"Jika dia tidak di sini, di mana dia?" Danumaya bergumam dengan kaki yang terasa lemas. Jantungnya bergemuruh, pemuda itu meraup wajahnya dengan kasar. Sedangkan Wirata tampak tenang, dia berkata, "Apa yang kamu khawatirkan? Setiap perempuan yang terlahir dari keluarga kita dan mewarisi Keris Putri Tanjung Kidul akan aman. Tenanglah .." Bibir Danumaya merapat, dia juga tahu hal itu. Tapi sudah berhari-hari gadis yang dia cintai hilang, bagaimana mungkin dia akan tenang. "Aki ..aku akan mencarinya." "Untuk apa? Dia akan datang sendiri kesini. Jadi jangan membuang-buang waktu. Aku kira dia akan datang denganmu. Rupanya pemuda itu orang lain," ujarnya. Wirata bangkit dan berjalan di bantu dengan tongkatnya menuju ke dalam rumah. Danumaya memiringkan kepalanya, wajahnya terlihat bingung jadi dia bertanya, "Pemuda? Siapa dia, Aki?" "Mana Aki tau! Mungkin suaminya." Pria tua itu seperti mengetahui sesuatu. Tentu bukan tanpa alasan Wirata mengatakannya. Dia punya ilmu kebatinan, jadi pe
Dengan apa yang sudah terjadi, Damayanti Citra tetap mempertahankan ketenangannya. Walaupun dia baru saja menghilangkan nyawa seseorang tapi tidak ada penyesalan sedikitpun di matanya. Karena sebelum dia gemar melenyapkan nyawa orang, dia telah melenyapkan hati nuraninya sendiri.Narendra berendam di kolam pemandian air hangat yang di penuhi taburan kelopak bunga mawar. Wajah tampannya memandang kelangit, dia bertelanjang dada dan hanya menggunakan sehelai kain yang melilit pinggangnya.Damayanti Citra menghampirinya, dia duduk di sisi kolam. Sorot matanya bersinar bagaikan bintang, dia memijat kepala suaminya dengan lembut. Narendra merasa tenang, matanya terpejam menikmati sentuhan istrinya. Wanita itu pandai memijat."Dari mana kamu, Citra?" Tanya Narendra."Membereskan segalanya seperti biasanya, suamiku," jawab Damayanti Citra.Narendra membuka mata dan membalik tubuhnya. Dia memegang kedua tangan istrinya dan menciumnya. Wanita itu tersipu malu dan hatinya berbunga-bunga."Sepe
Di balik senyuman lembut Damayanti Citra dia bersorak. Sudah saatnya Adhinatha duduk di singgasana.Setelah beberapa menit teh itu masuk kelambung Adi Wijaya, racunnya mulai bereaksi.Adi Wijaya terbatuk dan wajahnya sedikit pucat, dadanya juga sedikit sesak..Puspita Sari merasa khawatir, wanita paruh baya itu menepuk-nepuk punggungnya. Dengan sigap dia menyodorkan cawan berisi teh yang tinggal setengah."Bagus! Habiskan racunnya, Romo," batin Damayanti Citra, dia menatap cawan teh dan mengangkat sudut bibirnya. Wanita licik itu berpura-pura khawatir, sebenarnya dia memastikan agar racun itu benar-benar masuk ke dalam tubuh renta Adi Wijaya. Bukankah sudah terlalu lama orang tua itu hidup.Jadi meracuni pria tua itu secara perlahan adalah solusi untuk putranya segera naik tahta."Ohok! Ohok! Aku tidak enak badan," ujar Adi Wijaya lirih. Nafasnya terengah dan pandangannya juga sedikit kabur. Dia merasa semakin hari tubuhnya semakin mudah lelah."Baik, Romo," Damayanti Citra mengangg
