Share

5. Hidup dengan Satu Ginjal

Author: Glory Bella
last update Last Updated: 2025-01-20 12:30:52

Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya.

Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya.

Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak.

“Bu!” serunya melangkah cepat mendekati.

Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya.

“Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya.

Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa.

Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri.

“Bu, tolong ceritakan Bapak kenapa?” tanyanya panik sambil mengusap punggung ibunya.

Bu Ida melepaskan pelukan dan menatap Ranaya dengan mata merah.

“Bapakmu … jantungnya. Tiba-tiba tadi dia sesak napas. Dokter bilang harus segera masuk ICU.”

Jantung Ranaya seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami situasi yang diceritakan. Ayahnya, Sugik, selama ini selalu terlihat sehat. Meski usianya tak lagi muda, pria itu tetap kuat bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka.

Dan, paling mengherankan, ayahnya tak punya riwayat jantung, tak punya hipertensi atau penyakit yang bersangkutan dengan jantung. Gaya hidup pria paruh baya tersebut juga terbilang sehat dengan selalu menjaga asupan makannya. Mengurangi konsumsi gula, garam, makanan bersantan, juga makanan bertepung.

Bagaimana mungkin kini ia terbaring lemah di ruang ICU?

Tak berapa lama seorang dokter terlihat berjalan keluar dari ruang bilik ICU.

“Ada keluarga dari Bapak Sugik Hadiwijanto?”

Ranaya lantas menggandeng ibunya dan mendekat. “Kami keluarganya, Dok. Bagaimana keadaan beliau?” tanya Ranaya.

“Pasien telah siuman. Kami sudah memeriksa semuanya dan memutuskan untuk merawat beliau di ruangan khusus hari ini juga.”

Ranaya kemudian mengikuti apa saran dokter dan mengurus seluruh administrasi pemindahan ruang rawat ayahnya. Baik Ranaya maupun ibunya kini menunggu dengan harap-harap cemas di luar sementara beberapa tenaga medis tengah memasangkan sejumlah alat seperti monitor, ventilator, dan sebagainya.

“Ran, masuklah. Temui bapakmu dulu,” ucap Ida begitu tenaga medis tadi keluar ruangan.

Ranaya langsung membawa kakinya menuju ruang rawat Sugik tanpa menunggu lebih lama lagi. Begitu ia masuk, aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung bercampur dengan suasana sunyi yang mencekam menyambutnya. Matanya segera menemukan sosok ayahnya yang terbaring di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidung.

Ayahnya terlihat begitu pucat. Tubuh yang dulu kokoh kini tampak lemah dan layu.

“Bapak ….” lirih Ranaya sambil mendekati ranjang.

Mendengar suara putrinya, Sugik membuka mata perlahan. Sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya meski jelas terlihat betapa lemahnya ia. Tampak tulang pipi pria itu menyembul.

“Ranaya … kamu datang,” suaranya serak. Bahkan nyaris tak terdengar.

Ranaya langsung meraih tangan ayahnya yang dingin dan kurus. Air matanya kembali tumpah. Ia tak bisa menahan rasa sesak di dadanya.

“Gimana keadaan Bapak? Bapak ngerasain gejala apa sebelumnya? Kenapa nggak cerita ke aku atau ibu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Pak Sugik tersenyum. “Nggak perlu. Kamu kan sudah punya banyak beban sendiri. Nggak perlu pikirkan Bapak lagi. Bapak baik-baik saja .…”

“Baik-baik saja gimana, Pak? Lihat diri Bapak sekarang,” bisik Ranaya tak kuasa menahan tangisnya. “Bapak selalu bilang nggak apa-apa, tapi akhirnya kayak gini. Aku nggak mau Bapak kenapa-kenapa .…”

Sugik mengangkat tangan dengan susah payah demi menyentuh kepala putrinya. “Kamu nggak boleh menangis seperti ini, Nak. Lihat, kamu jadi nggak cantik. Anak Bapak harus selalu tersenyum, harus selalu bahagia. Karena dengan begitu anak Bapak tambah kelihatan cantik.”

