"Apa kabar, Cantik"
Kendati sempat bingung tiba-tiba didatangi wanita paruh baya yang langsung ingin menemui dirinya, Zoya tetap menunjukkan sikap sopan dengan mempersilahkan wanita itu masuk serta duduk.Zoya tidak sendiri, kedua sahabatnya ada bersamanya. Tapi dari gelagat mereka, Vina yang terlihat paling gelisah. Seperti maling yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya."Ba-baik," balas Zoya kikuk. "Begitu tahu hari ini kalian tidak bekerja, ibu langsung minta supir mengantar kemari. Ibu tidak sabar ingin segera melamarmu."Duar!!Apa? Melamar? Lelucon macam apa ini? Dan siapa wanita itu yang tiba-tiba datang dengan tujuan gilanya? Zoya yang baru mendudukan diri di sofa berbeda, seketika tercengang. Nafasnya mendadak tersendat-sendat nyaris berhenti di kerongkongan kalau saja Melly yang duduk di sampingnya, tidak sigap mengusap punggungnya."Rasanya ibu sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba."Zoya masih berusaha mengatur nafas, sedangkan wanita yang tidak diketahui dari mana asalnya itu terus membicarakan sesuatu yang tidak Zoya mengerti."Mel, aku butuh minum."Ternyata sebotol air mineral sudah tersedia di dekat Zoya yang buru-buru minum tidak sabaran. Zoya memang tidak punya riwayat asma. Tapi dalam keadaan tegang, ia merasa nafasnya menderu pendek dan jantungnya berdetak lebih kencang. Reaksi tubuh yang sampai sekarang masih sulit Zoya kendalikan."Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Melihat cara minum Zoya terburu-buru, sepertinya wanita itu sadar Zoya tidak dalam keadaan baik-baik saja. "Apa kamu sakit? Kita ke rumah sakit sekarang, ya. Mau?""Ti-tidak. A-aku baik-baik saja.""Ah syukurlah kalau begitu. Oh iya, ibu Lisa,"Zoya yang masih sangat gugup bercampur bingung, menatap wanita itu yang mengulurkan tangan, lantas beralih pada Melly yang duduk di sebelahnya."A-aku.. Zo-zoya, Tan," balasnya seraya menerima uluran tangan Lisa.Zoya masih tampak linglung, dengan memperhatikan kedua sahabat secara bergantian."Iya, ibu sudah tahu."Apalagi ini?Jadi Lisa sudah tahu siapa dirinya?Rasanya Zoya masih tidak percaya, bagaimana Lisa bisa tahu namanya. Sedang mereka saja baru pertama kali bertemu. Kembali menoleh Melly, Zoya ingin memastikan mungkin saja sahabatnya itu mengenal siapa Lisa. Tapi begitu melihat Melly mengulas senyum canggung, Zoya mendelik curiga."Kamu lebih cantik dari yang ibu lihat tempo hari." Tempo hari?Itu artinya mereka sudah pernah bertemu, tapi dimana?Kenapa Zoya tidak mengingatnya. Sedangkan dibanding kedua sahabatnya, dirinya-lah yang punya ingatan paling tajam.Sekali lagi Zoya hanya bisa menunjukkan senyum kaku. Sungguh, ia dibuat merinding. Tidak hanya kunjungan tiba-tiba dan niat tak terduga Lisa. Tapi ketika wanita itu mengatakan mereka pernah bertemu, Zoya masih berusaha keras mengingatnya.Namun, tetap nihil. Zoya tidak bisa mengingat apapun, dan semakin yakin itu pertemuan perdana mereka."Ibu lihat kalian sangat cocok, kalian benar-benar serasi."Kali ini Zoya melepar tatapan penuh selidik pada Vina, biasanya sahabatnya yang satu itu kerap bertindak random tanpa memikirkan akibatnya. Dan, pasti datangan Lisa juga bagian kerandoman Vina."Ma-maaf Tante, tapi aku benar-benar tidak mengenal Tante. Kalau tidak keberatan tolong beritahu aku dimana kita pernah ketemu sebelumnya.""Sudahlah, kamu akan tahu itu nanti. Yang terpenting sekarang, ibu ingin mendengar jawaban itu langsung dari mulutmu. Apa kamu serius ingin menjadi menantu ibu?""Tunggu. Tunggu dulu! Aku tidak paham dengan apa yang baru saja Tante bicarakan? Siapa yang mau menikah, kekasih saja aku tidak punya." Memang benar, bahkan di usia yang sudah dua puluh satu tahun, Zoya masih sangat awam perihal laki-laki. Memiliki kekasih dalam waktu dekat apalagi menikah muda sebenarnya tidak ada dalam rencananya. Ia masih ingin mengumpulkan banyak uang agar bisa menggapai cita-cita."Iya, ibu juga sudah tahu itu," ucap Lisa lagi yang semakin membuat Zoya