Share

Bab 3

Penulis: Glory Bella
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-20 12:12:25

“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”

Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.

Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.

“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.

Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.

“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.

“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”

Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pagi.

“Wah, mantap! Kebetulan Papa juga sudah lapar ini.” Harto yang melangkah masuk dengan membawa barang yang lebih berat sempat melirik ke arah meja dengan senyuman lebar.

“Ada yang perlu dibantu bawakan nggak, Pa?” Ranaya menawarkan diri.

“Sudah nggak ada. Di mobil sudah nggak ada barang lagi,” sahut Harto ikut nimbrung di meja.

Mereka mulai mengambil nasi. Tetapi, tiba-tiba saja gerakan tangan Tantri berhenti. Wanita itu sempat mengitarkan pandangan ke sekelilingnya.

“Lo, mana Sagara? Kok dari tadi nggak kelihatan?” tanyanya.

Secara refleks Ranaya menatap jam yang tergantung di dinding. Jarum jam singgah di angka tujuh. Ranaya mencoba memeras pikirannya untuk mencari alasan.

Tentu saja Ranaya tahu kalau Sagara memulangkan perempuan yang dibawanya dari subuh tadi. Tapi, ia tak menyangka jika sampai sekarang ia belum kembali juga.

“Hmm … Mas Sagara tadi bilang mau ke mini market terdekat, Ma. Ada barang yang harus dia beli.”

Tantri manggut-manggut. Tepat saat itu Sagara membawa langkahnya masuk dengan tak membawa apa pun di tangannya.

“Sagara, mana barang belanjamu? Kamu beli apa?” Mata Tantri meneliti Sagara yang berhenti di depan mereka.

Sagara sempat melirik Ranaya tanpa ekspresi. Tadi sewaktu kemari, telinganya sempat menangkap Ranaya yang mencari alasan untuk kepergiannya pagi ini.

“Aku beli minyak angin, Ma. Sudah aku taruh mobil,” ucapnya acuh tak acuh, lalu kembali melangkahkan kaki.

“Oh, kalau gitu cepat mandi dan sarapan bareng. Ranaya sudah masak ayam goreng lengkuas.” Tantri setengah berteriak sebab Sagara terlihat buru-buru menapaki tangga.

“Aku nggak ikut sarapan, Ma. Jamnya sudah mepet.” Tanpa menoleh Sagara tetap melanjutkan langkahnya.

Ranaya menekuk bibir samar. Kini pandangannya terlempar pada salah satu sajian di meja. Ia kecewa Sagara tak mau makan hasil masakannya hari ini.

Padahal Ranaya tahu, suaminya itu sangat menyukai ayam goreng lengkuas.

***

“Ranaya, tolong antar bekal ini ke kantor Sagara, ya.”

Ranaya termangu menyaksikan Tantri sudah mengulurkan tangan dengan bekal yang tersusun rapi di dalam tas.

“Sagara kan suka makan ayam goreng lengkuas. Biar dia semangat kerja,” tambah Tantri meyakinkan keraguan Ranaya.

“Hmm, tapi─tapi Mama ikut, kan?”

Tantri langsung melengkungkan bibirnya. “Ya, nggak dong, Ran.” Ia meringis sambil memegang bagian punggung, lantas melanjutkan, ”Punggungku kan masih sakit.”

Ranaya tetap bergeming. Sebenarnya ia mau melakukannya. Namun, bagaimana nanti respons Sagara jika tahu dirinya mengunjungi kantor?

Tetapi, pada akhirnya Ranaya tetap berangkat demi Tantri.

Sepanjang perjalanan Ranaya berusaha menghalau berbagai pikiran. Ia melempar pandang ke sana kemari, namun rasanya semua yang ia lakukan percuma. Hingga akhirnya taksi yang ia tumpangi menepi dan berhenti tepat di sebuah gedung megah dengan tulisan “PT. Wiratama Group” terpampang besar di sana.

Ranaya menelan ludah begitu ia berdiri di depan kantor milik keluarga Sagara sementara taksi tadi sudah melaju meninggalkannya. Perempuan itu saling menautkan jemarinya, lalu dengan berat hati mulai melangkah.

“Selamat pagi, Bu.”

