Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.
Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet. Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya. "Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan. "Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam. Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terlalu sesak. Setibanya di toilet, ia segera mengunci diri di salah satu bilik. Bahunya terguncang, air matanya tumpah begitu saja. "Ya Tuhan, kenapa aku harus mendengar semua ini?” lirihnya pilu. Bahunya bergetar hebat. Ia pikir menikah dengan seseorang yang ia sukai akan membuatnya bahagia. Tetapi, apa yang terjadi justru tak pernah diinginkannya. Siapa juga yang mau tak dianggap oleh suaminya sendiri? Selang beberapa menit, Ranaya mengusap wajah, mencoba mengembalikan ketenangannya. Saat melangkah keluar, ia tak sengaja berpapasan dengan Sagara. Mata elang pria itu langsung memperhatikan wajah Ranaya yang sembap. "Kenapa belum pulang juga?" tanyanya dengan nada dingin. Ia lebih memilih mengabaikan kenyataan bahwa Ranaya baru saja menangis karena sikapnya. Ranaya menggeleng pelan. "Maaf, Mas. Setelah ini aku akan pulang," jawabnya pelan, lantas mencoba melangkah pergi. Namun, Sagara segera meraih pergelangan tangannya. Pria itu tanpa diduga menarik Ranaya ke sisi lorong yang sepi, lalu mendorongnya ke dinding. Tubuhnya yang tinggi dan kekar membuat Ranaya merasa terhimpit. Tatapan matanya tajam, membuat Ranaya terdiam dan tak berani menatap balik meski degup jantungnya kini menggila. Aroma perpaduan cedar wood dan musk yang maskulin menembus hidungnya. Menciptakan perasaan Ranaya yang semakin tak karuan. "Jangan pernah buka mulut soal apa pun yang kamu tahu," ancam Sagara dengan suara tegas dan penuh tekanan. "Ingat, ayahmu ada di tanganku. Kalau kamu macam-macam, aku bisa saja membatalkan semua pengobatannya." Ranaya tersentak, lalu mengangkat wajahnya. Ia menatap Sagara tak percaya. Kali ini, ia tak ingin hanya diam. “Mas, tolong jangan pernah bawa-bawa Bapak ke dalam urusan kita. Aku nggak akan membocorkan kelakukanmu, Mas. Tapi, aku juga nggak bakal terima kalau kesehatan Bapak kamu ikutkan begini," ucapnya dengan suara bergetar, namun matanya menatap tegas. Sejenak Sagara terkejut mendengar keberanian Ranaya. Tetapi, ia tak mengatakan apa-apa. Hanya menatap Ranaya dalam-dalam sebelum melepaskannya begitu saja. Diam-diam tangannya terkepal erat selagi menyaksikan punggung istrinya itu menjauh. Ranaya langsung berjalan cepat meninggalkan Sagara. Ia tahu, air matanya akan kembali jatuh jika ia bertahan lebih lama di sana. Di dalam taksi yang membawanya pulang, Ranaya memandang keluar jendela. Hatinya terasa tercabik-cabik karena dikhianati oleh Sagara. Walau ia sendiri tahu jika pria tersebut tidak akan pernah mencintainya. Semua kenangan masa lalu dengan Sagara kembali berputar seperti film lama yang menguras emosi. "Kenapa juga aku masih berharap kalau Mas Sagara bakal menerimaku?" lirih Ranaya getir seraya menyandarkan kepalanya ke jendela taksi. Ia mengingat saat pertama kali mengenal Sagara di SMA. Pria itu adalah ketua OSIS yang populer, tampan, dan cerdas. Hampir semua gadis menyukainya, termasuk Ranaya. Saat itu, ia hanya bisa mengagumi Sagara dari kejauhan. Tak ada satu pun momen di mana Sagara menyadari keberadaannya. Bahkan ketika mereka kuliah di universitas yang sama, Sagara tetap tak pernah menoleh ke arahnya. ‘Dia terlalu sempurna untukku.’ pikir Ranaya. Ia tahu, dirinya jauh dari kriteria perempuan yang Sagara sukai. Sagara selalu tertarik pada gadis-gadis cantik dengan rambut panjang, tubuh ramping, dan senyum menawan. Begitulah yang dapat Ranaya simpulkan dari mantan pacar Sagara dulu. Sedangkan dirinya? Rambut pendek yang sering ia ikat asal-asalan, tubuh kurus, dan kacamata tebal yang tak pernah bisa ia lepaskan. Bahkan dari segi ekonomi, ia sangat jauh berada di bawah keluarga Sagara. Dengan kata lain, mereka tidak setara. Tak terasa air matanya kembali mengalir, membasahi lensa kacamata hingga pandangannya buram. Ia melepas kacamatanya dan menyeka air mata menggunakan punggung tangan. "Kenapa aku harus menikah dengannya kalau akhirnya hanya begini? Kenapa Mas Sagara mau menerima perjodohan ini?” gumamnya lagi. Namun, pikirannya kembali pada kenyataan bahwa ia tak bisa menyerah begitu saja. Perjodohan ini bukan semata untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk keluarganya. Terutama untuk ayahnya yang kini sedang sakit parah. Beberapa bulan lalu, Tantri-lah yang tiba-tiba datang ke rumah dan meminta Ranaya menjadi istri anaknya. Sementara itu Sugik, ayah Ranaya, mengenal betul sosok Tantri yang merupakan langganan tetap ojek motor yang menjadi mata pencahariannya sehari-hari. Tiba-tiba ponsel Ranaya berdering. Ia terpaksa memutus lamunannya dan lekas mengambil benda persegi panjang tersebut dari dalam tas. Ranaya tercenung saat melihat nama ibunya tertera di layar. Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon itu. "Halo?" sahutnya dengan suara serak karena baru saja menangis. "Ranaya, Ranaya! Bapakmu, Ran!" suara di ujung telepon terdengar panik. Tangan Ranaya kian erat mencengkeram ponsel. Tubuhnya menegang. “Bapak kenapa, Bu?” kejarnya cemas. “Kondisi bapakmu kumat lagi, Ran. Bapakmu masuk rumah sakit!” Ranaya membeku. Jantungnya berdegup kencang. Tanpa pikir panjang, ia segera memerintahkan sopir taksi untuk berbalik arah menuju rumah sakit.Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu
Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”
“Sagara, kamu mau ke mana?”Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo.“Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut.“Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya.Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang.“Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.”Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju.Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─”“Ssttt, ikut kata Mama. Sekarang
“Maaf, Mas ….”Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental.Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat.Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan.***Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai, ia menaru
Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku.Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya.“Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis.Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya.Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya.Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang.“Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang.Ranaya me
Ranaya akhirnya menoleh. Tatapannya kosong.“Maaf, Mas. Tapi bisa nggak tinggalin aku sendiri dulu?” mohonnya dengan suara serak dan dalam karena terlalu banyak menangis.Ranaya merasa semakin nelangsa sekarang. Di saat ia sedang kehilangan, di saat ia down dan terpuruk, serta tak memercayai siapa pun di rumah ini, suaminya justru tak memedulikannya dan malah lebih mementingkan tentang sapu tangan itu.Sagara menatap tajam ke arah Ranaya yang mengalihkan pandangannya kembali ke arah jendela. Rahang pria tersebut kian berkedut. Ia semakin meremas sapu tangan di tangannya, untuk kemudian memutuskan keluar. Membiarkan sendiri Ranaya yang menurutnya sangat merepotkan.Sagara melangkah cepat menuju ruang lain di rumah ini. Ia tak tahu jika ternyata Tantri sengaja berada di depan kamar mereka untuk menguping pembicaraan. Wajah Tantri terlihat kecewa.Angin malam menerobos jendela ruang kerja Sagara yang setengah terbuka. Suara detak jam di dinding seolah menggema di ruangan itu, bersanding
Kedua mata Ranaya membelalak lebar. Tubuh yang membelenggu mulai beringsut menjalar di atasnya. Apalagi sekarang ia dapat menyaksikan badan berotot milik Sagara hanya dililit oleh kain handuk.“Jangan, Mas, tolong ….” Ia menggeleng cepat dengan bibir yang terkatup rapat.Namun, hal itu justru membuat Sagara menarik salah satu ujung bibirnya. Sepasang mata itu sedang dilanda mabuk gairah yang meletup-letup dan mengunci Ranaya seolah ingin menelannya bulat-bulat.“Salah sendiri kamu melanggarnya. Aku sudah memperingatkanmu tadi,” desisnya dengan suara berat penuh hasrat. Tangannya kian menggenggam erat pergelangan tangan Ranaya dan menariknya ke atas kepala wanita tersebut.Makin ketakutanlah Ranaya. Ranaya dejavu, ia merasakan kembali untuk kedua kalinya ketakutan yang benar-benar ingin ia hindari.Walau begitu, Ranaya tahu jika Sagara malam ini merupakan sosok yang berbeda. Kalau kemarin ia menemui kilat amarah dan penuh keterpaksaan dari pria itu, namun tidak dengan sekarang karena S
Ranaya akhirnya menoleh. Tatapannya kosong.“Maaf, Mas. Tapi bisa nggak tinggalin aku sendiri dulu?” mohonnya dengan suara serak dan dalam karena terlalu banyak menangis.Ranaya merasa semakin nelangsa sekarang. Di saat ia sedang kehilangan, di saat ia down dan terpuruk, serta tak memercayai siapa pun di rumah ini, suaminya justru tak memedulikannya dan malah lebih mementingkan tentang sapu tangan itu.Sagara menatap tajam ke arah Ranaya yang mengalihkan pandangannya kembali ke arah jendela. Rahang pria tersebut kian berkedut. Ia semakin meremas sapu tangan di tangannya, untuk kemudian memutuskan keluar. Membiarkan sendiri Ranaya yang menurutnya sangat merepotkan.Sagara melangkah cepat menuju ruang lain di rumah ini. Ia tak tahu jika ternyata Tantri sengaja berada di depan kamar mereka untuk menguping pembicaraan. Wajah Tantri terlihat kecewa.Angin malam menerobos jendela ruang kerja Sagara yang setengah terbuka. Suara detak jam di dinding seolah menggema di ruangan itu, bersanding
Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku.Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya.“Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis.Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya.Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya.Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang.“Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang.Ranaya me
“Maaf, Mas ….”Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental.Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat.Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan.***Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai, ia menaru
“Sagara, kamu mau ke mana?”Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo.“Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut.“Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya.Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang.“Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.”Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju.Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─”“Ssttt, ikut kata Mama. Sekarang
Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”
Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me