tercengang.Semakin tidak masuk akal. Zoya merasa benar-benar ada yang tidak beres. Kembali melempar pandangan pada kedua sahabatnya, Zoya yakin merekalah pelakunya."Katakan, apa yang sudah kalian lakukan?" bisik Zoya pada Melly yang seketika menggeleng tegas."Bukan aku, tapi Vina," sanggah gadis itu melempar pandangan pada teman mereka yang duduk gelisah di tempatnya. "Ibu berharap kamu tidak menolak lamaran ibu, Sayang."Mendengar Lisa kembali bersuara, Zoya berdesak nafas sekali sebelum akhirnya berbicara dengan lebih tenang."Begini Tante, maaf sebelumnya sudah membuat Tante repot-repot datang ke kontrakan kami yang sempit ini. Tapi sepertinya ada kesalahpaham yang harus aku bicarakan dengan kedua sahabatku." "Ibu paham, untuk memutuskan sesuatu yang menyangkut masa depan memang tidak mudah, dan tentunya butuh banyak pertimbangan. Baiklah. Ibu harap kamu bisa mempertimbangkan ini dengan baik, tapi ibu juga tidak ingin kedatangan ibu hari ini sia-sia." Setelahnya Lisa bangkit, dan kembali berucap, "ibu akan datang minggu depan. Persiapkan dirimu."Begitu Lisa pergi keadaan masih hening, belum ada yang bersuara dari ketiganya. Zoya masih terlalu sibuk menafsirkan apa yang Lisa sampaikan sebelum pergi tadi. Nada suaranya memang lembut, tapi dari konotasi yang digunakan, wanita itu seolah memberi ultimatum jika Zoya hanya memiliki satu pilihan, yaitu menerima lamaran yang Zoya sendiri anggap tidak masuk akal."Zo…"Mendengar Vina memanggilnya ragu, Zoya segera beralih."Aku tahu ini pasti ulahmu, Vin. Sekarang jelaskan, apa yang sudah kau janjikan padnya sampai dia datang kemari?""Maafkan aku, tapi aku juga tidak tahu dia akan datang kemari. Aku pikir hari itu dia hanya sedang bergurau. Sungguh Zo, maafkan aku."Khawatir Zoya akan marah padanya, Vina sudah lebih dulu terisak. Sebenarnya ia juga terkejut akan kedatangan Lisa yang mendadak, dan langsung mengutarakan tujuannya."Hari itu? Kapan dan dimana?" desak Zoya semakin tidak sabaran. Ia games melihat Vina yang tidak langsung menjawab, tapi justru balik melempar pandangan pada Melly yang seketika berubah gelagapan."Kanapa aku? Kan kau yang berbicara dengannya hari itu."Kembali mendesak nafas sekali, Zoya berusaha menahan diri untuk tidak langsung menghakimi kedua sahabatnya."Teman-teman, ini bukan perkara remeh yang bisa aku bagaikan begitu saja. Sekarang katakan padaku, apa yang sudah kalian rencanakan tanpa sepengetahuanku?""Sekali lagi maafin aku, Zo. Aku juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya," kata Vina penuh penyesalan.Tidak bisa berkata apa-apa lagi, terlebih melihat wajah memelas Vina, Zoya menghela nafas pelan seraya menyandarkan punggung. Apa yang terjadi hari itu bukan sepenuhnya salah Vina, melainkan kecerobohannya sendiri. Sebuah lelucon yang tidak menduga akan berakibat fatal, sangat fatal sampai Zoya harus berurusan dengan pria yang tempo hari menjadi target keisengannya. Lantas, jika dipertemukan dengan pria itu lagi apakah ia bisa mengatasi rasa canggungnya?Baru memikirkan saja Zoya sudah gatal—seperti ada ribuan kutu menyerbu kepala, dan sedang berlomba-lomba menghisap darahnya."Semua memang salahku," imbuh Vina lagi semakin merasa bersalah. Karena memang semua berawal dari dirinya."Sudahlah. Ini juga salahku," kata Zoya pasrah.Tepatnya tidak ingin melihat Vina terus menyalahkan diri."Tidak hanya kalian yang bersalah, aku juga." Melly ikut menyahut. Tidak adil jika hanya ked
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tak cukup membuat mata Lisa mengantuk. Duduk di sofa panjang berbentuk setelah lingkaran—di ruang tengahnya yang luas, Lisa tetap setia menunggu kepulangan putra semata wayangnya, Danu. Rasanya ia tidak sabar ingin segera mengutarakan niat hatinya. Kebahagiaan yang sudah beberapa hari ia tahan, lantaran Danu sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Dan, malam ini mendapat kabar putranya akan kembali, Lisa dengan setia menunggu."Mengingatnya hari itu, aku semakin yakin jika dia bisa menerima putraku apa adanya," gumam Lisa disertai senyum kebahagiaan kala mengingat senyum manis Zoya saat di kafe.Gadis lucu itu dalam waktu singkat sudah berhasil membuat hati Lisa terpikat, dan Lisa semakin tidak sabar untuk segera memboyong Zoya beserta kedua sahabatnya ke rumah. Dengan begitu, keadaan rumah besarnya pasti tidak akan sesepi sekarang. "Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat mereka berkeliaran di rumah ini." Kembali ters
Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi. Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar l
DUK!!"Auw!" Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya." Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—m
"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati."Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!" Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar.""Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap be
'Kenapa berhenti disini? uangku mana cukup bayar makanan disini. Gila aja nih om-om, mau cari gretongan gak kira-kira,' gerutu Zoya dalam hati. Ia merasa sangat kesal begitu tahu, Danu memasukan mobilnya di depan sebuah restoran. "Set dah, tuh orang mana udah nyelonong duluan lagi. Aduh! dompet mana sih."Melihat Danu sudah keluar lebih dulu—Zoya semakin gelisah lantaran dompet silikon karakter pororo miliknya entah terselip di bagian mana."Nah, ini dia." tersenyum lega. Namun, begitu membuka dan melihat isi dompetnya, gadis itu tertunduk lesu. "Ya salam om, duitku cuma seratus dua puluh ribu ini, malah ngajak makan ditempat beginian. Warung tegal napa? masakan disana tak kalah nendang."Tok tok!!Zoya terkesiap begitu kaca di sampingnya diketuk, dan pelakunya tak lain Danu."Ck, apa yang sebenarnya dia lakukan? kenapa tidak ikut turun." Baru Danu hendak mengetuk kaca lagi, gerakan tangannya seketika terhenti melihat pintu terbuka. "Kamu tidak suka tempat ini?" Melihat gelagat mencu
"Kamu dari mana Zo?" "Astaga! kamu mengejutkanku. Aku pikir belum ada yang pulang." Setelah meletakkan tasnya diatas meja, Zoya ikut berbaring di samping Melly."Tumben kamu sudah pulang?" Menoleh ke arah samping. Melly yang sedang tengkurap memainkan gawainya melirik sekilas."Pekerjaanku tidak banyak hari ini, makanya bisa pulang lebih awal. Kamu belum menjawabku tadi, dari mana?" Zoya merubah posisinya sama dengan Melly, setelah menekuk kedua kaki dan menggoyang-goyangkannya ia mulai bercerita. "Ketemuan sama tante Liza dan Om Danu.""Serius?" Zoya mengulum senyum melihat keterkejutan sang sahabat."Iya, kenapa?" "Lalu?" "Apanya?" "Ck, kamu ini, bagaimana pertemuanmu dengan om Danu setelah apa yang terjadi kemarin. Lalu apa tante Liza memaksakan kehendaknya?" Melihat Zoya menggelang yakin–Melly memiringkan tubuhnya dan menatap penuh selidik. "Jangan membuatku penasaran, sekarang ceritakan semua tanpa ada yang kamu skip." "Aku dan tante Liza belum sempat mengobrol tadi. Sement
Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana, dan tuhan yang maha menentukan segalanya. Setelah tidak pernah lagi ada kabar beritanya, Zoya dan kedua sahabatnya menganggap bahwa Liza melupakan lamaran dadakannya satu bulan lalu, tapi ternyata? Tanpa disangka-sangka wanita itu tiba-tiba muncul di momen yang sangat tepat."Sayang, kalian akan pindah ke rumah ibu hari ini juga." Sontak, Zoya menegang, matanya berkedip ragu."Ke–kenapa me-mendadak, tan?" Setelah keheningan sesaat, Zoya mulai bisa bersuara. Sungguh, gadis itu merasa terkejut sekaligus heran kenapa wanita itu muncul dengan kejutan tak terduga. Tiba-tiba memintanya pindah tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Jantung? masih amankah di tempatnya?Siang itu, Zoya yang merasa kurang enak badan, memilih tinggal di kamar kos menunggu kedua sahabatnya kembali. Dan untungnya, mereka bertiga off dari kesibukan masih-masih, sehingga ia bisa beristirahat, sementara kedua sahabatnya tengah keluar mencari makan. Tapi, baru juga he