tampak di sana.
Belva menghela napasnya panjang. Mungkinkah dirinya hanya berhalusinasi karena terlalu mengharapkan kabar dari Ares? Atau, bisa jadi sosok yang dilihatnya tadi adalah benar Ares, tapi perempuan itu terlalu lambat untuk mengejarnya?
Ya, dua kemungkinan itu bisa terjadi. Apa pun itu, Belva masih tetap mengharapkan dan menunggu panggilan dari Ares. Bukan untuk masa depannya, tapi untuk masa depan anak yang saat ini sedang dia kandung. Bagaimanapun juga, bayi ini berhak mendapatkan pengakuan dari ayah kandungnya.
Tak lama, ponselnya berdering. Mungkinkah itu Ares? Belva segera mengambil ponselnya di dalam tas, berharap bahwa itu adalah Ares. Sayangnya, harapannya hanya berakhir menjadi sebuah harapan. Alih-alih Ares yang menghubunginya, justru nama Elea yang tertera di sana.
Bukan hal yang bagus, karena setelah kejadian one night dengan Ares setelah pesta ulang tahun Elea waktu itu, Belva tidak menghubungi sahabatnya itu sama sekali. Bukan karena sengaja, tapi karena pikirannya telah penuh dengan semua hal yang membuatnya gila.
“Ya, Elea?” jawab Belva.
“Kau di mana, Tuan Putri? Masih hidup? Kenapa tidak ada kabar selama beberapa bulan ini? Pesan-pesan yang kukirim ke ponselmu tidak menghilang, kan?”
Ya, harus Belva akui, semua pesan Elea memang belum ada satu pun yang dia buka. Dia harus meminta maaf pada Elea karena itu. Kepalanya yang sangat pusing, membuatnya enggan untuk berkomunikasi. Apalagi kehamilannya ini sangat mengejutkan.
“Aku terlalu sibuk mencari pekerjaan sampai lupa membalas pesanmu. Maafkan aku, Elea.”
Terdengar helaan napas dari Elea. “Aku baru masuk ke apartemenmu, Thank God karena kau tidak mengganti password-nya. Cepatlah pulang, aku membawa banyak makanan yang harus kita habiskan.”
Belva meringis saat panggilan tertutup. Dari nada bicara Elea, dia tahu kalau sahabatnya itu benar-benar marah padanya. Baiklah, urusan Ares akan dia pikirkan besok lagi. Kali ini, dia harus meminta maaf pada Elea.
Belva langsung diberondong banyak pertanyaan oleh Elea saat dia masuk ke dalam apartemen. Bahkan, sahabatnya itu tidak memberi jeda sama sekali pada Belva untuk duduk sebentar. Omelan panjang karena sikap Belva terus terlontar dari mulut Elea.Belva tidak menyela sama sekali. Dia tahu dan paham benar jika dirinya memang telah melakukan kesalahan. Mengabaikan banyak pesan dari Elea adalah tindakan yang sangat salah. Setidaknya itu yang terus dikatakan oleh Elea semenjak tadi.“Kau hanya diam saja?” Elea cemberut, menyilangkan kedua tangannya di dada sambil menghempaskan badannya pada sofa dengan tetap menatap kesal pada Belva.“Aku memberikan waktu untuk kau melampiaskan kemarahanmu padaku, Elea.” Belva duduk di sebelah Elea. “Ada lagi yang ingin kau katakan? Aku akan mendengarkannya tanpa menyela.”Elea menyerongkan badannya, menghadap pada Belva dengan tetap mempertahankan ekspresi merajuk. “Tidak ada. Semuanya telah kukeluarkan. Sekarang, apa penjelasanmu? Kau masih menganggapku sah