Ranaya terisak semakin keras. Bagaimana mungkin ayahnya masih sempat bercanda dalam kondisi seperti ini? Apalagi beliau secara terus terang ingin dirinya selalu bahagia.

‘Ranaya juga ingin Bapak sembuh.’ ujarnya dalam hati.

“Ran, gimana kabar kamu sama Sagara? Dia baik sama kamu, kan?” tanya Pak Sugik tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Ranaya tercekat. Ia tahu ia harus berbohong. Tak mungkin ia menceritakan kenyataan bahwa pernikahannya dengan Sagara tidak membawa kebahagiaan dan justru menghancurkan perasaannya.

Suaminya itu bahkan terang-terangan berselingkuh di hadapan Ranaya. Namun, ia tak ingin ayahnya khawatir.

“Baik kok, Pak. Bapak tenang saja,” responsnya dengan suara kecil. Ia berusaha mengulas senyum di bibir agar terlihat meyakinkan.

Sugik tersenyum tipis. “Syukurlah. Bapak tahu Sagara anak yang baik. Bapak nggak mungkin salah pilih.”

Ranaya hanya bisa menggigit bibir. Ia menahan rasa perih yang menyeruak di hatinya.

Ia tahu, ayahnya percaya sepenuhnya pada Sagara. Dan kepercayaan itu kini terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.

Setelah beberapa saat berbicara, Ranaya memutuskan untuk meninggalkan ruangan agar ayahnya bisa beristirahat. Dengan langkah gontai, ia keluar dan mencari ibunya.

Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara percakapan dari sebuah ruangan kecil di dekat lorong. Ia mengenali suara dokter yang sedang berbicara dengan ibunya.

“Bu Ida, sebenarnya ini semua karena Pak Sugik terlalu lama menyembunyikan kondisinya. Beliau hanya memiliki satu ginjal saat ini, dan itu sudah sejak lama,” kata dokter itu.

Ranaya membelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ginjal … satu?” bisiknya. Tak sadar suaranya bergetar.

Ia segera mendekat, masuk ke ruangan kecil itu tanpa pikir panjang.

“Dok, apa maksudnya bapak saya cuma punya satu ginjal?” sambarnya langsung. Matanya tampak menuntut.

Dokter terlihat terkejut melihat kedatangannya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, panggilan darurat dari rekannya membuatnya terpaksa pergi.

“Maaf, saya harus segera ke ruang lain. Nanti kita lanjutkan pembicaraan ini,” tekan dokter itu sambil berlalu.

“Dok, tunggu! Mohon jelaskan dulu!” Ranaya berseru di sela tangisnya. Tetapi, dokter itu sudah menghilang di balik lorong.

Ia beralih menatap ibunya, yang kini tampak linglung.

“Bu, Ada apa ini?! Apa maksudnya Bapak cuma punya satu ginjal?” tuntutnya lagi sembari mengguncang kedua bahu Ida. Suaranya terdengar meninggi.

Namun, Ida hanya terdiam. Wajahnya mendadak pucat, dan beberapa detik kemudian tubuhnya justru ambruk di lantai.

“Bu!” Ranaya berteriak panik, lalu langsung memeluk ibunya yang tak sadarkan diri.

Air mata kembali membanjiri wajah Ranaya. Dalam sekejap, semua dunia seolah runtuh di hadapannya. Ayahnya sakit parah, dan kini ibunya pingsan.

Hari semakin malam. Beruntung Ida sempat siuman sehingga Ranaya bisa kembali ke rumah. Ia pun tak menyangka harus pulang selarut ini.

Ranaya melangkah mengendap-endap sewaktu melewati ruang tengah. Hal ini sengaja ia lakukan agar orang rumah tak khawatir. Lagian ia juga lupa mengabari ibu mertuanya jika ia harus menjenguk ayahnya yang sakit.

