Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi tak cukup membuat mata Lisa mengantuk. Duduk di sofa panjang berbentuk setelah lingkaran—di ruang tengahnya yang luas, Lisa tetap setia menunggu kepulangan putra semata wayangnya, Danu. Rasanya ia tidak sabar ingin segera mengutarakan niat hatinya. Kebahagiaan yang sudah beberapa hari ia tahan, lantaran Danu sedang berada di luar negeri untuk urusan pekerjaan. Dan, malam ini mendapat kabar putranya akan kembali, Lisa dengan setia menunggu.
"Mengingatnya hari itu, aku semakin yakin jika dia bisa menerima putraku apa adanya," gumam Lisa disertai senyum kebahagiaan kala mengingat senyum manis Zoya saat di kafe.Gadis lucu itu dalam waktu singkat sudah berhasil membuat hati Lisa terpikat, dan Lisa semakin tidak sabar untuk segera memboyong Zoya beserta kedua sahabatnya ke rumah. Dengan begitu, keadaan rumah besarnya pasti tidak akan sesepi sekarang. "Pasti akan sangat menyenangkan bisa melihat mereka berkeliaran di rumah ini." Kembali tersenyum membayangkan ruangan yang kini hanya ada Lisa seorang diri, akan diwarnai canda-tawa ketiga gadis itu. "Danu benar-benar nakal, diam-diam sudah punya kekasih secantik Zoya." Lisa terkekeh teringat momen dimana Zoya menahan tangan Danu yang akan pergi. "Selain lucu dia juga cukup agresif." Kembali terkekeh pelan.Lisa benar-benar menganggap apa yang ia lihat di kafe hari itu bukan sebuah kesalahan. Ia beserta seorang temannya yang duduk di ruang berbeda—hanya tersekat kaca transparan bisa melihat jelas apa yang terjadi pada Zoya dan Danu. Tapi sayangnya, Lisa tidak bisa mendengar pembicaraan mereka, dan malah menganggap jika Zoya datang sengaja untuk menyusul Danu."Benar kata Jeng Tina, ternyata putraku tidak gay. Buktinya dia bisa mencarikanku menantu secantik Zoya."Lisa terus berbicara sendiri, merasa sangat bahagia akhirnya Danu akan segera melepas masa lajang. Setidaknya sesuatu yang selama ini ia takutkan tidaklah terjadi. "Maafkan ibu pernah menganggapmu tidak akan menikah, Sayang. Seharusnya ibu mendoakanmu yang baik-baik, bukan malah ikut berprasangka buruk." Lisa tersenyum haru membayangkan putranya akan bersanding di pelaminan dengan gadis yang diinginkan. Lisa tidak memperdulikan darimana Zoya berasal, karena jika Danu sudah memilihnya, maka Lisa pun pasti akan menyukainya.Tanpa terasa dua jam telah berlalu, terlalu banyak merencanakan sesuatu yang indah setelah Danu menikah nanti, Lisa baru sadar jika hari sudah hampir tengah malam. Berpikir mungkin Danu tidak jadi pulang, Lisa yang sudah berdiri di dekat saklar lampu, bersiap mematikan benda penerang tersebut. Sampai tiba-tiba terdengar suara derap sepatu dan berhasil mengalihkan pandangan Lisa."Syukurlah kau jadi pulang, Sayang.""Ibu…" Danu terkejut melihat ibunya belum tidur, terlebih setelah melihat benda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Lantas, buru-buru mendekat. "Kenapa Ibu belum tidur? Sekarang bahkan sudah tengah malam." Danu segera meraih tangan kanan Lisa dan mencium punggung tangannya."Ibu sengaja menunggumu, Nak. Ibu sudah dua jam duduk disini." Lisa balas mencium kening Danu—putra kebanggannya. Meski penampilan Danu kerap kali dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Tapi kasih sayang Lisa tidak pernah berkurang sedikitpun sampai sekarang usia Danu sudah kepala tiga."Tapi sepertinya ibu tidak akan bicara sekarang. Lebih baik kamu bersihkan diri dan istirahat. Karena ibu juga akan istirahat."Kendati yakin ada sesuatu yang penting ingin ibunya sampaikan, tetapi mengingat waktu tidak memungkin untuk mereka berbicara, akhirnya Danu hanya bisa mengangguk pasrah. Lantas, berjalan menuju kamarnya.*****"Apa ibu akan pergi?" Danu menarik kursi di sebelah Lisa yang sedang menikmati sarapan. Saat berjalan menuju meja makan tadi, ia sempat melihat koper yang diyakini milik sang ibu sudah tersedia di dekat tangga."Iya sayang, ibu harus ke luar Kota dan belum tahu kapan bisa kembali. Tapi ibu rasa akan sedikit lama disana.""Apa ada fashion show?""Heem. Tadinya ibu tidak berniat pergi, mengingat hari ini juga ibu ada janji dengan seorang gadis.""Gadis?" ulang Danu mengerutkan alis."Kamu mau makan apa?" Setelah mengangguk, Lisa segera berdiri—bersiap menyiapkan sarapan untuk Danu. "Nanti saja Bu, aku belum ingin sarapan. Aku mau gym dulu." Danu memilih menenggak air mineral hingga setelah gelas. Lalu, bermaksud bangkit, sebelum akhirnya gurauan Lisa membuat alisnya semakin mengerut dalam."Apa di hari libur kamu tidak berniat menemui gadismu? Kamu bisa mengajaknya kemanapun. Karena ibu yakin dia juga sedang tidak bekerja sekarang."Tidak mengerti apa yang ibunya bicarakan, Danu menatap heran wanita yang sudah melahirkannya itu. Tapi tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibirnya."Kamu sudah benar dengan memilihnya. Ibu mendukung hubungan kalian, dan minggu lalu ibu juga sudah datang melamarnya untukmu.""Apa yang ibu bicarakan? Dan gadis mana yang sudah Ibu lamar untukku." "Sudahlah. Tidak perlu ditutupi lagi. Ibu sudah tahu semuanya." Melihat senyum penuh arti sang ibu, benak Danu menerka-nerka siapa gadis yang akhir-akhir ini sering bersamanya. Naasnya sampai Lisa menyelesaikan sarapan, Danu tak juga menemukan jawaban. Sampai akhirnya kalimat lanjutan Lisa membuatnya berspekulasi jika mungkin itu hanya siasat ibunya yang mau menjodohkannya dengan gadis yang dipilih."Sepulang ibu nanti, kita akan mengundangnya makan siang. Untuk itu, kamu tidak perlu lagi diam-diam menjalin hubungan dengannya." "Terserah ibu saja," ujar Danu pelan. Tepatnya pasrah jika dirinya memang akan dijodohkan."Bagus. Ibu suka jawaban itu. Kalau begitu ibu berangkat sekarang. Supir sudah menunggu di depan." Lisa bangkit, dan tidak lupa meninggalkan kecupan di dahi Danu sebelum akhirnya pergi diikuti pelayan yang menyeret kopernya."Mungkin memang sudah saatnya aku menikah. Wajar jika ibu mulai mencemaskan itu," gumam Danu ikut bangkit menuju arah yang berbeda dengan Lisa.*****"Ingat Zo, sesuai rencana kita. Nanti saat Tante Lisa datang, biarkan aku yang menemuinya, kamu tidak usah keluar, oke?""Kamu yakin Vin, Tante Lisa akan percaya?" sela Melly ragu."Kita 'kan belum mencobanya Mel. Jangan lupa sebelum itu kita juga berdoa semoga saja apa yang kita inginkan itulah yang terjadi."Zoya yang sebelumnya terlihat antusias, tiba-tiba mengerutkan alis—mencemaskan akan nasib Vina jika Lisa menyetujui ide mereka."Tapi aku juga tidak mau dia sampai memperlakukanmu dengan buruk, Vin. Bagaimana kalau dia seorang petinju atau mungkin saja master beladiri?"Jika Melly langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, Vina yang sepertinya mulai terprovokasi terlihat mencerna ucapan Zoya."Dia punya mata setajam elang jika didekati," lanjut Zoya. "Kalian tau sendiri bukan, dia juga memiliki tubuh yang tinggi besar. Selain itu dia juga punya telapak tangan yang lebar. Bisa dibayangkan bagaimana jika itu mendarat di tubuh atau mungkin pipi kita?" Semantara Zoya dan Melly kompak bergidik ngeri, Vina membelalkan mata. Membayangkan dirinya berada di atas ring dan tubuhnya yang ramping diangkat dengan satu tangan oleh pria jadul itu, lalu diputar layaknya gangsing."Apakah dia manusia Hulk?" celetuk Vina tiba-tiba.Zoya benar-benar merasa kehidupan telah kembali seperti semula. Tepatnya sejak sebulan lalu tidak ada kabar dari Lisa, ia beserta kedua sahabatnya menganggap wanita itu benar-benar telah melupakan lamaran tempo hari yang hampir membuat mereka melarikan diri layaknya pencuri. Tapi sekarang, Zoya merasa kedamaian hidup kembali dirasakan. Kendati ia berjanji tidak akan lagi mendatangi 'kafe bahagia' ataupun kafe manapun guna meminimalisir bertemu dengan pria berpakaian jadul itu—pria pemilik wajah dan mata yang sangat mengintimidasi. Namun, terlepas dari semua yang sudah pernah terjadi, baik Zoya maupun kedua sahabatnya mulai bisa berpikir dewasa. Sehingga tidak akan lagi menjadikan segala sesuatu yang menurut mereka aneh—sebagai bahan taruhan. Mereka benar-benar insaf. Tidak ingin mengulang kesalahan fatal untuk yang kedua kalinya."Zo, sarapanmu ada di atas meja. Kami berangkat sekarang, ya..," seru Vina seraya berlari menjauh. Semantara Melly yang sibuk memainkan ponsel sudah keluar l
DUK!!"Auw!" Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya." Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—m
"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati."Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!" Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar.""Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap be
'Kenapa berhenti disini? uangku mana cukup bayar makanan disini. Gila aja nih om-om, mau cari gretongan gak kira-kira,' gerutu Zoya dalam hati. Ia merasa sangat kesal begitu tahu, Danu memasukan mobilnya di depan sebuah restoran. "Set dah, tuh orang mana udah nyelonong duluan lagi. Aduh! dompet mana sih."Melihat Danu sudah keluar lebih dulu—Zoya semakin gelisah lantaran dompet silikon karakter pororo miliknya entah terselip di bagian mana."Nah, ini dia." tersenyum lega. Namun, begitu membuka dan melihat isi dompetnya, gadis itu tertunduk lesu. "Ya salam om, duitku cuma seratus dua puluh ribu ini, malah ngajak makan ditempat beginian. Warung tegal napa? masakan disana tak kalah nendang."Tok tok!!Zoya terkesiap begitu kaca di sampingnya diketuk, dan pelakunya tak lain Danu."Ck, apa yang sebenarnya dia lakukan? kenapa tidak ikut turun." Baru Danu hendak mengetuk kaca lagi, gerakan tangannya seketika terhenti melihat pintu terbuka. "Kamu tidak suka tempat ini?" Melihat gelagat mencu
"Kamu dari mana Zo?" "Astaga! kamu mengejutkanku. Aku pikir belum ada yang pulang." Setelah meletakkan tasnya diatas meja, Zoya ikut berbaring di samping Melly."Tumben kamu sudah pulang?" Menoleh ke arah samping. Melly yang sedang tengkurap memainkan gawainya melirik sekilas."Pekerjaanku tidak banyak hari ini, makanya bisa pulang lebih awal. Kamu belum menjawabku tadi, dari mana?" Zoya merubah posisinya sama dengan Melly, setelah menekuk kedua kaki dan menggoyang-goyangkannya ia mulai bercerita. "Ketemuan sama tante Liza dan Om Danu.""Serius?" Zoya mengulum senyum melihat keterkejutan sang sahabat."Iya, kenapa?" "Lalu?" "Apanya?" "Ck, kamu ini, bagaimana pertemuanmu dengan om Danu setelah apa yang terjadi kemarin. Lalu apa tante Liza memaksakan kehendaknya?" Melihat Zoya menggelang yakin–Melly memiringkan tubuhnya dan menatap penuh selidik. "Jangan membuatku penasaran, sekarang ceritakan semua tanpa ada yang kamu skip." "Aku dan tante Liza belum sempat mengobrol tadi. Sement
Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana, dan tuhan yang maha menentukan segalanya. Setelah tidak pernah lagi ada kabar beritanya, Zoya dan kedua sahabatnya menganggap bahwa Liza melupakan lamaran dadakannya satu bulan lalu, tapi ternyata? Tanpa disangka-sangka wanita itu tiba-tiba muncul di momen yang sangat tepat."Sayang, kalian akan pindah ke rumah ibu hari ini juga." Sontak, Zoya menegang, matanya berkedip ragu."Ke–kenapa me-mendadak, tan?" Setelah keheningan sesaat, Zoya mulai bisa bersuara. Sungguh, gadis itu merasa terkejut sekaligus heran kenapa wanita itu muncul dengan kejutan tak terduga. Tiba-tiba memintanya pindah tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Jantung? masih amankah di tempatnya?Siang itu, Zoya yang merasa kurang enak badan, memilih tinggal di kamar kos menunggu kedua sahabatnya kembali. Dan untungnya, mereka bertiga off dari kesibukan masih-masih, sehingga ia bisa beristirahat, sementara kedua sahabatnya tengah keluar mencari makan. Tapi, baru juga he
"Ya Tuhan .. ini rumah atau istana? besar sekali."Vina langsung terperangah begitu keluar dari mobil diikuti Zoya, beserta Melly. Pandangan pertama yang tersuguh di depan mata mereka adalah kemewahan hunian Atmadja."Ini baru luarnya loh bestie, kita belum lihat kedalam." Vina mengangguk, begitu juga Melly. Mereka seolah setuju dengan pendapat Zoya."Lihat guys. Luas halamannya saja setara lapangan bola, luar biasa .. tante Liza memang the real sultan," saut Melly yang mendekat dan berdiri di antara kedua sahabatnya."Mereka memang bukan orang biasa, kita saja yang terlambat menyadarinya." Vina kembali menimpali dengan pandangan masih lurus ke depan."Entahlah .. yang pasti, sekarang kepalaku tidak sakit lagi setelah melihat rumah ini," celetuk Zoya seraya memutar pandangan segala arah."Itu karena obat yang kamu minum Oneng, plis deh. Jangan norak," dengus Melly yang hanya disambut kekehan oleh Zoya."Ayu kita masuk." Liza yang sebelumnya kembali menghubungi seseorang, langsung memu
Hari itu, siang menjelang sore, menjadi momen menegangkan sekaligus mendebarkan bagi seorang Danu. Pasalnya, saat pria itu baru kembali dari Singapura—berniat langsung menuju kamar, langkahnya terhenti tepat di depan kamar yang biasanya tertutup. Kini pintunya terbuka lebar. Siapakah penghuninya?Penasaran, Danu memutuskan masuk untuk memeriksa. Mungkin saja penghuninya makhluk tak kasat mata. Jika benar begitu, ia harus memanggil Pak Ustadz yang bisa mengusir makhluk itu pergi.Akan tetapi, baru juga menginjakkan kaki diambang pintu, Danu justru tercengang. Pemandangan di depannya sungguh sayang dilewatkan, tapi juga berakibat fatal jika memutuskan tetap bertahan. Benar-benar pilihan yang sulit."Oh sial, kenapa kau bangun disaat yang tidak tepat?" gumamnya kesal.Meski wajah pemilik gerakan erotis itu tidak terlihat jelas. Namun, mampu melemahkan pertahanan siapapun yang melihatnya, termasuk Danu. Dibalik penampilan pria itu yang jadul, syukurnya Danu tetap berada dijalan yang benar