Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.
Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara? “Aku ingin pindah rumah.” Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya? “Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya. “Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.” Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya yang butuh ruang itu. Tetapi, Sagara yang membutuhkannya agar bisa bebas menjalin hubungan dengan selingkuhannya tanpa ketahuan Tantri dan Harto. Diam-diam Ranaya menyembunyikan kekecewaannya. Ia meletakkan alat makannya pelan di meja. Susah payah ia menelan makanan yang telah menjelma menjadi seonggok empedu pahit di kerongkongannya. “Pokoknya kalau Mama bilang nggak, ya nggak, Sagara. Mama tetap nggak setuju sebelum kalian punya anak.” Rahang Tantri turut mengeras. “Ma!” nyalak Sagara protes. Air mukanya memerah. Kalau sudah begini, tak ada pilihan lain bagi Harto untuk meredakan keributan di saat seharusnya mereka menikmati momen makan bersama seperti sekarang. Harto menempatkan sendok dan garpu ke piring, menghela napas panjang, lantas berucap dengan menepuk lengan Sagara yang ada di sisinya. “Sagara, lebih baik kamu pikirkan dulu rencanamu itu. Kami, orangtuamu juga pengen yang terbaik untuk kalian. Mungkin mamamu masih butuh waktu sebelum bisa melepas kalian hidup mandiri di rumah sendiri nanti.” Harto mengatakannya dengan tenang. “Tapi, menunggu kami punya anak juga sudah keterlaluan,” tegas Sagara masih berdiri pada kehendaknya. Ranaya meringis samar. Dipikir-pikir suaminya pasti keberatan atas syarat yang ibu mertuanya ajukan. Mana mungkin pria itu mau menyentuhnya? Namun, sebenarnya ada kelegaan sendiri di lubuk hati Ranaya. Untung Tantri dan Harto melarang keras keinginan Sagara pindah rumah karena kalau tidak, ia tak tahu bagaimana jadinya hidup dan nasibnya kelak. Ranaya mungkin bakal hancur sehancurnya menyaksikan kebebasan Sagara membawa Sherly ke rumah, bahkan memadu kasih di depan matanya sendiri. Berikutnya tatapan Ranaya tak sengaja bertumbukan dengan mata elang milik Sagara yang duduk di seberang meja. Ranaya buru-buru mengalihkan pandangannya. Entah kenapa ia ketakutan menangkap tatapan yang sepertinya sedang diliputi amarah tersebut. *** Malam ini Ranaya nyaris terjingkat dari tempat duduknya ketika pintu dibuka secara kasar oleh Sagara. Hampir saja buku yang ia baca terlempar ke meja. Sagara lekas mengendurkan dasi dengan gerakan tergesa-gesa begitu pintu di belakangnya tertutup. Ranaya sampai memutar posisi tubuhnya saking keheranan. Apalagi saat ia melirik jarum jam yang tergantung di dinding, waktu menunjukkan bahwa suaminya itu pulang lebih cepat dari biasanya. Ada apa? Batinnya menerka-nerka. “Cepat mandi sekarang.” Suara Sagara yang dingin lantas hanya membuat Ranaya bergeming sambil mengerutkan kening samar. Telinganya tak mungkin salah dengar, kan? “Tadi sore aku sudah mandi kok, Mas,” aku Ranaya polos. “Mandi lagi. Pakai parfum yang wangi,” ulang Sagara tanpa memandang ke arah istrinya. Sebelah tangannya kemudian melempar sebuah tas belanja hingga benda tersebut mendarat secara kasar di kasur dekat Ranaya. “Habis mandi langsung pakai itu.” Bertambahlah tanda tanya di benak Ranaya. Ia masih mengamati Sagara dari tempatnya duduk dengan menyingkirkan buku yang ia baca sementara. Tetapi, selanjutnya mata di balik lensanya membeliak tatkala menangkap nama toko khusus pakaian dalam