DUK!!
"Auw!"Terkejut sekaligus merasa sakit di dahi, Zoya meringis sambil mengusap-usapnya. Tidak tahu jika dari dalam butik ada seseorang yang juga meringis ngilu, seolah ikut merasakan apa yang Zoya rasakan. 'Pasti sakit," gumamnya."Astaga! kenapa ada kaca sebening ini." Tangan kiri Zoya terulur—menyentuh dan mengetuk kaca sekali. "Seharusnya aku melakukan ini tadi sebelum dahiku membenturnya." Sambil menggerutu ia mendorong pintu transparan tersebut lalu melangkah masuk."Selamat datang, Mbak Zoya."Sontak, Zoya terjingkat. Menganggap wanita tinggi semampai yang mengenakan seragam navy bertuliskan 'Boutique LS' di dada sebelah kiri itu adalah manekin. Sehingga, tak menyadari keberadaannya di dekat pintu masuk."Iya, Mbak," jawabnya canggung. Heran kenapa wanita cantik yang saat tersenyum memperlihatkan kawat giginya itu bisa mengenali dirinya. Zoya sempat tertegun, menerka-nerka mungkinkah Liza memberitahu wanita itu dirinya akan datang? Sejurus kemudian, Zoya menggelang tegas—menganggap terlalu percaya diri."Saya Dina, karyawan di sini," Zoya menanggapi dengan senyum yang tak kalah ramah. "Silahkan, Mbak langsung saja ke ruangan ibu," jelasnya sambil menunjuk lurus ke depan.'Tangga?' batin Zoya mengikuti tangan Dina mengarah . "Kesana Mbak?""Iya Mbak Zoya, mari saya antar. Ibu sudah menunggu di atas.""I-iya mbak." Reflek, kepala Zoya terangkat, alisnya mengerut berusaha menebak apa yang akan dirinya dan Liza bicarakan di sana.Meski ragu, namun Zoya tetap berjalan di belakang Dina menaiki anak tangga satu persatu menuju lantai dua."Silahkan Mbak, ini rungan ibu Liza," ucap Dian begitu mereka sudah berdiri di depan pintu yang paling dekat dengan tangga."Iya Mbak, terima kasih.""Sama-sama Mbak, kalau begitu saya.""Iya, silahkan."Seperginya Dina, Zoya mengedarkan pandang, dan lagi-lagi kembali tercengang melihat pemandangan yang ada di lantai dua bangunan itu. Terlebih, saat matanya tertuju ke ruangan sebelah kanan. Mulutnya seketika terbuka dengan kedua mata terbelalak sempurna. Ruangan cukup luas yang Zoya yakini tidak tertutup kaca, digunakan untuk memajang puluhan gaun pengantin, berbagai model."Wow! cantik sekali, bagaimana rasanya bisa memakai gaun sebagus itu, ya?" Terlalu kagum, perifer saraf yang menghubungkan beberapa bagian organ tubuh telah menggerakan kaki Zoya mendekati salah satu gaun yang berhasil mencuri perhatiannya."Gaun ini benar-benar cantik." gumamnya dengan mata berbinar."Nak, kamu sudah datang?" Liza yang kebetulan keluar berniat mengambil sesuatu di bawah, terkejut melihat Zoya sudah ada di depan manekin."Eh tan, maaf, kalau Zo lancang." Tersenyum canggung merasa sudah tertangkap basah."Sudah, tidak perlu sungkan. Anggap saja milik sendiri. Masuk yuk, sebentar lagi Danu juga pasti datang." Senyum di bibir Zoya seketika memudar.Pria itu?'Ya Tuhan, bagaimana ini? aku belum siap bertemu lagi dengannya, huaaaa .. ternyata aku sudah memasuki kandang singa!' jeritnya dalam hati.Semalam memang ia sudah menyiapkan mental, dan yakin itu mental baja yang tidak mudah meleleh saat diharuskan bertemu Danu lagi. Tapi nyatanya, baru mendengar nama pria itu saja, nyalinya sudah seperti kerupuk tersiram kuah bakso.'Tenang Zo, kamu tidak sendiri, jangan terlalu takut. Ingat, disini ada pawangnya, dia tidak mungkin akan langsung menerkammu,' batinnya meringis. Mengingat bagaimana marahnya pria itu sebelum pergi meninggalkan kafe kemarin.Sibuk menenangkan diri—Zoya terperanjat mendengar Liza kembali memanggilnya."Sayang, ayo masuk, kok masih disitu.""I-iya tan.." Semakin gugup, Zoya mengepalkan tangan ke depan sambil menghela nafas kasar, lalu berseru lirih, "Semangat!""Ayo masuk sayang, jangan sungkat. Inilah ruangan ibu. Kamu silahkan duduk dulu ya, ibu tinggal sebentar. Ada yang perlu ibu sampaikan pada anak-anak di bawah." Tanpa berpikir curiga sedikitpun, Zoya langsung mengangguk patuh begitu melewati pintu, dan tidak lama pintu ditutup dari luar.Sambil mengamati setiap sudut ruang itu, Zoya berjalan pelan menuju sofa berukuran panjang dan duduk."Rapi. Pasti tante Liza orangnya teliti atau mungkin saja perfeksionis," gumamnya dengan pandangan kembali merotasi. Sampai akhirnya menemukan satu benda yang membuat rasa ingin tahunya tergugah. Demi memastikan benda itu, ia pun bergegas mendekatinya."Lucu sekali bocah ini, tampan." Tangan kanannya terulur mengangkat pigura kecil yang berada di atas meja kerja Liza. Seketika sudut bibir Zoya terangkat melihat foto balita laki-laki yang tengkurap di atas ranjang. "Pipinya bulat, mirip bakpao," kekehnya gemas.Setelah puas, Zoya meletakkan kembali figuran itu pada tempatnya. Kini pandangannya beralih pada kaca yang membentang tinggi di depannya, tepatnya berada di belakang meja kerja Liza.Ia pun segera melangkah lebar—begitu berdiri di depan dinding kaca itu, lagi-lagi Zoya terperangah melihat pemandangan yang ada di bawah sana. "Wah! ternyata ada taman. Kapan-kapan aku akan mengajak Vina dan Melly kesana, pasti mereka senang.""Bu …"DEG!!Tiba-tiba Zoya menegang. Suara itu?Menyadari siapa pemilik suara yang ada di belakangnya, mata Zoya terpejam, bersamaan dengan jantungnya yang ikut berhenti sedetik. Sebelum akhirnya berpacu kencang hingga nyaris melompat dari tempatnya. Tidak hanya itu, Zoya juga merasa kedua kakinya tertanam di lantai granit. Nafasnya semakin tersendat. Hanya butuh hitungan mundur dari sekarang, berpikir tubuhnya akan segera di lahap singa lapar."Siapa kamu!"Sementara Danu memicingkan mata setelah menutup pintu, mendapati wanita asing di ruangan ibunya, tanpa ada di rmbunya ruangan.HeningTidak ada jawaban, Danu melangkah perlahan.Semantara Zoya, dirundung kecemasan luar biasa mendengar derap sepatu Danu semakin mendekat. Ingin rasanya melesat keluar melewati dinding kaca. Namun, selaras dengan keraguannya mampu menghancurkan kaca tersebut, atau mungkin dirinya hanya akan terpental ke belakang jika memaksakan diri."Maaf, dimana Ibu saya? apakah anda sudah bertemu beliau sebelumnya." Kini Danu sudah berada dua meter di belakang Zoya.Merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya Zoya memutuskan membalik badan, dan .."Kamu!" pekik Danu."Hehe .. hai om, ki—""---ngapain kamu disini!" ketusnya galak, membuat Zoya seketika menelan kasar salivanya. Tapi bukan Zoya namanya jika tidak bisa mengendalikan diri dengan cepat."Santai om, jangan tegang dulu dong, belum saatnya, ups. Maksudku, jangan emosi dulu. Duduk yuk, nanti aku jelasin kenapa bisa ada disini." Meski bibirnya bergetar, Zoya berusaha tidak menunjukkan ketakutannya di depan Danu, yang sudah jelas siap menerkam dirinya dalam arti yang sebenarnya. "Ck, gak percaya amat sih. Aku juga kesini karena undangan tante Liza tau!"Dan benar saja, begitu menyebut nama ibunya, sebelah alis Danu terangkat—dengan tatapan yang belum bersahabat pria itu memilih duduk di sofa tunggal.Merasa usahanya berhasil—Zoya bergegas ikut duduk di sofa panjang mengambil jarak sejauh mungkin. Tepatnya posisi yang paling dekat dengan pintu. Tetap waspada jika sewaktu-waktu terdesak ia bisa dengan cepat menyelamatkan diri.Namun ternyata, terjadi keheningan begitu mereka duduk. Zoya sesekali melirik ragu Danu yang terus menatapnya seolah bagian tubuh mana dulu yang akan pria itu koyak—memikirkan itu Zoya bergidik ngeri.'Sialan. Biar penampilannya aneh, tapi dia punya aura mengintimidasi. Ck, tante Liza kemana sih lama amat perginya.' Zoya mulai gelisah, ternyata berada di ruangan hanya berdua dengan Danu, lebih menakutkan dari yang pernah ia bayangkan.'Undangan? ibu sengaja ngundangnya? apa jangan-jangan gadis ini yang ibu bicarakan semalam?'"Aku akui kepercayaan dirimu memang luar biasa. Bisa melakukan hal senekat itu di depan umum. Apa tujuanmu sebenarnya? Uang?" Sambil menyandarkan punggung, Danu menatap remeh lawan