Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang.
Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak sempat mengabari Papa dan Mama, baterai hpku habis.” Ranaya sedikit terisak. Ia menunduk, merasa bersalah atas kekacauan yang ia sebabkan malam ini. Ranaya teringat kejadian di rumah sakit tadi di mana ia masih syok dengan kenyataan bahwa ginjal Sugik hanya tinggal satu. Namun, saat ia ingin mendesak ayahnya itu, ibunya melarang karena takut hal tersebut justru mengganggu kesehatan Sugik. Tantri kemudian berhambur dan memeluk Ranaya erat. “Syukurlah kamu sekarang sudah pulang, Ranaya. Kami semua khawatir setengah mati.” Harto yang berdiri tak jauh darinya tampak turut menghela napas panjang saat memandangi keduanya. “Lain kali kabari kami, meskipun hanya satu pesan singkat. Kami nggak tahu apa yang terjadi,” tuturnya pelan. Namun, sementara itu, tatapan mata Sagara dingin. Bahkan seakan menusuk seperti belati. Ia tak berkata apa-apa, hanya memandangi Ranaya dengan sorot tajam yang membuat gadis itu merinding. “Ranaya, kamu istirahatlah dulu. Besok pagi ceritakan semuanya,” ujar Tantri lembut. “Dan, soal ayahmu, kami ikut prihatin. Besok kami akan menjenguk beliau.” Tantri sempat melempar pandang ke arah Harto. Pria itu tentu saja langsung mengangguk setuju. “Terima kasih, Ma. Maaf sekali lagi,” ungkap Ranaya dengan suara lirih. Tantri dan Harto kemudian kembali ke kamar mereka, meninggalkan Ranaya di ruang tengah. Tetapi Sagara tetap di tempatnya. Ia melangkah mendekat begitu kedua orangtuanya pergi. Dengan gerakan tak terduga, Sagara menarik tangan Ranaya. “Sini ikut dulu!” Ranaya mau tak mau mengikuti ke mana arah langkah pria tersebut menyeretnya. Setelah tiba di lorong lantai dua dekat kamarnya, Sagara mendorong Ranaya. “Kamu tahu nggak apa yang sudah kamu lakukan?!” suaranya datar, hampir berbisik. Tapi penuh dengan nada ancaman. Ranaya mendongak dengan mata sembap. “Maaf, Mas. Aku juga belum sempat mengabari kamu.” “Lain kali kamu harus selalu laporan! Orangtuaku marah besar! Mereka pikir aku nggak bisa jagain kamu,” gertak Sagara dengan nada tajam. “Awas kalau kamu melakukan kesalahan kayak gini lagi!” Ranaya terdiam. Ia ingin menjelaskan, tapi Sagara tak memberinya kesempatan. “Kalau kamu terus begini, aku nggak akan ragu ngajak kamu pindah rumah. Kita tinggal berdua saja. Dan kamu tahu apa artinya, kan?” Sagara mendekatkan wajahnya, matanya menatap langsung ke mata Ranaya yang mulai berkaca-kaca. “Tapi, Mas. Mama kan sudah bilang kalau─” Ranaya mencoba mengingatkan, tapi suaminya mengangkat tangan. Menyuruhnya untuk cepat diam. “Dengar, aku nggak peduli alasan kamu. Aku cuma nggak mau orangtuaku bersikap berlebihan karena ulahmu. Jadi, kamu menurut saja. Jangan bikin masalah lagi!” tegas Sagara sebelum akhirnya berlalu menuju kamar. Ranaya tertegun di tempatnya, tubuhnya gemetar. Matanya menatap lantai yang kini terasa begitu dingin. Ranaya lalu menyusul Sagara di kamar. Di saat yang bersamaan, ponsel Sagara berdengung panjang. Sagara lekas menerima panggilan video call tersebut, lantas mengulum senyum hingga tampak dua lesung pipit manisnya tatkala seorang wajah wanita cantik muncul di layar. Ranaya menahan napas, senyum itu tak pernah ia dapatkan dari suaminya. Atau bahkan tak akan pernah ia dapatkan. “Sayang, istrimu ada nggak? Aku nggak ganggu kalian, kan?” Begitu suara mendayu manja yang sempat Ranaya dengar. Tanpa memastikannya, ia tahu siapa pemilik suara itu. Walau sempat ragu, akhirnya Ranaya memilih untuk perlahan melepas kacamata dan merebahkan diri di sisi Sagara tanpa menghasilkan suara. Ia memunggungi suaminya dengan dada berdenyut-denyut. Apalagi kini air matanya mulai meleleh lagi. Sagara sempat melirik punggung Ranaya sebelum menjawab. “Nggak, kok. Dia lagi nggak ada. Kamu tenang saja.”Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya. Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bu
Ranaya membeku di tempat. Tangannya gemetar memegang tali lingerie yang terasa seperti belenggu di tubuhnya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri dan menghalau gambaran tubuh kekar nan seksi milik Sagara yang membayang. Pikirannya sudah melanglang ke mana-mana. Ia begitu ketakutan sampai lupa bernapas dengan normal. Baru saja tangan Sagara hendak menyobek pakaian tipis yang dikenakan Ranaya ketika tiba-tiba ponsel pria itu berdengung panjang di atas nakas dekat ranjang. Sagara mengerutkan dahi, melirik layar ponsel itu. Kemudian ia menghela napas sebelum mengambilnya. Wajahnya yang semula tegang penuh kendali berubah menjadi seterang mentari. “Kenapa menelepon jam segini?” gumamnya sambil menekan tombol hijau di layar. Ini tertalu awal untuk mereka berkomunikasi lewat telepon. Biasanya mereka menunggu larut malam dulu hingga penghuni rumah terlelap dalam mimpi masing-masing. Ranaya perlahan ikut bangkit. Ia duduk terpaku menunggu apa yang terjadi. “Halo?”
“Sagara, kamu mau ke mana?” Mata Tantri memindai penampilan anaknya yang malam ini baru saja keluar kamar sementara penghuni lain sudah siap di meja makan. Ranaya yang baru saja meletakkan panci sup panas di tengah ikut memperhatikan suaminya yang kini sudah tampak rapi mengenakan setelan tuksedo. “Ketemu kolega sebentar,” sahut Sagara acuh tak acuh, lantas kembali menggiring kakinya. Namun, dengan gerakan cepat juga Tantri berdiri untuk menghentikan langkah pria tersebut. “Eits, tunggu, Sagara! Tunggu dulu!” serunya. Sagara menurut. Tetapi kemudian menghela napasnya panjang. “Kamu ketemu kolega kok nggak ngajak istrimu, sih! Ayo, Ranaya, kamu ikut Sagara sekarang.” Tantri berusaha menarik tangan Ranaya agar lekas berdiri. Di sisi lain, Ranaya kebingungan. Matanya beralih cepat dari Tantri ke Sagara sambil bangkit dengan ragu. Dari tatapan yang Sagara layangkan, jelas saja pria itu tak setuju. Ranaya jadi tidak enak, lalu mencoba berkilah. “Tapi, Ma─” “Ssttt, ikut kata
“Maaf, Mas ….” Ranaya begitu terpana oleh karena ucapan keras Sagara yang baru saja terlontar. Usai mengatakan unek-unek yang sempat menyumbat kepalanya, Sagara menggertakkan gigi dan cepat memalingkan muka, lantas segera menginjak rem hingga membuat Ranaya terkejut sebab tubuhnya sempat terpental. Sagara begitu kesal. Acara resmi yang seharusnya berpeluang besar untuk menghimpun banyak relasi ternyata justru berantakan. Tak terasa tangannya mencengkeram setir dengan erat. Rahang Sagara mengeras, dan napasnya terdengar berat. Sejak kejadian di acara tadi, pikirannya tidak bisa lepas dari tatapan Pak Arman. Tatapan itu adalah pengingat pahit dari masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. Namun kini bayang-bayang itu muncul lagi, merusak konsentrasinya yang semakin tak karuan. *** Keesokan paginya, Ranaya bangun lebih awal seperti biasa. Meski hatinya terluka, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Ia menyiapkan sarapan dan menyetrika baju kerja Sagara. Setelah selesai,
Pernyataan yang tengah dipikirkan itu seperti petir di siang bolong bagi Ranaya. Ia merasa seluruh tubuhnya membeku. Karena tak segera menjawab pertanyaannya, Tantri kemudian menoleh di tengah ia memutar setir kemudinya. “Ranaya? Kenapa? Kok malah melamun?” Tantri mengucapkannya sembari menautkan alis. Ranaya buru-buru mengemasi semua pikirannya. Ia lalu menggeleng. “Oh, nggak apa-apa, Ma. Aku cuma penasaran,” sahut Ranaya akhirnya. Ranaya menyandarkan kepala ke jendela mobil di sisinya. Diam-diam ia ingin tahu semuanya. Bagaimana hubungan antara Sagara, Sherly, dan Tantri yang sesungguhnya. Tak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi akhirnya mencapai rumah. Keduanya melangkah beriringan. Tantri membawa tas yang tadi dibawakan oleh Mayang sebelum pulang. “Terima kasih lo, Ran, sudah mau nemenin Mama. Sekarang lebih baik kamu istirahat dulu,” ungkap Mama tatkala mereka berpisah. Ranaya menuju kamar, sementara Tantri harus menyimpan dulu bahan makanan pemberian dari Mayang
Ranaya akhirnya menoleh. Tatapannya kosong. “Maaf, Mas. Tapi bisa nggak tinggalin aku sendiri dulu?” mohonnya dengan suara serak dan dalam karena terlalu banyak menangis. Ranaya merasa semakin nelangsa sekarang. Di saat ia sedang kehilangan, di saat ia down dan terpuruk, serta tak memercayai siapa pun di rumah ini, suaminya justru tak memedulikannya dan malah lebih mementingkan tentang sapu tangan itu. Sagara menatap tajam ke arah Ranaya yang mengalihkan pandangannya kembali ke arah jendela. Rahang pria tersebut kian berkedut. Ia semakin meremas sapu tangan di tangannya, untuk kemudian memutuskan keluar. Membiarkan sendiri Ranaya yang menurutnya sangat merepotkan. Sagara melangkah cepat menuju ruang lain di rumah ini. Ia tak tahu jika ternyata Tantri sengaja berada di depan kamar mereka untuk menguping pembicaraan. Wajah Tantri terlihat kecewa. Angin malam menerobos jendela ruang kerja Sagara yang setengah terbuka. Suara detak jam di dinding seolah menggema di ruangan itu, be
Kedua mata Ranaya membelalak lebar. Tubuh yang membelenggu mulai beringsut menjalar di atasnya. Apalagi sekarang ia dapat menyaksikan badan berotot milik Sagara hanya dililit oleh kain handuk. “Jangan, Mas, tolong ….” Ia menggeleng cepat dengan bibir yang terkatup rapat. Namun, hal itu justru membuat Sagara menarik salah satu ujung bibirnya. Sepasang mata itu sedang dilanda mabuk gairah yang meletup-letup dan mengunci Ranaya seolah ingin menelannya bulat-bulat. “Salah sendiri kamu melanggarnya. Aku sudah memperingatkanmu tadi,” desisnya dengan suara berat penuh hasrat. Tangannya kian menggenggam erat pergelangan tangan Ranaya dan menariknya ke atas kepala wanita tersebut. Makin ketakutanlah Ranaya. Ranaya dejavu, ia merasakan kembali untuk kedua kalinya ketakutan yang benar-benar ingin ia hindari. Walau begitu, Ranaya tahu jika Sagara malam ini merupakan sosok yang berbeda. Kalau kemarin ia menemui kilat amarah dan penuh keterpaksaan dari pria itu, namun tidak dengan sekarang
Ranaya melangkah menuruni tangga dengan langkah tertatih. Rasa sakit menjalar dari pangkal kakinya, membuatnya harus menggigit bibir untuk menahan perih. Namun, bukan hanya tubuhnya yang sakit. Hatinya pun terasa seperti diiris ribuan belati. Semalam … malam yang seharusnya tidak pernah terjadi. Malam yang telah menghancurkan semuanya. Ia menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya dan menjauhkan dari rasa sedih yang berlarut-larut. Namun, saat kepalanya sedikit mendongak, matanya bertemu dengan sosok Tantri yang tengah berdiri di bawah, menunggunya dengan pandangan yang tak dapat ia artikan. “Ranaya, kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya cemas, tapi ada nada terselubung di dalamnya. Tantri mengamati cara berjalan Ranaya, lalu secara refleks dua ujung bibirnya tertarik dalam senyum samar. Wanita itu dengan pintar cepat-cepat meringkas senyuman tersebut. Ranaya terdiam sejenak. Sebenarnya ia terlalu lelah untuk menjawab. Apalagi … akhir-akhir ini keduanya tak terlalu intens be
"Papa!”“Papa ....”“Depa bisa manggil Papa benelan, kan?”Ini adalah pertanyaan Radeva kesekian kalinya yang ia ucapkan setelah mengetahui bahwa Sagara adalah ayah kandungnya. Bahkan selama perjalanan dari Indonesia hingga negeri sakura. Sampai-sampai mereka sempat memergoki jika dalam tidur pun Radeva sering menggumamkan kata "Papa" di alam bawah sadarnya.Sagara yang tengah menggendong Radeva mengulum senyum, apalagi anak mungil itu masih menatapnya dengan mata bulat nan berbinar.Sagara mengangguk sambil mempererat pelukannya. “Bisa dong, Sayang. Kamu adalah anak Papa. Benar-benar anak Papa,” ucapnya lembut, diselingi cubitan gemas di pipi anaknya.Di sebelah mereka, Ranaya menghela napas. Suara itu—panggilan “Papa”—seolah mengguncang hatinya juga, mengaduk-aduk emosi yang selama ini ia kunci rapat. Sebagian dirinya masih tak percaya kalau momen ini nyata. Kalau mereka, akhirnya, berdiri di sini sebagai sebuah keluarga.Berikutnya pupil Ranaya membesar sewaktu matanya tertuju kepa
Ranaya menggenggam ponsel Rio lebih erat. Matanya berair. Dalam diamnya, ia sadar Sagara tidak benar-benar tinggal diam. Pria itu diam-diam bekerja di balik layar untuk membantunya.Sagara bahkan tak pernah bilang bahwa ia akan melakukan ini, pikirnya.Untuk pertama kalinya, ia merasa ada sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. Perasaan campur aduk antara sakit hati, penyesalan, dan harapan. Ia memandangi layar televisi itu lama sekali, seolah tak ingin kehilangan sosok Sagara yang selama ini ia anggap sebagai pria dingin tanpa empati.Kini Ranaya tahu. Kadang cinta tidak selalu hadir dalam bentuk pelukan atau kata-kata manis. Bisa jadi wujud cinta itu adalah perjuangan dalam diam.Dan mungkin ... Sagara mencintainya lebih dari yang ia sangka."Saya tidak bisa tinggal diam melihat perusahaan kami diinjak-injak.” Suara tegas Sagara kembali membelai telinga Ranaya dan membuyarkan lamunannya. Pria itu masih berjuang dalam wawancara live yang disiarkan oleh banyak stasiun berita."Ber
Rio menutup laptopnya dan memandang Ranaya dengan sorot mata penuh percaya diri. "Bagaimana planningku tadi? Bisa kamu terima, kan?" tanyanya. Suaranya tenang tapi mengandung tekanan di dalamnya. Ranaya tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, lalu mengusap pelan dagunya yang tegang. Ia mencoba merangkum semua pemetaan strategi yang barusan dipaparkan Rio. Langkah demi langkah untuk memulihkan kepercayaan customer Flare & Co terdengar logis, bahkan cukup menjanjikan. Harus ia akui, temannya ini sangat jenius. Trik-trik yang dijabarkan secara detail bisa membuatnya terpukau. "Tapi ... cara itu tadi nggak bakal memengaruhi customer tempatmu bekerja, kan? Gold Mulia? Mana mungkin kamu bunuh diri dengan memihak perusahaanku?" Ranaya mengerutkan kening, menatap Rio penuh keraguan. Rio hanya mengangkat bahu sambil tersenyum santai. "Enggak kok, tenang. Kan Gold Mulia punya teknik sendiri nanti. Lagipula, aku juga nggak akan sepenuhnya nyebrang ke Flare & Co
Ranaya dan Sagara langsung bergerak cepat. Dengan raut wajah panik, keduanya mendekati etalase yang kini menjadi sorotan orang banyak.“Sebentar, tenang dulu,” ucap Sagara kepada semua orang saat di dekat perempuan yang berteriak tadi. “Maaf, bolehkah saya memeriksa cincin itu?”Tangan kanan Sagara terulur sopan kepada aktris yang cukup ternama tersebut. Perempuan yang diajak bicara secara spontan melepas cincin yang tersemat di salah satu jarinya, lantas menyerahkan kepada Sagara dengan ekspresi kecewa.Sagara mengamati cincin itu dengan teliti. Mata tajamnya yang bagai elang memeriksa hingga detail. Dari setiap lekuk, permata, bahkan berlian memang menyerupai desain mereka.Tetapi … tunggu dulu. Perlahan keningnya menimbulkan kerutan. Ada yang aneh di sini.“Ini sepertinya bukan berlian kita, Ran,” gumamnya pelan dengan rahang mengeras. “Coba lihat dulu.”Tangan Sagara menyodorkan benda berkilau tersebut kepada Ranaya yang sudah pucat pasi. Kini cincin yang dimaksud sudah beralih di
"Belcelai? Kayak yang dilakukan Mama dan Om Papa, dong?"Ucapan Radeva yang polos menggema di udara seperti petir di siang bolong. Sepanjang koridor apartemen itu seketika hening.Ranaya, Sagara, dan Tantri sama-sama tercekat. Tatapan mereka membeku, lantas saling bertaut satu sama lain, seperti mengandung beragam rasa yang tak mampu diutarakan masing-masing.Sagara tampak menahan napas. Ranaya kaku. Sementara itu, Tantri susah payah menelan salivanya."Eh, kita masuk aja yuk!" ajak Tantri tiba-tiba, berusaha memecah suasana yang mendadak tegang. Tangannya langsung menggamit lengan Ranaya dan Radeva sekaligus, kemudian menarik mereka ke dalam apartemen.“Nggak enak dilihatin tetangga kalau ngobrol di lorong kayak gini,” kilahnya sedikit memaksakan tawa yang tersembur samar.Mau tak mau, Ranaya dan Radeva mengikuti langkahnya. Sagara menyusul pelan dari belakang. Jujur, pikirannya masih terpaku pada celetukan anak itu tadi. Ia tak menyangka jika Radeva masih mengingat kata “bercerai” y
[Subject: Hasil Pemeriksaan DNA antara Sdr. Sagara Wiratama dan An. Radeva Elvano AtmajaKepada Yth.Bapak Sagara Wiratamadi TempatDengan hormat,Bersama email ini, kami sampaikan hasil resmi pemeriksaan DNA yang telah dilakukan oleh Laboratorium Genetika Klinik GenLab Diagnostics terhadap sampel biologis Bapak Sagara Wiratama dan anak atas nama Radeva Elvano Atmaja.Berdasarkan analisis 24 lokus genetik yang diperiksa, diperoleh hasil kecocokan biologis 99,9999%, yang secara ilmiah menyimpulkan bahwa Sdr. Sagara Wiratama adalah ayah biologis dari An. Radeva Elvano Atmaja.Laporan lengkap dan sertifikat hasil pemeriksaan terlampir dalam bentuk PDF untuk dapat Bapak telaah lebih lanjut.Apabila Bapak membutuhkan informasi tambahan atau klarifikasi lebih lanjut terkait hasil ini, silakan menghubungi kami melalui kontak yang tersedia.Demikian kami sampaikan. Terima kasih atas kepercayaan Bapak terhadap layanan kami.Hormat kami,Dr. Antonius Setiawan, Sp.AndKepala LaboratoriumGenLab