Damayanti Citra mengangkat sudut bibirnya, wajahnya mendongak menatap tajam Narendra tanpa mengatakan sepatah katapun. Dahi Narendra mengernyit, di tatap seperti itu dia sedikit takut. Wanita ini tidak pernah marah, apa ini pertama kalinya dia marah? Gadis itu semakin tidak tahu diri, bibirnya mengerucut dan enggan pergi dari ranjang. Dia menutupi tubuhnya yang indah dan muda dengan kain selimut, lalu memanggil Narendra dengan nada yang manja, "Pangeran .." Panggilan gadis itu membuat telinga Damayanti Citra sakit, lebih sakit lagi saat gadis itu melambaikan tangan. Dia menatap jijik dengan tingkah gadis itu. Gadis itu menganggap dirinya terlalu tinggi saat Narendra datang menghampirinya. Dia semakin percaya diri, karena berhasil mendapatkan hati pangeran Harsa Loka. Kali ini kesabaran Damayanti Citra telah habis, saat gadis itu mengangkat kedua tangannya dan berharap di peluk oleh Narendra. Matanya menggelap, dia membaca mantra seketika wanita itu menjelma menjadi seekor u
Mata Darma berdenyut, "Bocah tengik!!" ujarnya. "Kenapa wajahmu sedikit pucat? Kalian begadang dan terus bercinta?" Tanya Darma tanpa malu. Wajah Indrayana memerah dan matanya berkedip-kedip, dia bingung mau jawab apa. Ini percakapan orang dewasa. "Sudahlah ..aku akan kembali ke kamar," Indrayana memilih pergi dari pada mendengar godaan para pamannya. Semua orang tertawa geli melihat salah tingkah Indrayana. Pemuda itu tentu menghindar, diq kari terbirit-birit dengan senyum mengembang. Baladewa mengikuti langkah Indrayana dengan wajah yang datar, "Indrayana ..tunggu, Nak," panggilnya. Indrayana berhenti dan menoleh, "Ada apa, Paman?" Dengan wajah yang serius, Baladewa berkata, "Ikut Paman, ada hal yang akan Paman katakan." Baladewa berjalan menuju kamarnya dan Indrayana mengikutinya. "Tutup pintunya dan duduklah!" perintah Baladewa yang sekarang sudah duduk di kursi. Dahi Indrayana mengerut, dia menjalankan perintah dan duduk berhadapan dengan Pamannya yang terlihat
Candramaya menunduk dan memejamkan mata. Dia mengatur nafasnya dan berusaha mengendalikan perasaannya yang bergejolak. Kali ini tidak boleh lemah ataupun goyah. Candramaya meyakinkan dirinya bahwa dia tidak berhak hidup bahagia dan tentram. Sebelum tujuannya untuk mendapatkan keadilan untuk mendiang orang tuanya berhasil dia wujudkan. Indrayana berpikir hati gadis itu sudah dalam genggamannya. Dan saat melihat Candramaya tersipu malu, hatinya terasa hangat. Pemuda itu menyibak anak rambut yang menghalangi pipi Candramaya yang bersemu merah. Dia berkata dengan lembut, "Kenapa?" Candramaya mendongak, pipinya masih merona tapi tatapannya begitu dingin dan acuh, "Apa lukamu sudah sembuh?" Tanya Candramaya Indrayana merasakan hawa dingin menyelimuti hatinya. Dia hafal tatapan gadis itu dan sekarang dia merasakan firasat buruk. Indrayana menelan salivanya dengan susah payah dan berkata dengan ragu, "Sudah.." "Syukurlah," ujar Candramaya dengan acuh, dia berjalan berlalu melewati
Paginya. Candramaya bangun dan bersiap, gadis itu tidak menggunakan pakaian Indrayana. Rambut hitamnya dia gulung sebagian dan sebagiannya di gerai. Cunduk manik perak yang biasa dia pakai dia tinggalkan di atas nakas. Sebelum pergi, dia menatap wajah Indrayana yang terlelap. Saat tidur wajah pemuda itu seperti bayi terlihat polos dan menawan. "Selamat tinggal Indrayana," batinnya. Gadis keluar kamar tanpa membangunkannya walaupun sekedar untuk berpamitan. Saat pintu tertutup Indrayana membuka matanya, dia menyeringai lalu meregangkan ototnya. Di ruang tamu semua orang berkumpul, Candramaya menghampiri mereka lalu mengucapkan salam perpisahan. "Romo, Candramaya akan pulang. Terima kasih telah mengizinkan Maya tinggal di sini," ujarnya. Kepala gadis itu bersimpuh memberi hormat kepada semua orang. Darma dan Ki Sentot menatap kamar Indrayana, mereka merasa heran karena Indrayana tidak ikut keluar. Ranu Baya meraih pundak menantunya untuk bangun dan berkata, "Hati-hati, Nak. Darma
"Tunggu! Siapa ya mengizinkanmu? Turun!" Teriak Candramaya, gadis itu berkacak pinggang dengan tatapan sinis.Indrayana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan cengengesan. Lalu mengibaskan tangan kirinya, ''Jangan terlalu serius seperti itu, perselisihan sepasang suami istri memang hal biasa," ujarnya."Siapa yang peduli," ujar Candramaya dengan nada dingin.Indrayana menelan salivanya dengan susah payah, dia turun dari kuda. Kali ini dia harus bersikap baik dan membujuknya, "Baiklah, aku mengalah. Kita hanya teman, kamu puas? Ayo lanjutkan perjalanan. Matahari sudah ada di atas kepala, jangan sampai kita bermalam di hutan."Tentu saja gadis itu tidak akan membiarkan pemuda manja itu ikut, "Siapa bilang aku setuju." Indrayana merengek, dia menghentak-hentakan kedua kakinya di atas tanah dan berteriak, "Hais! Gadis ini benar-benar!"Candramaya memijit pelipisnya dan berkata, "Kamu pulanglah ..jangan buat mereka semua khawatir."Pemuda itu tidak menyerah, dia bersikeras dan berkata,
Adhinatha mengerjabkan matanya. Sejak terakhir pemuda itu melukai saudara sepupunya. Tidak pernah Adhinatha menunjukan batang hidungnya ataupun menyapa pada Indrayana. Itu semua karena dia merasa malu. "Lepaskan! Aku juga ingin melakukan penebusan dosa." "Dengan bunuh diri maksudmu!" Ujar Indrayana tanpa melepas cekalannya, sebelah alisnya terangkat. "Ibuku tidak bunuh diri! Begitu pun aku!" ujar Adhinatha dingin. Indrayana melepas cekalannya, sudut bibirnya terangkat, "Nyawa memang harus di bayar dengan nyawa. Hukuman mati memang pantas untuk Ibumu. Tapi kamu tidak!" "Berhenti membuatku malu, Indrayana. Aku telah melukai dirimu dan berniat melenyapkanmu!" ujar Adhinatha dengan nada putus asa. Indrayana menatap lamat ke arah adik sepupunya lalu kembali berkata, "Kalau begitu aku yang berhak menghukummu. Maka hukumanmu adalah dengan menuruti permintaanku!" Pemuda itu melirik ke arah istrinya dengan senyum jahil. Candramaya yang sangat hafal dengan sifat Indrayana hanya bisa menden
Damayanti Citra merenung sepanjang malam, dia meringkuk di atas ranjang dengan perasaan bersalah. Semakin dia mengelak semakin merasa malu. "Aku akan melakukan penebusan dosa!" Gumamnya dengan penuh tekad. Wanita itu melakukan puasa mutih untuk membersihkan diri dan jiwanya dari segala dosa dan kepahitan. Hal sama juga di lakukan oleh Candramaya. Setelah satu pekan masa berkabung, Arya Balaaditya naik tahta menjadi raja pengganti Adi Wijaya. Karena stempel kerajaan ada di tangannya sekarang. Dan Asri Kemuning adalah pewaris yang sah. Namun karena negeri Harsa Loka harus di pimpin oleh laki-laki, maka suaminya-lah yang akan naik tahta. Upacara penobatannya di lakukan dengan hidmat di alun-alun di depan rakyat. Tugas pertama yang harus dilakukan oleh Arya Balaaditya adalah menghukum pelaku teror dan pembunuh Damarjati dan ketiga rekannya. Awalnya semua orang cukup terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh Damayanti Citra, pasalnya dia memakai pakaian yang membuat orang bertanya-t
Deg!Ucapan putranya telah menghancurkan keyakinan Damayanti Citra. Wanita itu mengerjabkan matanya yang mulai terasa panas. Genangan air mata itu telah tumpah. Kenyataan itu membuatnya sakit. "Narendra ... " gumamnya.Adhinatha mengerjabkan matanya yang mulai memanas, dia merasa sedih dan tidak tega. Pemuda itu berjalan mendekat ke arah sel. Kedua tangannya terangkat dan hendak memasukannya ke dalam celah besi.Damayanti Citra tetap bergeming saat Adhinatha memanggilnya, "Ibu ... kemarilah."Perubahan emosi Damayanti Citra sangat mudah berubah. Tadi dia menangis tersedu-sedu dan sekarang tertawa sinis, "Kenapa hanya aku yang terbakar? Kamu dan wanita sialan itu tidak. Kenapa?" tanyanya dengan nada putus asa."Karena aku telah membuang segala kepahitan dalam hatiku," jawab Adhinatha dengan lirih."Jadi kamu mau bilang kalau hati Ibumu ini penuh dengan kepahitan?" ucapan Damayanti Citra terhenti, wanita itu mengangkat sudut bibirnya lalu kembali tertawa sinis, "Heh! Mereka telah menyu
Damayanti Citra mendengkus kesal, kedua alisnya semakin menukik tajam. Asri Kemuning memegang jeruji besi dengan kuat, wajahnya yang lembut berubah dingin. Wanita itu mendekatkan wajahnya dan berkata dengan sedikit berteriak, "Aku berpenyakitan! Bahkan setiap detik aku takut mati. Aku takut tidak bisa melihat tumbuh kembang putraku. Sedangkan kamu? Kamu sehat Citra! Kamu sehat dan kamu bisa berada di sisinya setiap waktu. Jika masalah kasih sayang dan dukungan orang tua, kita sama Citra. Kamu tidak mendapatkan kasih sayang Ibumu dan aku Romoku. Hanya bedanya adalah Ibumu telah wafat saat melahirkanmu dan Romoku masih hidup dan terus mengabaikanku."Damayanti Citra juga ikut berteriak karena merasa tertohok. Namun tidak mau mengakuinya, "Tapi suamimu setia! Sedangkan aku tidak!"Asri Kemuning terperangah mendengar jawaban Iparnya lalu menggelengkan kepala. "Kenapa kamu membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain? Setia atau tidaknya seseorang itu pilihan. Bukan takdir atau nasib, Ci
"Hah!" Candramaya tersadar. Candramaya membuka matanya. Mata merah menyala itu kembali ke semula. "Indrayana ... " panggilnya dengan linglung.Indrayana tertawa lirih, "Kamu kembali!""Apa yang terjadi? Kenapa tanganku menyerangmu?" Candramaya memang tersadar tapi tubuhnya masih dikendalikan oleh sosok hitam Putri Tanjung Kidul. Gadis itu mendongak dan menatap sekitar dengan bingung. Candramaya mencoba mengangkat tangannya ke atas namun yang terjadi justru tangan itu semakin kuat menekan ke bawah. "Gunakan mustika itu, cepattt!!" pekiknya."Tapi aku akan melukaimu!" ujar Indrayana dengan perasaan gamang."Tidak akan!" Karena kedua tangan Indrayana sedang menahan serangan Candramaya. Pemuda itu akhirnya memukul punggung Candramaya dengan menggunakan lututnya dengan cukup keras.Bug!Akkhhh!Tubuh Candramaya oleng, keris itu terlempar cukup jauh. Indrayana mengambil kesempatan itu untuk memegangi kedua tangan Candramaya. Dan membalikkan keadaan dengan menduduki tubuh gadis itu yang ja
Arya Balaaditya menahan tubuh Istrinya yang hendak menghampiri putranya. Sedangkan Kumala, gadis itu meringsut di dalam pelukan kakeknya.Di bawah derasnya air hujan dan angin yang bertiup kencang. Indrayana bangun dan terduduk di tanah. Pemuda itu meringis saat melihat ekspresi dingin Candramaya.Candramaya berjalan mendekat sambil menggerak-gerakan kuku-kukunya yang panjang. Wajah datar dan menyeramkan itu menyeringai. Indrayana tidak berniat untuk kabur atau semacamnya. Dia hanya mengatur nafas dan menunggu Candramaya menghampirinya dengan pasrah. "Dewata ... " gumamnya.Tatapan Indrayana tertuju pada Mustika yang dia genggam. "Cik! Lemah," eram Candramaya. Tatapannya begitu liar dan beringas. Mendengar cibiran Candramaya, Indrayana tersenyum getir lalu bergumam, "Aku memang lemah!"Baladewa yang tidak tahan akhirnya hendak menyerang Candramaya namun Indrayana berteriak, "Jangan, Paman! Jangan ikut campur!"Indrayana langsung mengangkat tangannya dan membuat jarak dengan membuat