bicaranya.Ketenangan gadis itu cukup menggelitik hati, ingin memastikan sejauh mana bisa bertahan menghadapi dirinya.Sementara itu, Zoya masih berusaha keras mempertahankan agar gemetar di kaki ataupun tangannya tidak sampai tertangkap oleh Danu, bisa semakin besar kepala pria itu jika melihatnya.'Ingat Zo! kamu tidak perlu takut padanya, dia juga pasti makan nasi sama sepertimu," kekuehnya dalam hati."Aku bukan orang yang suka basa-basi. Jadi, cepat katakan apa yang kamu inginkan!" Zoya melirik Danu sekilas, lalu memajukan bibir bawahnya. "Gak sabaran banget, yakin mau dengar.""Dengar! aku tidak suka waktuku terbuang sia-sia untuk urusan yang tidak penting. Sekarang, katakan berapa yang kamu inginkan," lirih Danu.Zoya menghela nafas panjang—ikut menyandarkan punggung dan menoleh ke samping menatap be
'Kenapa berhenti disini? uangku mana cukup bayar makanan disini. Gila aja nih om-om, mau cari gretongan gak kira-kira,' gerutu Zoya dalam hati. Ia merasa sangat kesal begitu tahu, Danu memasukan mobilnya di depan sebuah restoran. "Set dah, tuh orang mana udah nyelonong duluan lagi. Aduh! dompet mana sih."Melihat Danu sudah keluar lebih dulu—Zoya semakin gelisah lantaran dompet silikon karakter pororo miliknya entah terselip di bagian mana."Nah, ini dia." tersenyum lega. Namun, begitu membuka dan melihat isi dompetnya, gadis itu tertunduk lesu. "Ya salam om, duitku cuma seratus dua puluh ribu ini, malah ngajak makan ditempat beginian. Warung tegal napa? masakan disana tak kalah nendang."Tok tok!!Zoya terkesiap begitu kaca di sampingnya diketuk, dan pelakunya tak lain Danu."Ck, apa yang sebenarnya dia lakukan? kenapa tidak ikut turun." Baru Danu hendak mengetuk kaca lagi, gerakan tangannya seketika terhenti melihat pintu terbuka. "Kamu tidak suka tempat ini?" Melihat gelagat mencu
"Kamu dari mana Zo?" "Astaga! kamu mengejutkanku. Aku pikir belum ada yang pulang." Setelah meletakkan tasnya diatas meja, Zoya ikut berbaring di samping Melly."Tumben kamu sudah pulang?" Menoleh ke arah samping. Melly yang sedang tengkurap memainkan gawainya melirik sekilas."Pekerjaanku tidak banyak hari ini, makanya bisa pulang lebih awal. Kamu belum menjawabku tadi, dari mana?" Zoya merubah posisinya sama dengan Melly, setelah menekuk kedua kaki dan menggoyang-goyangkannya ia mulai bercerita. "Ketemuan sama tante Liza dan Om Danu.""Serius?" Zoya mengulum senyum melihat keterkejutan sang sahabat."Iya, kenapa?" "Lalu?" "Apanya?" "Ck, kamu ini, bagaimana pertemuanmu dengan om Danu setelah apa yang terjadi kemarin. Lalu apa tante Liza memaksakan kehendaknya?" Melihat Zoya menggelang yakin–Melly memiringkan tubuhnya dan menatap penuh selidik. "Jangan membuatku penasaran, sekarang ceritakan semua tanpa ada yang kamu skip." "Aku dan tante Liza belum sempat mengobrol tadi. Sement
Ternyata memang benar, manusia hanya bisa berencana, dan tuhan yang maha menentukan segalanya. Setelah tidak pernah lagi ada kabar beritanya, Zoya dan kedua sahabatnya menganggap bahwa Liza melupakan lamaran dadakannya satu bulan lalu, tapi ternyata? Tanpa disangka-sangka wanita itu tiba-tiba muncul di momen yang sangat tepat."Sayang, kalian akan pindah ke rumah ibu hari ini juga." Sontak, Zoya menegang, matanya berkedip ragu."Ke–kenapa me-mendadak, tan?" Setelah keheningan sesaat, Zoya mulai bisa bersuara. Sungguh, gadis itu merasa terkejut sekaligus heran kenapa wanita itu muncul dengan kejutan tak terduga. Tiba-tiba memintanya pindah tanpa ada pemberitahuan lebih dulu. Jantung? masih amankah di tempatnya?Siang itu, Zoya yang merasa kurang enak badan, memilih tinggal di kamar kos menunggu kedua sahabatnya kembali. Dan untungnya, mereka bertiga off dari kesibukan masih-masih, sehingga ia bisa beristirahat, sementara kedua sahabatnya tengah keluar mencari makan. Tapi, baru juga he
"Ya Tuhan .. ini rumah atau istana? besar sekali."Vina langsung terperangah begitu keluar dari mobil diikuti Zoya, beserta Melly. Pandangan pertama yang tersuguh di depan mata mereka adalah kemewahan hunian Atmadja."Ini baru luarnya loh bestie, kita belum lihat kedalam." Vina mengangguk, begitu juga Melly. Mereka seolah setuju dengan pendapat Zoya."Lihat guys. Luas halamannya saja setara lapangan bola, luar biasa .. tante Liza memang the real sultan," saut Melly yang mendekat dan berdiri di antara kedua sahabatnya."Mereka memang bukan orang biasa, kita saja yang terlambat menyadarinya." Vina kembali menimpali dengan pandangan masih lurus ke depan."Entahlah .. yang pasti, sekarang kepalaku tidak sakit lagi setelah melihat rumah ini," celetuk Zoya seraya memutar pandangan segala arah."Itu karena obat yang kamu minum Oneng, plis deh. Jangan norak," dengus Melly yang hanya disambut kekehan oleh Zoya."Ayu kita masuk." Liza yang sebelumnya kembali menghubungi seseorang, langsung memu
Hari itu, siang menjelang sore, menjadi momen menegangkan sekaligus mendebarkan bagi seorang Danu. Pasalnya, saat pria itu baru kembali dari Singapura—berniat langsung menuju kamar, langkahnya terhenti tepat di depan kamar yang biasanya tertutup. Kini pintunya terbuka lebar. Siapakah penghuninya?Penasaran, Danu memutuskan masuk untuk memeriksa. Mungkin saja penghuninya makhluk tak kasat mata. Jika benar begitu, ia harus memanggil Pak Ustadz yang bisa mengusir makhluk itu pergi.Akan tetapi, baru juga menginjakkan kaki diambang pintu, Danu justru tercengang. Pemandangan di depannya sungguh sayang dilewatkan, tapi juga berakibat fatal jika memutuskan tetap bertahan. Benar-benar pilihan yang sulit."Oh sial, kenapa kau bangun disaat yang tidak tepat?" gumamnya kesal.Meski wajah pemilik gerakan erotis itu tidak terlihat jelas. Namun, mampu melemahkan pertahanan siapapun yang melihatnya, termasuk Danu. Dibalik penampilan pria itu yang jadul, syukurnya Danu tetap berada dijalan yang benar
Menjelang makan malam, para wanita sudah duduk manis seraya menunggu satu-satunya pria yang belum menampakkan batang hidungnya. Ketiga gadis yang masih canggung itu merasa heran begitu melihat banyaknya hidangan yang tersaji rapi diatas meja, namun mereka enggan bertanya langsung kepada Lisa mengingat betapa antusiasnya wanita itu dalam menyiapkan segalanya."Makanan sebanyak ini untuk apa?" Zoya bertanya lewat sorot matanya kepada Vina yang juga menatap dirinya."Entahlah.. aku juga tidak tahu. Mungkin akan ada acara." Vina juga menjawab lewat tatapannya."Kapan bisa dimulai, aku sudah sangat lapar ini." Zoya menunjukkan wajah memelas, yang di balas Vina dengan mengusap dadanya sendiri.Kedua gadis itu masih terus berkomunikasi lewat cara mereka, mengabaikan Melly si ratu kepo yang duduk disamping Vina. Melly terus memperhatikan kedua sahabatnya dengan tatapan heran, sampai akhirnya…"Ehem, ehem." sengaja gadis itu berdehem untuk menarik perhatian Zoya maupun Vina."Ehem.." namun suda
Cukup lama Danu duduk tercenung di ruangan itu yang dulu merupakan ruang kerja sang ayah, tempat dimana banyak kenangan bersama almarhum sebelum peristiwa dua puluh dua tahun lalu terjadi. Peristiwa naas yang mengharuskan dirinya kehilangan figur ayah di usia remaja. Disaat dirinya terus menatap foto sang ayah, tanpa sadar, terkadang sudut bibir Danu tertarik ke atas begitu mengingat kenangan indah bersama pria yang selama ini selalu dia jadikan tauladan. "Danu akan berusaha membuat ibu bahagia yah, meskipun pada akhirnya Danu harus menikahi gadis itu. Danu terima dengan ikhlas, asal bisa melihat senyum bahagia ibu sepanjang waktu. Apapun itu, pasti akan Danu lakukan. Sudah cukup ibu menderita selama ini." Lirihnya seraya menghela nafas panjang."Harapan Danu hanya satu, ingin tau keberadaan Chika saat ini dimana. Karena setelah hari itu, Danu sudah berusaha keras mencarinya dengan meminta bantuan semua pihak. Namun, hingga detik ini tidak pernah sekalipun ada kejelasan tentang baga