Untuk beberapa waktu, Andra bergeming. Bola matanya bergerak sewaktu mengamati Sherly. Namun, gurat wajahnya tampak tenang seperti permukaan air tanpa adanya hantaman gelombang.“Maka … saya akan tetap ada di sini membantu kamu, sampai kamu tahu bahwa kamu bisa, Sherly,” ungkapnya.Sherly memandang Andra dengan tatapan yang sulit percaya. Rahang perempuan itu terlihat keras. Lagian, siapa yang bisa dipercayai lagi olehnya? Bahkan sekarang ia juga meragukan diri sendiri kalau ia pantas dicintai.Satu-satunya tempat nyaman untuk pulang, yaitu Mayang yang merupakan ibu kandungnya sendiri pun sudah mengkhianatinya dengan semudah itu.Apalagi … pria asing yang kini sedang duduk berhadapan dengannya?Sherly kembali menyunggingkan senyum tipis yang penuh keraguan. Ia tentu saja menyepelekan peran seorang pria muda yang belum berpengalaman baginya. Ditambah usia pria tersebut masih seumuran dengan sosok yang turut menyumbang rasa depresinya.“Aku tetep nggak percaya,” papar Sherly to the poin
Tangan Rio bergerak pelan. Jari-jarinya menyentuh lembut ujung bibir Ranaya, mengusap sisa saus yang tertinggal di sana. Mata elang Sagara membulat sempurna. Tubuhnya menegang. Darahnya terasa mendidih saat itu juga.Tangannya langsung bergerak cepat menampar cangkir espresso yang ada di depannya hingga terguling. Sontak cairan hitam pekat itu tumpah dan sebagian besar mengenai lengan Rio. Sontak Rio segera menarik tangannya dari bibir Ranaya.“Argh! Panas! Panas!” teriak Rio sambil refleks berdiri, tangannya menggeliat dan segera membuka kancing lengan kemejanya. Ia meniup dan mengibas-ngibas tangan itu dengan panik.Ranaya pun langsung berdiri untuk turut membantu. “Rio?! Kamu nggak apa-apa?” Suaranya meninggi. Matanya membesar.Menyaksikan kehebohan itu, Sagara hanya duduk diam. Tapi rahangnya mengeras.“Gila, kamu sengaja, ya?!” Rio membentak, tatapannya tajam menuding ke arah Sagara.Sagara membalas dengan sorot mata dingin. “Kamu jangan asal nuduh kalau nggak tahu apa-apa,” kata
Langkah-langkah kaki berdetak mantap di lantai pabrik yang dingin, menggema lembut di antara deru mesin produksi perhiasan yang tak henti berdengung. Ranaya masih berdiri di depan mesin cetak berlian. Kini pandangannya tertuju kepada satu arah di mana sosok itu melangkah menghampiri. Tubuh Ranaya menegang, tapi bukan bunyi mesin atau hasil produksi yang menyebabkannya.“Gimana proses produksinya? Lancar, kan?”Suara itu. Suara bariton dengan tone menenangkan tapi cukup untuk membangunkan kenangan-kenangan lama yang tak pernah benar-benar padam. Apalagi malam itu, di mana ia dan pria tersebut nyaris berciuman.Ranaya perlahan mengerjapkan mata. Di balik cahaya pagi yang menembus jendela besar pabrik, berdiri Sagara dengan kemeja putih yang lengannya digulung sebatas siku. Kedua tangan pria tersebut tenggelam dalam saku celana hitamnya.Sorot mata elang Sagara tajam, sialnya pria itu masih saja tampan di pandangan Ranaya.Tetapi, kemudian Ranaya menegakkan kepalanya. Ia sudah berprinsi