wanita yang cukup terkenal di kota ini. Sontak sekujur tubuh Ranaya membeku dibuatnya. Karena Ranaya tak merespons perintahnya, Sagara kemudian terpaksa melabuhkan tatapannya pada perempuan itu. Ia kesal, apalagi menyaksikan Ranaya hanya diam dengan air muka memucat selagi memandangi bungkusan lingerie yang baru saja ia beli saat perjalanan pulang. “Tunggu apa lagi?!” tekannya seketika menyentak lamunan Ranaya. Ranaya yang sebenarnya masih bingung akhirnya langsung bangkit. Terutama disebabkan oleh tatapan tajam Sagara yang sudah mirip seperti pembunuh berdarah dingin. Entah kenapa ada perasaan tidak enak yang ia rasakan. Sambil sedikit menunduk, Ranaya merasakan mata menusuk Sagara masih mengejar gerakannya sampai ia masuk ke kamar mandi. Barulah usai menutup pintu kamar mandi dan menguncinya, Ranaya dapat bernapas dengan leluasa. Ia bahkan tak tahu arti terselubung dari tatapan suaminya tadi. Ranaya mandi, memakai parfum, serta mengenakan lingerie seperti yang Sagara titahkan. Sekarang ia memandangi pakaian minim yang menempel dan tengah mengekspos hampir sebagian besar tubuhnya lewat pantulan cermin. Ranaya lantas menggigit bibir. Perilaku Sagara yang ganjil justru membuatnya gugup dan ketakutan setengah mati. Perlahan Ranaya melangkahkan kaki keluar. Rupanya Sagara tengah menunggunya di bibir ranjang sembari menguraikan kemeja kerjanya. Merasakan kehadiran Ranaya, Sagara menoleh. Matanya secara cepat memindai sekujur tubuh Ranaya yang dipamerkan lewat baju dinas pilihannya. Ujung bibirnya sedikit terangkat miring. Semakin takutlah Ranaya. Ia melihat dengan jelas sesuatu yang berlari cepat di mata Sagara. Sesuatu yang liar, kejam, dan ia tak bisa melakukan apa yang Sagara mau meski dirinya sangat mencintai pria tersebut. Ranaya memainkan jemarinya dengan kaku dan berusaha menghindari tatapan mata Sagara. “Kenapa seperti ini, Mas? Maksudku … aku belum siap melakukannya karena kamu nggak cinta─” “Memangnya kenapa?” potong Sagara langsung. Pria itu mendekat tanpa ekspresi apa pun menghiasi wajahnya. Satu-satunya gestur yang mencolok hanya matanya yang berkilat dan tertuju pada bagian tubuh atas Ranaya. “Mama mau cucu, kan? Ya, aku cuma mencoba memenuhi keinginan orangtuaku,” lanjut Sagara sengit. Ranaya menggeleng. Menuruti apa kata hatinya, ia melangkah mundur ketika suaminya kian mendekat. “Maaf, Mas. Tapi aku nggak yakin kalau keputusan ini benar. Aku belum siap.” Ranaya tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa sepasang matanya kini berkaca-kaca. “Diam! Sekarang kamu nurut aku. Aku nggak suka cara orangtuaku berlebihan ke kamu!” Amarah pria itu semakin menguliti keberanian Ranaya. Tiba-tiba tangan Sagara menyambar lengan Ranaya dan mendorongnya ke kasur. Ranaya sempat protes, berusaha berdiri. Namun, kekuatan Sagara menindih tubuhnya, “Jangan berontak dan lakukan apa yang aku mau!” tekan Sagara menegaskan kembali. Ranaya tak bisa berteriak. Ia memikirkan juga apa jadinya kalau Tantri dan Harto tahu jika putranya telah memerkosa dirinya─bukan berdasarkan sama-sama mau. Pelan-pelan Sagara merambat dan menggerayangi sekujur tubuhnya. Tangan pria itu sudah menjamah barang berharga milik Ranaya.“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa
Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Pagi ini Ranaya sedang tak nafsu makan. Mata sayunya memandangi makanan dan memaksa menelan meski rasa hampa menyerangnya. Bagaimana tidak, semalam ia pura-pura tidur ketika Sagara melakukan video call dengan perempuan lain. Bahkan telinganya menangkap semua momen romantis keduanya.Ranaya menyendokkan sarapannya dan mengunyah tanpa tenaga. Hatinya begitu perih. Walau ia mendapat ibu dan ayah mertua yang baik, tetapi apa gunanya jika tak bisa memiliki raga maupun cinta dari Sagara?“Aku ingin pindah rumah.”Ucapan tegas Sagara tak pelak membuat semua mata tertuju kepadanya, terutama Ranaya yang sangat syok atas keras kepala suaminya. Apa sebegitu inginnya dia dengan Sherly hingga tetap bersikukuh memperjuangkan tekadnya?“Apa? Nggak bisa. Kalian nggak boleh pindah!” Tubuh Tantri yang duduk di samping Ranaya menegang. Sepasang matanya membulat seakan hendak keluar dari rongganya.“Ma, kenapa? Aku dan Ranaya kan sudah menikah. Kami juga butuh ruang.”Napas Ranaya tercekat. Bukan Ranaya
Mau tak mau Ranaya menghentikan langkahnya, dan buru-buru menoleh ke arah sumber suara. Jantungnya berdegup kencang. Tantri muncul dengan air muka cemas. Rambutnya sedikit berantakan. Sementara itu, dua sosok lain mengekor di belakangnya. Ranaya menggigit bibir. Ia menarik kembali langkah kakinya dari anak tangga yang sudah ia tapaki tadi, lantas memilih mendekat. “Ma … maafkan Ranaya. Tadi pagi setelah mengantar bekal aku mendadak pergi ke rumah sakit. Ayah masuk rumah sakit lagi. Ibu juga sempat pingsan, jadi aku harus merawatnya dulu sebelum pulang.” “Rumah sakit? Ada apa? Sakit bapakmu kumat lagi, Ran?” kejar Tantri. Setelah itu ia mendesah panjang. “Kenapa kamu nggak kasih kabar sama sekali?” Tantri kini berjalan mendekati menantunya. Harto pun yang mengenakan sarung dan kaus lengan panjang turut menghampiri. Namun, tidak dengan Sagara yang masih bergeming di tempat sembari mengatupkan rahang. “Benar, Ma. Sakit jantung bapak kumat sampai tadi sesak napas. Maaf, aku nggak se
Langkah Ranaya terasa semakin berat begitu ia tiba di rumah sakit. Ia berlari-lari melewati lorong yang panjang, dengan tangan mencengkeram erat tas selempangnya. Napasnya memburu, sementara pikirannya tak karuan. Sepasang matanya memindai cepat demi menemukan keberadaan ibunya. Segera setelah menangkap sosok wanita berambut pendek ikal yang duduk di kursi tunggu dengan wajah sembap dan tubuh ringkih, Ranaya berhenti mendadak. “Bu!” serunya melangkah cepat mendekati. Ida mengangkat wajah. Matanya cekung, garis-garis lelah di wajahnya tampak semakin jelas. Begitu melihat putrinya, ia langsung bangkit dan berhambur memeluk Ranaya erat. Tangisannya pecah di bahu anaknya. “Ran … Bapakmu, Nak ….” suaranya parau. Bahkan hampir tak terdengar di antara isak tangisnya. Ranaya memejamkan mata. Roboh sudah pertahanan dirinya. Kondisi rapuh lelaki yang merupakan cinta pertamanya membuat kekuatannya musnah tak tersisa. Air mata mulai mengalir di pipi Ranaya. Ia menarik napas dalam-dalam, me
Ranaya tertegun atas ucapan Sagara yang mengusirnya. Karena tak mau berlama-lama juga di tempat ini, ia menggiring kakinya cepat keluar ruangan.Begitu ia menutup pintu yang ada di belakangnya, air mata Ranaya segera membludak. Kerongkongannya panas, seperti ada sesuatu yang nyaris menggelegak dari sana. Ranaya kemudian memutuskan untuk pergi ke toilet.Lorong kantor terasa begitu sunyi. Langkah Ranaya semakin cepat, mencoba mengabaikan sejumlah pandangan aneh yang orang-orang hunjamkan ketika berpapasan dengannya. Tetapi, ia tak bisa menolak untuk tak mendengar bisikan di sekitarnya."Kasihan ya istrinya Pak Sagara," ujar salah seorang karyawan perempuan sambil terkikik pelan."Kalau aku jadi dia mending cerai aja. Udah jelas kalah saing sama Sherly, kan?" sahut yang lain tak kalah tajam.Ranaya menggigit bibir bawah. Rupanya benar dugaannya, Sherly perempuan sama yang dibawa Sagara ke rumahnya semalam.Ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis di sana. Namun, hatinya sudah terl
“Akhirnya sampai rumah juga. Aduh, punggungku!”Pagi ini Tantri dan Harto sudah kembali. Tantri melangkah terseok-seok dengan tangan membawa beberapa tas sambil sesekali mempermasalahkan sakit punggungnya.Ranaya segera berhambur ke arah ibu mertuanya. Tangannya cekatan menyambar sejumlah tas yang tengah ditenteng Tantri.“Aku bantu bawakan ya, Ma. Mama rehat dulu saja. Aku juga sudah masak ayam goreng lengkuas dan sup sayur untuk sarapan,” tukas Ranaya. Ia kemudian sibuk meletakkan barang bawaan Tantri tadi.Sembari memijat punggungnya, Tantri mengekor di belakang Ranaya dan duduk di salah satu kursi meja makan.“Alhamdulilah, beruntung sekali Mama punya menantu sebaik dan sepintar kamu, Ranaya. Terima kasih, ya.” Tantri menghela napas penuh kelegaan sewaktu menyaksikan makanan yang dimasak Ranaya telah berjejer rapi di depannya.“Sama-sama, Ma. Tahu dan tempe yang ada di kulkas juga sudah aku olah.”Ranaya lantas menyingkap salah satu sajian dan menunjukkan hasil gorengannya tadi pa
“Bagaimana malam pertama kalian, Ranaya?” Pagi ini di tengah dentingan sendok dan piring, tiba-tiba Tantri, ibu Sagara, bertanya demikian. Nyaris saja Ranaya tersedak oleh karena pertanyaan yang diajukan. Ia harus menjawab apa? Masalahnya Sagara tak sudi menyentuhnya, bahkan semalam ia tak tahu kapan pria itu pulang. Mata Ranaya yang gugup sempat bersinggungan dengan tatapan tajam yang Sagara hunjamkan kepadanya. Ranaya buru-buru mengalihkan pandang, mengunyah makanannya cepat, lantas menyahut, “Lancar kok, Ma.” Ia bertukas sembari merekahkan senyum selebar mungkin agar ibu mertuanya yakin. Ranaya mengamati wajah cantik di depannya. Seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal berpotongan sebahu yang tampak masih segar parasnya. Ranaya berani menjamin, ketampanan seorang Sagara memang berasal dari ibunya. Sementara itu, Tantri terlihat sumringah usai mendengar jawaban Ranaya dan manggut-manggut pelan. Ia lalu beralih ke arah Sagara yang tengah sibuk menyantap makanannya dengan
“Mimpi apa aku ini sampai bisa menikah dengan Mas Sagara ….”Ranaya termenung di depan cermin memandangi wajah polosnya yang baru saja dibersihkan dari riasan pengantin. Tangannya kemudian meraih sebuah kacamata dan mengenakannya.Kini tampaklah lebih jelas bayangan wajah di hadapannya. Ranaya memang diberkahi kulit putih bersih, hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Namun, bukankah hal itu sudah dimiliki oleh kebanyakan wanita pada umumnya?Ranaya merasa satu-satunya yang bisa dibanggakan darinya adalah sepasang mata bulat bersinar yang sayangnya harus tertutupi lensa kacamata tebal dan mulai ketergantungan dengan benda tersebut ketika rabun jauh yang dideritanya semakin parah.Usai acara berakhir, Ranaya pergi ke kamar dulu tepat seperti apa yang Sagara perintahkan. Dan kini dengan harap-harap cemas ia menunggu suaminya itu menyusul kemari.Tatapan pada objek pantulan di cermin membuatnya ingin mencubiti pipinya berkali-kali. Ia ingin menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini bukanl