“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”
Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya. Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri. “Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi. Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan. “Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya. “Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.” Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pagi. “Wah, mantap! Kebetulan Papa juga sudah lapar ini.” Harto yang melangkah masuk dengan membawa barang yang lebih berat sempat melirik ke arah meja dengan senyuman lebar. “Ada yang perlu dibantu bawakan nggak, Pa?” Ranaya menawarkan diri. “Sudah nggak ada. Di mobil sudah nggak ada barang lagi,” sahut Harto ikut nimbrung di meja. Mereka mulai mengambil nasi. Tetapi, tiba-tiba saja gerakan tangan Tantri berhenti. Wanita itu sempat mengitarkan pandangan ke sekelilingnya. “Lo, mana Sagara? Kok dari tadi nggak kelihatan?” tanyanya. Secara refleks Ranaya menatap jam yang tergantung di dinding. Jarum jam singgah di angka tujuh. Ranaya mencoba memeras pikirannya untuk mencari alasan. Tentu saja Ranaya tahu kalau Sagara memulangkan perempuan yang dibawanya dari subuh tadi. Tapi, ia tak menyangka jika sampai sekarang ia belum kembali juga. “Hmm … Mas Sagara tadi bilang mau ke mini market terdekat, Ma. Ada barang yang harus dia beli.” Tantri manggut-manggut. Tepat saat itu Sagara membawa langkahnya masuk dengan tak membawa apa pun di tangannya. “Sagara, mana barang belanjamu? Kamu beli apa?” Mata Tantri meneliti Sagara yang berhenti di depan mereka. Sagara sempat melirik Ranaya tanpa ekspresi. Tadi sewaktu kemari, telinganya sempat menangkap Ranaya yang mencari alasan untuk kepergiannya pagi ini. “Aku beli minyak angin, Ma. Sudah aku taruh mobil,” ucapnya acuh tak acuh, lalu kembali melangkahkan kaki. “Oh, kalau gitu cepat mandi dan sarapan bareng. Ranaya sudah masak ayam goreng lengkuas.” Tantri setengah berteriak sebab Sagara terlihat buru-buru menapaki tangga. “Aku nggak ikut sarapan, Ma. Jamnya sudah mepet.” Tanpa menoleh Sagara tetap melanjutkan langkahnya. Ranaya menekuk bibir samar. Kini pandangannya terlempar pada salah satu sajian di meja. Ia kecewa Sagara tak mau makan hasil masakannya hari ini. Padahal Ranaya tahu, suaminya itu sangat menyukai ayam goreng lengkuas. *** “Ranaya, tolong antar bekal ini ke kantor Sagara, ya.” Ranaya termangu menyaksikan Tantri sudah mengulurkan tangan dengan bekal yang tersusun rapi di dalam tas. “Sagara kan suka makan ayam goreng lengkuas. Biar dia semangat kerja,” tambah Tantri meyakinkan keraguan Ranaya. “Hmm, tapi─tapi Mama ikut, kan?” Tantri langsung melengkungkan bibirnya. “Ya, nggak dong, Ran.” Ia meringis sambil memegang bagian punggung, lantas melanjutkan, ”Punggungku kan masih sakit.” Ranaya tetap bergeming. Sebenarnya ia mau melakukannya. Namun, bagaimana nanti respons Sagara jika tahu dirinya mengunjungi kantor? Tetapi, pada akhirnya Ranaya tetap berangkat demi Tantri. Sepanjang perjalanan Ranaya berusaha menghalau berbagai pikiran. Ia melempar pandang ke sana kemari, namun rasanya semua yang ia lakukan percuma. Hingga akhirnya taksi yang ia tumpangi menepi dan berhenti tepat di sebuah gedung megah dengan tulisan “PT. Wiratama Group” terpampang besar di sana. Ranaya menelan ludah begitu ia berdiri di depan kantor milik keluarga Sagara sementara taksi tadi sudah melaju meninggalkannya. Perempuan itu saling menautkan jemarinya, lalu dengan berat hati mulai melangkah. “Selamat pagi, Bu.” Seorang sekuriti membukakan pintu dan menyapanya ramah. Ranaya mengangguk canggung. Tetapi berikutnya kepercayaan dirinya kian runtuh saat mendapati tatapan terkejut dari sebagian karyawan di sana. Beberapa dari mereka justru terlihat memandangnya penuh keheranan. “Selamat pagi, Bu Ranaya. Tumben Anda berkunjung ke kantor,” sapa salah satu karyawan dengan senyum segan. “Oh, saya cuma mau mengantar bekal untuk Pak Sagara,” aku Ranaya. Karyawan tersebut lantas mempersilakan Ranaya untuk melanjutkan perjalanan. Ranaya merasa orang-orang tadi langsung berkasak-kusuk di belakangnya begitu ia pergi. Mencapai ruang Sagara, Ranaya mendorong pintu dan bertemu dengan seorang perempuan cantik berambut panjang nan