Ketiga orang itu akhirnya menajamkan telinganya, Kebo Ireng berkomentar, "Sepertinya ada yang sedang bertarung?""Benar Kakang! Ayo kita periksa!" imbuh Seno Aji.Wismaya memberi saran, "Tunggu! Sebaiknya kiita harus fokus. Kalian cari Pangeran Narendra dan Dewi Puspita Sari saja, sebelum orang itu pergi lebih jauh. Aku dan Aji Suteja yang akan memeriksa siapa yang sedang bertarung itu."Setelah menimbang-nimbang saran Wismaya yang masuk akal, mereka bertiga akhirnya mengangguk dan setuju.Kebo Ireng dan Seno Aji pergi menuju tempat kediaman Puspita Sari dan Narendra. Sedangkan Wismaya dan Aji Suteja pergi ke tempat pertarungan itu.Saat Wismaya dan Aji Suteja ke sumber suara, mereka berdua terperangah saat melihat Candramaya dan Indrayana sedang bahu hantam."Apa yang terjadi?" tanya Aji Suteja dengan wajah yang menegang.Wismaya merasakan kejanggalan pada sosok keponakannya. Tentu sosok berwujud Candramaya itu tidak dia kenal. Jantung Wismaya seketika bergemuruh, wajahnya pucat lalu
Alih-alih patuh, Candramaya justru semakin gila menyerang Danadyaksa yang terlihat kewalahan. Tubuh Danadyaksa penuh dengan sabetan keris.Tanpa pikir panjang, Indrayana masuk dalam pertarungan dan mencoba melerai. Dia bahkan tidak segan memukul pundak Candramaya guna menghentikan aksinya, "Hentikan kataku!"Bug!"Akhhh!!" Candramaya memekik kesakitan."Maaf!" ujar Indrayana. Pemuda itu memeluk tubuh Candramaya dari belakang. Perasaan bersalah muncul di hatinya setelah memukul istrinya. Candramaya menoleh, seringainya tampak mengerikan. Indrayana reflek langsung melerai pelukannya karena terkejut.Danadyaksa yang licik menggunakan kesempatan saat melihat pasangan itu lengah. Namun langkah pria itu terhenti saat Candramaya membuat gerakan yang membuat keris itu melesat dan menebas leher Danadyaksa dengan cepat. Secepat kedipan mata.Swwisss!Zrak!Bug!!Kepala Danadyaksa jatuh ke tanah lalu tubuh gempal itu tersungkur. Tubuh yang terpenggal itu mengejang dan menyemburkan banyak darah.
Prang!!Botol itu jatuh ke lantai dan pecah, namun ternyata hanya botol kosong. Arah mata semua orang kini tertuju pada pecahan botol itu. Narendra merasa terkejut sedangkan Asri Kemuning dan Arya Balaaditya merasa keheranan.Puspita Sari merasa malu sekarang, kedua tangannya saling meremas. Dia menyadari reaksinya menunjukan bahwa dia adalah wanita yang egois. "Kangmas mempermainkanku?!" eram Puspita Sari. Wanita itu mendelik karena merasa dipermainkan."Haha ... Ohok! Ohok!" Adi Wijaya tertawa di sela batuk berdarahnya. Nafasnya terengah dan dadanya mulai sesak. Keringat dingin kini bermunculan di kening pria itu seiring wajahnya yang memucat dan bibirnya yang mulai membiru. Dia menatap istri mudanya dengan tatapan nanar sambil menekan dadanya. Sekarang dia sadar, tidak ada yang benar-benar mencintainya. Tiba-tiba Asri Kemuning menangis, dia berhambur memeluk lengan ayahnya.Sedangkan Narendra dan Puspita Sari yang sudah tahu akhir dari pertarungan ini memilih untuk kabur meningga