Seorang sekuriti membukakan pintu dan menyapanya ramah. Ranaya mengangguk canggung. Tetapi berikutnya kepercayaan dirinya kian runtuh saat mendapati tatapan terkejut dari sebagian karyawan di sana. Beberapa dari mereka justru terlihat memandangnya penuh keheranan.

“Selamat pagi, Bu Ranaya. Tumben Anda berkunjung ke kantor,” sapa salah satu karyawan dengan senyum segan.

“Oh, saya cuma mau mengantar bekal untuk Pak Sagara,” aku Ranaya.

Karyawan tersebut lantas mempersilakan Ranaya untuk melanjutkan perjalanan. Ranaya merasa orang-orang tadi langsung berkasak-kusuk di belakangnya begitu ia pergi.

Mencapai ruang Sagara, Ranaya mendorong pintu dan bertemu dengan seorang perempuan cantik berambut panjang nan indah. Ruang Sagara memang didesain unik. Begitu masuk, tamu akan menemui sekretaris dulu baru kemudian diteruskan ke ruang di mana Sagara berada.

Awalnya perempuan muda yang ditaksir seumuran dengannya itu terkejut menyaksikan Ranaya datang ke sini. Setelah itu, ia bangkit. Menyambut Ranaya dengan riang dan senyumnya yang memesona.

“Loh, Bu? Ada keperluan apa kemari?” tutur perempuan tersebut ketika mendekat.

Ranaya mengernyit samar. Ia tidak ingat siapa wanita berpenampilan feminim yang ada di hadapannya sekarang. Namun, entah kenapa rambut panjang dan suaranya terasa sedikit familier bagi Ranaya.

Merasa pandangan Ranaya aneh, perempuan itu kemudian berujar, “Oh, maaf, sepertinya saya lupa memperkenal diri dulu. Saya Sherly, Bu, sekretaris pribadi Pak Sagara.”

Ranaya sedikit menimbang-nimbang dan secara tak sadar menatap Sherly dari atas ke bawah. Kalau tidak salah lihat … perempuan inilah yang dibawa Sagara ke rumah kemarin sore. Dada Ranaya jadi sesak mengingatnya.

“Saya hadir lo di acara pernikahan Anda dan Pak Sagara. Anda ingat, kan?” Sambil tersenyum lebar, Sherly beberapa kali mengerjapkan matanya.

Perempuan yang dihadapinya sekarang cantik dan sangat imut, Ranaya membatin. Ia memperbaiki kacamatanya dan menyunggingkan senyum simpul untuk menanggapi.

“Iya, terima kasih. Saya ingat, kok.” Ranaya berbohong. Ia tidak ingat apa pun soal Sherly kecuali rambut panjangnya dan suara yang mendayu manja.

“Boleh saya bertemu Pak Sagara?” lanjutnya. Ia merasa kurang nyaman berada di dekat Sherly yang bersikap sok akrab dengannya. Padahal mereka tak pernah dekat.

“Oh, tentu boleh dong, Bu. Mari saya antar.”

Ketika Sherly hendak menggandeng tangan Ranaya, Ranaya segera menarik tangannya bahkan sebelum perempuan itu menyentuh kulitnya.

“Bukannya kamu harus konfirmasi dulu ke Pak Sagara, ya?” tanyanya memastikan.

Sherly hanya tertawa. “Ah, nggak dong, Bu. Nggak perlu. Anda kan istrinya.”

Ranaya mencoba mengikuti, sementara Sherly berjalan mendahului. Perempuan tersebut membuka pintu ruang Sagara.

Sagara waktu itu sedang melangsungkan pembicaraan lewat telepon. Melihat Ranaya, wajah Sagara langsung mengeras.

“Iya, kita bicarakan lagi lain waktu. Nanti saya hubungi lagi.” Sagara lekas menyudahi teleponnya dengan tatapan tajam yang masih terhunjam lurus ke arah Ranaya.

“Kenapa kamu di sini?!” gertak Sagara.

Ranaya perlahan mendekat. Tangannya meletakkan tas yang dibawakan ibu mertuanya tadi.

“Maaf, Mas. Aku cuma mau ngantar bekal. Mama yang nyuruh,” akunya.

Sagara mengatupkan rahang, lantas menggeser pandangan ke Sherly yang masih bertahan di sana.

“Kenapa kamu nggak tanya dulu? Siapa pun tamunya, kamu wajib lapor dulu.”

Sherly menyatukan alis. Tidak terima dengan ucapan Sagara.

“Tapi kan Bu Ranaya itu istri Anda, Pak. Masa diperlakukan sama dengan tamu lain,” protesnya. Ia lalu berpaling pada Ranaya, meraih kedua tangan Ranaya dan menggenggamnya erat.

“Maaf ya, Bu. Ini semua salah saya. Hmm saya pikir nggak apa-apa karena Anda itu istrinya.”

Tatapan Sherly beralih kepada Sagara. Ia lantas berucap, “Maaf juga ya, Pak. Tolong salahkan saya saja. Bu Ranaya tadi hanya diam dan menuruti apa kata saya.”

Ranaya menarik napas hendak menyahut. Bukankah tadi ia sudah memastikan untuk konfirmasi dulu? Ia tidak sebodoh seperti yang Sherly katakan.

“Harusnya dia tahu bagaimana tata krama bertamu itu.” Alih-alih merespons ucapan Sherly, Sagara justru tetap menyalahkan Ranaya. Matanya seakan menguliti semua kesalahan perempuan itu.

“Sekarang juga kamu pergi dari sini! Aku nggak mau melihat kamu menginjak kantorku, kecuali di depan Mama.”

Bab terkait

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 4

    Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 5

    Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 6

    Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 7

    Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-30
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 8

    Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-31
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 9

    “Sagara, kamu mau ke mana?”Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo.“Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut.“Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya.Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang.“Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.”Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju.Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─”“Ssttt, ikut kata Mama. Sekarang

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-01
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 10

    “Maaf, Mas ….”Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental.Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat.Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan.***Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai, ia menaru

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-02
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 11

    Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku.Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya.“Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis.Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya.Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya.Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang.“Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang.Ranaya me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03

Bab terbaru

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 38

    Setelah beberapa saat berkelahi dengan pikirannya sendiri, Sagara akhirnya mendesah panjang, lantas memutar setir mobilnya. Mobilnya berputar balik dan kemudian melaju kencang demi mengejar mobil tadi.Kali ini Sagara harus memastikan bahwa penglihatannya tak mungkin salah.Itu benar Ranaya, kan? Kepalanya terus berdengung memikirkan nama itu.Suara deru mesin mobil bergema di telinga Sagara, berpadu dengan debar jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia mengetatkan genggaman di setir, menatap mobil di depannya dengan tatapan penuh tekad selama di perjalanan.Pandangan Sagara tajam menatap lintas jalan raya yang ramai kendaraan. Sejenak matanya menyipit.Ia yakin perempuan tadi mirip Ranaya. Namun, ada hal ganjil. Kenapa perempuan itu tak mengenakan kacamata?Sagara menggertakkan giginya, lalu memacu mobilnya lebih kencang. Perasaan yang membuncah di dadanya entah apa namanya. Marah? Sama sekali tidak. Bingung? Mungkin.Atau justru lebih dari itu?Sagara ingin jika perempu

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 37

    “Ini apa, Mbak?”Ranaya terheran-heran sewaktu menatap ponselnya. Ia baru sempat membaca chat susulan Yanti ketika asisten dan anaknya sudah tiba di rumah.“Itu lokasi kami tadi, Bu. Seumpama Bu Ranaya mau mengirim hadiah ke pria yang nyelametin Dek Radeva, nah di situ tinggalnya, hehehe ….”Ranaya menghela napas panjang, menatap Yanti yang berdiri di hadapannya dengan wajah menyesal.“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu nama pria yang nyelametin Radeva kemarin?”Tatapan Yanti meredup dan merunduk. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas tersenyum kikuk sambil mencuri pandang ke arah majikannya.“Hehe, iya. Maaf, Bu. Saya lupa nanya.”Ranaya menutup wajah dengan satu tangan. Merasa amat frustrasi.“Mbak Yanti, Mbak Yanti … penyakit lupamu itu kapan sembuhnya, sih?! Aku mau kirim bingkisan buat orangnya, tapi gimana kalau nama aja nggak tahu. Masa aku harus tulis ‘Untuk Om Baik’ gitu? Bisa-bisa nyasar dong ah!”“Eh, iya juga, ya.”“Ya, makanya ….” Ranaya berdecak kesal. Ia sud

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 36

    “Serius kamu, Sher? Memangnya Sagara bisa ketemu anak itu di mana?”Suara Mayang yang ada di seberang telepon terdengar terkejut.Sherly melirik ke arah Sagara dan bocah yang sedang bermain itu sekilas. Rahangnya mengatup rapat.“Iyaaa, serius, Mi!! Aku nggak tahu dari mana Sagara bisa nemuin anak ini! Tapi umurnya pas banget sama waktu Ranaya pergi! Aneh, kan?!” Sherly menghentakkan kakinya. Kali ini ia benar-benar panik.Suara Mayang terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Setelah itu, ia mengatakan dengan lembut. “Tenang, jangan khawatir. Kamu jangan gegabah. Bisa saja ini cuma kebetulan. Sher. Mending kamu cari tahu lebih dulu siapa nama mamanya.”Sherly mendengus kesal. Ia menggigiti kuku telunjuknya sekarang.“Gimana caranya? Emang bakal berhasil, Mi?!”Berikutnya suara helaan napas panjang terdengar dari speaker ponselnya.“Ya kamu pakai cara pendekatan lebih halus, dong. Lebih kalem gitu. Pokoknya kamu harus bisa dekati dia dulu. Kalau benar dia anaknya Ranaya, kita harus ber

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 35

    “Sayang, kamu jangan gila! Bukannya kamu yang bilang kalau klien juga sudah nunggu kita?!”Mata Sherly membeliak, tak percaya jika Sagara malah memilih menemui seorang anak kecil yang tidak jelas asal-usulnya ketimbang menemui orang yang jelas-jelas penting!“Sebentar, aku mau ngomong sama anak itu, Sher. Kamu tunggu di atas dulu, nanti aku nyusul,” ujarnya masih bersikeras.Bahkan sekarang ia sudah berlari turun, menyingkap sekumpulan orang yang sekiranya menghalangi jalan, lantas berlari meninggalkan Sherly yang kesal dengan sikap mendadak Sagara.Sagara lantas berusaha mengejar dua orang yang berjalan sembari saling bergandengan tangan di depannya sekarang.“Radeva!” panggilnya.Bocah dan wanita yang ada di sisinya menoleh. Sebelum Radeva sempat merespons, Sagara menghampirinya dan langsung mendaratkan kedua tangannya pada bahu kecil Radeva.“Deva, kamu mau ke mana? Nggak pulang, kan? Bisa tunggu Om bentar?” ungkap Sagara dengan napas masih terengah-engah.Radeva menatap Yanti sing

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 34

    “Waduh, saya kurang tahu ya, Bu. Tapi ini ada di dalam situ tadi.”Karyawan itu kemudian menyerahkan sebuah kartu kecil. Sambil menautkan alis, Ranaya mengambilnya dan mulai membuka kartu yang diberi pita merah tersebut. Begitu membacanya, mata Ranaya melebar.‘Dari Yusuf?’ batin Ranaya menyuarakan keheranannya.Karyawan yang mengantar melangkah pergi. Sementara itu, karyawan lain yang berada di ruangan yang sama dengan Ranaya mulai berbisik-bisik selagi tatapan mereka terpaku pada buket bunga mewah tersebut.“Ssstt, bos kita udah punya pacar, ya?”“Mungkin. Akhirnya Bu Ranaya buka hati juga.”Ranaya menatap buket bunga itu masih dengan ekspresi sulit diartikan. Di dalam kartu, ada pesan singkat yang semakin membuatnya terkejut.[Saya ingin serius denganmu, Ranaya. Tolong beri saya kesempatan lagi.]Tangannya sedikit gemetar. Apa-apaan ini?! Yusuf ingin serius dengannya?Seketika tubuh Ranaya lemas. Ia sampai harus menekan meja agar kuat berdiri. Ranaya lalu memilih duduk, menggeleng

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 33

    Setelah menolong Radeva dan menyaksikan mobil itu hilang dari pandangannya, Sagara pun kembali ke dalam mobilnya sendiri. Ia menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Berikutnya, seperti tersengat listrik bertegangan rendah, tangannya cepat-cepat meraih bolpoin di laci dashboard dan menuliskan plat nomor mobil van putih tadi di secarik kertas.Ia lalu memandangi kombinasi angka dan huruf yang baru saja ia tulis. Meskipun hanya melihatnya sekelebat, otaknya cukup tajam untuk mengingat dengan baik. Ini ia lakukan agar tak ada korban lagi di sekitarnya. Rencananya, ia akan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi.Namun … ada sesuatu yang janggal. Plat nomor itu tak menunjukkan wilayah kota ini.“Ini kan plat nomor kota sebelah?” gumamnya pelan.Mata Sagara kembali menajam. Memandang ke luar jendela.Sagara kemudian memutuskan pulang. Ia melajukan mobilnya sembari sesekali melempar tatapan ke sana kemari berharap menemukan van putih itu di antara lalu lintas yang

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 32

    "Lumahku ada di lual kota, Om."Mendengar jawaban dari Radeva membuat kening Sagara spontan mengernyit."Hah? Luar kota?" ulangnya keheranan. “Dari sini jauh nggak, Deva?”“Iya, jauh bangeeet, Om.” Radeva mengangguk, seolah itu adalah hal yang biasa.Menempuh sekolah kurang lebih satu jam dari rumah dinilai sudah jauh oleh bocah tersebut. Ia benci perjalanan lama yang membosankan.Rasa-rasanya Sagara semakin tak habis pikir. Apalagi mengenai bocah lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Entah kenapa ia kian tertarik dengan kehidupan Radeva yang menurutnya unik itu."Terus, kenapa sekolah di sini? Hmm, maksud Om sekolah kamu kok jauh sekali dari rumah?" tanyanya. Alisnya berkerut dalam."Itu kalena Mama bolak-balik ke kota ini juga, Om. Mama dulu juga dali sini kok telus pindah," sahut Radeva ringan.Sekelebat rasa heran menyelinap di benak Sagara. Jadi, ibunya memang berasal dari kota ini? Ia baru hendak bertanya lebih jauh ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekat mereka.Dari

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 31

    Siang itu, di sebuah restoran yang menyajikan makanan Italia, Acel berjalan dengan langkah setengah mengendap. Pandangannya was-was, sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengenalinya.Langkahnya kemudian membawanya ke sebuah meja di sudut ruang dan berhenti di sana, di mana seorang pria bercambang sudah duduk menunggu.Tanpa banyak basa-basi, Acel langsung menjatuhkan diri di kursi, meraih buku menu, mengangkat tinggi-tinggi, dan menempelkan di wajahnya."Sialan, kamu ngagetin saja!" Yusuf mendesis kesal ketika Acel tiba-tiba sudah duduk di hadapannya selagi ia masih menggulir tabletnya.“Lagian, ngapain sih kamu fokus banget?! Lihatin apa?” kukuh Acel tak kalah sewot. Ia menyibakkan rambutnya yang hanya sebatas dagu.“Nih, aku lihat saham propertiku yang lagi bagus-bagusnya!” Yusuf mencondongkan layar ke arah Acel dengan raut wajah bangga. Acel hanya meresponsnya dengan memutar bola mata. Sejujurnya malas meladeni sikap sombong Yusuf.Sontak Yusuf merengut dan mel

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 30

    “Terus kenapa Mama sembunyi?"Pertanyaan dari bibir polos Radeva itu menusuk Ranaya lebih dalam daripada yang ia kira. Seketika dadanya terasa sesak.Kenapa, ya?Apakah ia masih takut? Masih terluka? Atau sebenarnya, ia hanya belum siap berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang dulu pernah mengecewakannya kini mulai merayap lagi ke kehidupan barunya?Ranaya berpikir cepat. Kebohongan yang akan ia ucapkan hanya akan melukai Radeva nanti. Tentu saja ia tak tega.Jadi tak ada pilihan lain bagi Ranaya selain ….“Aduh!” Tiba-tiba Ranaya mencengkeram perutnya. Ia meringis kesakitan sampai tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik.Seketika Radeva panik menyaksikan ibunya kesakitan begitu. Bocah cilik itu langsung berhambur dan memeluk ibunya sambil bertanya, “Ma … Mama kenapa? Ada yang bisa Depa bantu, nggak?”“Mama sakit perut, Sayang. Kita masuk mobil dulu saja, yuk. Mama ingin istirahat dulu,” ungkapnya.Radeva sontak mengangguk dan mengiyakan secara polos. Tangan kecilnya lantas

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status