indah. Ruang Sagara memang didesain unik. Begitu masuk, tamu akan menemui sekretaris dulu baru kemudian diteruskan ke ruang di mana Sagara berada. Awalnya perempuan muda yang ditaksir seumuran dengannya itu terkejut menyaksikan Ranaya datang ke sini. Setelah itu, ia bangkit. Menyambut Ranaya dengan riang dan senyumnya yang memesona. “Loh, Bu? Ada keperluan apa kemari?” tutur perempuan tersebut ketika mendekat. Ranaya mengernyit samar. Ia tidak ingat siapa wanita berpenampilan feminim yang ada di hadapannya sekarang. Namun, entah kenapa rambut panjang dan suaranya terasa sedikit familier bagi Ranaya. Merasa pandangan Ranaya aneh, perempuan itu kemudian berujar, “Oh, maaf, sepertinya saya lupa memperkenal diri dulu. Saya Sherly, Bu, sekretaris pribadi Pak Sagara.” Ranaya sedikit menimbang-nimbang dan secara tak sadar menatap Sherly dari atas ke bawah. Kalau tidak salah lihat … perempuan inilah yang dibawa Sagara ke rumah kemarin sore. Dada Ranaya jadi sesak mengingatnya. “Saya hadir lo di acara pernikahan Anda dan Pak Sagara. Anda ingat, kan?” Sambil tersenyum lebar, Sherly beberapa kali mengerjapkan matanya. Perempuan yang dihadapinya sekarang cantik dan sangat imut, Ranaya membatin. Ia memperbaiki kacamatanya dan menyunggingkan senyum simpul untuk menanggapi. “Iya, terima kasih. Saya ingat, kok.” Ranaya berbohong. Ia tidak ingat apa pun soal Sherly kecuali rambut panjangnya dan suara yang mendayu manja. “Boleh saya bertemu Pak Sagara?” lanjutnya. Ia merasa kurang nyaman berada di dekat Sherly yang bersikap sok akrab dengannya. Padahal mereka tak pernah dekat. “Oh, tentu boleh dong, Bu. Mari saya antar.” Ketika Sherly hendak menggandeng tangan Ranaya, Ranaya segera menarik tangannya bahkan sebelum perempuan itu menyentuh kulitnya. “Bukannya kamu harus konfirmasi dulu ke Pak Sagara, ya?” tanyanya memastikan. Sherly hanya tertawa. “Ah, nggak dong, Bu. Nggak perlu. Anda kan istrinya.” Ranaya mencoba mengikuti, sementara Sherly berjalan mendahului. Perempuan tersebut membuka pintu ruang Sagara. Sagara waktu itu sedang melangsungkan pembicaraan lewat telepon. Melihat Ranaya, wajah Sagara langsung mengeras. “Iya, kita bicarakan lagi lain waktu. Nanti saya hubungi lagi.” Sagara lekas menyudahi teleponnya dengan tatapan tajam yang masih terhunjam lurus ke arah Ranaya. “Kenapa kamu di sini?!” gertak Sagara. Ranaya perlahan mendekat. Tangannya meletakkan tas yang dibawakan ibu mertuanya tadi. “Maaf, Mas. Aku cuma mau ngantar bekal. Mama yang nyuruh,” akunya. Sagara mengatupkan rahang, lantas menggeser pandangan ke Sherly yang masih bertahan di sana. “Kenapa kamu nggak tanya dulu? Siapa pun tamunya, kamu wajib lapor dulu.” Sherly menyatukan alis. Tidak terima dengan ucapan Sagara. “Tapi kan Bu Ranaya itu istri Anda, Pak. Masa diperlakukan sama dengan tamu lain,” protesnya. Ia lalu berpaling pada Ranaya, meraih kedua tangan Ranaya dan menggenggamnya erat. “Maaf ya, Bu. Ini semua salah saya. Hmm saya pikir nggak apa-apa karena Anda itu istrinya.” Tatapan Sherly beralih kepada Sagara. Ia lantas berucap, “Maaf juga ya, Pak. Tolong salahkan saya saja. Bu Ranaya tadi hanya diam dan menuruti apa kata saya.” Ranaya menarik napas hendak menyahut. Bukankah tadi ia sudah memastikan untuk konfirmasi dulu? Ia tidak sebodoh seperti yang Sherly katakan. “Harusnya dia tahu bagaimana tata krama bertamu itu.” Alih-alih merespons ucapan Sherly, Sagara justru tetap menyalahkan Ranaya. Matanya seakan menguliti semua kesalahan perempuan itu. “Sekarang juga kamu pergi dari sini! Aku nggak mau melihat kamu menginjak kantorku, kecuali di depan Mama.”Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara?“Aku ingin pindah rumah.”Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya?“Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya.“Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.”Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan
Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara?“Aku ingin pindah rumah.”Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya?“Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya.“Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.”Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me
Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl