Share

Bab 5

Author: Glory Bella
last update Last Updated: 2025-01-20 12:30:52

Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya.

Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya.

Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak.

“Bu!” serunya melangkah cepat mendekati.

Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya.

“Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya.

Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa.

Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri.

“Bu, tolong ceritakan Bapak kenapa?” tanyanya panik sambil mengusap punggung ibunya.

Bu Ida melepaskan pelukan dan menatap Ranaya dengan mata merah.

“Bapakmu … jantungnya. Tiba-tiba tadi dia sesak napas. Dokter bilang harus segera masuk ICU.”

Jantung Ranaya seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami situasi yang diceritakan. Ayahnya, Sugik, selama ini selalu terlihat sehat. Meski usianya tak lagi muda, pria itu tetap kuat bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka.

Dan, paling mengherankan, ayahnya tak punya riwayat jantung, tak punya hipertensi atau penyakit yang bersangkutan dengan jantung. Gaya hidup pria paruh baya tersebut juga terbilang sehat dengan selalu menjaga asupan makannya. Mengurangi konsumsi gula, garam, makanan bersantan, juga makanan bertepung.

Bagaimana mungkin kini ia terbaring lemah di ruang ICU?

Tak berapa lama seorang dokter terlihat berjalan keluar dari ruang bilik ICU.

“Ada keluarga dari Bapak Sugik Hadiwijanto?”

Ranaya lantas menggandeng ibunya dan mendekat. “Kami keluarganya, Dok. Bagaimana keadaan beliau?” tanya Ranaya.

“Pasien telah siuman. Kami sudah memeriksa semuanya dan memutuskan untuk merawat beliau di ruangan khusus hari ini juga.”

Ranaya kemudian mengikuti apa saran dokter dan mengurus seluruh administrasi pemindahan ruang rawat ayahnya. Baik Ranaya maupun ibunya kini menunggu dengan harap-harap cemas di luar sementara beberapa tenaga medis tengah memasangkan sejumlah alat seperti monitor, ventilator, dan sebagainya.

“Ran, masuklah. Temui bapakmu dulu,” ucap Ida begitu tenaga medis tadi keluar ruangan.

Ranaya langsung membawa kakinya menuju ruang rawat Sugik tanpa menunggu lebih lama lagi. Begitu ia masuk, aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung bercampur dengan suasana sunyi yang mencekam menyambutnya. Matanya segera menemukan sosok ayahnya yang terbaring di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidung.

Ayahnya terlihat begitu pucat. Tubuh yang dulu kokoh kini tampak lemah dan layu.

“Bapak ….” lirih Ranaya sambil mendekati ranjang.

Mendengar suara putrinya, Sugik membuka mata perlahan. Sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya meski jelas terlihat betapa lemahnya ia. Tampak tulang pipi pria itu menyembul.

“Ranaya … kamu datang,” suaranya serak. Bahkan nyaris tak terdengar.

Ranaya langsung meraih tangan ayahnya yang dingin dan kurus. Air matanya kembali tumpah. Ia tak bisa menahan rasa sesak di dadanya.

“Gimana keadaan Bapak? Bapak ngerasain gejala apa sebelumnya? Kenapa nggak cerita ke aku atau ibu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Pak Sugik tersenyum. “Nggak perlu. Kamu kan sudah punya banyak beban sendiri. Nggak perlu pikirkan Bapak lagi. Bapak baik-baik saja .…”

“Baik-baik saja gimana, Pak? Lihat diri Bapak sekarang,” bisik Ranaya tak kuasa menahan tangisnya. “Bapak selalu bilang nggak apa-apa, tapi akhirnya kayak gini. Aku nggak mau Bapak kenapa-kenapa .…”

Sugik mengangkat tangan dengan susah payah demi menyentuh kepala putrinya. “Kamu nggak boleh menangis seperti ini, Nak. Lihat, kamu jadi nggak cantik. Anak Bapak harus selalu tersenyum, harus selalu bahagia. Karena dengan begitu anak Bapak tambah kelihatan cantik.”

Ranaya terisak semakin keras. Bagaimana mungkin ayahnya masih sempat bercanda dalam kondisi seperti ini? Apalagi beliau secara terus terang ingin dirinya selalu bahagia.

‘Ranaya juga ingin Bapak sembuh.’ ujarnya dalam hati.

“Ran, gimana kabar kamu sama Sagara? Dia baik sama kamu, kan?” tanya Pak Sugik tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Ranaya tercekat. Ia tahu ia harus berbohong. Tak mungkin ia menceritakan kenyataan bahwa pernikahannya dengan Sagara tidak membawa kebahagiaan dan justru menghancurkan perasaannya.

Suaminya itu bahkan terang-terangan berselingkuh di hadapan Ranaya. Namun, ia tak ingin ayahnya khawatir.

“Baik kok, Pak. Bapak tenang saja,” responsnya dengan suara kecil. Ia berusaha mengulas senyum di bibir agar terlihat meyakinkan.

Sugik tersenyum tipis. “Syukurlah. Bapak tahu Sagara anak yang baik. Bapak nggak mungkin salah pilih.”

Ranaya hanya bisa menggigit bibir. Ia menahan rasa perih yang menyeruak di hatinya.

Ia tahu, ayahnya percaya sepenuhnya pada Sagara. Dan kepercayaan itu kini terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.

Setelah beberapa saat berbicara, Ranaya memutuskan untuk meninggalkan ruangan agar ayahnya bisa beristirahat. Dengan langkah gontai, ia keluar dan mencari ibunya.

Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara percakapan dari sebuah ruangan kecil di dekat lorong. Ia mengenali suara dokter yang sedang berbicara dengan ibunya.

“Bu Ida, sebenarnya ini semua karena Pak Sugik terlalu lama menyembunyikan kondisinya. Beliau hanya memiliki satu ginjal saat ini, dan itu sudah sejak lama,” kata dokter itu.

Ranaya membelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ginjal … satu?” bisiknya. Tak sadar suaranya bergetar.

Ia segera mendekat, masuk ke ruangan kecil itu tanpa pikir panjang.

“Dok, apa maksudnya bapak saya cuma punya satu ginjal?” sambarnya langsung. Matanya tampak menuntut.

Dokter terlihat terkejut melihat kedatangannya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, panggilan darurat dari rekannya membuatnya terpaksa pergi.

“Maaf, saya harus segera ke ruang lain. Nanti kita lanjutkan pembicaraan ini,” tekan dokter itu sambil berlalu.

“Dok, tunggu! Mohon jelaskan dulu!” Ranaya berseru di sela tangisnya. Tetapi, dokter itu sudah menghilang di balik lorong.

Ia beralih menatap ibunya, yang kini tampak linglung.

“Bu, Ada apa ini?! Apa maksudnya Bapak cuma punya satu ginjal?” tuntutnya lagi sembari mengguncang kedua bahu Ida. Suaranya terdengar meninggi.

Namun, Ida hanya terdiam. Wajahnya mendadak pucat, dan beberapa detik kemudian tubuhnya justru ambruk di lantai.

“Bu!” Ranaya berteriak panik, lalu langsung memeluk ibunya yang tak sadarkan diri.

Air mata kembali membanjiri wajah Ranaya. Dalam sekejap, semua dunia seolah runtuh di hadapannya. Ayahnya sakit parah, dan kini ibunya pingsan.

Hari semakin malam. Beruntung Ida sempat siuman sehingga Ranaya bisa kembali ke rumah. Ia pun tak menyangka harus pulang selarut ini.

Ranaya melangkah mengendap-endap sewaktu melewati ruang tengah. Hal ini sengaja ia lakukan agar orang rumah tak khawatir. Lagian ia juga lupa mengabari ibu mertuanya jika ia harus menjenguk ayahnya yang sakit.

Namun, baru saja kakinya menapak anak tangga, lampu ruang tengah tiba-tiba menyala.

“Ranaya, kamu dari mana saja?”

Related chapters

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 6

    Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 7

    Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu

    Last Updated : 2025-01-30
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 8

    Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”

    Last Updated : 2025-01-31
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 9

    “Sagara, kamu mau ke mana?”Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo.“Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut.“Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya.Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang.“Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.”Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju.Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─”“Ssttt, ikut kata Mama. Sekarang

    Last Updated : 2025-02-01
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 10

    “Maaf, Mas ….”Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental.Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat.Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan.***Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai, ia menaru

    Last Updated : 2025-02-02
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 11

    Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku.Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya.“Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis.Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya.Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya.Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang.“Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang.Ranaya me

    Last Updated : 2025-02-03
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 12

    Ranaya akhirnya menoleh. Tatapannya kosong.“Maaf, Mas. Tapi bisa nggak tinggalin aku sendiri dulu?” mohonnya dengan suara serak dan dalam karena terlalu banyak menangis.Ranaya merasa semakin nelangsa sekarang. Di saat ia sedang kehilangan, di saat ia down dan terpuruk, serta tak memercayai siapa pun di rumah ini, suaminya justru tak memedulikannya dan malah lebih mementingkan tentang sapu tangan itu.Sagara menatap tajam ke arah Ranaya yang mengalihkan pandangannya kembali ke arah jendela. Rahang pria tersebut kian berkedut. Ia semakin meremas sapu tangan di tangannya, untuk kemudian memutuskan keluar. Membiarkan sendiri Ranaya yang menurutnya sangat merepotkan.Sagara melangkah cepat menuju ruang lain di rumah ini. Ia tak tahu jika ternyata Tantri sengaja berada di depan kamar mereka untuk menguping pembicaraan. Wajah Tantri terlihat kecewa.Angin malam menerobos jendela ruang kerja Sagara yang setengah terbuka. Suara detak jam di dinding seolah menggema di ruangan itu, bersanding

    Last Updated : 2025-02-04
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 13

    Kedua mata Ranaya membelalak lebar. Tubuh yang membelenggu mulai beringsut menjalar di atasnya. Apalagi sekarang ia dapat menyaksikan badan berotot milik Sagara hanya dililit oleh kain handuk.“Jangan, Mas, tolong ….” Ia menggeleng cepat dengan bibir yang terkatup rapat.Namun, hal itu justru membuat Sagara menarik salah satu ujung bibirnya. Sepasang mata itu sedang dilanda mabuk gairah yang meletup-letup dan mengunci Ranaya seolah ingin menelannya bulat-bulat.“Salah sendiri kamu melanggarnya. Aku sudah memperingatkanmu tadi,” desisnya dengan suara berat penuh hasrat. Tangannya kian menggenggam erat pergelangan tangan Ranaya dan menariknya ke atas kepala wanita tersebut.Makin ketakutanlah Ranaya. Ranaya dejavu, ia merasakan kembali untuk kedua kalinya ketakutan yang benar-benar ingin ia hindari.Walau begitu, Ranaya tahu jika Sagara malam ini merupakan sosok yang berbeda. Kalau kemarin ia menemui kilat amarah dan penuh keterpaksaan dari pria itu, namun tidak dengan sekarang karena S

    Last Updated : 2025-02-06

Latest chapter

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 38

    Setelah beberapa saat berkelahi dengan pikirannya sendiri, Sagara akhirnya mendesah panjang, lantas memutar setir mobilnya. Mobilnya berputar balik dan kemudian melaju kencang demi mengejar mobil tadi.Kali ini Sagara harus memastikan bahwa penglihatannya tak mungkin salah.Itu benar Ranaya, kan? Kepalanya terus berdengung memikirkan nama itu.Suara deru mesin mobil bergema di telinga Sagara, berpadu dengan debar jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia mengetatkan genggaman di setir, menatap mobil di depannya dengan tatapan penuh tekad selama di perjalanan.Pandangan Sagara tajam menatap lintas jalan raya yang ramai kendaraan. Sejenak matanya menyipit.Ia yakin perempuan tadi mirip Ranaya. Namun, ada hal ganjil. Kenapa perempuan itu tak mengenakan kacamata?Sagara menggertakkan giginya, lalu memacu mobilnya lebih kencang. Perasaan yang membuncah di dadanya entah apa namanya. Marah? Sama sekali tidak. Bingung? Mungkin.Atau justru lebih dari itu?Sagara ingin jika perempu

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 37

    “Ini apa, Mbak?”Ranaya terheran-heran sewaktu menatap ponselnya. Ia baru sempat membaca chat susulan Yanti ketika asisten dan anaknya sudah tiba di rumah.“Itu lokasi kami tadi, Bu. Seumpama Bu Ranaya mau mengirim hadiah ke pria yang nyelametin Dek Radeva, nah di situ tinggalnya, hehehe ….”Ranaya menghela napas panjang, menatap Yanti yang berdiri di hadapannya dengan wajah menyesal.“Jadi, sampai sekarang kamu nggak tahu nama pria yang nyelametin Radeva kemarin?”Tatapan Yanti meredup dan merunduk. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantas tersenyum kikuk sambil mencuri pandang ke arah majikannya.“Hehe, iya. Maaf, Bu. Saya lupa nanya.”Ranaya menutup wajah dengan satu tangan. Merasa amat frustrasi.“Mbak Yanti, Mbak Yanti … penyakit lupamu itu kapan sembuhnya, sih?! Aku mau kirim bingkisan buat orangnya, tapi gimana kalau nama aja nggak tahu. Masa aku harus tulis ‘Untuk Om Baik’ gitu? Bisa-bisa nyasar dong ah!”“Eh, iya juga, ya.”“Ya, makanya ….” Ranaya berdecak kesal. Ia sud

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 36

    “Serius kamu, Sher? Memangnya Sagara bisa ketemu anak itu di mana?”Suara Mayang yang ada di seberang telepon terdengar terkejut.Sherly melirik ke arah Sagara dan bocah yang sedang bermain itu sekilas. Rahangnya mengatup rapat.“Iyaaa, serius, Mi!! Aku nggak tahu dari mana Sagara bisa nemuin anak ini! Tapi umurnya pas banget sama waktu Ranaya pergi! Aneh, kan?!” Sherly menghentakkan kakinya. Kali ini ia benar-benar panik.Suara Mayang terdiam sejenak seperti sedang berpikir. Setelah itu, ia mengatakan dengan lembut. “Tenang, jangan khawatir. Kamu jangan gegabah. Bisa saja ini cuma kebetulan. Sher. Mending kamu cari tahu lebih dulu siapa nama mamanya.”Sherly mendengus kesal. Ia menggigiti kuku telunjuknya sekarang.“Gimana caranya? Emang bakal berhasil, Mi?!”Berikutnya suara helaan napas panjang terdengar dari speaker ponselnya.“Ya kamu pakai cara pendekatan lebih halus, dong. Lebih kalem gitu. Pokoknya kamu harus bisa dekati dia dulu. Kalau benar dia anaknya Ranaya, kita harus ber

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 35

    “Sayang, kamu jangan gila! Bukannya kamu yang bilang kalau klien juga sudah nunggu kita?!”Mata Sherly membeliak, tak percaya jika Sagara malah memilih menemui seorang anak kecil yang tidak jelas asal-usulnya ketimbang menemui orang yang jelas-jelas penting!“Sebentar, aku mau ngomong sama anak itu, Sher. Kamu tunggu di atas dulu, nanti aku nyusul,” ujarnya masih bersikeras.Bahkan sekarang ia sudah berlari turun, menyingkap sekumpulan orang yang sekiranya menghalangi jalan, lantas berlari meninggalkan Sherly yang kesal dengan sikap mendadak Sagara.Sagara lantas berusaha mengejar dua orang yang berjalan sembari saling bergandengan tangan di depannya sekarang.“Radeva!” panggilnya.Bocah dan wanita yang ada di sisinya menoleh. Sebelum Radeva sempat merespons, Sagara menghampirinya dan langsung mendaratkan kedua tangannya pada bahu kecil Radeva.“Deva, kamu mau ke mana? Nggak pulang, kan? Bisa tunggu Om bentar?” ungkap Sagara dengan napas masih terengah-engah.Radeva menatap Yanti sing

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 34

    “Waduh, saya kurang tahu ya, Bu. Tapi ini ada di dalam situ tadi.”Karyawan itu kemudian menyerahkan sebuah kartu kecil. Sambil menautkan alis, Ranaya mengambilnya dan mulai membuka kartu yang diberi pita merah tersebut. Begitu membacanya, mata Ranaya melebar.‘Dari Yusuf?’ batin Ranaya menyuarakan keheranannya.Karyawan yang mengantar melangkah pergi. Sementara itu, karyawan lain yang berada di ruangan yang sama dengan Ranaya mulai berbisik-bisik selagi tatapan mereka terpaku pada buket bunga mewah tersebut.“Ssstt, bos kita udah punya pacar, ya?”“Mungkin. Akhirnya Bu Ranaya buka hati juga.”Ranaya menatap buket bunga itu masih dengan ekspresi sulit diartikan. Di dalam kartu, ada pesan singkat yang semakin membuatnya terkejut.[Saya ingin serius denganmu, Ranaya. Tolong beri saya kesempatan lagi.]Tangannya sedikit gemetar. Apa-apaan ini?! Yusuf ingin serius dengannya?Seketika tubuh Ranaya lemas. Ia sampai harus menekan meja agar kuat berdiri. Ranaya lalu memilih duduk, menggeleng

