Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….” Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya. Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya? Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah. Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari. Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa in
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya d
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!” Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya. Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri. “Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi. Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan. “Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya. “Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.” Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil goreng
Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan. Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet. Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya. "Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan. "Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam. Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dal
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi