Share

Bab 5

Author: Glory Bella
last update Last Updated: 2025-01-20 12:30:52

Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya.

Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya.

Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak.

“Bu!” serunya melangkah cepat mendekati.

Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya.

“Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya.

Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa.

Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri.

“Bu, tolong ceritakan Bapak kenapa?” tanyanya panik sambil mengusap punggung ibunya.

Bu Ida melepaskan pelukan dan menatap Ranaya dengan mata merah.

“Bapakmu … jantungnya. Tiba-tiba tadi dia sesak napas. Dokter bilang harus segera masuk ICU.”

Jantung Ranaya seolah berhenti berdetak sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba memahami situasi yang diceritakan. Ayahnya, Sugik, selama ini selalu terlihat sehat. Meski usianya tak lagi muda, pria itu tetap kuat bekerja keras untuk menghidupi keluarga mereka.

Dan, paling mengherankan, ayahnya tak punya riwayat jantung, tak punya hipertensi atau penyakit yang bersangkutan dengan jantung. Gaya hidup pria paruh baya tersebut juga terbilang sehat dengan selalu menjaga asupan makannya. Mengurangi konsumsi gula, garam, makanan bersantan, juga makanan bertepung.

Bagaimana mungkin kini ia terbaring lemah di ruang ICU?

Tak berapa lama seorang dokter terlihat berjalan keluar dari ruang bilik ICU.

“Ada keluarga dari Bapak Sugik Hadiwijanto?”

Ranaya lantas menggandeng ibunya dan mendekat. “Kami keluarganya, Dok. Bagaimana keadaan beliau?” tanya Ranaya.

“Pasien telah siuman. Kami sudah memeriksa semuanya dan memutuskan untuk merawat beliau di ruangan khusus hari ini juga.”

Ranaya kemudian mengikuti apa saran dokter dan mengurus seluruh administrasi pemindahan ruang rawat ayahnya. Baik Ranaya maupun ibunya kini menunggu dengan harap-harap cemas di luar sementara beberapa tenaga medis tengah memasangkan sejumlah alat seperti monitor, ventilator, dan sebagainya.

“Ran, masuklah. Temui bapakmu dulu,” ucap Ida begitu tenaga medis tadi keluar ruangan.

Ranaya langsung membawa kakinya menuju ruang rawat Sugik tanpa menunggu lebih lama lagi. Begitu ia masuk, aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung bercampur dengan suasana sunyi yang mencekam menyambutnya. Matanya segera menemukan sosok ayahnya yang terbaring di ranjang dengan selang oksigen terpasang di hidung.

Ayahnya terlihat begitu pucat. Tubuh yang dulu kokoh kini tampak lemah dan layu.

“Bapak ….” lirih Ranaya sambil mendekati ranjang.

Mendengar suara putrinya, Sugik membuka mata perlahan. Sebuah senyum tipis terlukis di bibirnya meski jelas terlihat betapa lemahnya ia. Tampak tulang pipi pria itu menyembul.

“Ranaya … kamu datang,” suaranya serak. Bahkan nyaris tak terdengar.

Ranaya langsung meraih tangan ayahnya yang dingin dan kurus. Air matanya kembali tumpah. Ia tak bisa menahan rasa sesak di dadanya.

“Gimana keadaan Bapak? Bapak ngerasain gejala apa sebelumnya? Kenapa nggak cerita ke aku atau ibu?” tanyanya dengan suara bergetar.

Pak Sugik tersenyum. “Nggak perlu. Kamu kan sudah punya banyak beban sendiri. Nggak perlu pikirkan Bapak lagi. Bapak baik-baik saja .…”

“Baik-baik saja gimana, Pak? Lihat diri Bapak sekarang,” bisik Ranaya tak kuasa menahan tangisnya. “Bapak selalu bilang nggak apa-apa, tapi akhirnya kayak gini. Aku nggak mau Bapak kenapa-kenapa .…”

Sugik mengangkat tangan dengan susah payah demi menyentuh kepala putrinya. “Kamu nggak boleh menangis seperti ini, Nak. Lihat, kamu jadi nggak cantik. Anak Bapak harus selalu tersenyum, harus selalu bahagia. Karena dengan begitu anak Bapak tambah kelihatan cantik.”

Ranaya terisak semakin keras. Bagaimana mungkin ayahnya masih sempat bercanda dalam kondisi seperti ini? Apalagi beliau secara terus terang ingin dirinya selalu bahagia.

‘Ranaya juga ingin Bapak sembuh.’ ujarnya dalam hati.

“Ran, gimana kabar kamu sama Sagara? Dia baik sama kamu, kan?” tanya Pak Sugik tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat Ranaya tercekat. Ia tahu ia harus berbohong. Tak mungkin ia menceritakan kenyataan bahwa pernikahannya dengan Sagara tidak membawa kebahagiaan dan justru menghancurkan perasaannya.

Suaminya itu bahkan terang-terangan berselingkuh di hadapan Ranaya. Namun, ia tak ingin ayahnya khawatir.

“Baik kok, Pak. Bapak tenang saja,” responsnya dengan suara kecil. Ia berusaha mengulas senyum di bibir agar terlihat meyakinkan.

Sugik tersenyum tipis. “Syukurlah. Bapak tahu Sagara anak yang baik. Bapak nggak mungkin salah pilih.”

Ranaya hanya bisa menggigit bibir. Ia menahan rasa perih yang menyeruak di hatinya.

Ia tahu, ayahnya percaya sepenuhnya pada Sagara. Dan kepercayaan itu kini terasa seperti belati yang menusuk jantungnya.

Setelah beberapa saat berbicara, Ranaya memutuskan untuk meninggalkan ruangan agar ayahnya bisa beristirahat. Dengan langkah gontai, ia keluar dan mencari ibunya.

Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara percakapan dari sebuah ruangan kecil di dekat lorong. Ia mengenali suara dokter yang sedang berbicara dengan ibunya.

“Bu Ida, sebenarnya ini semua karena Pak Sugik terlalu lama menyembunyikan kondisinya. Beliau hanya memiliki satu ginjal saat ini, dan itu sudah sejak lama,” kata dokter itu.

Ranaya membelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ginjal … satu?” bisiknya. Tak sadar suaranya bergetar.

Ia segera mendekat, masuk ke ruangan kecil itu tanpa pikir panjang.

“Dok, apa maksudnya bapak saya cuma punya satu ginjal?” sambarnya langsung. Matanya tampak menuntut.

Dokter terlihat terkejut melihat kedatangannya. Namun, sebelum ia sempat menjawab, panggilan darurat dari rekannya membuatnya terpaksa pergi.

“Maaf, saya harus segera ke ruang lain. Nanti kita lanjutkan pembicaraan ini,” tekan dokter itu sambil berlalu.

“Dok, tunggu! Mohon jelaskan dulu!” Ranaya berseru di sela tangisnya. Tetapi, dokter itu sudah menghilang di balik lorong.

Ia beralih menatap ibunya, yang kini tampak linglung.

“Bu, Ada apa ini?! Apa maksudnya Bapak cuma punya satu ginjal?” tuntutnya lagi sembari mengguncang kedua bahu Ida. Suaranya terdengar meninggi.

Namun, Ida hanya terdiam. Wajahnya mendadak pucat, dan beberapa detik kemudian tubuhnya justru ambruk di lantai.

“Bu!” Ranaya berteriak panik, lalu langsung memeluk ibunya yang tak sadarkan diri.

Air mata kembali membanjiri wajah Ranaya. Dalam sekejap, semua dunia seolah runtuh di hadapannya. Ayahnya sakit parah, dan kini ibunya pingsan.

Hari semakin malam. Beruntung Ida sempat siuman sehingga Ranaya bisa kembali ke rumah. Ia pun tak menyangka harus pulang selarut ini.

Ranaya melangkah mengendap-endap sewaktu melewati ruang tengah. Hal ini sengaja ia lakukan agar orang rumah tak khawatir. Lagian ia juga lupa mengabari ibu mertuanya jika ia harus menjenguk ayahnya yang sakit.

Namun, baru saja kakinya menapak anak tangga, lampu ruang tengah tiba-tiba menyala.

“Ranaya, kamu dari mana saja?”

Related chapters

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 6

    Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 7

    Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara?“Aku ingin pindah rumah.”Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya?“Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya.“Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.”Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya

    Last Updated : 2025-01-30
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 1

    “Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 2

    “Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 3

    “Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa

    Last Updated : 2025-01-20
  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 4

    Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 7

    Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara?“Aku ingin pindah rumah.”Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya?“Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya.“Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.”Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 6

    Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 5

    Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 4

    Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 3

    “Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 2

    “Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan

  • Kepergian Istri yang Tuan Dingin Sesali   Bab 1

    “Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status