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 33

    Setelah menolong Radeva dan menyaksikan mobil itu hilang dari pandangannya, Sagara pun kembali ke dalam mobilnya sendiri. Ia menghela napas panjang seraya menyandarkan tubuhnya ke jok mobil. Berikutnya, seperti tersengat listrik bertegangan rendah, tangannya cepat-cepat meraih bolpoin di laci dashboard dan menuliskan plat nomor mobil van putih tadi di secarik kertas.Ia lalu memandangi kombinasi angka dan huruf yang baru saja ia tulis. Meskipun hanya melihatnya sekelebat, otaknya cukup tajam untuk mengingat dengan baik. Ini ia lakukan agar tak ada korban lagi di sekitarnya. Rencananya, ia akan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi.Namun … ada sesuatu yang janggal. Plat nomor itu tak menunjukkan wilayah kota ini.“Ini kan plat nomor kota sebelah?” gumamnya pelan.Mata Sagara kembali menajam. Memandang ke luar jendela.Sagara kemudian memutuskan pulang. Ia melajukan mobilnya sembari sesekali melempar tatapan ke sana kemari berharap menemukan van putih itu di antara lalu lintas yang

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 32

    "Lumahku ada di lual kota, Om."Mendengar jawaban dari Radeva membuat kening Sagara spontan mengernyit."Hah? Luar kota?" ulangnya keheranan. “Dari sini jauh nggak, Deva?”“Iya, jauh bangeeet, Om.” Radeva mengangguk, seolah itu adalah hal yang biasa.Menempuh sekolah kurang lebih satu jam dari rumah dinilai sudah jauh oleh bocah tersebut. Ia benci perjalanan lama yang membosankan.Rasa-rasanya Sagara semakin tak habis pikir. Apalagi mengenai bocah lelaki yang ada di hadapannya sekarang. Entah kenapa ia kian tertarik dengan kehidupan Radeva yang menurutnya unik itu."Terus, kenapa sekolah di sini? Hmm, maksud Om sekolah kamu kok jauh sekali dari rumah?" tanyanya. Alisnya berkerut dalam."Itu kalena Mama bolak-balik ke kota ini juga, Om. Mama dulu juga dali sini kok telus pindah," sahut Radeva ringan.Sekelebat rasa heran menyelinap di benak Sagara. Jadi, ibunya memang berasal dari kota ini? Ia baru hendak bertanya lebih jauh ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekat mereka.Dari

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 31

    Siang itu, di sebuah restoran yang menyajikan makanan Italia, Acel berjalan dengan langkah setengah mengendap. Pandangannya was-was, sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengenalinya.Langkahnya kemudian membawanya ke sebuah meja di sudut ruang dan berhenti di sana, di mana seorang pria bercambang sudah duduk menunggu.Tanpa banyak basa-basi, Acel langsung menjatuhkan diri di kursi, meraih buku menu, mengangkat tinggi-tinggi, dan menempelkan di wajahnya."Sialan, kamu ngagetin saja!" Yusuf mendesis kesal ketika Acel tiba-tiba sudah duduk di hadapannya selagi ia masih menggulir tabletnya.“Lagian, ngapain sih kamu fokus banget?! Lihatin apa?” kukuh Acel tak kalah sewot. Ia menyibakkan rambutnya yang hanya sebatas dagu.“Nih, aku lihat saham propertiku yang lagi bagus-bagusnya!” Yusuf mencondongkan layar ke arah Acel dengan raut wajah bangga. Acel hanya meresponsnya dengan memutar bola mata. Sejujurnya malas meladeni sikap sombong Yusuf.Sontak Yusuf merengut dan mel

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 30

    “Terus kenapa Mama sembunyi?"Pertanyaan dari bibir polos Radeva itu menusuk Ranaya lebih dalam daripada yang ia kira. Seketika dadanya terasa sesak.Kenapa, ya?Apakah ia masih takut? Masih terluka? Atau sebenarnya, ia hanya belum siap berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang dulu pernah mengecewakannya kini mulai merayap lagi ke kehidupan barunya?Ranaya berpikir cepat. Kebohongan yang akan ia ucapkan hanya akan melukai Radeva nanti. Tentu saja ia tak tega.Jadi tak ada pilihan lain bagi Ranaya selain ….“Aduh!” Tiba-tiba Ranaya mencengkeram perutnya. Ia meringis kesakitan sampai tubuhnya melengkung seperti busur yang ditarik.Seketika Radeva panik menyaksikan ibunya kesakitan begitu. Bocah cilik itu langsung berhambur dan memeluk ibunya sambil bertanya, “Ma … Mama kenapa? Ada yang bisa Depa bantu, nggak?”“Mama sakit perut, Sayang. Kita masuk mobil dulu saja, yuk. Mama ingin istirahat dulu,” ungkapnya.Radeva sontak mengangguk dan mengiyakan secara polos. Tangan kecilnya lantas

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status