Namun, baru saja kakinya menapak anak tangga, lampu ruang tengah tiba-tiba menyala.

“Ranaya, kamu dari mana saja?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   6. Jangan Membuat Kesalahan Lagi!

    Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku ngg

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   7. Terpaksa Membuat Cucu

    Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu

    Last Updated : 2025-01-30
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   8. Cerai atau Poligami?

    Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”

    Last Updated : 2025-01-31
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   9. Selamat dari Pelecehan

    “Sagara, kamu mau ke mana?” Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo. “Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut. “Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya. Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang. “Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.” Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju. Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─” “Ssttt, ikut kata

    Last Updated : 2025-02-01
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   10. Hubungan Tantri dan Sherly

    “Maaf, Mas ….” Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental. Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat. Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan. *** Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai,

    Last Updated : 2025-02-02
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   11. Dunia Ranaya Runtuh

    Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku. Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya. “Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis. Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya. Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya. Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang. “Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang

    Last Updated : 2025-02-03
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   12. Masa Lalu Kelam

    Ranaya akhirnya menoleh. Tatapannya kosong. “Maaf, Mas. Tapi bisa nggak tinggalin aku sendiri dulu?” mohonnya dengan suara serak dan dalam karena terlalu banyak menangis. Ranaya merasa semakin nelangsa sekarang. Di saat ia sedang kehilangan, di saat ia down dan terpuruk, serta tak memercayai siapa pun di rumah ini, suaminya justru tak memedulikannya dan malah lebih mementingkan tentang sapu tangan itu. Sagara menatap tajam ke arah Ranaya yang mengalihkan pandangannya kembali ke arah jendela. Rahang pria tersebut kian berkedut. Ia semakin meremas sapu tangan di tangannya, untuk kemudian memutuskan keluar. Membiarkan sendiri Ranaya yang menurutnya sangat merepotkan. Sagara melangkah cepat menuju ruang lain di rumah ini. Ia tak tahu jika ternyata Tantri sengaja berada di depan kamar mereka untuk menguping pembicaraan. Wajah Tantri terlihat kecewa. Angin malam menerobos jendela ruang kerja Sagara yang setengah terbuka. Suara detak jam di dinding seolah menggema di ruangan itu, be

    Last Updated : 2025-02-04
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   13. Efek Obat Rangsang

    Kedua mata Ranaya membelalak lebar. Tubuh yang membelenggu mulai beringsut menjalar di atasnya. Apalagi sekarang ia dapat menyaksikan badan berotot milik Sagara hanya dililit oleh kain handuk. “Jangan, Mas, tolong ….” Ia menggeleng cepat dengan bibir yang terkatup rapat. Namun, hal itu justru membuat Sagara menarik salah satu ujung bibirnya. Sepasang mata itu sedang dilanda mabuk gairah yang meletup-letup dan mengunci Ranaya seolah ingin menelannya bulat-bulat. “Salah sendiri kamu melanggarnya. Aku sudah memperingatkanmu tadi,” desisnya dengan suara berat penuh hasrat. Tangannya kian menggenggam erat pergelangan tangan Ranaya dan menariknya ke atas kepala wanita tersebut. Makin ketakutanlah Ranaya. Ranaya dejavu, ia merasakan kembali untuk kedua kalinya ketakutan yang benar-benar ingin ia hindari. Walau begitu, Ranaya tahu jika Sagara malam ini merupakan sosok yang berbeda. Kalau kemarin ia menemui kilat amarah dan penuh keterpaksaan dari pria itu, namun tidak dengan sekarang

    Last Updated : 2025-02-06

Latest chapter

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   110. Penuh “R” (TAMAT)

    "Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   109. Ayah Om Papa!

    Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   108. Tersingkap

    Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   107. Lemme Help You

    Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   106. Kalau Hari Itu Ada

    "Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   105. Mengganti Masa Emas

    [Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   104. Recovery Phase

    Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   103. Api Cemburu

    Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   102. Banyak Saus di Mulut

    Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status