"Kamu kenapa, bosan?" Walaupun tatapannya fokus ke layar laptop, tapi Danu tahu jika istrinya tidak sesemangat tadi ketika berangkat."Kemarin sebelum Abang berpenampilan seperti ini, bagaimana sikap wanita tadi?" "Ayu, maksudmu?""Ish menyebalkan, kenapa kembali menyebutnya Ayu!""Ya.. Karena memang itu namanya, lalu Abang harus memanggilnya apa? Sekretarisku, begitu?" Meski heran dengan sikap aneh Zoya, namun Danu tetap berusaha menyikapi dengan tenang. Zoya hanya diam tidak lagi menanggapi penjelasan suaminya, ia juga tidak paham kenapa hari itu begitu sensitif. Ada apa sebenarnya dengannya, apa mungkin akan kedatangan tamu bulanan yang membuatnya uring-uringan tidak jelas? Zoya simpan sendiri pertanyaan itu dalam hati, sebab apa yang dirasakan hari itu pertama kali ia rasakan.Bersikap acuh dan mengabaikannya mungkin lebih baik, pikirnya."Abang pikir dengan mengajakmu ke kantor akan lebih baik." Danu akhirnya bangkit dan duduk disamping Zoya."Abang kenapa melarangku ikut ke
Ada banyak pertanyaan di benak Lisa setelah mendengar cerita kedua putrinya kemarin, terselip juga harapan jika sosok tak bertanggung jawab yang sempat ia dengar itu, bukanlah orang yang sama dengan yang pernah menghancurkan kebahagiaannya dulu."Ibu disini rupanya?" Mendengar suara bariton Danu, Lisa yang sebelumnya melamun terhenyak dan segera menoleh ke belakang."Iya nak, ada apa?" "Ibu melamun? Apa ada sesuatu yang mengusik pikiran ibu, hm?" Tanya Danu setelah mendekat, dan mengambil alih selang yang masih teraliri air dari tangan ibunya."Tidak, ibu baik-baik saja. Apalagi yang ibu inginkan, jika Allah saja sudah mengebalikan putri ibu, bahkan sekarang ibu punya tiga putri sekaligus," ujar Lisa yang selalu berhasil menutupi kegundahan hatinya di hadapan Danu ataupun yang lain."Tapi kenapa ibu menyiram hanya satu tanaman, sampai airnya menggenang seperti ini," jelas Danu."Oh astaga! Ibu matikan dulu krannya." Melihat sang ibu buru-buru mematikan kran, Danu hanya menggeleng sama
"Om, mau jadi kekasihku?" Dengan berani Zoya mengatakan hal tersebut di hadapan semua orang. Alih-alih malu atas tindakannya, gadis itu justru sengaja tersenyum manis pada pria itu—-targetnya."Mau, ya Om. Selain bisa mandi dan makan. Aku juga bisa cari uang sendiri, loh," terang Zoya bangga.Sayangnya, Danu tak acuh. Jangankan menanggapi, menatap saja tidak ia lakukan. Pria itu menganggap kehadiran Zoya bak makhluk tak mata."Sepertinya permintaan mereka bisa kita pertimbangkan," ujar pria lain yang duduk satu meja dengan Danu—memilih kembali ke topik awal mereka. Benar-benar mengabaikan keberadaan Zoya."Aku juga berpikir begitu," balas Danu seraya kembali menyesap minumannya.Sadar dirinya sengaja diabaikan, Zoya membungkukkan badan tepat di hadapan pria berambut panjang sebahu dengan model middle-parted itu. Lantas, melambaikan tangan, menarik perhatian pria tersebut. "Aku serius, Om. Pacaran yuk," ujar Zoya sekali lagi, dan seketika itu berubah gugup. Rupanya di balik rambut p
"Apa kabar, Cantik"Kendati sempat bingung tiba-tiba didatangi wanita paruh baya yang langsung ingin menemui dirinya, Zoya tetap menunjukkan sikap sopan dengan mempersilahkan wanita itu masuk serta duduk.Zoya tidak sendiri, kedua sahabatnya ada bersamanya. Tapi dari gelagat mereka, Vina yang terlihat paling gelisah. Seperti maling yang tertangkap basah sedang melancarkan aksinya."Ba-baik," balas Zoya kikuk. "Begitu tahu hari ini kalian tidak bekerja, ibu langsung minta supir mengantar kemari. Ibu tidak sabar ingin segera melamarmu."Duar!!Apa? Melamar? Lelucon macam apa ini? Dan siapa wanita itu yang tiba-tiba datang dengan tujuan gilanya? Zoya yang baru mendudukan diri di sofa berbeda, seketika tercengang. Nafasnya mendadak tersendat-sendat nyaris berhenti di kerongkongan kalau saja Melly yang duduk di sampingnya, tidak sigap mengusap punggungnya."Rasanya ibu sudah tidak sabar menunggu hari itu tiba."Zoya masih berusaha mengatur nafas, sedangkan wanita yang tidak diketahui dari
"Sekali lagi maafin aku, Zo. Aku juga tidak menyangka akan seperti ini jadinya," kata Vina penuh penyesalan.Tidak bisa berkata apa-apa lagi, terlebih melihat wajah memelas Vina, Zoya menghela nafas pelan seraya menyandarkan punggung. Apa yang terjadi hari itu bukan sepenuhnya salah Vina, melainkan kecerobohannya sendiri. Sebuah lelucon yang tidak menduga akan berakibat fatal, sangat fatal sampai Zoya harus berurusan dengan pria yang tempo hari menjadi target keisengannya. Lantas, jika dipertemukan dengan pria itu lagi apakah ia bisa mengatasi rasa canggungnya?Baru memikirkan saja Zoya sudah gatal—seperti ada ribuan kutu menyerbu kepala, dan sedang berlomba-lomba menghisap darahnya."Semua memang salahku," imbuh Vina lagi semakin merasa bersalah. Karena memang semua berawal dari dirinya."Sudahlah. Ini juga salahku," kata Zoya pasrah.Tepatnya tidak ingin melihat Vina terus menyalahkan diri."Tidak hanya kalian yang bersalah, aku juga." Melly ikut menyahut. Tidak adil jika hanya ked
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tak cukup membuat mata Lisa mengantuk. Duduk di sofa panjang berbentuk setelah lingkaran—di ruang tengahnya yang luas, Lisa tetap setia menunggu kepulangan putra semata wayangnya, Danu. Rasanya ia tidak sabar ingin segera mengutarakan niat hatinya. Kebahagiaan yang sudah beberapa hari ia tahan, lantaran Danu sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Dan, malam ini mendapat kabar putranya akan kembali, Lisa dengan setia menunggu."Mengingatnya hari itu, aku semakin yakin jika dia bisa menerima putraku apa adanya," gumam Lisa disertai senyum kebahagiaan kala mengingat senyum manis Zoya saat di kafe.Gadis lucu itu dalam waktu singkat sudah berhasil membuat hati Lisa terpikat, dan Lisa semakin tidak sabar untuk segera memboyong Zoya beserta kedua sahabatnya ke rumah. Dengan begitu, keadaan rumah besarnya pasti tidak akan sesepi sekarang. "Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat mereka berkeliaran di rumah ini." Kembali ters
Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi. Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar l
DUK!!"Auw!" Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya." Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—m