Kedua mata Belva membulat saat melihat obat dan vitaminnya berada di tangan Elea. Dengan cepat, perempuan itu berdiri dan menyambar bungkusan itu. Wajahnya langsung memucat, dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Tamatlah riwayatnya.“Belva, hal apa yang telah kau sembunyikan dariku?” tanya Elea penuh selidik, merasa ada yang Belva sembunyikan.Belva tak segera menjawab. Dia benar-benar memikirkan apakah sudah saatnya mengatakan yang sebenarnya pada Elea. Dia mulai berusaha merangkai kata untuk menyanggahnya. Namun percuma, sahabatnya itu pasti telah mengetahui fungsi dari obat dan vitamin itu dari kakak iparnya.Tidak ada jalan lain. Belva tampaknya memang harus menceritakan yang sebenarnya pada Elea. Dia tidak ingin membuat sahabatnya itu semakin marah padanya karena banyak hal yang telah dia sembunyikan darinya.“Elea,” ucap Belva, dengan suara bergetar. “Ada hal besar yang tiba-tiba saja menimpaku. Sejujurnya, itu adalah alasan kenapa selama dua bulan ini aku tidak ada kabar
Menikmati waktu luang dengan menonton film adalah kegiatan yang akhir-akhir ini menjadi sering dilakukan oleh Belva. Satu-satunya jadwal rutin yang harus dia lakukan hanyalah yoga di pagi hari dan tidak lupa untuk rutin minum obat dan vitaminnya.Sudah beberapa minggu setelah dia melakukan tes wawancara kerja di sebuah perusahaan fashion impiannya. Setiap hari dia merasa gelisah untuk menunggu hasilnya. Setiap pagi begitu bangun dari tidur, Belva selalu meraih ponselnya dan memeriksa apakah ada e-mail pemberitahuan dari perusahaan.Oleh karena itu, akhirnya dia memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton film. Memikirkan alur cerita dari thriller movie yang dia tonton, membuat pikirannya menjadi sibuk untuk mencari si pelaku pembunuhan berantai di dalam cerita.Sama seperti saat ini. Belva mengerutkan keningnya, menahan napas karena sang pembunuh berantai hampir ditangkap oleh sekumpulan remaja sekolah yang bergabung dalam klub misteri. Berkali-kali Belva menebak siapa pembunuh i
Elea berlari panik, seiring dengan brankar ambulan yang didorong cepat menuju ke Emergency Room rumah sakit Alpha Hospital. Wajahnya terlihat panik karena melihat darah yang mengalir di kaki Belva. Lebih mengejutkan lagi ketika dia menemukan obat yang terkenal digunakan untuk menggugurkan kandungan.Elea sangat tahu bagaimana beratnya masalah yang dialami oleh Belva, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa sahabatnya itu akan melakukan hal yang membahayakan seperti itu. Dia tidak tahu apa pemicu yang membuat Belva bisa melakukan hal itu, tapi dia yakin bahwa ini ada hubungannya dengan Ares Ducan dan hasil dari tes wawancara yang telah Belva lakukan waktu itu.Suasana di ruangan Emergency Room terlihat sangat kacau—bersamaan dengan datangnya Belva ke sana, terjadi juga kecelakaan beruntun yang korbannya dibawa semua ke Alpha Hospital.Semua dokter siaga sibuk dengan korban yang terus berdatangan. Elea cemas kalau Belva tidak segera ditangani dengan baik jika keadaannya seperti ini. Berkal
Kesadaran Belva belum pulih sepenuhnya. Dia masih berusaha untuk membuka kedua matanya yang terasa berat sambil melihat ruangan yang saat ini ada di hadapannya dengan sedikit berkabut. Beberapa terlihat bergoyang, seiring dengan helaan napasnya yang terasa lebih ringan dari terakhir kali sebelum kesadarannya menghilang.Aroma obat yang kuat menguar pekat pada indera penciumannya. Belva mulai bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar masih hidup? Dia mencoba mengingat, sosok Elea terlihat di memorinya, terlihat panik dan terus meneriakkan namanya.Belva berpikir, Elea pasti yang telah menyelamatkannya. Kenapa harus diselamatkan? Belva merasa tidak sanggup lagi untuk menjalani hari-harinya setelah ini.“Bagaimana kabarmu?”Suara itu, Belva mengenalinya. Kedua matanya mengarah cepat pada sumber suara itu. Ares Ducan, sedang duduk di sebelah ranjang dan menatapnya cemas. Apakah ini mimpi? Atau benar pria itu sedang duduk di sebelahnya? “Katakan padaku,” ucap Belva lirih. “Kau benar-bena
Beberapa hari berlalu, Belva telah diizinkan pulang dari rumah sakit dengan syarat tetap mengonsumsi obat penguat kandungan untuk satu bulan kedepan. Sore itu, dia menunggu Ares yang berjanji untuk mengantarnya pulang. Elea sebenarnya ingin menemani Belva, tapi dia menyuruhnya untuk nanti saja bertemu di apartemennya.Mengenai kabar tentang Ares yang bersedia untuk bertanggung jawab padanya, telah disampaikan sekadarnya pada Elea. Oleh karena itulah, Belva yakin jika nanti sahabatnya itu akan mengorek banyak perihal itu.Sampai di dalam mobil milik Ares, keduanya tidak banyak bicara. Belva juga tidak ada niatan untuk membuka obrolan lebih dulu. Dia lebih sering melempar pandang pada samping jalanan yang mereka lalui.Berkali-kali Belva menghela napas pelan karena situasi canggung yang tercipta di antara dirinya dan Ares. Pria tampan itu sungguh tidak mengeluarkan sedikit pun kata untuk memulai pembicaraan. Baru setelah mereka masuk ke dalam basement apartemen, pertanyaan pertama muncu
Ares menghela napas dalam-dalam saat melihat Patricia sedang berjalan ke arahnya dengan senyuman lebar dan sorot mata penuh cinta yang selalu ditunjukkan padanya. Sungguh, Ares sangat menghargai itu. Dia juga telah berusaha untuk mencintai wanita itu, tapi entah kenapa, sampai sekarang dia tidak bisa mencintainya sedikit pun. Semua perasaan yang dia rasakan hanyalah menghormati dan berusaha memainkan peran sebagai tunangan dengan baik.Patricia adalah seorang yang sangat baik. Tidak ada rumor buruk mengenainya. Semua penghuni rumah sakit dan kolega yang mengenalnya, semua setuju jika Patricia adalah seorang wanita yang ramah dan berkelas. Pertunangan mereka bahkan menjadi simbol kesempurnaan. Namun rupanya, itu semua juga tidak cukup untuk bisa menggerakkan hati Ares. Seperti ada yang kosong, tak bisa terisi dengan kehadiran Patricia yang sempurna.“Sayang, kenapa kau beberapa ini susah sekali dihubungi? Kau masih ingat kalau memiliki tunangan, kan?” Patricia menggandeng lengan Ares m
Semalaman Belva terus memikirkan tentang kehamilan dan ibunya. Ada rasa mengganjal yang dirasakan oleh perempuan itu jika tidak mengatakannya. Mungkin saja, ibunya justru akan marah besar jika dia tidak memberi tahu tentang kehamilannya.Atau juga, memberi tahu ibunya justru akan menjadi malapetaka besar yang akan membuatnya kembali terjatuh. Belva takut mengecewakan ibunya karena perbuatannya itu. Terlebih lagi, saat dirinya memutuskan untuk menggugurkan kandungannya waktu itu dan sampai membuat nyawanya sendiri terancam.Oleh karena itu, hari ini Belva membuat janji dengan Elea untuk bertemu di sebuah café. Dia tidak bisa memikirkan ini sendirian. Setidaknya, dia membutuhkan sudut pandang lain sebelum dia mengambil keputusan besar.Satu nampan berisi dua piring dessert diletakkan Elea di atas meja. Rencana dietnya gagal karena godaan dari showcase dessert yang menggoda.“Jadi, kau sudah memutuskannya?” tanya Elea setelah dia kembali duduk pada tempatnya. “Mengenai apa pun yang akan